• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT DALAM MENGINISIASI PEMBENTUKANINDO-PACIFIC ECONOMIC FRAMEWORK(IPEF)

Menurut realisme ofensif, tujuan akhir dari kekuatan besar adalah untuk mendapatkan hegemoni, karena hegemoni adalah jaminan terbaik untuk bertahan hidup. Namun Mearsheimer mengatakan bahwa dalam praktiknya, hampir tidak mungkin bagi negara manapun untuk mencapai hegemoni global, karena terlalu sulit untuk memproyeksikan dan mempertahankan kekuasaan ke wilayah dengan kekuatan besar yang jauh. Hasil terbaik yang dapat diharapkan suatu negara adalah menjadi hegemon regional, yang berarti mendominasi wilayah geografisnya sendiri. Para founding fathers AS dan penerusnya memiliki pemikiran yang sama sehingga mereka berupaya keras untuk menjadikan AS sebagai kekuatan dominan di belahan bumi barat dan AS akhirnya berhasil mencapai hegemoni regional pada tahun 1898 (Smith et al., 2013).

Negara-negara yang mendapatkan hegemoni regional memiliki tujuan dan kepentingan nasional lebih lanjut lagi yakni mereka berusaha mencegah kekuatan besar di wilayah geografis lain untuk menduplikasi prestasi mereka (Mearsheimer, 2007). Negara yang berhasil menjadi hegemoni regional tidak menginginkan adanya pesaing. Sebaliknya, mereka ingin menjaga agar wilayah lain tetap terbagi di antara beberapa negara besar, yang kemudian akan bersaing satu sama lain dan tidak berada dalam posisi untuk fokus pada mereka. Jadi, setelah mencapai dominasi regional, Amerika Serikat berusaha keras untuk mencegah kekuatan besar lainnya menguasai Asia dan Eropa. Sejak abad ke-20, terdapat empat kekuatan besar yang berupaya menjalankan hegemoni regional seperti Kekaisaran Jerman (1900–1918), Kekaisaran Jepang (1931–1945), Nazi Jerman (1933–1945), dan Uni Soviet ( 1945–1989). Dan dalam setiap kasus, Amerika Serikat memainkan peran kunci dalam mencegah dan mengalahkan calon hegemoni tersebut.

Menurut Mearsheimer, situasi ideal untuk kekuatan besar mana pun adalah menjadi satu-satunya hegemon regional di dunia. Melihat kebangkitan Cina yang semakin berkembang sejak tahun 1990-an, Amerika Serikat berupaya untuk mencegah Cina menjadi hegemoni baru di Indo-Pasifik seperti yang dilakukannya pada abad ke-20. AS bertekad untuk tetap menjadi

(2)

satu-satunya hegemon regional. Oleh karena itu, AS terus berupaya untuk menahan Cina hingga tidak lagi menjadi ancaman bagi AS di Indo-Pasifik.

Bab ini kemudian menguraikan bagaimana kepentingan nasional Amerika Serikat dalam menginisiasi pembentukan IPEF sebagai upayanya untuk menjadi hegemoni di Indo-Pasifik dan mencegah Cina hadir sebagai kekuatan baru. Bab ini terdiri dari bagian pertama yang akan melihat bagaimana upaya Amerika Serikat dalam meningkatkan pengaruhnya di Indo-Pasifik selama 10 tahun terakhir melalui kebijakan luar negerinya; Bagian kedua memaparkan bagaimana kehadiran Cina di Indo-Pasifik melalui proyek BRI dan kerjasama regional RCEP yang dilakukannya; Bagian ketiga menguraikan kebijakan terbaru Amerika Serikat di Indo-Pasifik yang dirancang oleh presiden Joe Biden dan bagian terakhir dari bab ini akan memaparkan apa saja yang menjadi kepentingan nasional dari Amerika Serikat dalam menginisiasi pembentukan IPEF dengan menggunakan konsep Kepentingan Nasional dan Teori Neorealisme Ofensif.

4.1 Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Kawasan Indo-Pasifik dalam 10 Tahun Terakhir

Perubahan signifikan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Indo-Pasifik dalam sepuluh terakhir dapat kita lihat pada masa pemerintahan Barack Obama. Pada penghujung tahun 2011, Pemerintahan Obama mengumumkan bahwa mereka akan memperluas dan mengintensifkan peran AS di kawasan Asia-Pasifik, dan bahwa pusat gravitasi kebijakan luar negeri AS, keamanan nasional, dan kepentingan ekonomi akan bergeser ke arah Asia yang sebelumnya lebih banyak berfokus di Timur Tengah. Langkah ini kemudian diberi label sebagai

"Pivot to Asia" atau "Rebalance U.S. toward Asia".Pivot to Asiadidasarkan pada gagasan bahwa kawasan Asia-Pasifik tidak hanya semakin mendefinisikan kekuatan dan perdagangan global, tetapi juga menyambut kepemimpinan dan keterlibatan Amerika Serikat dalam bidang investasi politik, ekonomi, dan militer di Asia-Pasifik (White House, 2011).

Pada tahun 2012, Amerika Serikat mulai menempatkan pasukannya dari pembagian sekitar 50:50 persen menjadi 60:40 di antara samudra Pasifik dan Atlantik dalam rangka mengurangi kehadiran militer AS di Timur Tengah. Amerika Serikat juga meningkatkan hubungan keamanan dengan masing-masing sekutunya dan meningkatkan pelatihan militer dengan berbagai mitra, termasuk India, Indonesia, Selandia Baru, dan Vietnam. Selain itu, Amerika Serikat juga turut

(3)

memperdalam hubungan militer dengan Cina dan bahkan mengundang angkatan laut Cina untuk berpartisipasi dalam latihan angkatan laut besar Amerika Serikat (CRS, 2012).

Kepemimpinan Obama pada periode kedua memposisikan globalisasi sebagai hal penting bagi peningkatan kompleksitas interdependensi global. Pivot to Asiamerupakan penegasan oleh Obama bahwa AS terlalu terkonsentrasi pada aktivitas sebagai aktor pemberi keamanan dunia lewat agenda kontra-terorisme, namun melewatkan pertumbuhan ekonomi signifikan yang terjadi di Asia (Campbell, 2016). Di masa pemerintahan Obama, Amerika Serikat memperbarui fokus strategisnya pada aliansi keamanan tradisionalnya, misalnya, melalui perjanjian dengan Australia untuk menempatkan 3.000 Marinir AS di Darwin pada tahun 2011, dan dengan membalikkan absennya militer AS selama 25 tahun dari Filipina pada tahun 2014 (Manyin et al. 2012).

Amerika Serikat juga melanjutkan integrasinya dalam arsitektur kelembagaan kawasan dengan menjadi anggota formal KTT Asia Timur pada 2011. Secara diplomatis, Obama juga secara khusus berupaya mengembangkan kemitraan strategis baru dengan Asia Tenggara, yang secara tradisional merupakan kawasan yang relatif diabaikan oleh kebijakan luar negeri AS.

(Parameswaran 2020). Diplomasi Pivot AS pada akhirnya membuahkan hasil dalam bentuk konsultasi diplomatik reguler dan latihan militer bersama, serta kesepakatan ekspor yang signifikan untuk persenjataan AS dan berbagai perjanjian kerja sama dalam hal-hal terkait keamanan dan pertahanan.

Di bawah pemerintahan Obama, Amerika Serikat memberikan perhatian yang serius untuk menegosiasikan Trans-Pacific Partnership (TPP) yang menempatkan peraturan dan standar AS di pusat perdagangan Asia. Perjanjian tersebut mencakup 40% dari ekonomi global, dan bila diterapkan sepenuhnya, akan menghapuskan lebih dari 18.000 tarif impor, menetapkan aturan yang seragam tentang kekayaan intelektual, dan membuka jaringan Internet yang lebih luas di Asia-Pasifik (Calmes, 2015). Jika kemudian diratifikasi oleh semua anggotanya, TPP akan menciptakan trading block regional terbesar di dunia yang melampaui UE dan NAFTA dengan populasi gabungan 800 juta orang, terhitung hampir 40 persen dari output ekonomi global (Turner et al., 2022). Selain menurunkan tarif lebih lanjut dan menghilangkan hambatan perdagangan, TPP berisi arahan peraturan dan ketentuan untuk perlindungan kekayaan intelektual, liberalisasi investasi, standar tenaga kerja dan lingkungan, dan perlakuan yang sama terhadap perusahaan milik negara dan swasta. Amerika Serikat juga melakukan berbagai negosiasi dan perjanjian investasi bilateral dengan perusahaan besar di Asia, seperti Cina dan

(4)

India. Selain itu, Amerika Serikat juga telah meningkatkan bantuan luar negerinya ke Asia-Pasifik sebesar 7% dan ekspornya lebih dari 8% sejak tahun 2008, serta memodifikasi dan menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Korea Selatan (Turner et al., 2022).

Setelah masa kepemimpinan Obama berakhir pada tahun 2017, Amerika Serikat kemudian dipimpin oleh Donald Trump. Di masa pemerintahannya, Trump mengubah istilah Asia-Pasifik yang digunakan di masa Obama menjadi Indo-Pasifik. Indo-Pasifik adalah pernyataan strategis yang diajukan oleh pemerintahan Trump dengan latar belakang domestik dan internasional baru yang berisikan imajinasi geopolitik baru pemerintahan Trump atas wilayah luas Samudra Hindia dan Pasifik (Xianghong & Shaowen, 2021). Pada laporan strategi keamanan nasional pertamanya, pemerintahan Trump mengajukan strategi “Indo-Pasifik” secara resmi untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, pejabat senior pemerintah seperti Wakil Presiden AS, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan AS selalu menggunakan istilah“Indo-Pasifik” dalam konferensi diplomatik dan pidato. Pada saat yang sama, dalam sistem wacana resmi Amerika Serikat, konsep tradisional “Asia-Pasifik” pun telah digantikan oleh “Indo-Pasifik”.

Kebijakan luar negeri era Trump menggabungkan prinsip neo-isolasionis dan selective engagement yang disebutselective isolationism. (Wardhana, 2019). Hal ini dapat dilihat melalui dua tahap, yaitu reorientasi kebijakan luar negeri dan pengurangan komitmen internasional.

Trump mengeluarkan kebijakannya dengan slogan “America First” dan “Make America Great Again”. Dalam retorikanya slogan tersebut kontradiktif dengan status Amerika sebagai hegemoni. Kebijakan America First Trump akan selalu menempatkan dan memprioritaskan kepentingan nasional AS di atas segala hal. Di awal tahun 2017, Donald Trump kemudian mengeluarkan dokumen National Security Strategy 2017. Dokumen ini menyebutkan bahwa Cina menantang kekuatan, pengaruh, dan kepentingan Amerika, dan berupaya untuk mengikis keamanan dan kemakmuran Amerika (NSS AS, 2017). Melalui dokumen tersebut, AS secara eksplisit menegaskan bahwa AS sedang khawatir dengan kekuatan Cina yang semakin bertumbuh.

Dimasa pemerintahan Donald Trump, banyak para ahli yang menilai bahwa kepemimpinan global Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik akan semakin tertinggal dibanding Cina.

Menurut Pew Research Center, kepercayaan internasional terhadap kepemimpinan Amerika Serikat menurun secara signifikan pada tahun 2017 (Wike, 2017). Hal ini paling terasa di kawasan Asia-Pasifik, pusat gravitasi baru dalam geopolitik global. Di antara sekutu Amerika di

(5)

Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, kepercayaan terhadap kemampuan presiden Amerika untuk membuat kebijakan yang tepat masing-masing turun sebanyak 71% dan 54%. Sedangkan di Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, kepercayaan turun sebesar 41%.

Pada KTT APEC 2017, Trump mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan

‘dimanfaatkan lagi’ dan AS tidak akan menoleransi dan mentolerir adanya penyalahgunaan dari perjanjian perdagangan bebas (Parker, 2018). StrategiAmerica Firstini kemudian di realisasikan Trump dengan lebih memilih kesepakatan atau kerjasama perdagangan bilateral dari pada kerjasama multilateral serta kebijakan proteksionis daripada perdagangan bebas. Pada hari pertama menjabat, Donald Trump mengumumkan bahwa ia akan melakukan renegosiasi terkait keterlibatan Amerika Serikat dalam forum kerjasama Trans-Pacific Partnership (TPP). Setelah resmi menjabat pada Januari 2017, Trump menandatangani memorandum yang menyatakan bahwa United States Trade Representative (USTR) harus menjalankan renegosiasi keterlibatan Amerika Serikat dalam TPP ataupun segala hal yang berurusan dengan TPP (WTO, 2017).

Seminggu kemudian, Trump melalui wakil penasihat umum USTR, mengumumkan bahwa Amerika Serikat secara tegas menarik diri atau tidak memiliki keinginan untuk terlibat dalam TPP dan tidak memiliki kewajiban hukum apapun meski telah menandatangani kesepakatan TPP pada Februari 2016. Perjanjian kesepakatan yang telah ditandatangani oleh mantan presiden Barack Obama tersebut kemudian secara resmi dihentikan (USTR, 2017).

Keputusan Donald Trump sangat disayangkan karena keterlibatan AS dalam TPP telah menunjukkan banyak keuntungan yang akan didapatkan seperti menekan hambatan tarif ekspor AS, memberikan wadah bagi para pekerja dan pengusaha Amerika untuk meningkatkan ekspor produk asli mereka serta dapat menambah lapangan pekerjaan dengan upah yang tinggi. Dengan kebijakan America First yang bersifat neo-isolasionis, Trump bertujuan untuk melindungi pekerja AS dan menciptakan perdagangan yang adil dan menguntungkan. Selain itu, Trump menilai bahwa keanggotaan AS dalam organisasi multilateral kurang efektif dan tidak terlalu berdampak untuk mengimbangi pengaruh Cina, Trump juga menyebutkan bahwa kemunduran ekonomi AS disebabkan karena banyak negara lain yang mengambil keuntungan dari AS melalui kerjasama multilateral (Helsi, 2019).

Dengan adanya keputusan menarik diri ini, Amerika Serikat dinilai tidak konsisten, menurunkan kredibilitas negosiasi dan kepemimpinan kerjasama ekonomi Amerika Serikat, menghancurkan kemitraan dengan pihak-pihak yang telah bekerja sama, serta menguatkan

(6)

kesempatan bagi Cina dalam kerjasama ekonomi di kawasan Indo-Pasifik (William, 2017).

Meski telah menarik diri dari TPP, Trump tetap menjalin kerja sama ekonomi bilateral yang adil dan menguntungkan dengan banyak negara di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam hal kebijakan luar negeri Trump di Indo-Pasifik, pada KTT APEC 2017 Trump mengungkapkan visi dan misinya mengenai Free and Open Indo-Pacific (FOIP) sebagai pendekatan AS di kawasan Indo-Pasifik. Konsep ini berupaya untuk menyatukan negara-negara yang memiliki kesepahaman pemikiran yang sama di wilayah Samudera Hindia dan kawasan Indo-Pasifik yang telah terintegrasi, di mana strateginya bertujuan untuk membentuk suatu hubungan kerja sama kolaboratif. Kepentingan bersama dalam FOIP tanpa adanya hambatan perdagangan dan investasi antara AS dengan sekutu akan mendorong pertumbuhan global. Istilah FOIP tertuang pada dokumenNational Security Strategy(NSS) pada Desember 2017.

Kebijakan Free and Open Indo-Pacific merupakan strategi Amerika Serikat dalam mempertahankan status quo.Kebijakan luar negeri AS di era Trump merupakan instrumen untuk mempertahankan posisi AS secara eksplisit disebutkan dalam National Security Strategy tahun 2017 yang menjelaskan respon AS terhadap pertumbuhan kekuatan politik, ekonomi dan militer dunia (White House, 2017). Trump memandang bahwa Cina sedang menguji pengaruh, power dan kepentingan Amerika Serikat, serta mengancam kesejahteraan dan keamanan nasionalnya dengan menciptakan perdagangan yang tidak bebas dan adil dan juga mengembangkan militernya. Di bawah kepemimpinan Trump, Amerika Serikat menerapkan strategi untuk memperjuangkan nilai-nilai yang ada di Indo-Pasifik yakni: (1) menghormati kedaulatan dan kemerdekaan semua bangsa; (2) penyelesaian sengketa secara damai; (3) perdagangan bebas, adil, dan timbal balik berdasarkan investasi terbuka, perjanjian transparan, dan konektivitas; dan (4) kepatuhan terhadap hukum internasional, termasuk kebebasan navigasi dan penerbangan (NSS, 2017).

FOIP menjadi penanda bahwa AS menaruh lebih banyak perhatian ke Indo-Pasifik sebagai bentuk transisi geopolitik. FOIP kemudian dipandang sebagai langkah pertama dalam memperkuat strategi pencegahan terhadap kebangkitan Cina dan membangun kembali tatanan di wilayah tersebut. Melalui prinsip bebas (free), Trump memiliki dua poin terhadap kebijakannya.

Yang pertama adalah Amerika Serikat menginginkan negara-negara di Indo-Pasifik bebas dari tekanan sehingga mereka dapat melakukan kepentingannya di kawasan. Kedua, Amerika Serikat menginginkan negara-negara di Indo-Pasifik dapat menjalankan good governance dan adanya

(7)

jaminan dan transparansi terhadap hak asasi. Sedangkan, pada prinsip keterbukaan (open), Amerika Serikat memiliki visi untuk membuka komunikasi baik melalui jalur laut maupun udara. Dimana jalur laut merupakan jalur penting bagi kawasan ini karena 50% dari perdagangan dunia melewati Indo-Pasifik terutama Laut Cina Selatan (Wong, 2018). Kedua, melalui kebijakan Free and Open Indo-Pacific,AS mendorong peningkatan investasi dan pembangunan infrastruktur regional di kawasan ini. Terakhir, kebijakan ini bertujuan untuk mendorong perdagangan bebas yang saling menguntungkan sehingga tidak ada negara yang mengalami defisit akibat gap antara ekspor dan impor.

4.2 Kehadiran Cina melalui Kebijakan BRI dan RCEP di Kawasan Indo-Pasifik

Belt and Road Initiative(BRI) pertama kali diperkenalkan Xi Jinping melalui konsep One Belt One Road (OBOR) atau 一带一路 (yidai yilu) pada kunjungannya di Kazakhstan, September 2013. Dalam pidatonya tersebut, Xi Jinping mengulas kembali tentang sejarah kesuksesan Cina dalam membangun Jalur Sutra pada zaman dahulu dan ingin membangkitkannya kembali sebagai sarana promosi ekonomi yang lebih lanjut antara Cina dan Asia Tengah. Presiden Xi juga menyatakan visinya yang ingin mempererat ikatan ekonomi, memperdalam kerja sama serta memperluas pembangunan Asia-Eropa melalui pembangunan

‘sabuk ekonomi dan jalan sutra’ (Xinhua, 2017). Sedangkan dalam kunjungan di depan Sidang Parlemen Indonesia pada Oktober 2013, Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa Cina akan mendorong perwujudan kerja sama maritim melalui rencana pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan tujuan membantu negara-negara lain dalam menginisiasi konstruksi berbagai infrastruktur serta mempromosikan konektivitas antar regional dan integrasi ekonomi.

BRI merupakan grand strategy Cina yang berasal dari pengembangan konsep-konsep terdahulu yakni Maritime Silk Road atau Jalur Sutra Maritim, Silk Road Economic Belt atau Sabuk Ekonomi Jalur Sutra, Kebijakan luar negeri “Go Out”, Nine Dashed Lines danString of Pearls atau Benang Mutiara (Bloomberg, 2019). Strategi-strategi ini sebagian besar didorong oleh gagasan dari Sun Tzu, “subdue enemy without fighting” atau menaklukkan musuh tanpa berperang. Dengan kata lain upaya yang dilakukan oleh Cina ini merupakan upaya untuk mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai hegemoni dunia melalui soft poweratau bidang ekonomi tanpa menggunakan kekerasan.

(8)

OBOR dalam BRI terdiri atas 3 jalur sutra darat dan 2 jalur sutra maritim yang melingkupi 71 negara yang menjadi peserta dalam proyek BRI. Di jalur sutra darat terdiri dari relasi Cina dengan Asia Tengah, lalu Rusia dan Eropa melalui koridor Cina-Mongolia-Rusia dan Jembatan Darat Eurasia Baru. Rute yang terhubung dengan jalur utama ialah yang pertama menuju Asia Tenggara dan Asia Selatan termasuk koridor Cina-Pakistan lalu membentang hingga koridor Cina-Asia Tengah-Asia Barat (World Bank, 2018). Sedangkan pada jalur sutra maritim, berada pada Laut Cina Selatan yang menjadi pertemuan antara dua rute. Rute pertama menuju bagian selatan dan timur Samudra Pasifik dan jalur lain menuju barat yakni menghubungkan Samudra Hindia, Timur Tengah, serta Eropa.

Dengan adanya proyek BRI, pengaruh Cina dalam sektor geoekonomi semakin meningkat di kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, keuntungan yang akan didapatkan oleh negara-negara peserta ialah mengurangi waktu tempuh perjalanan sebesar 12%, meningkatkan perdagangan sekitar 2,7% hingga 9,7%, meningkatkan pendapatan hingga 3,4% serta dapat meningkatkan kesejahteraan 7,6 juta orang dari kemiskinan yang parah (World Bank, 2018). Pada Mei 2017, Cina menambahkan investasi sebesar 113 miliar dolar melalui Silk Road Fund yang menjadi kelanjutan dari investasi modal dari China Development Bank danExport Import Bank of China pada tahun 2015 sebesar 40 miliar dolar sedangkan AIIB bermodalkan 100 miliar dolar untuk mendanai proyek-proyek dalam naungan BRI (Oxford Business Group, 2019).

Sejak Cina membuka ekonominya untuk perdagangan luar negeri, investasi, dan reformasi, Cina telah dianggap sebagai salah satu ekonomi yang paling berkembang, dengan tingkat pertumbuhan tahunan PDB riil rata-rata 9,5 persen pada tahun 2018 yang disebut sebagai ekspansi ekonomi tercepat dalam sejarah oleh Bank Dunia (World Bank, 2019). Saat ini, Cina telah diakui sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dalam hal PDB nominal dibandingkan dengan AS. Menurut laporan Kongres AS, pertumbuhan tersebut akan memungkinkan Cina melipatgandakan PDB-nya setiap delapan tahun dan membantunya mengeluarkan 800 orang dari kemiskinan. Selain itu Cina juga merupakan pemegang asing terbesar dari sekuritastreasuryAS, yang membantu mendanai utang federal dan mempertahankan suku bunga rendah AS (Analisis, 2019).

Jika dibandingkan dalam bidang militer, kapabilitas Cina masih terlalu jauh untuk menyaingi AS. Belanja militer Cina pada tahun 2022 adalah $229,6 miliar (CSIS, 2022), sedangkan pemerintah AS menghabiskan $1.112,4 miliar untuk belanja militer pada tahun yang

(9)

sama. Ini termasuk $71,7 miliar untuk bantuan luar negeri. (US Government Spending, 2022).

Peter G. Peterson Foundation (2018 ) merilis data, meskipun jumlah gabungan perbelanjaan militer delapan negara besar (Cina, Rusia, Arab Saudi, India, Perancis, Inggris, Jepang, dan Jerman) sebesar $595 miliar belum mampu menyaingi belanja militer AS di tahun 2017 ($611 miliar). Namun John Mearsheimer memprediksikan bahwa jika Cina terus meningkatkan GDP-nya di masa mendatang dan menjadi negara dengan perekonomian terbesar, sangat mungkin baginya untuk menggeser target pertumbuhan ekonominya ke pembiayaan belanja militer dan pada akhirnya dapat menentang supremasi militer AS (Dunne, Kurki, & Smith, 2010).

Terlepas dari kekuatan militer Cina yang masih tertinggal dibanding AS, namun hal ini berbanding terbalik dalam hal kerjasama ekonomi regional di Indo-Pasifik. Pada tahun 2020, Cina bersama dengan empat belas negara Indo-Pasifik berhasil menuntaskan proses perundingan kerjasama Regional Comprehensive Economic Partnership. RCEP diluncurkan pada tahun 2012 dengan sepuluh anggota ASEAN—Brunei, Burma (Myanmar), Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, serta lima mitra perjanjian perdagangan bebas (FTA) ASEAN—Australia, Cina, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan. RCEP mulai berlaku pada Januari 2022 setelah diratifikasi oleh enam negara ASEAN dan tiga negara non-ASEAN. RCEP merupakan kesepakatan regional trading block terbesar di dunia, yang meliputi 30% dari PDB dunia, 27% dari perdagangan dunia, 29% dari investasi asing langsung dunia dan 29% dari populasi dunia. Pengaruh ekonomi yang diproyeksikan bahkan lebih besar sebelum India menarik pada 2019.

RCEP memiliki 20 bab yang mencakup perdagangan barang dan jasa, investasi, pengadaan pemerintah, standar dan peraturan teknis, hak kekayaan intelektual, ecommerce, dan masalah lainnya. RCEP dianggap sebagai kesepakatan yang sangat menguntungkan dengan cakupan agenda di berbagai bidang. RCEP memiliki aturan tarif yang mengurangi atau menghapuskan tarif sekitar 92% selama 20 tahun, dengan penghapusan tarif/kuota mencakup lebih dari 65% barang yang diperdagangkan. Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa setidaknya 65% dari sektor jasa akan terbuka penuh, dengan akses pasar yang maju dalam layanan profesional, keuangan, telekomunikasi, komputer, dan logistik (ASEAN, 2020).

Pada tahun 2017, perdagangan intra regional di antara anggota RCEP menyumbang 42%

perdagangan, menurut OECD. Jika perjanjian RCEP mulai berlaku, jumlah ini akan meningkat,

(10)

berkat pengurangan hambatan tarif yang dan penerapan aturan dan prosedur yang disederhanakan terkait bea cukai dan infrastruktur terkait perdagangan (Terada, 2018). Melalui RCEP, ketergantungan ekonomi negara-negara Indo-Pasifik menjadi semakin besar terhadap Cina dan dapat menjadikan Cina sebagai pusat ekonomi regional yang akan berdampak negatif terhadap Amerika Serikat. RCEP akan mencakup seluruh negara di Asia Timur yang merupakan kawasan dengan banyak perusahaan manufaktur besar yang telah membangun jaringan rantai pasokan mereka secara luas. Dengan memperdalam perdagangan intra regional di kawasan ini, akan memungkinkan Cina meningkatkan daya ekspor yang lebih kompetitif dari segi biaya karena perjanjian tersebut akan menghilangkan atau sangat menurunkan tarif yang dikenakan pada komponen manufaktur, seperti suku cadang mobil yang diekspor ke seluruh kawasan termasuk Cina (Terada, 2018).

Dampak negatif berikutnya yang akan diterima AS ialah, dengan adanya penurunan atau penghapusan tarif untuk berbagai barang dan jasa, RCEP akan memudahkan perusahaan untuk mengatur rantai pasokan yang mencakup banyak negara Indo-Pasifik. Setelah RCEP diberlakukan, perusahaan antar negara Indo-Pasifik akan lebih mudah untuk memproduksi dan menjual barang di wilayah tersebut. Artinya, akan lebih sulit bagi perusahaan dari AS dan juga negara lain yang bukan pihak RCEP, untuk bersaing di Indo-Pasifik. Perusahaan di Indo-Pasifik akan memiliki tarif yang lebih rendah untuk mengekspor barang dan jasa dan akan mendapatkan akses yang lebih baik di bea cukai, memiliki akses pasar yang lebih baik untuk layanan dan peluang investasi yang jauh lebih baik (Gunia, 2020).

Berkaitan dengan dampak yang pertama, dampak negatif yang kedua ialah, RCEP akan mengurangi ketergantungan Indo-Pasifik pada pasar AS. Produk dan bisnis AS akan didiskriminasi di pasar Indo-Pasifik karena tarif yang lebih tinggi yang dikenakan pada ekspor dari Amerika Serikat, sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Menurut Kawasaki (2022), dampak ekonomi yang disimulasikan terhadap pertumbuhan PDB akan menekan ekonomi AS sebesar 2,16% jika RCEP terwujud. Dampak negatif yang ketiga ialah, anggota RCEP mencakup sekutu utama AS, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia, serta mitra strategis seperti India, Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Saling ketergantungan ekonomi mereka yang lebih dekat dengan Cina dapat memberi Cina pengaruh strategis terhadap sekutu dan mitra AS tersebut (Terada, 2018).

(11)

4.3 Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat melalui Joe Biden di Kawasan Indo-Pasifik Kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden lebih menekankan kepemimpinan Amerika Serikat, demokrasi, hak asasi manusia, dan kepedulian terhadap lingkungan. Selama kampanye kepresidenannya di tahun 2020, dia menyebutkan beberapa prioritas kebijakan luar negeri, termasuk untuk mempertahankan kepentingan vital Amerika, meningkatkan diplomasi, memulihkan kemitraan internasional, memperbarui komitmen pengendalian senjata, dan memimpin. dunia dalam mengatasi krisis iklim (Joe Biden, 2020). Dia juga memperjelas bahwa kebijakan luar negerinya sangat kontras dengan pendekatan Trump, khususnya dalam hal komitmen terhadap kerja sama internasional. Biden berjanji untuk memulihkan peran kepemimpinan Amerika dan memajukan keamanan, kemakmuran, dan nilai-nilai dengan memperbarui demokrasi dan aliansinya di seluruh dunia. Lebih lanjut, Biden juga menyatakan bahwa “United States must lead not just with the example of power, but the power of our example.” Dari gagasan Biden tersebut, dapat terlihat bahwa ia ingin meningkatkansoft power AS secara global.

Pada Februari 2022, Presiden Joe Biden mengumumkan strategi barunya untuk kawasan Indo-Pasifik yang tertuang dalam dokumen Indo-Pacific Strategy of The United States yang memuat komitmen, promosi, strategi dan implementasi Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik dan menjanjikan dukungan untuk konektivitas kawasan, perdagangan dan investasi, serta memperdalam kemitraan bilateral dan multilateral. Strategi tersebut akan berfokus di setiap bagian kawasan Indo-Pasifik, mulai dari Asia Tenggara Asia Timur Laut, Asia Selatan, Oseania, hingga Kepulauan Pasifik. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa salah satu alasan fokus Amerika di kawasan Indo-Pasifik yang semakin intensif dikarenakan Indo-Pasifik menghadapi tantangan yang berat terkhususnya tekanan yang diberikan oleh Cina.

Strategi Indo-Pasifik Joe Biden memiliki lima poin dimana setiap poin direncanakan untuk dilaksanakan bersama dengan para sekutu dan rekan AS, juga dengan institusi-institusi regional di Indo-Pasifik. Berdasarkan dokumen Indo-Pacific Strategy of The United States (2022) lima poin tersebut antara lain :

1) Memajukan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka

Kepentingan utama Amerika Serikat, bersama dengan mitra-mitranya adalah untuk menciptakan wilayah Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, di mana setiap negara dapat menjalankan kepentingan mereka sendiri secara berdaulat sesuai dengan hukum internasional

(12)

yang berlaku. Amerika Serikat memandang pentingnya menjaga kebebasan dan keadilan di wilayah ini, termasuk dalam ruang laut, angkasa, dan daratan, yang diatur oleh hukum yang berlaku. Strategi Amerika Serikat dimulai dengan membangun ketahanan di setiap negara di wilayah Indo-Pasifik. Amerika Serikat akan berupaya untuk mendukung masyarakat yang terbuka dengan berinvestasi dalam lembaga-lembaga yang demokratis, kebebasan pers, dan masyarakat sipil.

Amerika Serikat juga berkomitmen untuk memberantas korupsi di wilayah Indo-Pasifik dengan meningkatkan transparansi fiskal. Tujuannya adalah untuk mengungkap kasus korupsi dan mendorong reformasi di negara-negara tersebut. Amerika Serikat akan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk melalui diplomasi, bantuan asing, dan kerja sama dengan organisasi regional, untuk mencapai hal ini. Selain itu, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan para mitra untuk memastikan wilayah Indo-Pasifik tetap terbuka dan dapat diakses oleh semua negara. Amerika Serikat berkomitmen untuk menjaga agar laut dan wilayah angkasa Indo-Pasifik diatur dan digunakan sesuai dengan hukum internasional, terutama dalam konteks Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur yang merupakan wilayah yang penting secara strategis.

Selain itu, Amerika Serikat dan mitra-mitranya akan berupaya meningkatkan penggunaan teknologi, internet, dan ruang siber di wilayah Indo-Pasifik. Salah satu caranya adalah dengan membangun sarana internet yang terbuka, yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan koneksi antara negara-negara di wilayah tersebut. Dengan melakukan langkah-langkah ini, Amerika Serikat bersama dengan para mitra berkomitmen untuk menciptakan wilayah Indo-Pasifik yang aman, terbuka, dan berkelanjutan, yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan, aturan hukum, dan kerjasama regional.

2) Membangun Koneksi di dalam dan Luar Wilayah

Amerika Serikat memiliki tujuan untuk memajukan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka dengan cara meningkatkan perannya dalam membangun kerjasama dengan para sekutu dan mitra AS dan juga bersama dengan lembaga-lembaga regional di Indo-Pasifik. Upaya ini diwujudkan melalui aliansi dan kemitraan bersama dengan ASEAN, India, Quad, dan juga Eropa; kerja sama ekonomi, diplomatik, pertahanan, serta peningkatan investasi terhadap kawasan Indo-Pasifik.

Dalam rencana ini, Amerika Serikat berencana untuk bekerja sama dengan ASEAN guna menemukan solusi berkelanjutan terhadap tantangan-tantangan yang mendesak di wilayah

(13)

Indo-Pasifik. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, AS akan memperdalam kerja sama yang sudah berjalan lama dengan ASEAN di berbagai bidang, seperti kesehatan, energi, transportasi, iklim dan lingkungan, serta pemerataan dan kesetaraan gender. Selain itu, AS juga akan mendukung peningkatan hubungan dengan mitra-mitra di Asia Selatan. Rencana ini akan memberikan prioritas pada pembangunan mekanisme untuk menangani bantuan kemanusiaan dan kebutuhan bantuan dalam menghadapi bencana, keamanan maritim, kelangkaan air, serta respons terhadap pandemi (White House, 2022).

Karena negara-negara sekutu dan mitra Amerika Serikat di luar wilayah Indo-Pasifik juga semakin memperhatikan kawasan ini termasuk Uni Eropa dan NATO, Amerika Serikat akan mengambil kesempatan untuk menyelaraskan pendekatannya dan melaksanakan inisiatif-inisiatifnya. Fokus utamanya adalah membangun konektivitas regional yang berfokus pada ranah digital, serta menegakkan hukum internasional, terutama di wilayah maritim. Dalam proses ini, Amerika Serikat akan berusaha membangun jembatan antara wilayah Indo-Pasifik dan wilayah Euro-Atlantik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara kedua wilayah tersebut. Amerika Serikat juga akan bekerja sama secara erat dengan PBB dalam upaya mencapai tujuan bersama dalam bidang keamanan dan kerja sama internasional.

3) Mendorong Kemakmuran Indo-Pasifik

Amerika Serikat akan mengedepankan pembentukan Indo-Pacific Economic Framework sebagai kemitraan multilateral di Indo Pasifik. Kerangka kerja ekonomi ini akan memanfaatkan kemajuan teknologi terutama dalam bidang ekonomi digital dan melakukan adaptasi dalam transisi energi dan iklim yang akan datang. AS akan mengembangkan pendekatan baru untuk perdagangan yang memenuhi standar tenaga kerja dan lingkungan yang tinggi dan akan memberikan aturan baru di bidang ekonomi digital. AS juga akan memajukan rantai pasokan yang tangguh dan aman serta terbuka, sambil menghilangkan hambatan dan meningkatkan transparansi dalam bidang informasi. AS juga akan melakukan investasi dalam bidang dekarbonisasi dan energi bersih, dan bekerja bersama Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dalam mempromosikan perdagangan dan investasi yang bebas, adil, dan terbuka (White House, 2022).

4) Memperkuat Keamanan Indo-Pasifik

(14)

Amerika Serikat berencana untuk meningkatkan kapabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan serta mencegah agresi untuk menangkal koersi Cina terhadap wilayah teritorial Indo-Pasifik terutama yang berkaitan dengan konflik Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan.

Amerika Serikat juga akan memastikan militernya dapat beroperasi dengan bebas di kawasan Indo-Pasifik. Karena itu, AS sedang mengembangkan konsep operasi baru, dengan membangun militer yang lebih kuat serta memperluas cakupan dan meningkatkan kompleksitas pelatihan dan operasi militernya. Hal tersebut dilakukan AS salah satunya dengan cara menyatukan para mitra Indo-Pasifik dan Eropa termasuk melalui kemitraan AUKUS.

5) Membangun Ketahanan Wilayah Terhadap Ancaman Transnasional Abad ke-21

Strategi AS pada poin ke 5 ini akan berpusat pada penanganan krisis iklim di kawasan Indo-Pasifik yang merupakan kawasan dengan 70% paling banyak mengalami bencana alam di dunia. Karena itu, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan negara-negara di Indo-Pasifik, untuk merancang target, rencana strategi, dan kebijakan 2030 dan 2050 yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius. Melalui inisiatif seperti Clean EDGE, AS akan mendorong investasi dan berupaya menerapkan teknologi energi bersih, mendorong dekarbonisasi sektor energi, dan mendorong investasi infrastruktur yang mendukung iklim yang baik.

4.4 Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan IPEF 4.4.1 Pembentukan IPEF

Selama kunjungan perdananya ke Asia pada akhir Mei 2022, Presiden AS Joe Biden secara resmi meluncurkan “Indo-Pacific Economic Framework” (IPEF) di Jepang sehari sebelum penyelenggaraan KTT 2022 Quad Leaders Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat. AS pertama kali memperkenalkan IPEF pada Oktober 2021 pada KTT Asia Timur tahunan yang diselenggarakan oleh Brunei dan secara resmi meluncurkan kerangka tersebut setelah tujuh bulan persiapan. IPEF diharapkan menjadi platform yang dipimpin oleh AS untuk negosiasi ekonomi.

AS memproyeksikan bahwa kawasan Indo-Pasifik sebagai rumah bagi 60% populasi dunia akan menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan global selama 30 tahun ke depan. Melalui IPEF, AS bertujuan untuk menyusun peraturan baru guna mempromosikan perdagangan berstandar tinggi, mengatur ekonomi digital, meningkatkan ketahanan rantai pasokan, dan mengkatalisasi investasi

(15)

dalam infrastruktur berstandar tinggi yang transparan sekaligus menciptakan peluang bagi semua mitra Indo-Pasifik.

IPEF yang dipimpin oleh AS melibatkan tiga belas negara Indo-Pasifik yakni Australia, Brunei, Fiji, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Keempat belas negara ini mewakili 40% dari PDB global dan 28% dari perdagangan barang dan jasa global (USTR, 2022). Negara peserta diperbolehkan untuk memilih nomor berapa pun dari empat pilar tersebut namun diharapkan untuk berkomitmen pada semua aspek dari setiap pilar yang mereka ikuti (Arasasingham et al., 2022).

IPEF memulai negosiasi formal pertama pada pertemuan tingkat menteri di bulan September 2022, di mana negara-negara peserta akan mengumumkan pilar pilihan mereka untuk negosiasi.

IPEF bertujuan mengumumkan hasil negosiasi pada KTT Pemimpin Asia-Pacific Economic Cooperation yang akan diselenggarakan AS pada November 2023 (White House, 2022). Sebagai perjanjian internasional, IPEF akan menjalani ratifikasi di negara-negara peserta sebelum berlaku. Namun, AS berencana untuk merancang IPEF sebagai perjanjian eksekutif yang tidak memerlukan persetujuan kongres. Juga karena tidak ada cukup waktu untuk menyelesaikan negosiasi IPEF pada November 2023, AS mempertimbangkan untuk menerapkan “Early Harvest” pada IPEF, yang berarti bahwa kesepakatan pada masing-masing pilar dapat berlaku segera setelah disepakati, sehingga tidak perlu menunggu kesepakatan yang komprehensif pada semua pilar IPEF (USTR, 2022).

IPEF berfokus pada empat pilar utama: (1) Ekonomi Terhubung, (2) Ekonomi Tangguh, (3) Ekonomi Bersih, dan (4) Ekonomi Adil. Pilar satu memiliki tujuh modul antara lain ekonomi digital dan teknologi baru (aliran data lintas batas dan lokalisasi data, privasi online dan penggunaan kecerdasan buatan yang diskriminatif dan tidak etis), tenaga kerja, lingkungan, dll., dan Pilar 2 sampai 4 mencakup sepuluh modul yakni diversifikasi rantai pasokan, energi terbarukan, dekarbonisasi, antikorupsi, dan perpajakan. IPEF akan menjadi upaya bersama antara Departemen Perdagangan Amerika Serikat atau Department of Commerce(DoC) dan US Trade Representative (USTR), dengan masing-masing lembaga mengawasi pilar terpisah untuk negosiasi. USTR akan memimpin Pilar Perdagangan yang Adil dan Tangguh, dan DoC akan menangani Pilar Ketahanan Rantai Pasokan, Energi Bersih, Dekarbonisasi, Infrastruktur, Perpajakan, dan Antikorupsi (CRS, 2023).

(16)

IPEF adalah inisiatif berwawasan ke depan yang berfokus pada beberapa masalah paling mendesak yang dihadapi pemerintah regional dan warganya, seperti gangguan rantai pasokan, dampak perubahan iklim yang parah, dan kesenjangan digital yang berkembang. Sementara perdagangan adalah fitur penting dari inisiatif tersebut, namun memiliki agendanya yang berbeda dengan perjanjian perdagangan tradisional lainnya. Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan mengatakan bahwa "IPEF adalah kerangka ekonomi abad ke-21 yang dirancang untuk mengatasi tantangan ekonomi abad ke-21." IPEF memiliki rancangan yang diharapkan berfungsi sebagai sarana untuk menetapkan norma dan standar bersama di antara negara-negara sambil melanjutkan kerja sama dan upaya peningkatan kapasitas.

4.4.2 Analisis Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan IPEF

4.4.2.1 Kepentingan Ekonomi

Neorealisme memberikan pandangan bahwa yang mendasari perilaku negara ialah karena adanya struktur atau sistem anarki dalam hubungan internasional. Struktur anarki inilah yang memaksa negara dalam mengambil kebijakan yang bersikap agresif (Mearsheimer, 2013:78).

Struktur internasional yang bersifat anarki ini membuat negara merasa pesimis dan merasa insecure terhadap negara lain sehingga menyebabkan setiap negara akan selalu berusaha untuk mengejar kekuatan (power) dan berusaha untuk mencapai kapabilitas keamanan (security) semaksimal mungkin. Power dalam pandangan neorealisme adalah kemampuan negara dalam mencapai keamanan militer maupun ekonomi yang kuat. John Mearsheimer melihat power sebagai tujuan utama yang harus dicapai oleh setiap negara karenapowerdapat memberi negara tempat atau posisi dalam sistem internasional (Mearsheimer, 2001).

Melihat dari perspektif neorealisme tersebut, faktor pertama yang kemudian menjadi alasan AS menginisiasi pembentukan IPEF adalah adanya kepentingan ekonomi (economic interest).

Menurut Nuechterlein, setiap negara memiliki kepentingan untuk selalu berupaya meningkatkan dan menstabilkan kondisi ekonominya dengan cara meningkatkan hubungan ekonomi negara tersebut dengan negara lain (Nuechterlein, 1976). Menurut pandangan Donald Nuechterlein, kepentingan ekonomi adalah faktor krusial bagi setiap negara dalam upaya meningkatkan dan menstabilkan kondisi ekonominya. Negara-negara memiliki kepentingan untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan negara lain, karena hubungan ekonomi yang kuat dapat memberikan

(17)

manfaat ekonomi dan meningkatkan stabilitas domestik. Dalam era globalisasi dan persaingan ekonomi yang semakin ketat, faktor ekonomi menjadi sumber kekuatan yang signifikan bagi suatu negara. Keberhasilan dalam bidang ekonomi dapat memberikan reputasi dan pengakuan internasional, serta meningkatkan posisi dan pengaruh suatu negara dalam komunitas global.

Nuechterlein juga menganggap kepentingan ekonomi sebagai kepentingan yang setara dengan kepentingan pertahanan. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian yang kuat dan berkembang dapat menjadi sumber kekuatan dan kestabilan bagi suatu negara.

Amerika Serikat memiliki beberapa kepentingan ekonomi yang mendasarinya dalam menginisiasi pembentukan IPEF. Kepentingan yang pertama ialah integrasi kawasan Indo-Pasifik yang semakin bertumbuh dan banyaknya potensi wilayah yang dimiliki Indo-Pasifik. Secara geografis, jalur ekonomi dan perdagangan maritim dunia seperti Terusan Suez, Selat Hormuz, dan Selat Malaka, terhubung erat dengan Samudra Hindia. Dari sisi ekonomi dan perdagangan, sekitar separuh volume perdagangan dunia melintasi jalur laut Samudera Hindia Pasifik dan keterbukaan jalur laut di kawasan Indo-Pasifik menjadi semakin penting bagi negara-negara di kawasan dan dunia (Wong, 2018). Dalam hal kebutuhan primer, total konsumsi negara-negara di kawasan ini setara dengan sekitar 45% dari total global, dan sebagian besar diangkut melalui laut (IMF, 2022). Dari sini terlihat bahwa kawasan Indo-Pasifik memiliki pasar konsumen yang besar dan kapasitas transportasi laut yang kuat. Dari sudut pandang strategis, mengendalikan Samudra Hindia memudahkan Amerika Serikat untuk menerapkan strategi globalnya. US Chamber of Commerce mengatakan bahwa mereka khawatir AS akan semakin tertinggal karena percepatan integrasi ekonomi di seluruh kawasan Indo-Pasifik dimana kawasan tersebut diperkirakan oleh IMF akan mendapatkan kembali tingkat pertumbuhan rata-rata lebih dari 5% pada tahun 2021.

Eksportir, pekerja, dan industri pertanian AS akan mendapatkan keuntungan yang besar jika mereka mendapatkan akses yang luas di kawasan ini (Gunia, 2020).

Kepentingan ekonomi Amerika Serikat selanjutnya ialah Amerika Serikat berupaya untuk mengisi kekosongannya dalam bidang kerjasama ekonomi di kawasan Indo-Pasifik. Dalam bidang militer, Amerika Serikat memang memiliki kekuatan militer yang lebih kuat dibanding Cina, namun dari segi kerjasama ekonomi di kawasan Indo-Pasifik, AS cukup tertinggal dibanding Cina. Cina telah memperoleh pijakan besar dalam hal integrasi ekonomi di Indo-Pasifik melalui proyek BRI. Cina juga merupakan anggota blok perdagangan terbesar di dunia yakni RCEP dengan 15 anggota negara. Bahkan pada tahun 2021, Cina juga mencoba

(18)

mendaftar untuk bergabung dalam CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership) yang dulu bernama TPP dan saat ini telah beranggotakan 11 negara (Stephens, 2021). Sedangkan tidak satupun dari dua organisasi kerjasama ekonomi terbesar di kawasan ini diikuti oleh AS.

Menurut Mearsheimer dalam hubungan internasional tujuan setiap negara berinteraksi adalah untuk menjadi hegemon. Setiap kebijakan yang dikeluarkan negara harus berupaya untuk mencapai kekuatan yang maksimal. Booth (2011) menjelaskan bahwa neorealisme melihat sistem internasional sebagai kontes antar negara dengan struggle for power yang merupakan hasil dari sistem anarki dan dicirikan oleh pola distribusi kekuasaan (distribution of power).

Dengan adanyastruggle for powerdan rasa tidak aman, negara-negara kemudian berjuang untuk mencari keselamatan masing-masing (survival) dan mekanisme pertahanan diri (self-help) melalui peningkatan kapabilitas. (Grieco, 1988). Peningkatan kapabilitas ini dapat dilakukan salah satunya dengan melalui kerja sama aliansi dengan negara-negara yang memiliki power besar.

Sejak keluarnya pemerintahan Trump dari Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) pada tahun 2017, kerjasama ekonomi multilateral AS di Indo-Pasifik paling banyak bersifat sporadis atau tidak menentu, dan pengaruh AS di kawasan ini sebagian besar dibentuk dalam bidang keamanan (Cutler & Price, 2022). Meskipun bidang keamanan penting, namun tanpa pilar ekonomi yang kuat, keterlibatan AS tidak akan lengkap dan akan semakin mendorong negara-negara Indo-Pasifik lebih dekat ke Cina dalam hal perdagangan dan investasi. Dengan aksesi Cina ke RCEP dan upayanya untuk bergabung dengan CPTPP, pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik akan semakin berkembang. Untuk dapat menyeimbangkan perkembangan Cina, Amerika Serikat harus memberikan alternatif bagi negara-negara Indo-Pasifik agar tidak terlalu bergantung dengan Cina. Karena itu, untuk memaksimalkan kapabilitas dan mempertahankan posisi terdepannya di kawasan Indo-Pasifik, Amerika Serikat memutuskan untuk membangun sistem ekonomi baru melalui IPEF yang juga diharapkan dapat mengisi kekosongan pengaruh AS di bidang ekonomi sejak mundur dari TPP.

Joe Biden sendiri telah mempertegas bahwa AS tidak akan meninjau kembali untuk kembali bergabung dengan CPTPP. Karena perjanjian perdagangan CPTPP telah menyebabkan reaksi yang cukup besar dari rakyat Amerika yang khawatir dengan adanyaoffshoringdanoutsourcing yang dapat membuat mereka kehilangan pekerjaan jika Amerika Serikat meratifikasi perjanjian

(19)

tersebut (Iwamoto, 2022). Joe Biden sendiri memiliki pendekatan administrasi "foreign policy for the middle class" atau kebijakan luar negeri untuk kelas menengah, yang diharapkan akan memungkinkan warga negara biasa Amerika Serikat untuk melihat manfaat lebih besar dari perdagangan dan diplomasi yang dilakukan AS (White House, 2022). Oleh karena itu, Amerika Serikat di bawah pemerintah Presiden Joe Biden, merumuskan kerangka IPEF yang tidak hanya memperluas kerjasama ekonomi di Indo-Pasifik namun juga tetap memproteksi ekonomi AS dari kerugian yang ditimbulkan dari adanya kesepakatan perdagangan. Hal ini kemudian juga menjadi kepentingan ekonomi AS yang mendasari inisiasi pembentukan IPEF.

Tindakan Amerika Serikat ini juga sejalan dengan pandangan neorealis yang melihat bahwa negara akan cenderung memaksimalkan keuntungan dan kepentingan nasionalnya dalam melakukan kerjasama. Kepentingan nasional seringkali dijadikan sebagai kriteria atau tolak ukur bagi para pengambil kebijakan negara dalam merumuskan dan menetapkan keputusan atau tindakan. Salah satu pemikir neorealisme, Joseph Grieco (1988), berfokus pada konsep keuntungan relatif dan absolut (relative and absolute gains). Grieco memberikan kritik terhadap neoliberalis yang menyatakan bahwa negara hanya tertarik terhadap keuntungan absolut saja.

Grieco menyatakan bahwa negara-negara tertarik untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh mereka (keuntungan absolut), dan dengan demikian suatu negara akan bekerja sama dengan negara lain agar dapat meningkatkan kapabilitas mereka. Namun, Grieco juga mengatakan bahwa negara juga peduli akan seberapa besar kekuatan dan pengaruh yang mungkin dicapai negara lain (keuntungan relatif) dalam setiap kerjasama yang dilakukan.

Kepentingan ekonomi AS selanjutnya ialah, melalui IPEF AS berupaya menawarkan alternatif yang efektif dan khas untuk dapat menyaingi RCEP dan BRI dari Cina. Dewan Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa, untuk dapat bersaing dengan BRI Cina, Amerika Serikat tidak dapat dan tidak boleh menanggapi BRI secara simetris, dengan hanya saling menandingkan proyek demi proyek, namun AS juga harus menawarkan sesuatu yang khas dan menarik. Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam merumuskan strategi yang menyaingi Cina dan memberikan alternatif yang efektif untuk BRI yang dapat mempromosikan infrastruktur berkelanjutan, menegakkan standar lingkungan dan antikorupsi yang tinggi, memastikan perusahaan AS dapat beroperasi di tempat yang setara, dan membantu negara-negara dalam mempertahankan kemandirian politik mereka (Council on Foreign Policy, 2021). Hal ini mengharuskan pemerintahan Biden untuk meningkatkan daya saing AS, bekerja

(20)

dengan sekutu, mitra, dan organisasi multilateral yang dapat memenuhi kebutuhan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik.

Gambar 1. Perbandingan ekspor dan perdagangan barang dan jasa antara Amerika Serikat dan Cina di Indo-Pasifik di tahun 2020

Sumber: IMF, OECD, EU Services Trade data are for 2020

Berdasarkan data diatas dapat terlihat bahwa Cina mendominasi perdagangan regional di Indo Pasifik dengan negara-negara maju dari pada AS dan AS hanya mengungguli di tiga negara saja yakni Vietnam, India, dan Bangladesh dalam bidang ekspor. Sebagai produsen top dunia, tidak mengherankan jika Cina memainkan peran yang jauh lebih besar daripada AS dalam arus perdagangan regional. Semua negara dengan ekonomi maju di Indo-Pasifik memiliki hubungan perdagangan barang dua arah yang lebih besar dengan Cina daripada AS, hal ini kemudian menandai ketergantungan negara-negara Indo-Pasifik terhadap Cina sebagai pemasok.

Sedangkan dalam bidang jasa, AS lebih unggul dibanding Cina. Data dari OECD tersebut menunjukkan bahwa AS banyak menjalin kerjasama dalam bidang jasa dengan Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan daripada Cina. Penurunan di bidang jasa dari Cina sendiri disebabkan adanya pandemi yang memberikan dampak bagi ekspor impor jasa dari Cina.

Melihat pengaruh Cina yang semakin mendominasi di wilayah ini, tentu saja akan menjadi

(21)

ancaman bagi Amerika Serikat. Dengan pertumbuhan ekonomi dan pengaruh Cina yang semakin besar, posisi hegemoni regional di Indo-Pasifik dapat bergeser ke Cina dan jaminan keamanan (survival) yang dapat diraih AS dengan menjadi hegemoni global dapat terenggut. Sehingga disinilah kepentingan nasional AS untuk dapat menjadi menyeimbangangi kekuatan dari kebangkitan Cina.

Untuk dapat menyaingi Cina, Amerika Serikat melalui IPEF, menawarkan beberapa hal yang khas dalam bidang tertentu seperti energi bersih, pajak, dan privasi data yang berbeda dengan perjanjian perdagangan bebas pada umumnya. Berbeda dengan CPTPP dan RCEP, IPEF saat ini tidak mencakup akses pasar seperti pengurangan tarif untuk negosiasi, tetapi mencakup negosiasi di berbagai bidang di luar perjanjian perdagangan konvensional. Sebaliknya, AS mencari kerja sama dalam pilar strategis, seperti ketahanan rantai pasokan dan ekonomi digital.

IPEF juga merupakan upaya untuk membangun kerjasama ekonomi yang mencakup India, Korea Selatan, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Fiji, yang tidak berpartisipasi dalam CPTPP.

Pembentukan IPEF juga berbeda dari perjanjian perdagangan bebas tradisional, yang seringkali memakan waktu bertahun-tahun untuk persetujuan kongres, negosiasi dan memerlukan ratifikasi oleh negara-negara peserta. IPEF tidak memerlukan persetujuan kongres dan hal ini memungkinkan negosiasi yang lebih cepat dan dapat menghindari potensi oposisi politik di AS (Ward, 2022). Ketahanan rantai pasokan juga menjadi hal yang menarik dan sangat penting bagi IPEF karena AS bertujuan untuk mencapai keamanan ekonomi nasional dengan memproduksi barang-barang yang penting bagi keamanan dan ekonomi nasional (reshoring) di dalam negeri atau membangun rantai pasokan 'bebas Cina' dengan negara-negara mitra (friend-shoring) (Seonju Kang, 2022). Sejalan dengan itu, reformasi regulasi dalam IPEF dapat memajukan keamanan ekonomi, karena memberikan standar untuk menentukan negara mitra yang dapat diandalkan.

IPEF juga menunjukkan bahwa AS sedang bergeser dari globalisasi laissez-faire ke arah globalisasi terkelola atau yang disebut globalisasi 2.0. Meskipun perdagangan bebas dan globalisasi telah mendorong banyak efisiensi ekonomi dan maksimalisasi keuntungan selama 30 tahun terakhir, namun disisi lain globalisasi juga menimbulkan konsekuensi negatif seperti deindustrialisasi, ketimpangan pendapatan, dan sebagainya. Pemerintahan Biden tampaknya berpandangan bahwa, mengingat lanskap hubungan internasional, politik dalam negeri, dan ekonomi di abad ke-21, globalisasi tanpa batas sampai saat ini tidak lagi berkelanjutan dan oleh

(22)

karena itu AS berupaya menuju globalisasi terkelola. Sejalan dengan kebijakannya "foreign policy for the middle class", administrasi Biden memandang bahwa menopang kelas menengah sangat penting untuk memajukan kepentingan nasional dan berusaha menghindari globalisasi dan FTA yang secara politik tidak berkelanjutan dan membebani rakyat Amerika. Pemerintahan Biden berupaya menyesuaikan globalisasi dengan cara yang didukung oleh serikat buruh dan masyarakat sipil. Penekanan yang lebih besar pada standar ketenagakerjaan dan lingkungan dalam IPEF sejalan dengan kecenderungan pemerintahan Biden yang semakin meningkat ke arah globalisasi 2.0.

4.4.2.2 Kepentingan Tatanan Dunia (World Order Interest)

Nuechterlein mendefinisikan kepentingan tatanan dunia sebagai upaya pemeliharaan sistem politik dan ekonomi internasional di mana suatu negara dapat merasa aman dan di mana warga negara dan perdagangan dapat beroperasi secara damai dan aman di luar negaranya (Nuechterlein, 1978). Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk menandingi pengaruh Cina yang semakin meningkat di Indo-Pasifik. Melalui IPEF, Amerika Serikat berusaha membangun tatanan politik dan keamanan baru di Indo-Pasifik. Integrasi dan ketergantungan negara-negara Indo-Pasifik terhadap Cina semakin mengkhawatirkan AS secara geoekonomi dan geostrategis.

Hal ini disebutkan AS dalam dokumen Indo-Pacific Strategy of The United States bahwa fokus Amerika yang semakin intensif di Indo-Pasifik dikarenakan Indo-Pasifik menghadapi tantangan yang berat khususnya dari Cina dimana Cina mengkombinasikan kekuatan ekonomi, diplomasi, militer, dan teknologinya seiring mereka berupaya mendapatkan ruang untuk mempengaruhi kawasan Indo-Pasifik dan bertujuan untuk menjadi kekuatan yang paling berpengaruh di dunia (White House, 2022).

AS juga menyebutkan bahwa koersi dan agresi Cina telah menyebar ke seluruh dunia, namun yang paling serius terjadi di Indo-Pasifik mulai dari koersi ekonomi Australia, konflik Line of Actual Control atau Garis Kontrol Aktual dengan India, sampai tekanan yang semakin meningkat terhadap Taiwan dan konflik dengan negara-negara di Laut Cina Timur dan Selatan.

Negara-negara di Indo-Pasifik juga khawatir jika Cina dapat menggunakan kekuatan ekonominya di kawasan Indo-Pasifik untuk melemahkan kedaulatan mereka. Mereka ingin Amerika Serikat memperdalam hubungan ekonomi sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap Cina (The Economist, 2022). Negara-negara maju seperti Korea

(23)

Selatan, Jepang, Australia tidak hanya secara bertahap meningkatkan ketergantungan mereka pada Cina secara ekonomi melalui perdagangan bilateral, tetapi juga bergabung dengan RCEP yang bagi banyak pakar menganggapnya sebagai tata ekonomi negara Cina di kawasan tersebut (CWTS, 2022). Menurut Laporan Survei Negara Asia Tenggara, Cina dianggap sebagai kekuatan ekonomi paling berpengaruh sejak 2019 (dipilih oleh sekitar 75% responden), jauh lebih tinggi dibanding Amerika Serikat yang hanya dipilih oleh 8,9% responden (ISEAS, 2022).

Gambar 2. Survey yang menunjukkan Cina sebagai kekuatan ekonomi paling berpengaruh di Indo-Pasifik

Sumber: ISEAS Yusof Ishak Institute

Kebangkitan ekonomi Cina yang semakin meningkat di Indo-Pasifik dapat menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan ini termasuk Amerika Serikat. Setelah Perang Teluk, Cina memulai modernisasi militernya. Tujuannya adalah untuk memiliki kekuatan militer yang lebih efektif, didorong oleh kebangkitan kekuatan ekonominya, serta kemajuan dibidang teknologi dan rantai pasokannya. Militer Cina telah berevolusi dari mempersiapkan konflik lokal menjadi kekuatan yang mampu memproyeksikan dan berperang di luar perbatasannya.

Pengeluaran pertahanan Cina, sebesar US$252 miliar, merupakan terbesar kedua di dunia dan kira-kira sepertiga dari pembelanjaan pertahanan AS dan tiga setengah kali lipat dari India (Sipri, 2020). Peningkatan belanja pertahanan yang besar ini sejalan dengan strategi jangka panjang Cina untuk mendukung ambisi nasionalnya menjadi pemimpin dunia. Saat ini, Cina adalah

(24)

kekuatan militer dan teknologi yang dominan dibandingkan dengan negara-negara di Indo-Pasifik yang sedang berkembang. Cina juga sedang membangun infrastruktur perangnya di Laut Cina Selatan dan Tibet, yang menunjukkan niatnya yang lebih agresif.

Cina memiliki sengketa teritorial dengan banyak negara di wilayah Indo-Pasifik. Beberapa diantaranya ialah memperebutkan kendali Jepang atas Kepulauan Senkaku dan telah mengklaim kedaulatan atas Laut Cina Selatan. Cina juga terlibat dalam pembuatan pulau buatan, pembangunan lapangan terbang, dan pembangunan pangkalan militer di Kepulauan Parcel dan Spratly dan memperluas zona ekonomi eksklusif di wilayah perairan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam yang memiliki garis klaim yang bertentangan di Laut Cina Selatan. Selain itu, konflik dengan Taiwan juga terus menjadi agenda yang mengkhawatirkan. Masing-masing tindakan Cina ini memiliki potensi untuk meningkatkan ancaman dan menggoyahkan kawasan Indo-Pasifik.

Dalam perspektif neorealisme, penting bagi Amerika Serikat untuk meningkatkan pengaruh ekonominya di wilayah Indo-Pasifik agar tidak tertinggal dari pengaruh Cina yang semakin berkembang dan berpotensi menjadi hegemoni di kawasan tersebut. Neorealisme mengasumsikan bahwa struktur internasional adalah anarki, di mana tidak ada otoritas yang mengatur hubungan antara negara-negara dan interaksi di antara mereka. Dalam kondisi anarki ini, potensi serangan dan konflik antar negara menjadi tidak terprediksi. Kondisi ketidakpastian ini mendorong setiap negara untuk mencapai keamanan dan/atau kekuatan seoptimal mungkin.

Dalam pandangan neorealisme, kekuatan (power) merupakan kapabilitas material yang dapat dikontrol oleh negara. Faktor militer dan ekonomi dianggap sebagai penentu utama kualitas kekuatan suatu negara. Dalam hal ini, neorealisme setuju dengan pandangan realisme klasik bahwa militer dan ekonomi berperan penting dalam menentukan kekuatan suatu negara. Negara diharapkan untuk terus mencari peluang untuk mendapatkan kekuatan lebih banyak dan memaksimalkannya ketika memungkinkan. Tujuan akhirnya adalah mencapai hegemoni, karena dianggap sebagai cara terbaik untuk menjamin kelangsungan hidup negara. Dalam konteks ini, Amerika Serikat dihadapkan pada kebutuhan untuk memperkuat pengaruh ekonominya di wilayah Indo-Pasifik untuk mengimbangi pengaruh Cina. Hal ini melibatkan upaya dalam bidang ekonomi, keamanan, dan diplomasi untuk mempertahankan dan memperluas kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat. Dalam pandangan neorealisme, mencapai hegemoni atau posisi

(25)

terkuat dalam kawasan menjadi tujuan yang diupayakan oleh negara untuk memastikan kepentingan dan kelangsungan hidupnya.

Maka jika melihat dari perspektif Neorealisme, pembentukan IPEF tidak hanya untuk kepentingan ekonomi saja namun juga sebagai bagian dari pertarungan politik dan penyebaran pengaruh Amerika Serikat agar dapat menjadi hegemoni di kawasan Indo-Pasifik. Dalam dokumen Indo-Pacific Strategy of The United States disebutkan bahwa melalui IPEF, Amerika Serikat berupaya berinvestasi di kawasan Indo-Pasifik guna menyelaraskan pendekatan dengan para sekutu dan mitra di Indo-Pasifik dan bersaing dengan Cina untuk melindungi kepentingan dan visi AS bersama dengan negara-negara lain di Indo-Pasifik. Amerika Serikat juga berupaya untuk memperkuat sistem internasional, mempertahankan nilai-nilai yang dipegang bersama, dengan tujuan bukan untuk menyingkirkan Cina, namun untuk membentuk lingkungan strategis di mana setiap negara dapat secara bebas beroperasi, berdagang dan membangun keseimbangan antar negara yang dapat secara maksimal menguntungkan Amerika Serikat dan juga para sekutu dan mitra AS (White House, 2023).

Neorealisme menyebutkan bahwa Negara-negara yang mendapatkan hegemoni regional memiliki tujuan dan kepentingan nasional lebih lanjut lagi yakni mereka berusaha mencegah kekuatan besar di wilayah geografis lain untuk menduplikasi prestasi mereka dan menjadi hegemoni di kawasan lain (Mearsheimer, 2007). Negara yang berhasil menjadi hegemoni regional tidak menginginkan adanya pesaing. Brzezinski mengkalim bahwa troika hegemoni terdiri dari keuangan, kapasitas produksi, dan kekuatan militer. Sedangkan pencetus istilah "soft power", Joseph S. Nye membuat daftar mengenai sumber kekuatan hegemoni meliputi (1) kepemimpinan teknologi, (2) supremasi dalam militer dan ekonomi, (3) soft power, (4) kontrol terhadap koneksi jalur komunikasi internasional. Terakhir, Susan Strange menekankan hegemoni didapat melalui 4 struktur yaitu struktur keamanan, produksi, keuangan, dan pengetahuan (Yilmaz, 2010).

Amerika Serikat merancang kerangka IPEF dengan memfokuskan upayanya untuk membangun ekonomi yang terhubung (connected), tangguh (resilient), bersih (clean), dan adil (fair). Keempat tujuan ini merupakan empat pilar IPEF. “Connected Economy” mengacu pada penguatan kerjasama di bidang perdagangan internasional dan perumusan aturan ekonomi dan perdagangan internasional. Connected Economy secara khusus mencakup bidang-bidang penguatan kerja sama ekonomi digital, perumusan aturan tentang ekonomi digital, tenaga kerja

(26)

dan lingkungan; promosi fasilitasi perdagangan; peningkatan transparansi dan praktik pengaturan yang baik; dan tanggung jawab perusahaan. Resilient Economy mengacu pada peningkatan ketahanan rantai pasokan dan pengurangan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh guncangan rantai pasokan. Dimana secara khusus, Resilient Economy mencakup membangun sistem peringatan dini untuk rantai pasokan, menemukan distribusi pasokan untuk rantai pasokan mineral utama, meningkatkan ketertelusuran rantai produksi industri utama, dan kerja sama dalam mempromosikan diversifikasi produksi. Clean Economy mengacu pada tindakan yang diambil untuk memerangi perubahan iklim, dengan negara-negara anggota meningkatkan kerja sama dalam langkah-langkah baru dalam energi terbarukan, emisi karbon, standar efisiensi energi, dan mengekang emisi metana. Fair Economy mengacu pada penguatan kerja sama di bidang perpajakan dan antikorupsi, misalnya melalui pertukaran informasi perpajakan (USTR, 2023).

Jika dibandingkan dengan RCEP, dalam hal pengurangan dan pembebasan tarif, RCEP mengadopsi dua cara: pengurangan pajak langsung dan pengurangan pajak dalam sepuluh tahun, dan akhirnya mencapai tujuan tarif nol untuk lebih dari 90% perdagangan barang (Xiaoling Liu, 2022). Sedangkan IPEF tidak memiliki rencana untuk menegosiasikan tarif dan melonggarkan akses pasar. Dalam hal struktur ekonomi, sebagian besar model pembangunan ekonomi negara-negara anggota RCEP berorientasi ekspor, produksi dan konsumsi yang tidak seimbang.

Dalam IPEF, produksi dan konsumsi dapat saling melengkapi, yang juga merupakan alasan penting bagi negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan bergabung dengan IPEF (Premesha, 2022).

Dalam perumusan aturan, RCEP tidak menerapkan standar tinggi di bagian kekayaan intelektual, yang membuat anggota yang berpartisipasi lebih menerima perjanjian tersebut.

Sedangkan IPEF berfokus pada pembentukan standar terpadu, dan mewajibkan negara anggota untuk mencapai kesatuan dalam ekonomi digital, energi bersih, dekarbonisasi, perlindungan hak tenaga kerja, dan perlindungan lingkungan. Dalam hal kecenderungan kepentingan, RCEP secara khusus menyebutkan dalam Bab 15 "Kerjasama Ekonomi dan Teknis" bahwa "prioritas akan diberikan kepada kebutuhan negara-negara kurang berkembang" yang memungkinkan beberapa negara untuk melakukan reservasi pada konsesi tarif untuk beberapa komoditas (RCEP, 2020).

Sedangkan IPEF lebih menekankan prioritas Amerika Serikat dengan melihat pada dokumen Indo-Pacific Strategy yang menyatakan bahwa "Amerika Serikat adalah kekuatan ekonomi di

(27)

kawasan Indo-Pasifik. Memperluas kepemimpinan ekonomi Amerika Serikat di kawasan ini akan memastikan bahwa pekerja, usaha kecil, dan petani Amerika memiliki kemampuan untuk bersaing di pasar wilayah Indo-Pasifik."

Sejumlah pakar menilai bahwa tidak adanya pengurangan tarif dalam IPEF mungkin akan menjadi pertimbangan yang sulit bagi negara-negara untuk bergabung (Cutler & Price, 2022).

Namun AS memandang bahwa penurunan tarif tidak lagi diperlukan karena tarif telah diturunkan secara global di bawah rezim WTO dan rata-rata tarif MFN dari AS serendah 2,4% (IFAN, 2022). Sejak akhir 1990-an, aturan perdagangan sebagian besar berfokus pada pengurangan tarif melalui perjanjian perdagangan bebas. AS percaya bahwa aturan perdagangan baru harus fokus pada mengatasi hambatan non-tarif atau reformasi peraturan dan dalam hal ini IPEF membantu menetapkan aturan perdagangan baru di kawasan Indo-Pasifik.

Ratifikasi pilar-pilar IPEF oleh negara anggota juga tidak memerlukan persetujuan kongres dan hal ini memungkinkan negosiasi yang lebih cepat dan dapat menghindari potensi oposisi politik di AS. IPEF juga memungkinkan negara-negara anggotanya untuk menandatangani prakarsa individu tanpa berpartisipasi penuh di semua prakarsa tersebut (USTR, 2023). Sehingga dapat dikatakan bahwa IPEF peka terhadap keinginan negara-negara Indo-Pasifik untuk tidak harus memilih antara AS dan Cina. Hal ini merupakan strategi dan kebijakan yang baik untuk menandingi kekuatan Cina di bidang ekonomi tanpa perlu menciptakan konflik baru di kawasan.

Di antara keempat pilar IPEF, fokus utamanya adalah pada kerja sama di bidang supply chain. Bidang untuk rantai pasokan telah disinggung dalam CPTPP dan RCEP, tetapi di sana merujuk terutama pada kerja sama rantai pasokan, bukan pencegahan guncangan rantai pasokan.

Alasan perkembangan ini adalah sebagai akibat dari gesekan ekonomi dari perdagangan Cina-AS dan merebaknya pandemi COVID-19 dimana negara sekarang sepenuhnya menyadari pentingnya memastikan keamanan rantai pasokan. Negara-negara memang perlu memperkuat kerja sama dalam rantai pasokan untuk meningkatkan ketahanan rantai tersebut. Namun, dalam IPEF ini AS akan mengecualikan Cina yang merupakan pemain penting dalam rantai pasokan dan mempromosikan kerja sama yang bersifat decoupling atau upaya memisahkan diri dari pengaruh Cina. Melihat rancangan Amerika Serikat tersebut, dapat dikatakan bahwa IPEF merupakan upaya AS untuk dapat dapat menahan potensi ancaman dari Cina lewat pengaruh ekonominya .

(28)

Amerika Serikat bersama dengan Uni Eropa melakukandecouplingterhadap Cina dalam hal supply chain bukan tanpa alasan. Baik Uni Eropa maupun Amerika Serikat memandang dominasi Cina atas rantai pasokan mineral dan energi sebagai masalah keamanan nasional, karena mineral tersebut merupakan bahan utama bagi teknologi militer modern. Masalah ini semakin mendesak karena gangguan rantai pasokan energi yang berasal dari invasi Rusia ke Ukraina dan mempersenjatai ekspor minyak dan gasnya serta adanya laporan bahwa Cina sedang mempertimbangkan untuk melarang ekspor mineral dan magnet tanah yang langka tertentu sebagai tanggapan atas kontrol ekspor AS dan Belanda di semikonduktor dan peralatan fabrikasi ke Cina (Tabeta, 2023) (Hendrix, 2023). Amerika Serikat bersama dengan sekutunya kemudian khawatir jika kedepannya Cina dapat menggunakan kekuatannya dalam hal supply chainenergi dan mineral untuk melemahkan negara-negara lain seperti yang telah dilakukan Rusia. Oleh karena itu, Amerika Serikat perlu untuk melakukandecoupling terhadap Cina di bidangsupply chain.

Selanjutnya, Neorealis juga berpendapat bahwa karena politik internasional merupakan struktur yang anarkis dan memaksa setiap negara untuk memperjuangkan survivalitas negaranya, maka dalam politik internasional harus terdapat lebih dari satu aktor superpower (Mearsheimer, 2013). Hal ini bertujuan agar terdapat keseimbangan kekuatan (balance of power) dalam struktur internasional. Dalam pandangan neorealis, balance of power dapat terbentuk ketika terjadi kondisi dimana satu aktorsuperpowermenjadi penentu dalam sistem internasional. Sama seperti Mearsheimer, Waltz berpandangan bahwa keseimbangan kekuatan dapat terwujud jika terdapat dua aspek yang terpenuhi yaitu kondisi tatanan yang anarkis dan kondisi dimana tatanan tersebut berisikan aktor yang ingin selamat dari ancaman.

Dalam perspektif Neorealis keseimbangan kekuatan (balance of power) didasarkan pada gagasan meeting force with force yang berarti balance of power akan dapat tercapai apabila terdapat dua aktor yang memiliki kekuatan seimbang saling bertemu. Hal ini dapat dilogikakan dengan kondisi apabila kedua aktor dengan kekuatan besar tersebut saling serang satu sama lain maka kemungkinan untuk menang maupun kalah adalah 50:50 atau dengan kata lain kemungkinan kedua aktor tersebut untuk menang ataupun kalah sama-sama seimbang. Berangkat pada logika tersebut, dengan adanya dua kekuatan pada struktur internasional, maka kedua aktor akan berpikir berkali-kali untuk saling serang satu sama lain. Dengan meningkatnya militer dan juga pengaruh ekonomi Cina di Indo Pasifik, hal ini akan semakin mengancam kepentingan

(29)

nasional Amerika Serikat di Indo-Pasifik dalam hal dominasi, mobilitas pasukan militer, kerjasama, dan perdagangan. Meningkatnya kekuatan Cina di Indo-Pasifik juga dapat menjadikan Cina sebagai hegemoni regional di kawasan ini. Oleh karenanya AS berupaya untuk dapat menyeimbangi kekuatan Cina di Indo-Pasifik melalui pembentukan IPEF.

Sedangkan dalam hal konsep kepentingan nasional, Nuechterlein menyebutkan bahwa kepentingan tatanan dunia berkaitan dengan banyak isu internasional dan banyak negara menanganinya melalui organisasi internasional namun sejauh menyangkut tujuan politik, tujuan utama dari kepentingan tatanan dunia adalah untuk menjaga keseimbangan kekuatan yang dapat menjamin perasaan aman suatu negara (Nuechterlein, 1978). Untuk dapat menandingi pertumbuhan Cina, Amerika Serikat tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri saja. AS membutuhkan kerjasama dengan para sekutu, aliansi, dan mitra-mitra di kawasan ini. Karena itu, melalui IPEF, Amerika Serikat berupaya menawarkan inisiatif ekonomi yang khas untuk dapat membatasi pengaruh Cina. Karena AS berusaha untuk menggabungkan ekonomi dengan keamanan, tidak dapat dikesampingkan juga bahwa IPEF dinilai berpotensi mengarah pada pembentukan blok ekonomi di kawasan Indo-Pasifik meskipun AS tidak secara eksplisit menyatakan niatnya untuk melakukannya.

Referensi

Dokumen terkait

Kendati demikian melalui konsep teori ini dapat dilihat peran Australia dalam melakukan kerja sama keamanan dengan Amerika Serikat merupakan kepentingan akan keamanan