• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Model Kemitraan Berbasis Komunitas Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada SMA Santu Xaverius Gunungsitoli-Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Model Kemitraan Berbasis Komunitas Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada SMA Santu Xaverius Gunungsitoli-Sumatera Utara"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Teknologi informasi digital abad ke-21 membawa perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan. Nilai-nilai kehidupan sosial dihadapkan pada satu pihak kemajuan, tapi di pihak lain besar pengaruh negatifnya (Saruji, 2020). Dalam situasi itu, sekolah sebagai sistem dan miniatur dari kelompok sosial yang lebih besar diharapkan hadir dan mengolah proses pembentukan sumber daya manusia bermutu dan berkualitas.

Sekolah diharapkan berperan sebagai penjaga keseimbangan nilai bagi peserta didik dan masyarakat melalui pengembangan diri, penyebaran budaya, pembauran sosial, serta inovasi baru.

Sekolah diharapkan bertransformasi positif mengungkapkan pengalamannya terhadap realitas sosial secara berkualitas.

Sekolah merupakan bagian dari sistem sosial organisasi pendidikan formal yang bertujuan menyusun dan menempatkan individu berdasarkan kewajiban, hak, dan tanggung jawab mereka demi tercapai tujuan bersama. Sekolah adalah lembaga

(2)

penting dalam masyarakat yang mengelola sistem pendidikan sesuai peraturan negara, dengan tujuan memenuhi kebutuhan pendidikan yang efektif dan bermutu. Menurut Juran dalam (Timor, 2018), mutu merupakan kesesuaian penggunaan produk dalam memenuhi harapan dan keinginan pelanggan, serta memberikan nilai yang diinginkan mereka.

Crosby dalam (Hoyer, 2001) memandang mutu sebagai kualitas produk dan layanan. Pengertian mutu mencakup kondisi yang sesuai harapan pelanggan bahkan melebihi harapan tersebut untuk mencapai kepuasan. Dalam perspektif Suryana (2020), tantangan dalam mencapai mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia dianggap sebuah permasalahan serius yang membutuhkan perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah, pemangku kepentingan, dan sekolah. Tantangan ini mencakup berbagai aspek yang mempengaruhi mutu dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Krismanda (2017) menyatakan bahwa sekolah beserta komponennya perlu menerapkan prinsip- prinsip manajemen peningkatan mutu. “Realitas sosial dan harapan di atas, menampakan upaya meningkatkan mutu pendidikan, mekanisme dan kinerja sekolah sangat dipengaruhi

(3)

oleh komponen internal dan eksternal yang perlu membangun kerjasama (kemitraan) sekolah” (Bozkuş, 2014; Greiff, 2016).

Namun upaya peningkatan mutu pendidikan dihadapkan pada persoalan komplek seperti pola kebijakan sistem pendidikan nasional yang dipandang kurang konsisten dan kompetensi lulusan (output) yang masih rendah (Afifah, 2017). Selain itu, penurunan moralitas anak, kurangnya etos kerja pendidik dan tenaga kependidikan, kurangnya kemampuan kepala sekolah dalam sistem manajerial sekolah, adanya anak usia dini dan remaja yang putus sekolah, tingginya jumlah pengangguran, serta rendahnya tingkat penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh pendidik dan tenaga kependidikan.

PISA (Programme for International Student Assessment), menjelaskan bahwa sistem pendidikan Indonesia ketertinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga Brunei dan Malaysia. Temuan ini menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum memadai. Perlu upaya peningkatan serius.

Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2020 mengevaluasi peringkat daya saing sumber daya manusia di ASEAN. Singapura menempati peringkat pertama dengan skor

(4)

78.48. Singapura berhasil mengembangkan sistem pendidikan berkualitas dan efektif. Malaysia mencapai skor 60.04, Brunei Darussalam 52.17. Indonesia urutan kelima dengan skor 41.81.

Gambar 1.1: Index Global Talent Competitiveness 2020

Angkotasan, (2021), mengemukakan bahwa rendahnya mutu pendidikan juga dipengaruhi terbatasnya sistem remunerasi, tata kelola sekolah untuk mewujudkan good governance. Masalah aktual turunnya mutu pendidikan saat ini dihubungkan dengan munculnya Covid-19 yang berdampak besar dalam proses pendidikan (Yudhistira, 2020). Pembelajaran tatap muka diganti pembelajaran online yang belum dikuasai sebagian besar komponen inti sekolah baik pendidik maupun peserta didik.

Faktor lain rendahnya mutu pendidikan adalah kurangnya pengembangan kemitraan (partnership) sekolah. Pola

(5)

pendampingan anak usia sekolah, belum menjadi perhatian semua pihak. Tampak belum ada kesamaan pemahaman antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Orang tua menyerahkan tanggung jawab pada sekolah (Farida, 2020). Sebaliknya sekolah enggan bekerja sama dengan orang tua dalam proses pendidikan anak.

Orang tua menjaga jarak karena alasan kesibukan, sekolah enggan membuka diri terhadap realitas sosial (Farida, 2020).

Singkatnya sekolah, keluarga dan masyarakat serta stakeholders belum memiliki kesamaan pandangan tentang peran yang saling menguntungkan.

Menurut Hoy (2001), sekolah sebagai suatu sistem sosial yang kompleks, memiliki empat elemen utama yang saling berinteraksi, yaitu struktur, individu, budaya, dan politik dengan pola perilakunya mempengaruhi proses pembelajaran. Keempat elemen tersebut berada dalam lingkungan tertentu, sehingga lingkungan juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi sekolah sebagai organisasi.

Sekolah sebagai organisasi sosial memiliki karakteristik khas dan tujuan spesifik. Relasi dan sinergi sosial terjadi dalam

(6)

konteks ini dan dipengaruhi oleh struktur, keberadaan anggota, budaya, politik, dan lingkungan. Pandangan Hoy memberi pencerahan bahwa sekolah perlu mengantarai orang tua, pemerintah dan komunitas eksternal lainnya untuk mengembangkan program kemitraan dan kerja sama sebagai satu solusi untuk mencapai tujuan pendidikan.

Di Indonesia, terkait dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), Standar Nasional Pendidikan, Sistem Pendidikan Nasional, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 19 Tahun 2007.

Sekolah diharapkan menjalin kerjasama dengan lembaga relevan dalam berbagai aspek pendidikan, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi. Kerja sama ini mencakup kolaborasi dalam hal input, proses, dan output pendidikan untuk meningkatkan kualitas

pendidikan. Hal ini tercermin dalam rincian delapan standar nasional pendidikan sebagai landasan meningkatkan mutu pendidikan yang didasarkan pada standar pelayanan minimum berprinsip Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS).

Upaya kolaboratif pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan

(7)

sekolah penting dalam menjalankan standar pelayanan dan menerapkan prinsip MBS agar menghasilkan pendidikan Indonesia yang lebih inklusif dan berkualitas menjawab tantangan global.

Menurut G.R. Terry, fungsi manajemen melibatkan tindakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Tujuannya untuk memastikan pencapaian program yang ditetapkan, sesuai sumber daya manusia dan sumber daya lain yang tersedia (Engkoswara, 2010). Menurut Doud J.L.

(1989), Asosiasi Kepala Sekolah Dasar dan Menengah tahun 1988 mengidentifikasi beberapa tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS):

(1) Dalam konteks formal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memungkinkan pemahaman yang mendalam terhadap keahlian dan keterampilan pribadi yang bekerja di sekolah, yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan guna meningkatkan mutu pembelajaran. (2) Partisipasi aktif dari guru, staf, dan masyarakat: MBS melibatkan partisipasi aktif dari guru, staf, dan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan di sekolah. (3) Peningkatan moral para guru: Salah satu tujuan MBS adalah meningkatkan moral para guru. (4) Keputusan dengan akuntabilitas yang jelas: Keputusan yang diambil melalui MBS memiliki akuntabilitas yang jelas. (5) Penyesuaian kekuatan keuangan dan tujuan pembelajaran:

MBS memastikan penyesuaian sumber daya keuangan yang tersedia dengan tujuan pembelajaran yang dikembangkan di

(8)

sekolah. (6) Membina dan merangsang munculnya pemimpin baru: MBS juga bertujuan untuk membina dan merangsang munculnya pemimpin baru di lingkungan sekolah. (7) Komunikasi yang lebih baik dan fleksibel:

MBS diperkuat dengan komunikasi lebih baik, lebih banyak dan lebih fleksibel.

Menurut Ridha, (2018) tujuan program MBS diharapkan mencapai:

1. Kemampuan pemangku kepentingan ditingkatkan melalui perencanaan dan penganggaran yang bersifat partisipatif, transparatif, dan akuntabilitas. 2. Para pemangku kepentingan diperkuat kapasitasnya melalui pembuatan laporan program kegiatan sekolah dan pertanggungjawaban. 3. Sekolah diberdayakan untuk mengelola program dan pelayanan dengan baik. 4.

Memotivasi masyarakat untuk terlibat, dalam memantau pelayanan dan kebijakan. 5. Pola kerjasama kemitraan diperkuat melalui relasi kerja dengan publik maupun swasta yang memungkinkan adanya kontribusi materi dan nonmateri. 6. Menguatkan pembangunan kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia di sekolah melalui jaringan kerjasama dengan sekolah mitra. 7. Membangun komitmen bersama pemangku kepentingan dalam menciptakan keberlanjutan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). 8. Menghasilkan praktik terbaik dalam MBS yang dapat direplikasi di sekolah-sekolah atau daerah lain.

Menurut Fullan (2007), partisipasi dan kerja sama semua pihak, termasuk guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah di berbagai tingkat, menjadi kunci bagi perkembangan, peningkatan mutu, dan kualitas pendidikan.

(9)

Bariyah (2019) mengutip pandangan Ki Hajar Dewantara tentang konsep tri pusat pendidikan yang sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia guna meningkatkan kemitraan sekolah dan mutu pendidikannya. Konsep tri pusat pendidikan mencakup peran keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai komponen yang bekerja sama mengembangkan sekolah. Pendidikan keluarga diperlukan dalam hal keteladanan, masyarakat merupakan lingkungan anak membangun interaksi sosial, sekolah menjadi miniatur dari masyarakat luas, tempat anak mengembangkan potensi diri melalui pembelajaran. Maka lembaga pendidikan pada semua jenjang sebaiknya membuka diri untuk mengembangkan mutu melalui kolaborasi dengan pihak-pihak lainnya.

Gambar 1.2. Trisentra Pendidikan

(10)

Program kemitraan bertujuan memastikan bahwa sekolah mendapatkan dukungan dalam proses belajar mengajar yang aman dan nyaman, serta mencapai keberhasilan dan prestasi sesuai harapan orang tua/wali siswa. Secara literer, beberapa penelitian relevan membahas pengembangan kemitraan sekolah sebagai usaha peningkatan kualitas pendidikan dan sekolah. Utari (2010) menyajikan cara mendukung pengembangan pola kemitraan sekolah, keluarga, dan masyarakat menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan di sekolah dengan perencanaan dan implementasi program seperti penyusunan jurnal timbal balik, pendampingan, serta kerja sama dengan lembaga lain. Sekolah perlu melibatkan para pihak dalam kegiatannya, membentuk komunitas dan merangsang proyek bersama agar meningkatkan pengetahuan tentang kemitraan.

Hatimah, (2016) mencatat dari hasil penelitiannya bahwa kerja sama keluarga dan sekolah secara baik, akan mempengaruhi upaya peningkatan mutu sekolah. Dengan demikian, akan meningkatkan kemajuan dan kesuksesan anak-anak. Ixtiarto, (2016) mengemukakan beberapa hal tentang program kerjasama

(11)

sekolah dan dunia usaha dengan merencanakan kegiatan promosi sekolah menjalin komunikasi dengan dunia industri;

memanfaatkan dunia usaha dan industri untuk pembiayaan dan beasiswa; membuat MoU yang berisi bidang kerja sama seperti kurikulum, kunjungan industri, guru tamu, prakerin dan lain-lain.

Krismanda, (2017) mengemukakan bahwa model kemitraan antara sekolah dan keluarga di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga sudah berlangsung cukup baik, bahkan karena kemitraan berjalan, mendapat bantuan dana dari pemerintah.

Model kemitraan sekolah dan orang tua lewat media sosial, akan dikembangkan, dilengkapi panduan sebagai upaya bersama meningkatkan kualitas sekolah. Penelitian Rahmadani (2017), menemukan sekitar 80% peserta didik SMK Telkom Malang berhasil direkrut kerja setelah lulus, sebagai bukti efektivitas manajemen kerjasama sekolah dan masyarakat melalui kemitraan yang kuat. Salah satu faktor penting pencapaiannya adalah kolaborasi dan sharing baik sekolah dengan para alumni dan dunia industri. Menurut Hamu (2021), model kemitraan sinergis belum diterapkan pada SMA Katolik di Provinsi Kalimantan Tengah. Partisipasi orang tua, masyarakat, ikatan alumni,

(12)

pemerintah, dan industri dinilai rendah karena terbatasnya akses dan kurangnya informasi keberadaan sekolah. Kesadaran ini, peluang membangun kemitraan dengan para pemangku kepentingan, mendorong sekolah mengembangkan program kemitraan dengan pihak internal maupun eksternal sebagai upaya peningkatan mutu dan kualitas sekolah. Maka program kemitraan merupakan komunikasi dua pihak atau lebih secara intensif berkelanjutan yang saling menguntungkan demi mencapai tujuan bersama yaitu mutu sekolah efektif.

Pemimpin Gereja Katolik universal melalui Konsili Vatikan II (1965) dalam Gravissimum Educationis mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai hak memperoleh pendidikan yang berkualitas sekaligus bertanggung jawab mengembangkan dan memajukan pendidikan. Gereja Katolik dalam kekhasannya diharapkan bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mendirikan sekolah-sekolah Katolik untuk pengembangan nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat, teristimewa peserta didik. Konsili menandaskan bahwa tanggung jawab mendidik anak, pertama- tama adalah orang tua atau keluarga, lalu sekolah dan seluruh

(13)

masyarakat. Maka sekolah perlu bermitra dengan berbagai pihak untuk pengembangan mutu pendidikan.

SMA Swasta Katolik Santu Xaverius Gunungsitoli (SMA Xaverius) adalah sekolah Katolik di bawah naungan Yayasan Budi Bakti Keuskupan Sibolga (YBBKS) yang melayani pendidikan di Keuskupan Sibolga wilayah Tapanuli dan kepulauan Nias. SMA Xaverius yang beralamat di Nias tepatnya Kota Gunungsitoli juga perlu mengembangkan program kemitraan demi peningkatan mutu dan kualitasnya.

Beberapa faktor pendorong perlunya pengembangan kemitraan sebagai berikut, pertama; Komite sekolah selama ini belum beroperasi sebagaimana diharapkan, selain hanya memenuhi standar administrasi sekolah dalam hubungan dengan pemerintah. Kedua; SMA Xaverius telah mempunyai komunitas alumni secara formal, tapi belum maksimal. Ketiga; hubungan SMA Xaverius dan orang tua masih pada fungsional dan administratif. Keempat; belum terbangun kemitraan sekolah dan komunitas warga Gereja. Padahal bagi Gereja Katolik, pengembangan kualitas sekolah Katolik adalah tanggung jawab semua umat beriman.

(14)

Aspek-aspek komunitas yang hendak dikembangkan melalui penelitian ini mencakup tiga hal: (a) kerja sama dengan penyediaan sarana-prasarana; (b) peningkatan produksi dan efisiensi; dan (c) pengembangan organisasi, melibatkan pemeliharaan struktur sosial dan ekonomi sekolah melalui pendanaan.

Berdasarkan latar belakang di atas dan manfaat program kemitraan, maka fokus penelitian ini adalah pengembangan;

“Model Kemitraan Berbasis Komunitas Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Pada SMA Santu Xaverius Gunungsitoli- Sumatera Utara.” Pengembangan model kemitraan difokuskan pada; perbaikan komite sekolah berdasarkan Permendikbud No.75 tahun 2016; pengembangan lebih lanjut kemitraan dengan Alumni. Cerita sukses alumni dapat menginspirasi peserta didik mengembangkan prestasi diri; dan pengembangan kemitraan dengan komunitas warga Gereja sebagaimana dalam Instrumentum Laboris (2014) ditegaskan sekolah perlu mengembangkan kemitraan.

(15)

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah berangkat dari hasil studi, wawancara dan pengamatan terhadap Yayasan Budi Bakti Keuskupan Sibolga dan Kepala Sekolah SMA Xaverius. Cakupan masalah penelitian ini fokus pada manajemen pengembangan kemitraan sekolah di SMA Xaverius. Hasil identifikasi masalah yang ditemukan, antara lain:

1. SMA Xaverius selama ini memiliki relasi kerjasama dengan berbagai pihak eksternal, namun arah relasi belum dalam konteks pengembangan mutu sekolah. Tampak berbicara soal mutu sekolah merupakan urusan internal sekolah. Maka kemitraan SMA Xaverius saat ini masih rendah.

2. Program kemitraan yang sudah ada belum berperan efektif.

3. Sekolah perlu dimotivasi dengan model pengembangan kemitraan sekolah yang variatif dan terkoordinasi sesuai dengan peran dan fungsinya.

(16)

4. Masyarakat kurang berminat menggunakan jasa sekolah Katolik bagi pendidikan anak. Alasannya, meragukan kualitas sekolah Katolik saat ini.

1.3 Rumusan Masalah

Dengan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana pola manajemen Kemitraan sekolah sebagai Sistem Sosial pada SMA Xaverius Gunungsitoli?

2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan model kemitraan yang dilaksanakan di sekolah saat ini?

3. Model kemitraan seperti apakah yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan mutu sekolah?

1.4 Tujuan Pengembangan

1. Mendeskripsikan model manajemen sekolah sebagai Sistem Sosial di SMA Xaverius Gunungsitoli

2. Mendeskripsikan kelebihan dan kelemahan dari model kemitraan sekolah yang dilaksanakan saat ini.

3. Mendeskripsikan model kemitraan yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan mutu sekolah

(17)

1.5 Manfaat Pengembangan 1.5.1 Manfaat Teoritis:

Model pengembangan kemitraan ini diharapkan menghasilkan dua manfaat teoritis antara lain:

a. Pengembangan khasanah keilmuan tentang kemitraan sekolah.

b. Dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi penelitian berikut.

1.5.2 Manfaat praktis

Pengembangan model kemitraan ini diharapkan memberi manfaat praktis;

a. Bagi sekolah; agar mendapat perhatian dan dukungan masyarakat/ komunitas dalam mengembangkan mutu dan kualitasnya

b. Bagi Kepala sekolah; agar mengembangkan kemampuan manajemen kepemimpinan dalam menjalin kerja sama bagi eksternal dan internal.

c. Guru; mengembangkan kompetensi pembelajaran.

(18)

d. Peserta didik; memperoleh pelajaran dan pendidikan berkualitas

1.6 Spesifikasi Model Yang Dikembangkan Pengembangan produk pada studi ini meliputi:

1) Upaya mengembangkan manajemen sekolah berbasis kemitraan. SMA Xaverius membangun sinergitas dengan stakeholders demi peningkatan mutunya.

Kerangka konseptual dalam pengembangan mutu meliputi beberapa aspek penting: (1) aspek internal, misalnya: tata kelola belajar mengajar; kesiswaan;

tenaga pendidik dan kependidikan; sarana prasarana pembelajaran; tata kelola finansial. (2) aspek eksternal dengan fokus pada pengelolaan kemitraan Sekolah dengan stakeholder.

2) Jangkauan komponen manajemen sekolah dengan program kemitraan: (a) merumuskan visi, misi, tujuan, dan sasaran; (b) Analisis kebutuhan sekolah dalam pengembangan program; (c) menganalisa keadaan baik

(19)

internal maupun eksternal untuk meningkatkan mutu sekolah berbasis kemitraan.

3) Manajemen model Kemitraan Sekolah melalui: (a) MoU kemitraan sekolah dengan komunitas, (b) Ada panduan kemitraan Sekolah dengan stakeholders.

1.7 Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Asumsi-asumsi epistemologis mencakup; 1). SMA Xaverius secara historis merupakan lembaga pendidikan yang bersumbangsih mempersiapkan generasi muda yang berkualitas harapan nusa bangsa. 2). Secara umum sistem manajerialnya masih berpusat pada aspek internal, belum efektif bersinergi dengan pihak lain, baik lembaga setingkat, pemerintah, masyarakat, organisasi lain, baik lokal, regional, nasional, maupun internasional. Arah sinergisitasnya terwujud sekolah bermutu. 3). SMA Xaverius sama seperti Sekolah Katolik lainnya, bermutu bila memiliki daya saing dan kompetitif.

Disadari ada keterbatasan pengembangan produk studi ini, antara lain:

(20)

1) Sampelnya terbatas pada satu sekolah Katolik yaitu SMA Xaverius Gunungsitoli yang berada di bawah naungan YBBKS.

2) Model pengembang kemitraan dalam penelitian ini meliputi: (a) tata kelola belajar mengajar; kesiswaan;

guru dan pegawai; sarana-prasarana pembelajaran; tata kelola finansial, (b) Strategi transformasi manajemen sekolah model kemitraan sinergi antar sesama lembaga setingkat atau sederajat pada unit-unit sekolah YBBKS.

3) Tahapan penelitian menggunakan langkah-langkah penelitian Sugiyono (2017), dengan model prosedural sehingga layak digunakan secara mandiri dan dibatasi hanya sampai pada tahap ketujuh mengingat terbatasnya waktu penelitian.

4) Model pengembangan program kemitraan ini dibatasi pada SMA Santu Xaverius Gunungsitoli-Nias Sumatera Utara sebagai lembaga pendidikan Katolik dengan kekhasannya. Bila model ini hendak digunakan demi pada lembaga pendidikan lain level manapun, perlu

(21)

disesuaikan kembali dengan kondisi dan kekhasan lembaga bersangkutan.

Referensi

Dokumen terkait

Keywords Lekra, priyayi, persecution, postcolonial, third space, subalternization INTERROGATING INDONESIAN NEW ORDER’S NARRATIVE OF GESTAPU The Leftist Nobles and the Indonesian

Melittin Ameliorates Endotoxin-Induced Acute Kidney Injury by Inhibiting Inflammation, Oxidative Stress, and Cell Death in Mice.Oxid.. p53 in Proximal Tubules Mediates Chronic Kidney