1 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Penelitian
Saat ini perkembangan teknologi dan informasi sudah semakin pesat.
Berkembangnya teknologi dapat kita lihat dari penemuan-penemuan seperti jaringan internet, TV, bahkan handphone yang selalu kita gunakan. Jika menelisik lebih jauh, sejarah perkembangan teknologi di dunia sangatlah panjang. Diawali dari masa prasejarah (hingga 3000 SM) pada masa ini manusia belum mengenal teknologi tetapi, mereka memulai percakapan dari tanduk hewan dan membuatnya menjadi sebuah simbol pictograf melambangkan huruf.1 Pada tahun 1877, Alexander Graham Bell menemukan perangkat telepon dan pada tahun 1923, Zvorkyn untuk pertama kalinya menemukan TV tabung.2 Pada tahun 1972, ditemukan teknologi e-mail oleh Ray Tomlinson dan tahun 1973-1990, akhirnya internet mulai dikembangkan dan protokol jaringan TCP/IP juga. Sehingga, dari tahun 1991-sekarang, istilah WWW (World Wide Web) yang dipelopori oleh CERN (Centre Europeen pour Ia Recherchee Nucleaire) yang adalah pusat penelitian tercanggih di dunia mulai berkembang hingga saat ini.3
Saat ini, manusia sedang berada di era ketika sebagian besar masyarakat mulai menggunakan sistem digital untuk memenuhi kehidupan kesehariannya.4 Perkembangan teknologi dan informasi sangat mempengaruhi kehidupan sosial kelompok dan mempengaruhi pribadi psikososial individu. Teknologi dan informasi di era digital memang sangat memudahkan kita semua. Media sosial menjadi salah satu pengaruh terbesar dari teknologi dan informasi yang membuat masyarakat hidup dengan pola budaya yang baru secara digital. Semua perubahan di dalam struktur sosial itu sangat mempengaruhi pola hidup suatu individu di dalam masyarakat.5 Penggunaan
1 Iman Lubis & Mohamad Safii, Smart Economy Kota Tangerang Selatan (Tangerang: PT Karya Abadi Mitra Indo, 2018), 3.
2 Lubis & Safii, Smart Economy, 3.
3 Lubis & Safii, Smart Economy, 4.
4 Puji Rahayu “Pengaruh Era Digital terhadap Perkembangan Bahasa Anak,” Al-Fathin, Vol. 2 2019): 1,
5 Maulidya Ulfah, Digital Parenting: Bagaimana Orantua Melindungi Anak-Anak dari Bahaya Digital? (Tasikmalaya: Edu Publisher, 2020), 1.
2
dari media sosial sudah semakin luas bahkan bukan hanya orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Manfaat dari media sosial ini jika digunakan dengan baik dan bijak maka akan sangat berguna. Contohnya, berkomunikasi dengan keluarga atau teman yang berjauhan dengan kita, bisa mendapatkan berita atau informasi yang update.
Namun, jika kita menyalahgunakan sosial media maka akan menjadi boomerang tersendiri. Semakin canggih media sosial, semakin banyak manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain. Bahkan, banyak kejahatan media sosial yang menempatkan anak-anak sebagai korban.nya.6 Selain itu, banyak anak-anak yang terjerumus ke dalam media sosial yang berarti banyak yang kecanduan teknologi digital. Candu yang dimaksud adalah perangkat digital tersebut memberikan ketergantungan yang sangat parah dan seolah tidak bisa terpisahkan dari anak-anak yang sedang berada di masa perkembangan dalam hal pola disiplin dan kontrol terhadap diri sendiri. Jika melihat lebih jauh, maka mental mereka pula akan rusak jika terlalu fokus kesana. Perangkat digital sepertinya menjadi faktor utama anak-anak menjadi “matang semu”.7
Menurut Syifa, Setianingsih dan Sulianto penggunaan gadget yang berlebihan dapat mempengaruhi psikologis anak yaitu pada pertumbuhan emosi dan perkembangan moral seorang anak.8 Pengaruh para pertumbuhan emosi dapat terlihat dari seorang anak yang suka melawan orang tua, suka marah atau emosional, berbicara sendiri dengan gadget, dan bahkan anak-anak meniru tingkah laku pada gadget.
Sedangkan, pengaruh gadget pada perkembangan moral anak adalah anak mulai tidak disiplin, bermalas-malasan untuk melakukan sesuatu, malas belajar karena lebih memilih untuk bermain game atau menonton youtube, drama Korea (drakor).9 Selain itu, ternyata pengaruh teknologi yang berlebihan juga berpengaruh kepada spiritualitas seorang anak. Mereka akan malas membaca Alkitab, malas datang beribadah, malas
6 Ulfah, Digital Parenting, 2.
7 Yee Jin Shin, Mendidik Anak di Era Digital (Jakarta: Noura Books, 2014), x.
8 Layyinatus Syifa, dkk., “Dampak Penggunaan Gadget terhadap Perkembangan Psikologi pada Anak Sekolah Dasar,” Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar 3, no. 4, (2019): 527–530.
9 Syifa dkk., “Dampak Penggunaan Gadget,” 531-533.
3
berdoa dan lain sebagainya.10 Dengan demikian, gadget memiliki pengaruh dari psikologis anak dan bahkan juga spiritualitas seorang anak bisa menurun. Oleh sebab itu, pentingnya peran orangtua juga untuk mengendalikan anak mereka dalam penggunaan gadget ini karena orangtua adalah golongan masyarakat terdekat dari anak-anak.
Dampak lain dari perkembangan teknologi menurut Niko Sangaji, Vincent Hadi Wiyono dan Tri Mulyaningsi adalah membuat seseorang menjadi individual sehingga jarang berhubungan dengan orang sekitarnya dan menyebabkan kurangnya relasi dengan orang lain.11 Selanjutnya, menurut Yuli Salis Hijriyani dan Ria Astuti mengatakan bahwa dengan adanya kehadiran gadget dapat membuat anak lebih mementingkan dirinya sendiri, mengabaikan orang disekelilingnya, dan asyik sendiri dengan gadgetnya.12 Dengan demikian, banyak anak yang menjadi “anak rumahan”
atau lebih mengurung diri di rumah saja untuk bermain gadget dibandingkan bermain diluar bersama dengan teman sebayanya. Jika hal tersebut terjadi terus-menerus, maka perkembangan anak tersebut akan terhambat karena hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa membangun relasi dengan yang lainnya. Anak-anak juga akan lebih mementingkan gadgetnya dan lupa untuk makan dan tidur. Bahkan, anak-anak juga lupa untuk beribadah atau sekolah minggu dan lebih mementingkan gadgetnya.
Parahnya lagi, ada beberapa anak setelah selesai beribadah ada yang langsung fokus kepada gadgetnya dibandingkan berinteraksi dengan teman yang lainnya. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan sosiologis terhadap anak-anak tersebut. Ilmu sosiologi adalah disiplin keilmuan yang berbicara mengenai aspek-aspek dari kehidupan manusia dan lingkungannya.13
10 Joseph & Boiliu, “Peran Pendidikan Agama Kristen,” 5.
11 Priscillia Diane Joy Joseph & Fredik Melkias Boiliu “Peran Pendidikan Agama Kristen dalam Penggunaan Teknologi pada Anak,” Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan 3, no. 4 (2021): 1.
12 Yuli Salis Hijriyani & Ria Astuti “Penggunaan Gadget Oleh Anak Usia Dini Pada Era Revolusi Industri 4.0,” Jurnal Thufula 8, no.1 (2020): 16–28.
13 Moh. Rifa’I, “Kajian Masyarakat Beragama Perspektif Pendekatan Sosiologis” (Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 2, no. 1 (2018): 26.
4
Saat ini, peribadahan sekolah minggu sudah dilaksanakan secara online via zoom dan offline di gereja. Melihat hal tersebut, pentingnya peran guru sekolah minggu atau kakak layan untuk menghadapi anak-anak yang kurang tertarik untuk beribadah sekolah minggu di gereja, mungkin dikarenakan harus memegang gadget terlebih dahulu, baru ingin beribadah di gereja kalau tidak, maka akan menangis dan tidak mau datang sekolah minggu. Selain itu, mengatasi anak-anak yang mulai malas mengerjakan aktivitas-aktivitas yang diberikan oleh kakak layan baik itu secara langsung dikerjakan bersama ataupun dijadikan sebagai pekerjaan rumah. Oleh sebab itu, gereja perlu memperkuat upaya pendidikan atau pedagogis kepada anak sekolah minggu. Sadulloh mengatakan bahwa pedagogis merupakan suatu ilmu yang melihat dan mempelajari permasalahan untuk membimbing anak menuju tujuan tertentu agar anak mampu secara mandiri untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.14
Era digital sekarang ini tentu saja berdampak di berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, bahkan keagamaan. Bidang keagamaan yang dimaksud adalah ketika setiap agama harus melek terhadap teknologi supaya tidak tersisihkan oleh perkembangan teknologi. Terkhusus, gereja juga membutuhkan penyesuaian terhadap teknologi yang semakin berkembang dan gereja seharusnya melibatkan teknologi di dalam setiap kebutuhannya agar gereja bisa berdampingan dan tidak tertinggalkan. Di setiap peribadahan di GPIB Tamansari Salatiga, sudah menggunakan beberapa alat atau perangkat teknologi sebagai penunjang jalannya peribadahan. Contohnya adalah penggunaan monitor, sound system dan multimedia.
Penelitian ini berfokus pada salah satu bidang kategorial yang ada di gereja ini yaitu Pelayanan Anak (PA) dengan melihat penerapan kurikulumnya. Penulis ingin melihat bagaimana penerapan kurikulum PA merespon tantangan di era digital yang semakin berkembang ini dengan menggunakan analisis sosio-pedagogis dari perspektif teori
14 Uyoh Sadulloh, dkk., Pedagogik: Ilmu Mendidik (Bandung: Alfabeta, 2018), 2.
5
Maria Harris tentang kurikulum dan didukung oleh teori tentang penggunaan teknologi digital dalam pendidikan agama oleh Israel Diaz.15
Menurut Maria Harris pendidikan yang ada di dalam suatu gereja merupakan pembelajaran seumur hidup.16 Oleh sebab itu, pendidikan yang ada di dalam gereja seharusnya bersifat dinamis, berarti pendidikan di gereja perlu pendekatan yang kontekstual. Bahkan, di era digital saat ini peran pendidikan yang kontekstual sangatlah penting terutama bagi pendidikan yang ada di dalam gereja. Maria Harris juga berpendapat bahwa pendidikan gerejawi harus menjadi upaya mendidik dengan melibatkan masyarakat dan persekutuan.17 Gereja sebagai penyusun dan perancang kurikulum. Kurikulum yang dimaksud adalah secara implisit, eksplisit, dan nul, yang juga harus bersifat kenabian, ada unsur penggembalaan, dan politis. Kurikulum juga perlu menjawab tantangan konteks.18 Selanjutnya, menurut Diaz penggunaan teknologi digital di dalam Pendidikan Agama Kristen sangatlah penting. Oleh sebab itu, melalui survey yang dilaksanakannya maka Diaz mengusulkan untuk mengadakan suatu dialog kenabian bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah melalui penggunaan, konsekuensi, dan skrip teknologi digital. Hal tersebut dibutuhkan untuk menghindari kekhawatiran-kekhawatiran yang ada seperti dehumanisasi yang pada saat itu sedang maraknya.19
Berdasarkan pemahaman Harris ini, maka peran kurikulum agama Kristen di dalam gereja sangatlah penting untuk mengantisipasi dampak dari adanya penyalahgunaan teknologi menurut iman Kristen di era digital. Pendidikan Agama Kristen adalah salah satu tugas gereja yang melayani di bidang pendidikan dan pengajaran. Tugas yang dimaksud adalah sebuah tugas yang pengajaran dan
15 Maria Harris, Fashion Me A People: Curriculum in The Church (Louisville: Westminster Jhon Knox Press, 1989. Israel Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” Religious Education Association Journal 116, Issue 1 (2021): 3-15.
16 Harris, Fashion Me A People, 38.
17 Harris, Fashion Me A People, 44.
18 Harris, Fashion Me A People, 43.
19 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 14.
6
pendidikanya tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi berlangsung sepanjang manusia itu hidup.20 Menurut Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo bahwa kurikulum memiliki kedudukan yang sangat sentral di dalam keseluruhan proses pendidikan.21 Sedangkan menurut Zainal Arifin kurikulum adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan dari pendidikan, sekaligus sebagai pedoman di dalam proses pelaksanaan segala pembelajaran di semua jenis dan jenjang pendidikan.22 Dari pemaparan diatas, maka penelitian ini akan membahas mengenai kurikulum yang dipaparkan oleh Harris dengan didukung oleh pendapat Diaz tentang penggunaan teknologi digital sebagai bagian dari upaya penginjilan dalam pendidikan agama Kristen.23
Berkaitan dengan kurikulum pelayanan sekolah minggu terdapat beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai kurikulum pelayanan sekolah minggu.
Penelitian yang dilakukan oleh Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendu (2011) berkaitan dengan “Kajian Terhadap Penerapan Kurikulum Sekolah Minggu Di Gereja Masehi Injili Di Minahasa” dengan tujuan mendeskripsikan dan mengkaji penerapan kurikulum di GMIM.24 Selanjutnya, terdapat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wiwiet Arie Shanty, Talizaro Tafonao, dan Desetina Harefa (2021) berkaitan dengan
“Kurikulum Pendidikan Agama Kristen Yang Kontekstual Bagi Anak Sekolah Minggu Kelas Madya” dengan tujuan mendorong gereja dan guru untuk mempersiapkan kurikulum yang sesuai dengan karakteristik anak kelas madya.25 Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Karnawati dan Ayin Claudia (2021) berkaitan dengan “Model Desain Kurikulum Pewartaan Injil untuk Anak Usia Dini di Sekolah Minggu Rumah”
dengan tujuan untuk menggagas sebuah model desain kurikulum pewartaan injil
20 Clement Suleemen, Pendidikan Agama Kristen dan Pembinaan Warga Gereja dalam Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 7.
21 Nana S. Sukamdinata, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), 4.
22 Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 1.
23 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology,” 3.
24 Natalia Olivia Kusuma Dewi Lahamendu, “Kajian Terhadap Penerapan Kurikulum Sekolah Minggu Di Gereja Masehi Injili Di Minahasa,” (Tugas Akhir, Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 4.
25 Wiwiet Arie Shanty dkk. “Kurikulum Pendidikan Agama Kristen Yang Kontekstual Bagi Anak Sekolah Minggu Kelas Madya,” Haranti: Jurnal Pendidikan Kristen 1, no. 2 (2021): 1.
7
kepada anak usia dini pada sekolah minggu yang dilaksanakan di rumah.26 Dari pemaparan mengenai penelitian-penelitian terdahulu mengenai kurikulum pelayanan sekolah minggu, dapat dilihat mengenai hal-hal yang membedakan antara penelitian yang sedang dilakukan dengan penelitian yang terdahulu adalah dua diantara penelitian terdahulu lebih fokus kepada kurikulum yang sesuai dengan konteksnya. Sedangkan, untuk penelitian terdahulu lainnya lebih memfokuskan kepada kurikulum di dalam suatu gereja yaitu GMIM. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih memberikan fokus kepada kurikulum PA di era digital dan dengan menggunakan analisis sosio-pedagogis dari Maria Harris dan teori penggunaan teknologi dari Israel.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: bagaimana penerapan kurikulum PA GPIB Tamansari Salatiga di era digital ditinjau secara sosio-pedagogis?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah: menganalisis penerapan kurikulum PA GPIB Tamansari Salatiga dari perspektif sosio-pedagogis Maria Harris dan Israel Diaz.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada GPIB Tamansari Salatiga mengenai penerapan kurikulum PA di era digital dengan analisis sosio- pedagogis dari Maria Harris dan Israel Diaz.
2. Sebagai bahan pertimbangan pembuatan kurikulum PA yang lebih kontekstual di era digital saat ini.
26 Karnawati & Ayin Claudia “Model Desain Kurikulum Pewartaan Injil untuk Anak Usia Dini di Sekolah Minggu Rumah,” Integritas: Jurnal Teologi 3, no. 1 (2021): 1.
8 1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif ini dapat membantu penulis untuk mengerti, mengetahui, dan memahami apa yang terjadi di lapangan. Adapun pengumpulan data yang akan dikerjakan adalah dengan menggunakan metode wawancara dan karena penelitian ini berisfat kualitatif maka partisipan atau narasumber akan dipilih secara sengaja, yakni mereka yang dapat membantu penulis dalam memahami masalah yang diteliti.27 Penelitian ini dilakukan di Gereja Protestan Indonesian bagian Barat (GPIB) Jemaat Tamansari Salatiga dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara, dengan 2 pendeta yang ada di GPIB Tamansari Salatiga yang terlibat di dalam setiap persiapan untuk ibadah PA dan 5 orang kakak layan PA yang berperan langsung dalam mengaplikasikan kurikulum PA. Cara pengambilan data yang penulis pakai adalah mengunakan recording. Selain itu, penulis menggunakan metode dokumentasi yakni penulis akan melihat dan menganalisis kurikulum Pelayanan Anak atau SBA (Sabda Bina Anak) selama tahun 2020-2022 apakah di dalam kurikulum tersebut bisa dikatakan kontektual dengan era digital saat ini atau tidak.
1.6. Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Bagian pertama tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua yang meliputi definisi kurikulum, kajian kurikulum menurut Maria Harris, juga teori tentang penggunaan teknologi dalam pendidikan agama oleh Israel Diaz, pendekatan sosiologi, dan pendekatan pedagogis. Bagian ketiga akan menampilkan data yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini dan menyajikan kajian sosio-pedagogis berupa analisis deskriptif atas hasil wawancara dengan menggunakan kerangka teori yang telah disusun sebelumnya. Bagian keempat yang akan berisi kesimpulan dan saran.
27 John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 253.
9 2. Landasan Teori
2.1. Definisi Kurikulum
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani Kuno yakni “curir” yang memiliki arti pelari dan “curere” yang memiliki arti tempat berpacu. Sehingga, kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Lalu, istilah dari kurikulum terus-menerus berkembang dan digunakan di dalam bidang pendidikan. Kurikulum di bidang pendidikan adalah sejumlah mata pelajaran yang harus diselesaikan oleh siswa atau pelajar untuk dapat memperoleh ijazah.28 Secara etimologis, istilah kurikulum berasal dari bahasa Inggris yaitu “curriculum” artinya rencana pembelajaran.29 Di Indonesia, pengertian kurikulum sendiri terdapat di dalam Pasal 1 butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.30 Kemudian, terjadi pergantian kurikulum di Indonesia yakni kurikulum 2013 yang merupakan kurikulum yang memiliki fokus kepada pemerolehan kompetensi-kompetensi dari peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum 2013 ini berisi tentang kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pencapaian akhirnya dapat dilihat dalam bentuk suatu perilaku dan keterampilan dari masing-masing peserta didik.31
John Franklin Bobbit yang merupakan salah satu pakar kurikulum menjelaskan bahwa kurikulum sebagai “mata pelajaran perbuatan” dan suatu pengalaman hidup anak-anak sampai ia beranjak dewasa, supaya menjadi anak yang sukses di kalangan masyarakat dewasa. Selanjutnya, menurut Nengly and Evaras kurikulum merupakan seluruh pengalaman yang telah direncanakan dan dilakukan oleh
28 Fuji Siti Fujiati. “Pemahaman Konsep Kurikulum dan Pembelajaran dengan Peta Konsep bagi Mahasiswa Pendidikan Seni,” (Jurnal Pendidikan dan Kajian Seni, Vol. 1, No. 1, 2016): 19.
29 Sari W.R. Nasution dkk. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management, 2022), 1.
30 Nasution dkk. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, 2.
31 Oemar Hamalik. Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), 9.
10
pihak sekolah untuk menolong siswa mencapai hasil pembelajaran yang sangat baik.32 Kemudian, menurut Association for Supervision Curriculum Development A Departement of The Nation Education Assosiation kurikulum adalah segala kesempatan pembelajaran yang telah diperoleh dari pihak sekolah sebagai suatu bantuan untuk pengembangan setiap peserta didik yang seimbang. Selanjutnya, Soedijarto yang merupakan pakar pendidikan dari UNJ (Universitas Negri Jakarta) mengatakan bahwa kurikulum merupakan semua pengalaman dan kegiatan belajar- mengajar yang telah terorganisir untuk para peserta didik ataupun mahasiswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan lembaga pendidikan.33
2.2. Teori Kurikulum Pendidikan Agama Kristen di Gereja Menurut Maria Harris
Maria Harris berpendapat bahwa kurikulum pendidikan yang dilakukan di gereja lebih luas dari kurikulum yang ada di sekolah.34 Kurikulum di dalam kehidupan bergereja, atau yang disebut juga sebagai kurikulum pendidikan Kristiani, adalah the entire course of the church’s life yang terwujud di dalam pelayanan yang priestly, prophetic, dan political dalam berbagai aktivitas kehidupan bergeraja, yakni teaching, worship, community, proclamation dan outreach.35 Harris juga berpendapat bahwa terdapat 3 sifat dan karakter saat pelaksanaan pendidikan telah berlangsung, yaitu;
imamat, kenabian, dan politik. Di sini, Harris mau mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar menekankan ajaran-ajaran gereja saja, tetapi juga mendialogkannya dengan permasalahan-permasalahan di sosial. Gereja hadir di tengah-tengah dunia ini tujuannya untuk dunia itu sendiri, menjadi imam dan nabi yang menanggapi persoalan politik tentu saja dengan melihat koinonia (komunitas), kerygma (proklamasi), dan diakonia (melayani) dengan masyarakat sekitar.36
32 Nasution dkk. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, 2.
33 Syarifah “Active Learning Teach Like Finland,” Jurnal Qiro’ah, Vol. 9, No. 1, (2019): 86.
34 Harris, Fashion Me A People, 42.
35 Branckly E. Picanussa “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kristiani,” Voice of Wesley:
Jurnal Ilmiah Musik dan Agama 3, No. 1 (2019): 5.
36 Harris, Fashion Me A People, 43.
11
Harris juga berpendapat bahwa terdapat 5 aspek pelayanan di dalam gereja yang juga menjadi tempat sebuah pendidikan berlangsung, yaitu:
1. Pelayanan Pengajaran (didhace)
Harris menggunakan istilah didhace merujuk kepada kurikulum pengajaran. Terdapat 2 bagian kurikulum pecngajaran menurut Harris, yakni;
pertama, batang tubuh dari setiap pengetahuan dan perilaku yang akan diajarkan. Kedua, setiap proses yang ada saat pengetahuan tersebut dilaksanakan. Selain itu, terdapat 2 bentuk pengajaran menurut Harris yaitu, bentuk internal (katekisasi dcan khotbah) dan bentuk kontemporer (menafsir, menolak, menganalisis).37
2. Liturgi
Harris berpendapat bahwa doa sangatlah penting dalam membentuk kurikulum. Dia juga mengatakan bahwa pada dasarnya doa berisikan sebuah permintaan, jeritan, namun secara khusus merupakan pejumpaan kita dengan Sang Ilahi. Termasuk juga sebuah pujian, pengucapan syukur dan bahkan pengakuan dosa.38
3. Persekutuan (koinonia)
Masyarakat dan pelayanan adalah pendidikan awal menurut Harris.
Selain itu, pendekatan yang dianjurkan oleh Harris adalah pendakatan yang mengarah kepada sentuhan kasih orang-orang, karena melihat banyak sebuah komunitas yang memiliki kelemahan dimulai dari cara mereka beribadah dan pengajarannya dan jarang menggunakan pendekatan yang bisa merebut hati mereka. Dalam sebuah komnitas tenru saja ingin dikasihi dan diterima dan akan membuat mereka bertahan. Oleh sebab itu, ketika akan membuat suatu kurikulum tentu juga harus menggunakan sentuhan sosial. Maka, pelayanan yang menggerakkan kita akan menuju kepada kesembuhan devisi,
37 Harris, Fashion Me A People, 110-111.
38 Harris, Fashion Me A People, 94-95.
12
meminimalisir kehancuran, dan pada akhirnya untuk mencapai sebuah keutuhan.39
4. Advokasi/Kerygma (Proklamasi)
Terdapat 3 bentuk kerygma menurut Harris, yakni; pertama, Alkitab sebagai Firman Allah, kedua teologi sebagai sebuah bentuk kercerdasan yang memiliki tujuan untuk memberikan makna-makna di dalam cerita Alkitab dan melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari. ketiga, khotbah yang tentu saja harus didengarkan oleh jemaat.40
5. Pelayanan Menyelesaikan Masalah (diakonia)
Harris membagi 2 elemen besar yakni, menahan elemen, seringkali terdapat pembatasan di dalam kurikulum ketika membicarakan mengenai diakonia. Bahwa, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melakukannya seperti pastor atau pelayanan pendidikan, padahal pelayanan diakonia juga merupakan tanggung jawab dari setiap orang Kristen. Kemudian, pembebasan eleman, bahwa pelayanan diakonia harus memiliki sikap melayani sebagai suatu ungkapan syukur seperti; ritual sosial, kepedulian sosial, dan pemberdayaan sosial dan UU. 41
2.3. Teori Teknologi Digital dalam PAK Menurut Israel Diaz
Diaz melakukan penelitiannya di sekolah menengah Khatolik, Florida Selatan.
Penelitiannya ini bertujuan untuk membahas bagaimana integrasi teknologi digital yang ada di dalam PAK di sekolah menengah Khatolik memajukan penginjilan dalam Kerajaan Allah dan mau melihat bagaimana pembebasan yang ditawarkan oleh kerajaan Allah di dalam pribadi manusia.42 Teori Diaz ini juga berangkat dari pemahaman Thomas Groome untuk melihat janji teknologi digital dapat meluas ke pendidikan agama Kristen, maka Groome memberikan 2 tugas yang penting. Pertama,
39 Harris, Fashion Me A People, 75.
40 Harris, Fashion Me A People, 131-134.
41 Harris, Fashion Me A People, 145-148.
42 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 3.
13
membuat cerita dan visi Kristen dapat diakses. Menurut McLuhan teknologi adalah media perpanjangan dari diri kita sendiri. Contohnya, penggunaan teropong yang merupakan perpanjangan dari mata kita dan penggunaan kursi roda perpanjangan dari kaki kita. Pada akhirnya, menurut McLuhan teknologi elektronik merupakan perpanjangan dari otak manusia. Melihat hasil survey yang dilakukan, dapat menjelaskan bahwa siswa mengakui dengan adanya teknologi digital dapat membantu mereka untuk memperluas kapasitas mereka sendiri untuk belajar. Dengan metode ini, teknologi digital memperluas segala akses ke sumber daya yang dapat membangun pembelajaran dari setiap siswa dan bahkan keyakinan beragama mereka.
Kedua, dengan metode membawa anggota baru untuk masuk ke dalam instruksi doktrinal dan membuat anggota yang sudah mapan untuk memperluas pemahaman mereka. Contohnya, bahwa fakultas teologi berbincang mengenai fungsi dan peran video di dalam memperdalami pelajaran siswa tentang pengajaran doktrin dengan cara yang kreatif dan yang dapat mengubah hidup mereka. Pada akhirnya menurut survey, siswa melaporkan bahwa teknologi digital dapat memperkuat segala pembelajaran yang ada di dalam kelas.43 Selain 2 janji ini, ternyata terdapat kekhawatiran mengenai penggunaan teknologi digital untuk mendukung pendidikan agama kristen sebagai suatu penginjilan. Oleh sebab itu, dibutuhkan misi untuk melaksanakan penginjilan yang berakar dari perjumpaan kasih Allah. Melihat hal tersebut, terdapat 2 tugas dari pendidikan agama Kristen. Pertama, membangun hubungan antara Tuhan, persahabatan dan keluarga. Menurut survey, ternyata hanya sedikit siswa yang dapat melihat teknologi digital ini sebagai suaru sarana atau media untuk mempraktikkan iman mereka dengan selalu bertindak adil di dalam hubungannya dengan Tuhan, orang lain, diri sendiri. Dengan demikian, dapat menimbulkan pertanyaan sejauh mana atau seefektif apa teknologi digital dapat memediasi perjumpaan seseorang dengan kasih Allah di dalam Kristus.44
43 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 10.
44 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 10.
14
Kedua, pendidikan agama Kristen dapat membawa umat Allah dengan apa yang mereka yakini dan bagaimana mereka terlibat di dunia. Hasil survey menunjukkan kekhawatiran karena, hanya setengah siswa yang berpendapat bahwa teknologi digital dapat membantu mereka untuk berpikir kritis dan hanya 36% siswa yang berpendapat teknologi digital mampu membuat mereka berpikir kritis tentang keyakinan agama dan sosial mereka. Selain itu, ternyata terdapat kekhawatiran karena teknologi digital bisa saja menjadi alat suatu penindasan dan dehumanisasi. Bahkan, terdapat 64% siswa yang mengaku bahwa teknologi digital dapat membentuk siswa memandang diri mereka sendiri, orang lain, dan masalah tersebut dan meskipun memang terdapat hal yang positif dalam penggunaan teknologi digital tetap saja terdapat kekhawatiran ketika hal tersebut dijadikan sebagai sebuah budaya. Oleh sebab itu, penggunaan teknologi digital yang tidak kontemplatif di dalam pendidikan agama Kristen, bisa menghambat jalannya penginjilan dan menimbulkan dehumanisasi yang menyebabkan struktur sosial yang tidak adil.45
Melihat hasil dari penelitiannya, Diaz mengusulkan untuk mengadakan praktik reflektif dialog kenabian untuk menghindari kekhawatiran-kekhawatiran yang ada.
Praktik reflektif dialog kenabian ini juga sebagai praktik misi dewasa. Misi yang dimaksud bukan hanya melakukan suatu hal untuk seseorang, tetapi berada dengan setiap orang yang mendengarkan dan mau berbagi dengan mereka.46 Dialog kenabian bisa menghasilkan tujuan dari pendidikan agama Kristen karena menyatukan pendidik agama untuk terlibat langsung di dalam dialog dengan suatu suasana saat misi sedang berlangsung, contohnya adalah integrasi teknologi digital di dalam pendidikan agama kristen. Oleh sebab itu, seorang pendidik harus hadir dan aktif mendengarkan bagaimana kegunaan suatu perangkat digital, konsekuensi dari penggunaannya, dan melihat pola atau skrip yang digunakan oleh perangkat digital.47 Dengan adanya dialog
45 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 11-12.
46 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 12.
47 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 13.
15
ini, para pendidik agama Kristen dapat memunculkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang menimbulkan tanggapan kenabian yang dapat mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah melalui penggunaan, konsekuensi, dan skrip teknologi digital. Pada akhirnya, pendidikan agama Kristen membutuhkan integrasi teknologi digital jika ingin melakukan penginjilan lebih jauh untuk dijangkau oleh orang-orang.48
2.4. Pendekatan Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai hubungan antar manusia di dalam kelompoknya dan bagian struktur sosial. Manusia merupakan makhluk sosial, yang artinya tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain. jadi, di dalam ilmu sosiologi ini menerapkan mengenai hubungan antar manusia yang satu dengan yang lainnya dan susunan unit dari masyarakat tersebut di suatu daerah dan keterkaitannya dengan yang lainnya. Sosiologi juga dibutuhkan di dalam dunia pendidikan dikarenakan konsep dan teorinya yang dapat memberikan arahan kepada para guru mengenai bagaimana seharusnya mereka bisa mengajar dan membina siswa, supaya mereka memiliki kebiasaan yang akrab dan harmonis untuk bersahabat dengan temannya yang lain. Sosiologi dan sosiologi pendidikan keduanya saling berkaitan, sosiologi dapat memberikan bantuan pendidikan di dalam wujud sosiologi pendidikan.
Oleh sebab itu, sosiologi ini memiliki peran yang sangat penting di dalam dunia pendidikan sebagai suatu acuan atau dasar untuk mencapai tujuan pendidikan.
Landasan sosiologi pendidikan adalah dasar atau suatu acuan yang dapat dijadikan sebagai acuan di dalam mencapai tujuan pendidikan yang bersumber dari sosiologis.49
Definisi sosiologi pendidikan menurut salah satu pakar sosiologi yaitu H. P.
Fairchild bahwa sosiologi diterapkan agar dapat memecahkan permasalahan pendidikan yang fundamental. Kemudian, menurut Prof. Dr. S. Nasution bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang berusaha agar dapat mengetahui suatu cara untuk
48 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 14.
49 Syatriadin “Landasan Sosiologi Dalam Pendidikan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, Vol.
1, No. 2 (2017): 101.
16
mengendalikan proses pendidikan agar dapat mengembangkan kepribadian menjadi lebih baik. Kajian sosiologi pendidikan ini menekankan tentang implikasi dan akibat sosial dari suatu pendidikan dan dapat memandang setiap permasalahan yang ada di dalam pendidikan dari sudut lingkup sosial kebudayaan, politik, bahkan ekonominya bagi masyarakat.50
Penelitian ini membutuhkan pendekatan sosiologi untuk melihat permasalahan sosial yang terjadi di dalam lingkup gereja mengenai kurangnya relasi antara adik-adik layan yang ada dengan temannya bahkan hubungannya dengan kakak layan sekolah minggu dikarenakan lebih mementingkan gadgetnya. Kecanduan terhadap teknologi digital ini dapat membuat anak menjadi akrab dengan gadget mereka sehingga, dapat menyebabkan tumbuh kembang anak tidak optimal dikarenakan keseringan duduk terlalu lama karena bermain gadget, pertumbuhan anak akan sulit berbicara dengan jelas dikarenakan keseringan menonton film kartun dan tidak terjadi komunikasi secara verbal dengan orang lain, bisa menyebabkan anak menjadi agresif, kurang minat untuk belajar, dan anak akan menyebabkan kecanduan terhadap gadgetnya. Selain itu, perkembangan sosial dari anak tersebut akan terganggung juga. Anak akan menjadi seorang yang mementingkan dirinya sendiri sehngga akan sulit untuk berinteraksi atau beradaptasi dengan temannya yang lain. Kemudian, anak akan sulit mengenal beberapa nuansa perasaan manusia.51
2.5. Pendekatan Pedagogis
Secara etimologi, istilah pedagogis berasal dari bahasa Yunani yaitu peados artinya seorang anak laki-laki dan egogos artinya membimbing, mengantar. Jadi, secara harfiah pedagogis adalah pembantu anak laki-laki yang memiliki pekerjaan untuk mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Selanjutnya, secara kiasan pedagogis merupakan seorang ahli yang dapat membimbing anak-anak ke arah atau tujuan
50 Suhada “Sosiologi Pendidikan Dalam Pembentukan Karakter,” Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, Vol. 3, No. 1 (2020): 115.
51 Syafa’atun Nahriyah “Tumbuh Kembang Anak Di Era Digital,” Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 4, No. 1 (2018): 71.
17
tertentu, supaya mereka bisa merampungkan masalah mereka secara mandiri. Jadi, istilah pedagogis yaitu sebagai suatu ilmu pendidikan anak. Martinus Jan Langveld membedakan antara istilah pedagogis dan pedagogi. Istilah pedagogis dapat diartikan sebagai suatu ilmu pendidikan yang menitikberatkan kepada pemikiran bagaimana cara kita untuk bisa membimbing anak dan perenenungan mengenai pendidikan.
Sedangkan, istilah pedagogi yakni pendidikan yang lebih menitikberatkan kepada praktek mengenai kegiatan mendidik, dan membimbing anak. Oleh sebab itu, pedagogis adalah suatu landasan teori yang lebih bersifat kritis, teliti, dan objektif dalam mengembangkan suatu konsep mengenai hakekat manusia, hakekat pendidikan dan prosesnya, dan hakekat anak.52
Hogeveld berpendapar bahwa mendidik merupakan cara agar dapat membantu anak untuk bisa menjadi cakap dan menyelesaikan tugas di hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri pula.53 Kemudian, S. Brojonegoro berpendapat juga bahwa mendidik adalah sebagai cara untuk memberikan suatu tuntunan terhadap manusia yang belum matang atau dewasa di dalam setiap pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga bisa mencapai kedewasaan secara rohani maupun jasmani.54 Selanjutnya, menurut bapak pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara, mendidik merupakan cara untuk menuntun semua kekuatan kodrat yang terdapat di dalam diri anak-anak supaya mereka sebagai manusia dan anggota di dalam masyarakat dapat mencapai suatu keselamatan dan suatu kebahagiaan setinggi-tingginya. Berdasarkan pemaparan di atas, maka pedagogis pembahasannya hanya terbatas mengenai anak sehingga, objek dari pedagogis adalah hubungan atau pergaulan pendidikan antara seorang dewasa dengan anak yang belum dewasa. Oleh sebab itu, proses pendidikan menurut landasan pedagogis adalah bermula sejak seorang anak lahir sampai anak tersebut sudah
52 Windy Wonmaly “Analisis Struktur Genetic dan Aspek Pedagogis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah,” Jurnal Literasi, Vol. 3, No, 1 (2019): 53.
53 Wonmaly “Analisis Struktur Genetic dan Aspek Pedagogis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah,” 53.
54 Wonmaly “Analisis Struktur Genetic dan Aspek Pedagogis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah,” 53.
18
mencapai orang dewasa.55 Oleh sebab itu penelitian ini, membutuhkan kajian pedagogis sebagai landasan kepada kakak layan agar dapat membimbing dan membina para adik layan dalam menggunakan teknologi digital yang ada secara bijaksana.
3. Pembahasan dan Analisis
3.1. Sejarah Pelkat Pelayanan Anak (PA) GPIB Tamansari Salatiga
GPIB Tamansari Salatiga memiliki bidang pelayanan kategorial (Pelkat) yang terdiri dari 6 PelKat yaitu; PA (Pelayanan Anak), PT (Persekutuan Teruna), GP (Gerakan Pemuda), PKP (Persekutuan Kaum Perempuan), PKB (Persekutuan Kaum Bapak), dan PKLU (Persekutuan Kaum Lanjut Usia). Titik fokus penelitian ini terdapat di PelKat Pelayanan Anak (PA), oleh sebab itu penulis akan menguraikan secara singkat sejarah berkembangnya PA di GPIB Tamansari. GPIB Tamansari Salatiga sendiri terbentuk pada tanggal 15 Februari 1956.56 Pada awal terbentuknya GPIB Tamansari Salatiga, istilah Pelayanan Anak belum ada karena pada saat itu dikenal dengan istilah KA (Kebaktian Anak-Anak). Setelah hampir 2 tahun, kemudian pada tahun 1958 kebaktian anak-anak mulai dilaksanakan secara teratur dibawah naungan dari Ny. Martodirjo dan Ny. Poerba. Setelah itu, kebaktian anak-anak semakin berkembang lalu diadakanlah sekolah minggu yang bertempat di rumah keluarga Alex Malisa yang terletak di Tangsi Pasar Sapi. Setiap harinya jumlah anak-anak yang mengikuti kebaktian semakin banyak, kemudian ditambahlah guru sekolah minggu yang merupakan para pemuda GPIB Tamansari Salatiga. Kebanyakan dari mereka merupakan seorang mahasiswa UKSW. Pada tahun 1962, para pemuda sangat aktif di dalam pelayanannya sebagai pengajar atau guru sekolah minggu. Kemudian, pada tahun 1964 telah ditetapkan bahwa kebaktian anak-anak seutuhnya telah menjadi tanggung jawab dari pemuda atau Gerakan Pemuda (GP) GPIB Tamansari Salatiga.57
55 Wonmaly “Analisis Struktur Genetic dan Aspek Pedagogis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah,” 53.
56 Joel Ch. Zacharias dkk. GPIB Tamansari Salatiga Menuju Jemaat Misioner (1956-2010) (Salatiga: Widya Sari Press, 2012), 23.
57 Zacharias dkk. GPIB Tamansari Salatiga Menuju Jemaat Misioner (1956-2010), 29.
19
Pada saat GPIB Tamansari belum ada pendeta tetap, kegiatan Kebaktian Anak- Anak tetapi dilaksanakan setiap 1 minggu sekali. Peribadahan itu tetap berlangsung, dikarenakan antusiasme dari warga jemaat dan Majelis Jemaat yang turut serta melakukannya. Pada tahun 1968, terbentuklah Tim Perkabaran Injil (TPI) yang diketuai oleh Jan Takaria. TPI mengawali penginjilannya dengan mengadakan sekolah minggu yang bertempat di keluarga Soejadi dan kemudian 52 anak dibaptis oleh Pdt.
G. Dykema. Kemudian, dengan kedatangan pendeta tersebut sekolah minggu yang awalnya diadakan hanya di gereja kemudian berganti ke rumah-rumah jemaat.58 Seiring berkembangnya jemaat, Kebaktian Anak-anak mulai tergantikan dengan Pelayanan Anak. Kebaktian PA ini dilaksanakan di gereja pukul 08.00/09.00 WIB kecuali pospel Kembangsari melaksanakan ibadah 2 kali pada hari Minggu. Sebelum diadakannya ibadah PA, akan dilaksanakan persiapan yang dipimpin oleh pendeta dan anggota majelis Jemaat secara bergantian setiap hari sabtu. Pada tahun 2005, pelayanan anak di GPIB Tamansari Salatiga mengalami perkembangan yang begitu pesat. Oleh sebab itu, PA dibagi menjadi 3 kelas berdasarkan usia; kelas indri yang berusia dibawah 3 tahun, kelas anak yang berusia 4-5 tahun, dan kelas tanggung usia anak SD. Sebagian besar pelayanan dilakukan oleh mahasiswa, kendalanya adalah ketika para mahasiswa pergi berlibur maka kekurangan pelayan PA. 59
3.2. Kurikulum PelKat PA GPIB Tamansari Salatiga
Di GPIB selain kurikulum yang ada di dalam katekisasi, ada juga kurikulum untuk semua Pelayanan Kategorial (Pelkat) dari PA (Pelayanan Anak) sampai ke PKLU (Persekutuan Kaum Lanjut Usia). PelKat PA sendiri, selalu diberikan pertahun dalam bentuk buku yaitu SBA (Sabda Bina Anak) yang juga sebagai kurikulum di dalam PA GPIB Tamansari Salatiga. Kurikulum ini bertujuan untuk melihat apa yang mau dicapai dari suatu pembelajaran itu, anak-anak layan mau dibawa kemana, pemahaman mereka sehingga, ada kumpulan pembelajaran yang di ramu sedemikian rupa untuk sampai kepada tujuan. “Kurikulum merupakan mata pelajaran yang akan
58 Zacharias dkk. GPIB Tamansari Salatiga Menuju Jemaat Misioner (1956-2010), 33.
59 Zacharias dkk. GPIB Tamansari Salatiga Menuju Jemaat Misioner (1956-2010), 112-113.
20
diberikan kepada warga gereja khususnya untuk suatu tujuan pembekalan bagi mereka supaya nantinya mengetahui iman percaya mereka” Ucap Pdt. Steven Bell-Oruh.60 Sedangkan, menurut ketua Pelkat PA GPIB Tamansari Salatiga yaitu Marcel Letlora berpendapat bahwa “kurikulum adalah bagaimana caranya agar kita sebagai kakak layan terarah dalam mengajarkan pengalaman iman kepada adik-adik layan yang melalui misalnya ayat-ayat alkitab dengan tema tertentu. Jadi, ada semacam khotbah tematik yang diarahkan ke dalam konteksnya adik layan.”61
Di dalam Pelkat PA GPIB Tamansari Salatiga terdapat persiapan sebelum melayani di ibadah hari minggu pelayanan anak (IHMPA). Persiapan selalu dilaksanakan di hari rabu pukul 19.00 WIB yang bertujuan untuk menjadi goal dari pembelajaran agar semua pelayan dan pendeta memiliki visi yang sama. Berkaitan dengan materi dan aktivitas yang akan dibawakan itu semua tercantum di dalam kurikulum dari sinode GPIB dalam bentuk buku yaitu sabda bina anak (SBA) kemudian bersama dengan pendeta membahasnya agar para kakak layan yang akan bertugas di dalam penyampaian Firman maupun aktivitas tidak melenceng dari garis yang sudah ditetapkan oleh gereja, tetapi hal ini juga bukan mau mengekang kreativitas dari para kakak layan sehingga pentingnya persiapan ini dilakukan. Terdapat beberapa langkah yang dilakukan saat persiapan berlangsung. Pertama, membahas mengenai konteks dari suatu kitab yang akan disampaikan. Kedua, membahas mengenai tafsiran dari kitab tersebut. Ketiga, setelah konteks dan tafsirannya telah rampung maka akan membahas mengenai aplikasinya.62
Beberapa langkah tersebut dilakukan agar para pelayan yang akan bertugas nantinya tidak menafsir semena-mena, pesan atau kerygma dari bacaan tersebut kemudian ditarik ke dalam paktek hidup sehari-hari bagi anak PA. Kemudian, setelah itu dibahas juga aktivitas apa yang akan disampaikan nantinya. Makanya, diperlukan
60 Hasil wawancara terhadap Pdt. Steven Bell-Oruh (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 28 Februari 2023, pukul 08. 56 WIB.
61 Hasil wawancara terhadap Marcel Letlora (Ketua PelKat PA GPIB Tamansari Salatiga), 24 Februari 2023, pukul 22.07 WIB.
62 Hasil wawancara terhadap Pdt. Steven Bell-Oruh (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 28 Februari 2023, pukul 08. 56 WIB.
21
dialog antara para kakak layan kreativitas apa yang akan mereka bawakan yang sesuai dengan bacaannya pada saat itu.63 Selain dengan diadakannya persiapan, kita bisa mempersiapkan diri sendiri dengan melihat SBA yang ada. Misalnya, kita bertugas di kelas bayi tiga tahu (kelas batita) dan bayi lima tahun (kelas balita), atau kelas kecil kita bisa berfikir bagaimana cara penyampaian kita ke adik-adik sesuai dengan kelas mereka. Kita bisa menyesuaikan bahasa yang akan kita gunakan, bahasa yang tidak terlalu sulit dan mudah dimengerti. Selain itu, setelah mendengarkan firman Tuhan kita memikirkan jenis aktivitas apa yang akan kita bawakan nantinya.64
3.3. Penerapan Kurikulum PA GPIB Tamansari di Era Digital
Ketika berbicara mengenai penerapan kurikulum tentu saja tidak terlepas dari metode dan media yang digunakan sesuai dengan era digital saat ini. Di GPIB Tamansari sendiri, saat menentukan penerapan dari materi yang dibawakan atau biasa disebut aktivitas menjadi sebuah pergumulan tersendiri karena kreativitas itu sulit ditemukan. Biasanya, aktivitasnya berupa gerakan-gerakan atau menulis dan perlu diketahui bahwa setiap kategori memiliki kapasitasnya masing-masing. Jadi, kalau semisal adik layan yang berada di kelas batita-balita diberikanlah gambar-gambar atau saat penyampaian firman bisa memakai alat peraga bisa jadi panggung boneka kecil- kecilan. Kemudian, jika kelas kecil bisa menggunakan gerakan-gerakan atau aktivitas dari origami dan kelas tanggung bisa dengan menulis mengenai apa yang mereka pahami dari pembacaan pada saat itu. Semua aktivitas tersebut harus mencerminkan atau menunjukkan apa yang mau disampaikan Firman Tuhan melalui aktivitas tersebut.65
Sebenarnya aktivitas yang sementara berjalan ini bisa dikatakan lumayan baik.
Hanya saja, alangkah baiknya jika diadakan pertemuan dari setiap kakak layan yang
63 Hasil wawancara terhadap Pdt. Steven Bell-Oruh (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 28 Februari 2023, pukul. 08.56 WIB.
64 Hasil wawancara terhadap Omega Lambulalo (Sekertaris PA GPIB Tamansari Salatiga), 24Februari 2023, Pukul 17.44 WIB.
65 Hasil wawancara terhadap Marcel Letlora (Ketua PelKat PA GPIB Tamansari Salatiga), 24 Februari 2023, pukul 22.07 WIB.
22
akan bertugas tiap bulannya dilakukan satu kali untuk membahas mengenai aktivitas apa yang akan dibawakan, atau yang sudah dan belum dilakukan, terus mana yang berhasil mana yang tidak, dan melihat respon dari adik-adik saat melakukan aktivitas tersebut. Contohnya, aktivitas mewarnai atau menyusun puzzle itu sudah sangat sering dilakukan secara berulang sehingga membuat adik-adik layan merasa bosan.
Diperlukan aktivitas yang menggunakan fisik seperti aktivitas-aktivitas di saat hari besar yaitu HUT PA ketika adik-adik balita-batita bermain bola, kelas kecil dan tanggung menyusun kata-kata alkitab yang membutuhkan kerja sama. Jika kita membiasakan adik-adik dengan melakukan aktivitas seperti itu, maka kedepannya jika ada event PA nanti mungkin yang dilakukan oleh MUPEL-Jateng bisa mengikutinya karena selama ini kita tidak pernah mengikuti event seperti itu. Dilain sisi, melakukan variasi aktivitas tersebut agar adik-adik layan tidak merasa bosan dan lebih aktif.66
Kemudian, penerapan media di dalam pelkat PA GPIB Tamansari kita bisa melihat ada penggunaan media powerpoint apalagi ketika masa pandemi melalui zoom bahkan sekarang sudah beribadah tatap muka masih menggunakannya. Selanjutnya penggunaan media youtube dengan memperlihatkan beberapa video-video singkat yang biasa digunakan kakak layan di dalam penyampaian firman Tuhan.67 Kemudian, penggunaan media sosial seperti instagram untuk melihat update setiap pelayanan dan whatsapp untuk memberitahukan info-info ke dalam grup orangtua mengenai peribadahan pelkat PA.68 selain itu, bisa juga dengan penggunaan media online seperti zoom atau google meet yang dapat memungkinkan rencana-rencana pembelajaran atau kurikulum itu dapat tercapai.69 Ketika sudah mulai menggunakan media-media tersebut, kita tidak boleh melupakan media yang dulu pernah ada maka. dibutuhkan juga yang namanya selang-seling dalam penggunaan media yang relevan di era digital.
66 Hasil wawancara terhadap Sandra Manuputty (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, pukul 17.23 WIB.
67 Hasil wawancara terhadap Omega Lambulalo (Sekertaris PA GPIB Tamansari Salatiga), 24Februari 2023, Pukul 17.44 WIB.
68 Hasil wawancara terhadap Immanuel Tehusalawany (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, Pukul 17.55 WIB.
69 Hasil wawancara terhadap Pdt. Deasy Wattimena-Kalalo (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 11 Maret 2023, Pukul 19.29 WIB.
23
Misalnya, di minggu pertama menggunakan media digital seperti gambar-gambar yang dimasukkan ke dalam powerpoint dan minggu selanjutnya menggunakan media yang sekreatif mungkin selain menggunakan media digital. Kemungkinan, bagi beberapa adik layan ada yang mulai merasa bosan karena sudah akrab dengan media digital seperti penggunaan video-video atau gambar. Oleh sebab itu. dibutuhkan variasi di dalam setiap penggunaan media digital di PA GPIB Tamansari.70
Di kurikulum pelkat PA GPIB Tamansari tentu saja terlepas dari sinodenya yakni GPIB karena materi kurikulumnya general dari sinode. Di awal pandemi belum ada pembaharuan mengenai kurikulum yang relevan di era digital, tetapi setelah pandemi berjalan dibuku materi atau SBA (Sabda Bina Anak) sudah mulai disesuaikan dengan era yang menggunakan zoom. Misalnya, dulu sebelum pandemi aktivitasnya masih mewarnai dengan menggunakan kertas tetapi sekarang ada dimana alat peraganya memperlihatkan video-video singkat.71 Hanya saja, di kurikulum PA GPIB Tamansari masih belum maksimal dalam penerapannya menyikapi era digital.
Sebenarnya, di beberapa kali peribadahan ada peringatan contohnya untuk tidak menggunakan gadget selama peribadahan berlangsung. Di dalam penyampaian Firman Tuhan kepada adik-adik juga tidak bisa asal-asalan memasukkan konteks era digital di dalamnya. Selain penyampaiannya, aplikasi yang digunakan juga harus sesuai.
Makanya, kurikulum itu selalu berdasarkan kepada usia, di PA GPIB Tamansari terdapat beberapa kelas dari kelas batita-balita tentu saja mereka belum bisa memahami era digital karena masih dalam tahap pengenalan mengenai Kristus. Berbeda dengan kelas kecil dan tanggung yang sudah membiasakan diri dengan penggunaan gadget sehingga mereka sudah bisa memahami konteks era digital. Jadi, pergumulannya adalah kakak layan dalam penyampaiannya, adik layan dalam menerimanya, dan bukan
70 Hasil wawancara terhadap Sandra Manuputty (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, Pukul 17.23 WIB.
71 Hasil wawancara terhadap Omega Lambulalo (Sekertaris PA GPIB Tamansari Salatiga), 24Februari 2023, Pukul 17.44 WIB.
24
kurikulumnya tetapi lebih ke arah tema-tema tertentu yang dapat dimasukkan ke dalam konteks era digital.72
Persoalan lainnya adalah mengenai adik layan yang gaptek dengan penggunaan teknologi. Pada masa pandemi yang masih menggunakan zoom, ada beberapa adik layan yang belum bisa menggunakan zoom. Mereka bingung bagaimana caranya join menggunakan link, atau cara mengaktifkan kamera dan mic juga masih bingung.73 Mengenai judul-judul yang kurang nyambung jika dikaitkan ke dalam dunia digital dan beberapa tema yang selalu berulang. Misalnya, beberapa waktu lalu temanya kasih- Nya membuatku mengasihi dan minggu selanjutkan aku mau mengasihi sehingga terjadi makna yang sama di beberapa tema.74 Selanjutnya, dikatakan belum maksimal juga dikarenakan mungkin masih terdapat beberapa kendala yang ada di dalamnya mungkin media yang digunakan. Di GPIB Tamansari sendiri, belum ada tim yang secara khusus mengatur semua media teknologi yang ada. Tetapi, kedepannya GPIB Tamansari akan menghidupkan khususnya ketua 5 berusaha untuk membentuk tim untuk mengelola chanel youtube GPIB Tamansari Salatiga yang bertujuan sebagai media pembinaan warga jemaat. Sehingga, dalam waktu dekat chanel tersebut sudah bisa diakses untuk semua tingkatan umur.75
3.4. Analisis SBA (Sabda Bina Anak) Selama Tahun 2020-2022
Setelah membaca dan melihat SBA di tahun 2020-2022 untuk mendukung penerapan kurikulum yang ada di PA GPIB Tamansari, maka penulis menemukan bahwa materi pembelajaran selama tahun 2020 yakni tahun dimana masa pandemi COVID-19 berlangsung dan peribadahan mulai diadakan melalui zoom dan youtube hanya terdapat 1 tema yang menyangkut era digital yaitu pada Minggu, 30 Agustus
72 Hasil wawancara terhadap Marcel Letlora (Ketua PelKat PA GPIB Tamansari Salatiga), 24 Februari 2023, pukul 22.07 WIB.
73 Hasil wawancara terhadap Olivia Fridaram (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, pukul 18.45 WIB.
74 Hasil wawancara terhadap Sandra Manuputty (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, Pukul 17.23 WIB.
75 Hasil wawancara terhadap Pdt. Steven Bell-Oruh (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 28 Februari 2023, pukul 08.56 WIB.
25
2020 di SBA kelas tanggung dengan tema “Karyaku Di Era Digital” dan dikelas kecil dengan tema “Aku di Era Digital”. Penerapan bagi anak-anak sekolah minggu yang ingin dicapai yaitu mengajak anak layan menyadari bahwa dirinya sejak awal dianugerahkan akal budi untuk dapat menghasilkan berbagai karya yang ada di dunia.
Namun, karya yang dihasilkan dapat mendatangkan kebaikan atau tidak itu tergantung dari cara adik layan menjalankannya. Contohnya, dengan berkembangnya digitalisasi maka semua tugas anak sekolah minggu harus dituntut kreatif dalam mencari informasi di internet melalui gadget atau PC. Namun, ketika digitalisasi tidak disertai dengan hikmat Tuhan, maka akan menjadi penyalahgunaan contohnya bisa bermain gadget berjam-jam dan itu tidak baik bagi kesehatan adik layan.76
Jika dianalisis hanya terdapat 1 tema yang menyangkut era digital, tetapi ada 2 tema yang penerapannya atau aktivitas hendak dibawakan dengan mengandung digitalisasi. Contohnya, pada Minggu, 6 September 2020 dengan judul tema “Aku Bersemangat karena Tuhan Memulihkanku” di dalam TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) pada nomor 2 hendak memberikan saran yaitu mendiskusikan pembelajaran dari lirik lagu atau video bully yang dinyanyikan Naura dalam rangka implementasi cerita.77 Selanjutnya, pada Minggu, 18 April 2021 dengan tema utama “Memberitakan Tuhan Yesus Adalah Ketaatan Kepada Allah” di dalam TPK nomor 4 yaitu aktivitas yang akan dibawakan yakni adik layan diminta untuk membuat kesimpulan renungan tentang ketaatan dalam bentuk gambar, puisi, rekaman video.78 Melihat 2 hal diatas, maka penerapan kurikulum yang mengandung media digitalisasi ada tetapi masih belum maksimal dikarenakan setelah pasca covid-19 yakni pada tahun 2022 tidak ada tema atau penerapan yang menyangkut dengan era digital. Oleh sebab itu, maka SBA tahun 2020-2022 hanya menampilkan 1 tema utama terkait era digital dan 2 penerapan atau aktivitas dengan penggunaan teknologi digital.
76 Boydo Rajiv E. D. Hutagalung, dkk., Sabda Bina Anak (AT dan AK) (Jakarta: Penerbitan GPIB, 2020), 22.
77 Hutagalung, dkk., Sabda Bina Anak (AT dan AK), 26.
78 Yessy Anggraini Hutapea, dkk., Sabda Bina Anak (AT dan AK) (Jakarta: Penerbitan GPIB, 2021), 9.
26
3.5. Analisis Sosio-Pedagogis terhadap Penerapan Kurikulum PA GPIB Tamansari di Era Digital menurut Teori Maria Harris
Penerapan Kurikulum di PA GPIB Tamansari dilihat melalui kajian sosio- pedagogis menurut teori Maria Harris ternyata belum maksimal dikarenakan meskipun terdapat sosialisasi penerapan kurikulum tetapi untuk merujuk ke dalam era digital belum ada. Harris berpendapat terdapat 5 aspek pelayanan di dalam gereja yang menjadi tempat pendidikan atau kurikulum itu berlangsung. Penulis sudah menjabarkannya di bab sebelumnya, yaitu pelayanan pengajaran (didache), liturgi, persekutuan (koinonia), advokasi/kerygma (proklamasi), dan pelayanan menyelesaikan masalah (diakonia). Berdasarkan kelima aspek tersebut, penulis menganalisis ternyata tidak semua aspek yang Harris utarakan yakni mengenai pendidikan atau kurikulum berlaku di dalam PA GPIB Tamansari Salatiga.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sejalan dengan apa yang Harris katakan mengenai 5 aspek terkhusus di aspek yang pertama yaitu pelayanan pengajaran (didache). Di dalam aspek ini, Harris menjelaskan bahwa kurikulum di dalam gereja itu merujuk kepada kurikulum pengajaran. Apa saja pengetahuan yang akan diajarkan dan bagaimana proses dari setiap ajarannya/pengajaran itu didapatkan bisa dengan melalui katekisasi dan khotbah.79 Selaras dengan penjelasan dari Pdt. Steven Bell-Oruh dan Marcel Letlora bahwa kurikulum di dalam PA GPIB Tamansari sebagai suatu kurikulum pengajaran dari kakak layan untuk adik-adik layan. Di dalam kurikulum PA GPIB Tamansari akan melihat mata pelajaran atau kalau di dalam SBA (Sabda Bina Anak) apa saja TPK (Tujuan Pembelajaran Khsuus) yang akan dicapai dan bagaimana caranya kakak layan mengajarkan pengalaman iman kepada adik layan melalui TPK yang sesuai dengan tema pada saat itu.80
Persekutuan (diakonia) merupakan aspek ketiga menurut Harris bahwa di dalamnya menjelaskan ketika membuat kurikulum sangat dibutuhkan pendekatan yang memfokuskan kepada sentuhan kasih orang-orang atau menggunakan sentuhan
79 Harris, Fashion Me A People, 110-111.
80 Hutapea, dkk., Sabda Bina Anak (AT dan AK), 4.
27
sosial.81 Di dalam penerapan kurikulum PA GPIB Tamansari para kakak layan sudah menerapkan sentuhan kasih kepada adik-adik layan dengan melihat ketika ada adik layan yang menyendiri selama beribadah disitu kakak layan akan hadir. Peralihan dari ibadah tersebut ternyata membawa dampak bagi beberapa adik layan. Ada yang mulai menyendiri dikarenakan sudah terlalu lama beribadah dirumah dan tidak bertemu dengan teman-temannya.82 Dengan demikian, dibutuhkan pendekatan sosiologi untuk membuat adik layan tersebut bisa membaur atau berelasi dengan teman-temanya yang lain. Pergumulan juga bagi kakak layan untuk menghadapi adik layan yang seperti ini.
Oleh sebab itu, peran kakak layan sangat penting agar membuat adik layan merasa tidak sendirian selam peribadahan berlangsung.
Di dalam aspek keempat yaitu advokasi/kerygma bahwa menurut Harris pelaksanaan kurikulum di dalam gereja harus melihat kepada Alkitab itu sendiri sebagai Firman Allah, teologi sebagai bentuk kecerdasan memaknai cerita Alkitab dan khotbah yang didengarkan jemaat.83 Pernyataan Harris ini, sejalan dengan penyampaian dari Pdt. Steven Bell-Oruh bahwa beliau berkata untuk membuat suatu kurikulum terdapat langkah-langkah yang diperlukan. Salah satunya adalah dengan melihat pesan atau kerygma dari bacaan yang sudah ditetapkan kemudian ditarik ke dalam paktek hidup sehari-hari dalam konteks hidup adik layan PA.84 Kemudian, dengan menggunakan berbagai perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus, cerita- cerita dari nabi-nabi besar, atau kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab. Contohnya, penerapan kurikulum itu bisa dengan mendongeng kisah mengenai nabi Yunus. Jadi, adik-adik tahu bahwa nabi Yunus ditelan ikan besar karena dia nakal, tetapi Tuhan memaafkannya jadi dia menuruti perintah Tuhan dan menjalani kehendak Tuhan.85
81 Harris, Fashion Me A People, 12.
82 Hasil wawancara terhadap Olivia Fridaram (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, pukul 18.45 WIB.
83 Harris, Fashion Me A People, 131-134.
84 Hasil wawancara terhadap Pdt. Steven Bell-Oruh (Pendeta GPIB Tamansari Salatiga), 28 Februari 2023, pukul 08.56 WIB.
85 Hasil wawancara terhadap Sandra Manuputty (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, Pukul 17.23 WIB.
28
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat ternyata kurikulum yang berlangsung di dalam gereja menurut Harris dengan 5 aspeknya tidak semuanya ada di dalam penerapan kurikulum di PA GPIB Tamansari Salatiga. Hanya terdapat 3 aspek yakni, pelayanan pengajaran (didhace), persekutuan (koinonia), dan advokasi/kerygma (proklamasi) yang ada di dalam penerapan kurikulum di PA GPIB Tamansari dan 2 diantaranya yakni liturgi dan pelayanan menyelesaikan masalah (diakonia) belum ada.
Melalui hal tersebut, ternyata aspek pelayanan pengajaran (didhache) yang juga ada di dalam penerapan kurikulum PA GPIB Tamansari bisa menjadi suatu cara untuk mendidik adik-adik membangun iman mereka sejak dini. Kemudian, aspek persekutuan (diakonia) yang memberikan sentuhan sosial kepada adik layan dengan tidak membiarkan adik layan yang menyendiri sehingga peran kakak layan juga penting untuk menemani adik layan tersebut agar tidak merasa kesepian.
3.6. Analisis Sosio-Pedagogis terhadap Penerapan Kurikulum PA GPIB Tamansari di Era Digital menurut Teori Israel Diaz
Penerapan Kurikulum di PA GPIB Tamansari dilihat melalui kajian sosio- pedagogis menurut teori Israel Diaz ternyata belum berjalan dengan baik. Diaz memberikan pendapatnya bahwasannya terdapat beberapa kekhawatiran-kekhawatiran dalam penggunaan teknologi. Oleh sebab itu, Diaz mengusulkan untuk membuat suatu praktik reflektif dialog kenabian untuk menghindari hal tersebut. Dengan adanya dialog ini, para pendidik agama Kristen dapat memunculkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang menimbulkan tanggapan kenabian yang dapat mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah melalui penggunaan, konsekuensi, dan skrip teknologi digital.86 Di dalam penerapan kurikulum di GPIB Tamansari ternyata masih kurang maksimal dalam pengadaan dialog antar kakak layan untuk membahas mengenai isu-isu digitalisasi, hanya saja terdapat dialog yang sederhana yang dilakukan kakak layan kepada adik layan. Metode dialog yang dilakukan adalah dengan pertanyaan kepada adik layan contohnya penggunaan gadget apakah itu dibolehkan oleh orangtua atau
86 Diaz, “Considering the Efficacy of Digital Technology as a Means of Evangelization in Christian Religious Education,” 14.
29
tidak.87 Selanjutnya, dialog sederhana saat menjadi pelayan Firman dan Firman yang dibawakan sesuai dengan konteks digitalisasi sehingga terdapat dialog ketika kakak layan bisa memberitahukan kepada adik layan untuk menggunakan gadget atau perangkat teknologi digital lainnya dengan bijaksana agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal negatif penggunaan teknologi digital.88
Diaz juga mengatakan bahwa dengan adanya dialog kenabian ini bisa mewujudkan tujuan dari PAK karena dapat menyatukan para pendidik agama untuk terlibat langsung di dalam suatu dialog untuk membahas mengenai integrasi teknologi digital di dalam pendidikan agama Kristen.89 Oleh sebab itu, di dalam penerapan kurikulum PA GPIB Tamansari membutuhkan suatu dialog antar para kakak layan dengan pendeta dan majelis jemaat untuk membahas mengenai integrasi teknologi digital di dalam penerapan kurikulum tersebut. Pembinaan ini juga bukan hanya untuk kakak-kakak layan saja, tetapi bagi orangtua karena ibadah PA hanya dilaksanakan satu kali dalam seminggu jadi selama 6 hari tersebut kehidupan adik layan berada di rumah.
Jadi, orangtua juga seharusnya paham terkait tujuan gereja mengenai visi misi gereja dalam hal ini untuk memberikan pemahaman kepada adik layan terkait era digital dan baiknya terdapat tanya-jawab, parenting yang tepat dalam era ini bagaimana. Sehingga, sosialisasi kurikulum yang relevan di era digital itu dapat bertujuan untuk menimbulkan daya pikir terhadap era digital bagi kakak layan dan juga memberikan pemahaman mengenai visi gereja bahwasannya gereja mau mengajarkan mengenai dunia digital atau menganalisis pemahaman iman dunia luar seperti apa. Biasanya di GPIB dikenal dengan sebutan bersinergi, yaitu kerja sama supaya tingkat keberhasilan dalam pemahaman dan penyampaian untuk adik layan itu setidaknya 70% bisa tersampaikan dengan baik dan benar.90
87 Hasil wawancara terhadap Marcel Letlora (Ketua PelKat PA GPIB Tamansari Salatiga), 24 Februari 2023, pukul 22.07 WIB.
88 Hasil wawancara terhadap Olivia Fridaram (Kakak Layan PA GPIB Tamansari Salatiga), 26 Februari 2023, pukul 18.45 WIB.