• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki (Studi Kasus Putusan No. 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst & No. 10/PID. TPK/2021/PT DKI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki (Studi Kasus Putusan No. 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst & No. 10/PID. TPK/2021/PT DKI)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kerangka Teori 1. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.9

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 1 Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat di suap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah, penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang penerimaan, uang sogok dan sebagainya.

Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dalam kamus besar Indonesia yaitu kecurangan dalam melakukan kewajiban sebagai pejabat.10

Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed Husein Alatas yang lebih luas: ”corruption is

9 Muhammad Shoim, Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2009, h.

14.

10 Hamzah Ahmad dan Anando Santoso, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Fajar Mulia, Surabaya, 1996, Hlm 211.

(2)

abuse of trust in the interest of private gain”, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.1

Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai ”penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas- tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa”. Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah ”penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain). Definisi ini juga serupa dengan yang dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu ”korupsi melibatkan perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.11

Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah ”korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang- orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan.1 Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.

Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang melekat pada korupsi.

Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

11 Ahmad Fawa’id, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, (Jakarta:

Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006),hlm 24

(3)

2. Sejarah Korupsi

Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad pertengahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno.12

Korupsi memang merupakan istilah modern, tetapi wujud dari tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri, telah menulis buku berjudul “Arthashastra” yang membahas masalah korupsi di masa itu. 1 Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya. Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap.13 Melihat hal tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia (behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima dan dianut masyarakat.

3. Model Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sudah mulai dilakukan secara sistematis baik oleh perorangan maupun berkelompok (berjamaah), serta semakin meluas dan semakin canggih dalam proses pelaksanaannya. Korupsi ini semakin memprihatinkan bila

12 Ridlwan Nasir, Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, hal. 277.

13 Ibid. 281-282

(4)

terjadi dalam aspek pelayanan yang berkaitan dengan sektor publik, mengingat tugas dan kewajiban utama dari aparat pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada publik atau masyarakat.

Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara. Untuk mencabut akar permasalahan sumber terjadinya korupsi di sektor publik, perlu didefinisikan pula sifat atau model dari korupsi dan dilakukan pengukuran secara komprehensif dan berkesinambungan.

Untuk dapat mendefinisikan model korupsi, dimulai dengan melakukan pengukuran secara obyektif dan komprehensif dalam mengidentifikasi jenis korupsi, tingkat korupsi dan perkembangan korupsi dan menganalisa bagaimana korupsi bisa terjadi dan bagaimana kondisi korupsi saat ini. Seiring dengan perkembangan jaman dan budaya masyarakat korupsi pun ikut tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, model atau jenis yang beragam. Banyak para pakar yang telah mencoba mengelompokkan jenis-jenis atau model- model korupsi. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, dapat diringkas secara umum bentuk-bentuk, karakteristik atau ciri-ciri, dan unsur-unsur (dari sudut pandang hukum) korupsi sebagai berikut :

1) Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang.

2) Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.

3) Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungankeuntungan tertentu.

4) Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan.

Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional.

(5)

5) Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.

6) Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.

7) Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau “korupsi berjama’ah”.

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi. Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua, korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya. Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.

Keempat, korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenangwenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.1

Di antara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah:

pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.

Jeremy Pope 14 – mengutip dari Gerald E. Caiden dalam ”Toward a General Theory of Official Corruption” – menguraikan secara rinci bentukbentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1) Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.

2) Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.

3) Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.

14 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), xxvi.

(6)

4) Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.

5) Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras.

6) Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak.

7) Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu.

8) Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi.

9) Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.

10) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi;

membuat laporan palsu.

11) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah.

12) Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang.

13) Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.

14) Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.

15) Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.

16) Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.

17) Perkoncoan, menutupi kejahatan.

18) Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos.

19) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan

Sedangkan menurut Aditjondro1 secara aplikatif ada tiga model lapisan korupsi, yaitu:

1) Korupsi Lapis Pertama

Penyuapan (bribery), yaitu dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik, atau pembatalan

(7)

kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.

2) Korupsi Lapis Kedua

Jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum dan perusahaan yang mendapat kedudukan yang istimewa. Biasanya ada ikatan yang nepotistis diantara beberapa anggota jejaring korupsi yang dapat berlingkup nasional.

3) Korupsi Lapis Ketiga

Jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dimana kedudukan aparat penegakan hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga- lembaga penghutang dan atau lembaga-lembaga internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut.

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan orang yang khusus maksudnya subyek dan pelakunya khusus dan perbuatannya yang khusus akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindak piidana korupsi harus ditangani serius dan khusus untuk itu perlu di kembangkan peraturan-peraturan khusus sehingga dapat menjangkau semua perbuatan pidana yang merupakan tindak pidana korupsi karena hukum pidana umumnya tidak sanggup untuk menjangkaunya.

Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu :

1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ( Pasal 2 ayat (1) )

2) Setiap orang yang dengan tujuan mengungtungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada

(8)

padaaya karena jabatan, atau keduduksn yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).

3) Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji di anggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).

4) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).

5) Setiap orang di luar Wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16)

5. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Rumusan korupsi pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, awalnya termuat dalam Pasal 1 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada kata dapat sebelum unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sampai saat ini, pasal ini paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi:

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) 2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat dilakukan

dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur :

(9)

1) Setiap orang

2) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi 3) Melawan hukum

4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

Sementara itu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). ”

Oleh sebab itu, untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) Setiap orang 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana 3) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

6. Putusan Tindak Pidana Korupsi Yang di lakukan oleh Hakim

Putusan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh hakim telah diuakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya. Putriansah, denga judul penelitian Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar (Studi

(10)

Putusan No.70/Pid.Sus.Tp.Korupsi/ 2017/ PN Mks).15 Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa sebagaimana dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara didahulukan dari perkara lainnya dan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang- undang ini. Hal ini terdapat dalam pasal 25 dan 26 undang-undang tindak pidana korupsi No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam hal penyelesaian perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lainnya, sudah diterapkan di pengadilan negeri Makassar. Hal ini disesuaikan dengan kondisi, jika terdakwa/penasehat hukum, penuntut umum, majelis hakim, panitera pengganti maupun pihak lain yang berkepentingan dalam proses penyelesaian perkara telah hadir dalam persidangan maka perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lainnya. Dengan cara beracara sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang kitab undangundang hukum acara pidana sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang lain.

Terkait perkara tersebut yang terjadi di Desa Waetuwo kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo dan diadili di Pengadilan Negeri Makassar, hal ini merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri Makassar berdasarkan keputusan Ketua mahkamah agung Republik Indonesia Nomor: 022/KMA/SK/II/ 2011 tanggal 7 Februari tentang pengoperasian pengadilan tindak pidana Korupsi pada pengadilan negeri Makassar berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang merupakan amanat kitab undang-undang hukum acara pidana pasal 84 yang menyatakan bahwa pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang terjadi di daerah hukumnya.

Berdasarkan keputusan ketua mahkamah agung Republik Indonesia tersebut dan pasal 84 Kuhap, maka pengadilan negeri Makassar yang merupakan satu-satunya pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di Provinsi Sulawesi –Selatan, maka pengadilan negeri Makassar berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana Korupsi yang terjadi di Desa

15 A. Nur Alfidah Putriansah, 2018. Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Makassar (Studi Putusan No.70/Pid.Sus.Tp.Korupsi/ 2017/ PN Mks). Skripsi.

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

(11)

Waetuwo Kecamatan Tansasitolo Kabupaten Wajo karena masih termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi-selatan.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Suartana dkk,1 dengan judul analisis putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi Denpasar (Putusan No: 42/Pid.Sus-TPK/2015/PN Dps), berdasarkan hasil analisis dikemukakan bahwa para terdakwa divonis tidak bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Korupsi oleh karena tidak terpenuhinya satu unsur di dalam Pasal tersebut yaitu unsur “secara melawan hukum” dan Terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena semua unsur-unsur dalam dakwaan subsidair telah terpenuhi. 2. Pengadilan Negeri Denpasar memutus para terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primair dan kepadanya secara hukum wajib dibebaskan dari dakwaan Primair tersebut dan disisi lain Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan bahwa para terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana pada dakwaan Subsidair. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang secara khusus diatur dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang keberadaannya merupakan revisi atas Undang-Undang UndangUndang No. 31 Tahun 1999 yang juga mengatur mengenai pemberantasan kejahat tindak pidana korupsi. Sesuai Putusan No. 42/Pid.Sus-TPK/2015/ of Pengadilan Negeri Denpasar, seorang terdakwa telah terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diamandemenkan menjadi UndangUndang No. 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal itu karena berdasarkan dengan putusan tersebut, semua tindakan yang dilakukan oleh terdakwa dan telah terbukti melakukan unsurunsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya pada dakwaan subsidair.

7. Definisi Putusan hakim

Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta cerminan etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang

(12)

bersangkutan. 16 Putusan Pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan memiliki kekuatan hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Menurut Lilik Mulyadi, dengan berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka putusan hakim itu merupakan: “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya”.1

8. Jenis - jenis Putusan hakim

Putusan hakim atau pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir:17

1) Putusan Akhir

Dalam praktiknya putusan akhir lazim disebut dengan istilah putusan atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat meteriil. Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa. Adapun mengapa sampai disebut dengan pokok perkara selesai diperiksa oleh karena majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan telah melalui proses persidangan, dimulai dari hakim menyatakan acara sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum sampai pernyataan persidangan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan pembacaan

16 Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.129

17 Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm.129.

(13)

putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 48 tahun 2009).

Pada hakikatnya, secara teoritis dan praktik putusan akhir ini dapat berupa putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP), putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP), dan putusan pemidanaan (Pasal 191 ayat (3) KUHAP).

2) Putusan yang Bukan Putusan Akhir

Pada praktik peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda tussen-vonnis Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan pasal 148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasihat hukumnya mengajukan keberatan/eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.

Bentuk penetapan atau putusan akhir ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa dan/atau penasihat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang diputuskan oleh majelis hakim. Akan tetapi, secara materiil, perkara dapat dibuka kembali apabila jaksa/penuntut umum melakukan perlawanan atau verzet dan kemudian perlawanan/verzet dibenarkan sehingga pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan

9. Bentuk-bentuk Putusan hakim

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (11) KUHAP, terdapat tiga jenis putusan, yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Tentunya majelis hakim memiliki kriteria untuk dapat memutuskan salah satu dari tiga jenis putusan tersebut.1

1) Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)

Secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan istilah putusan “vrijspraak”, sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon

(14)

disebut putusan “acquittal”. Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan.

Konkretnya, terjadi dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”. Jika bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, asasnya terhadap putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan

“perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”

adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana ini.

2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Secara fundamental terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau

“onslag van alle rechtsver volging” diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP dirumuskan bahwa: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum

.” Seperti halnya putusan bebas, maka putusan lepas dari segala tuntutan hukum memiliki beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu “perbuatan terdakwa terbukti”, dan “bukan merupakan perbuatan pidana”.

“Perbuatan terdakwa terbukti” secara sah, meyakinkan sesuai fakta yang terungkap dan menurut alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP serta meyakinkan hakim untuk menyatakan terdakwa sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Walaupun terbukti, akan tetapi “perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana”. Padahal sebelumnya telah dinyatakan dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan bahwa perkara yang diperiksa merupakan perkara tindak pidana, namun

(15)

ternyata dalam pemeriksaan persidangan, perkara diputus oleh majelis hakim bukan merupakan perkara pidana.

3) Putusan Pemidanaan

Pada asasnya, putusan pemidanaan atau “veroordelling” dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Putusan pemidanaan dapat dijatuhkan melebihi dari tuntutan pidana yang disampaikan oleh jaksa/penuntut umum akan tetapi tidak melebihi ancaman maksimal yang ditentukan dalam undang-undang.17 Segera setelah putusan pemidanaan dibacakan majelis hakim harus menyampaikan hak-hak dari terdakwa terkait putusan tersebut, yaitu:

a) Menerima atau menolak putusan.

b) Mempelajari putusan.

c) Meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam rangka pengajuan grasi.

d) Mengajukan banding.

e) Mencabut pernyataan untuk manerima atau menolak putusan.

10. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim dapat diartikan pendapat tentang baik atau buruknya suatu hal guna memberikan suatu ketetapan atau keputusan yang di atuhi hakim pada mahkamah agung dan hakim pada badan peradilan dibawahnya yang dituangkan oleh hakim dalam putusannya. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung18.

18 AL. Wisnubroto, 2014, Praktik Persidangan Pidana, Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 148

(16)

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak1.

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.

2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

3) Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan19.

11. Dasar pertimbangan hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang- undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan

19 Ibid, h 142.

(17)

penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia1.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang- undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi20.

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1):

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”1.Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam

20 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996),h.94

(18)

Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

12. Pertimbangan Hakim Dalam PutusanTerhadap Tindak Pidana Korupsi Penelitian Devinta 21 dengan judul pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara pidana korupsi. Hakim menjatuhkan putusan bebas karena adanya unsur pemaaf. Unsur pemaaf dalam perkara Nomor 1845 K/Pid.Sus/2013 berupa kepentingan umum terlayani, negara tidak dirugikan, serta terdakwa tidak mendapat keuntungan dari dari jabatanya sebagai bendarhara dalam panitia korban bencana alam gempa. hakim menjatuhkan putusan bebas dalam perkara 462 K/Pid.Sus/2012 adanya keragu-raguan dalam diri hakim mengenai kesalahan terdakwa. Dalam pembuktian hakim didalam persidangan, dari keterangan saksi-saksi dan bukti terlus yang dihadirkan dalam persidangan tidak dapat dibuktikan siapa saja orang yang menikmati uang hasil korupsi.

Sehingga didalam persidangan hakim tidak cukup bukti dalam menjatuhan pemidanaan bagi terdakwa korupsi Kadarisman. Ketika hakim ragu-ragu dalam menjatuhkan pemidanaan kepada terdakwa Kadarisman karena tidak ditemukannya minimal 2 alat bukti yang cukup, maka hakim menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi pihak terdakwa berupa putusan bebas. Kurangnya alat bukti yang dihadirkan dalam

21 Agnes Asisi Marselle Devinta. (2015). Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana Korupsi. Jurnal serviens In Lumine Veritatis. Vol. 2.(2). Hlm. 1 – 15.

(19)

persidangan mengakibatkan adanya dugaan bahwa alat bukti tersebut disamarkan atau dihilangkan sehingga dalam pemeriksaan memberikan sumbangan secara suka rela kerpada warga korban bencana alam lainnya yang tidak mendapatkan dana BLM itu, ialah uang yang digunakan untuk menyumbang adalah uang privat dan bukan uang negara lagi sehingga dalam perkara ini keuangan negara menjadi tidak dirugikan. Hakim menjatuhkan putusan bebas dalam perkara 462 K/Pid.Sus/2012 adanya keragu-raguan dalam diri hakim mengenai kesalahan terdakwa. Dalam pembuktian hakim didalam persidangan, dari keterangan saksi-saksi dan bukti terlus yang dihadirkan dalam persidangan tidak dapat dibuktikan siapa saja orang yang menikmati uang hasil korupsi. Sehingga didalam persidangan hakim tidak cukup bukti dalam menjatuhan pemidanaan bagi terdakwa korupsi Kadarisman.

Ketika hakim ragu-ragu dalam menjatuhkan pemidanaan kepada terdakwa Kadarisman karena tidak ditemukannya minimal 2 alat bukti yang cukup, maka hakim menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi pihak terdakwa berupa putusan bebas.

Menurut penulis, kurangnya alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan mengakibatkan adanya dugaan bahwa alat bukti tersebut disamarkan atau dihilangkan sehingga dalam pemeriksaan pembuktian dipersidangan pihak terdakwa terdakwa diuntungkan. Hal ini juga menimbulkan kecurigaan bahwa adanya indikasi praktek kolusi dan nepotisme.

Penelitian lain yang dikemukakan oleh Harefa & Munik 1 , dengan judul Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS): Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 73/Pid.Sus- Tpk/2018/Pn.Mdn. Hasil analisis dapat dikemukakan bahwa pertimbangan Hakim didasari oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 jo.

Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) butir 1 UU No. 1 Tahun 1960.

Melalui putusan yang dijatuhkan, maka Majelis Hakim sudah berusaha mewujudkan negara yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adapun penerapan kebijakan hukum terhadap pegawai negeri sipil yang melakukan tindak pidana korupsi oleh Majelis Hakim ialah tidak membedakan status sosial, meskipun terdakwa adalah seorang pegawai negeri sipil. Kebijakan hukum tersebut sesuai dengan pasal pelanggaran yang

(20)

dikenai kepada terdakwa. Diperlukan adanya sosialisasi tentang Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi kepada masyarakat, dan terutama kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta adanya tindakan yang tegas dari Majelis Hakim yaitu dengan memaksimalkan hukuman atau sanksi, agar menjadi efek jera kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Putusan Pasal Pertimbangan

Putusan Pengadilan

Nomor 1845

K/Pid.Sus/2013

Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi

Pertimbangan hakim menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi : a. Adanya indikasi alat bukti dalam pembuktian di persidangan disamarkan ataupun dihilangkan. b.

Adanya indikasi praktek kolusi dan nepotisme Putusan Pengadilan

Negeri Medan Nomor:

73/Pid.Sus- Tpk/2018/Pn.Mdn

Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) butir 1 UU No. 1 Tahun 1960

Pertimbangan Hakim didasari oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan. Melalui putusan yang dijatuhkan, Majelis Hakim berusaha mewujudkan negara yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme

(21)

13. Pengertian dan Definisi Pembuktian

Pembuktian merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan tindakan “membuktikan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sistem pembuktian menurut KUHAP tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “

Bahwa berdasarkan rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut mengenai sistem pembuktian mengatur bagaimana untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus:

1) Kesalahannya dibuktikan sekurangnya dua alat bukti yang sah.

2) Setelah terpenuhi kesalahannya dengan sekurangnya dua alat bukti yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya22.

14. Pembuktian dalam proses persidangan

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian negatif diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Namun dalam praktik peradilannya, sistem pembuktian lebih mengarah pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek keyakinan pada Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif.

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam pembuktian, diuraikan sebagai berikut pertama, dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar; kedua, alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana

22 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta. Prenada Media Group, 2010. Hlm, 4.

(22)

yang sudah lampau; ketiga, penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan; keempat, kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan; kelima, beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan ; dan keenam, bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim.

Lilik Mulyadi1 mengemukakan bahwa hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui biasanya disebut fakta notoir (Pasal 184 Ayat (2) KUHAP). Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 golongan yaitu pertama, sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya, dan kedua, sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan.

Alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 184 KUHAP adalah : 1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Dalam perkembangan Hukum acara pidana di Indonesia masalah ketentuan alat bukti terjadi perbedaan antara satu dengan lain. Misalnya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa alat bukti dalam persidangan MK adalah:

a) surat atau tulisan b) keterangan saksi c) Keterangan ahli d) keterangan para pihak,

e) petunjuk dan alat bukti lain berupa: informasi yang diucapkan,dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

(23)

Perkara yang diperiksa dengan cara pemeriksaan biasa ditentukan syarat-syarat sebagai berikut 23:

a) Penuntut umum membuat surat pelimpahan perkara ke pengadilan yang berwenang ( Pasal 143 ayat (1) KUHAP).

b) Penuntut umum membuat surat dakwaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP) c) Putusan dibuat secara khusus (Pasal 200 KUHAP)

d) Dibuat berita acara sidang (Pasal 202 ayat (1), (2), (3), (4) KUHAP)

Membahas sistem pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa berarti membicarakan sistem pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri dan kaitannya dengan pemeriksaan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktiannya. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita temui pada KUHAP Bab XVI bagian ketiga acara pemeriksaan biasa dimulai dari Pasal 152 sampai dengan Pasal 182, sedangkan yang mengatur tentang alat pembuktian serta putusan dalam acara pemeriksaan biasa pada bagian keempat pada Bab XVI Pasal 183-202 KUHAP.

Hukum pembuktian dibagi 3 bagian :

a) Alat-alat bukti artinya alat-alat bukti macam apa yang dapat dipergunakan untuk menetapkan kebenaran dalam penuntutan pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa).

b) Peraturan pembuktian artinya peraturan-peraturan cara bagaimana hakim boleh mempergunakan alat-alat bukti itu (cara penyumpahan saksi, cara pemeriksaan saksi dan terdakwa, pemberian alasan-alasan pengetahuan pada kesaksian dan lainlain) c) Kekuatan alat-alat bukti artinya ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada

untuk dapat menjatuhkan pidana (misalnya keterangan terdakwa itu hanya merupakan bukti yang sah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 189 KUHAP)

Proses dalam sistem peradilan menurut KUHAP adalah asas langsung;

pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa

23 Ibid Hlm 55.

(24)

dan para saksi ini berbeda dengan acara pidana, dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya, pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan secara tertulis antara hakim dan terdakwa1

Jadi hakim harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung secara lisan baik terhadap terdakwa maupun saksi dalam bahasa Indonesia yang dimengerti dan melihat sendiri sehingga dapat diperoleh gambaran secara konkrit. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP. Apabila formalitas tersebut tidak dipenuhi pada pemeriksaan di sidang berakibat batalnya keputusan demi hukum Vide Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Pada hari sidang yang ditentukan, ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan ia dihadapkan dalam keadaan bebas Setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan selanjutnya, hakim ketua sidang menanyakan apakah ianya sudah mengerti dan apabila tidak mengerti, Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberikan penjelasan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP).

Apabila terdakwa atau penasehat hukumnya tidak mengajukan terhadap kompetensi pengadilan maupun surat dakwaan, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat Penuntut Umum, terdakwa atau penasehat hukumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 160 KUHAP bahwa yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Selanjutnya hakim ketua menanyakan kepada saksi indentitas secara lengkap dan hubungannya dengan terdakwa.

Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui penilaian tentang obyektif tidaknya keterangan saksi, sedangkan mengenai hubungan keluarga atau pekerjaan / jabatan hal ini untuk menentukan apakah perlu tidaknya disumpah (Vide Pasal 168, 170 KUHAP)24. Saksi sebelum memberikan keterangannya harus disumpah atau mengucap janji, namun jikalau pengadilan menganggap perlu dapat juga diambil sumpahnya atau mengucap janji setelah memberikan keterangan (Vide Pasal 160 KUHAP).

24 Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

(25)

Menurut Pasal 162 KUHAP bahwa: keterangan yang telah diberikan dulu itu dibacakan di sidang, jikalau keterangan ini sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu nilainya disamakan dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang Kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana kalau saksi tersebut tidak disumpah di tingkat penyidikan dan telah meninggal dunia atau halangan sah tidak dapat hadir di sidang pengadilan, apakah keterangan tersebut yang dibacakan itu sama nilainya dengan keterangan saksi yang disumpah ini juga kurang jelas, penjelasan pasal cukup jelas.

Dalam Pasal 162 ayat (2) menyebutkan bahwa:jika keterangan sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu sama nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang. Kepada Penuntut Umum dan Penasehat Hukum diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. Dalam hal ini hakim selalu menilai dan harus memperhatikan :

a) Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan lain.

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang berlaku.

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi keterangan dipercaya1.

Bila saksi telah selesai semuanya diperiksa, maka pada giliran terakhir adalah terdakwa yang didengar keterangannya. Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan (Vide Pasal 175 KUHAP). Selama dalam persidangan hakim ketua memperlihatkan kepada terdakwa jika perlu kepada saksi segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda-benda itu.

Setelah pemeriksaan selesai dinyatakan oleh hakim, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana dan terdakwa atau penasehat hukumnya mengajukan pembelaannya, kemudian penuntut umum menyampaikan replik yang dijawab dengan duplik dari terdakwa

(26)

atau penasehat hukum. Jika acara tersebut telah selesai, maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.

Walaupun demikian hakim ketua sidang karena jabatannya dan atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan alasannya, berwenang untuk membuka kembali persidangan Vide Pasal 182 KUHAP Dengan demikian dapat dipahami dalam pemeriksaan biasa proses yang dilalui cukup panjang, dan bersifat kompleks25.Dari uraian tersebut di atas maka proses pemeriksaan perkara di persidangan hakim dalam menyatakan keputusan tersebut, majelis sebelumnya menilai aspek secara nyata serta semua alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan oleh undang-undang, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah adanya keyakinan hakim, sebagaimana unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak serta apakah terdakwa dapat bertanggung jawab menurut hukum (yuridis relevan) serta menetapkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya

B. Analisis Putusan Pengadilan dalam Tindak Pidana Korupsi Perkara Nomor Putusan No. 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN.kt.Pst & No. 10/PID.TPK/2021/PT 1. Posisi Kasus

Bahwa penulis untuk membawa penelitian ini akan meghemat pada bagian penulisan untuk mempermudah pembaca dan dapat memahami penulisan yang Penulis buat. Awalnya pada sekitar bulan September 2019 Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH melakukan pertemuan dengan Rahmat dan Dr. Anita Dewi A Kolopaking di Restoran Jepang di Hotel Grand Mahakam Jakarta. Pada saat itu Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH mengenalkan Dr. Anita Dewi A Kolopaking yang berprofesi sebagai Advokat/Penasihat Hukum kepada Rahmat. Kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH meminta kepada Rahmat untuk dapat dikenalkan dengan Joko Soegiarto Tjandra yang berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam perkara Tindak Pidana Korupsi berdasarkan

25 Martiman Prodjo Hamidjojo. Sistem Pembuktian dan alat Bukti. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. 1983. Hlm, 20.

(27)

Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009. Atas permintaan Dr.

Pinangki Sirna Malasari, SH., MH tersebut, Rahmat menyanggupinya dengan mengatakan akan mencarikan informasi terlebih dahulu soal itu. Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut kemudian Rahmat menghubungi Joko Soegiarto Tjandra melalui handphone dengan menyampaikan bahwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH ingin berkenalan dengan Joko Soegiarto Tjandra dan disanggupi oleh Joko Soegiarto Tjandra setelah melihat data dan foto Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sedang berseragam Kejaksaan.

Selanjutnya sekitar bulan Oktober 2019, Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH menyampaikan kepada Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking bahwa nanti ada surat permintaan Fatwa ke Mahkamah Agung untuk menanyakan apakah bisa dieksekusi atau tidak terkait Putusan Peninjauan Kembali (PK) Joko Soegiarto Tjandra Nomor 12 Tahun 2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33 Tahun 2016. Karena Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking merasa punya banyak teman di Mahkamah Agung dan merasa biasa berdiskusi hokum dengan para Hakim di Mahkamah Agung, maka Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking berencana akan menanyakan hal tersebut kepada temannya yang merupakan seorang Hakim di Mahkamah Agung, apakah bisa mengeluarkan Fatwa agar tidak dilaksanakannya eksekusi Putusan PK Nomor 12 Tahun 2009 tersebut. Pada tanggal 11 November 2019 Joko Soegiarto Tjandra menghubungi Rahmat dan meminta agar Rahmat dapat mempertemukan Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH dengan Joko Sugiarto Tjandra di Kuala Lumpur Malaysia. Oleh karena Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH saat itu sedang berada di Singapura, kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH meminta agar Rahmat menemaninya untuk bertemu Joko Soegiarto Tjandra di Kuala Lumpur Malaysia.

Menindaklanjuti jawaban Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH tersebut, maka pada tanggal 12 November 2019, Rahmat berangkat ke Singapura menggunakan maskapai Singapore Airline SQ951 pukul 05.25 WIB dan tiba di Bandara Changi pada pukul 08.10 waktu Singapura untuk menjemput Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH. Selanjutnya pada hari yang sama Rahmat bersama Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH berangkat

(28)

menuju ke Kuala Lumpur Malaysia menggunakan Maskapai Silk Air MI329 pada pukul 12.50 waktu Singapura dan tiba di Kuala Lumpur Malaysia pada pukul 13.50 waktu Malaysia, lalu dijemput oleh supir Joko Soegiarto Tjandra, dan langsung dibawa menuju ke kantor Joko Soegiarto Tjandra yang berada di The Exchange 106 di Kuala Lumpur Malaysia. Setelah sampai di kantor Joko Soegiarto Tjandra yang berada di The Exchange 106 di Kuala Lumpur Malaysia, Rahmat memperkenalkan Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH kepada Joko Soegiarto Tjandra, lalu Joko Soegiarto Tjandra memberikan kartu nama kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH yang dalam kartu nama tersebut ada nama JO Chan yang merupakan nama Joko Soegiarto Tjandra. Selanjutnya Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH memperkenalkan diri sebagai Jaksa dan memperkenalkan diri sebagai orang yang mampu mengurusi upaya hukum Joko Soegiarto Tjandra.

Kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH menanyakan apa yang bisa dibantu. Kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH menyampaikan bahwa Dr.

Pinangki Sirna Malasari, SH., MH bisa mengurus PK Joko Soegiarto Tjandra. Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH kemudian mengatakan akan mengurus upaya hukum Joko Soegiarto Tjandra tetapi meminta agar Joko Soegiarto Tjandra menjalani pidana terlebih dahulu kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH akan mengurus upaya hukum tersebut. Joko Soegiarto Tjandra tidak langsung percaya karena merasa telah banyak pengacara hebat yang dicoba, tetapi tidak bisa memasukkan kembali Joko Soegiarto Tjandra ke Indonesia. Untuk mengurus masalah Joko Soegiarto Tjandra tersebut, Dr.

Pinangki Sirna Malasari, SH., MH akan memperkenalkan kepada teman Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH yang seorang Pengacara. Setelah itu Joko Soegiarto Tjandra memperlihatkan setumpuk dokumen kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sambil menjelaskan tentang kasus posisi dari perkara yang sedang dihadapinya serta Joko Soegiarto Tjandra sempat memberikan beberapa dokumen tersebut kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH serta membahas rencana mendapatkan Fatwa dari Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung untuk mengembalikan Joko Soegiarto Tjandra ke Indonesia, melalui pelaksanaan Putusan Mahkamah Selanjutnya Dr. Pinangki Sirna

(29)

Malasari, SH., MH menyatakan kepada Joko Soegiarto Tjandra akan membuat proposal tentang rencana pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung, dan setelah sekitar 2 jam pertemuan antara Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH dengan Joko Soegiarto Tjandra, kemudian Rahmat beserta Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH diantar langsung oleh Joko Soegiarto Tjandra ke bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) untuk berangkat kembali ke Singapura dengan penerbangan Maskapai Singapore Airline SQ119.

Pada tanggal 19 November 2019 Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH kembali mengajak Rahmat dan Dr. Anita Dewi Anggraini Kolopaking bertemu dengan Joko Soegiarto Tjandra di Kuala Lumpur, kemudian bersama-sama berangkat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Kuala Lumpur dengan penerbangan Garuda Airlines GA820 pukul 08.30 WIB dan tiba di Bandara KLIA Kuala Lumpur Malaysia pada pukul 11.00 waktu Kuala Lumpur, untuk kemudian menuju ke kantor Joko Soegiarto Tjandra yang terletak di The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia.

Setibanya di kantor Joko Soegiarto Tjandra tersebut, Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH bersama-sama dengan Rahmat memperkenalkan Dr. Anita Dewi Anggraini Kolopaking yang berprofesi sebagai Advokat/Penasihat Hukum kepada Joko Soegiarto Tjandra, yang dilanjutkan dengan pembahasan masalah hukum yang sedang dihadapi oleh Joko Soegiarto Tjandra, saat itu Dr. Anita Dewi Anggraini Kolopaking menyampaikan dokumen yang berisi Surat Kuasa dan Surat Penawaran Jasa Bantuan Hukum yang isinya bahwa untuk jasa bantuan hukum, Dr. Anita Dewi Anggraini Kolopaking meminta USD200.000 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) sebagai sucsess fee. Kemudian Joko Soegiarto Tjandra menyetujuinya dan menandatangani dokumen tersebut. Selain itu, pada pertemuan tanggal 19 November 2019 Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH juga menyarankan kepada Joko Soegiarto Tjandra agar Joko Soegiarto Tjandra harus kembali dulu ke Indonesia dan ditahan oleh Kejaksaan, lalu Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH akan mengurus masalah hukumnya. Pertemuan tersebut berlangsung sekitar 2 jam, membahas bagaimana cara memulangkan Joko Soegiarto Tjandra dengan menggunakan sarana Fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung untuk dapat

(30)

menindaklanjuti Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, dengan tujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Joko Soegiarto Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana. Untuk melancarkan rencana tersebut, Joko Soegiarto Tjandra meminta kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH untuk mempersiapkan dan membuat “ACTION PLAN” terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Joko Soegiarto Tjandra, lalu Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut. Pada saat pertemuan tersebut juga dibahas mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Joko Soegiarto Tjandra dalam mengurus Fatwa Mahkamah Agung (MA) tersebut.

Pada saat itu Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH secara lisan menyampaikan bahwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH akan mengajukan proposal berupa ACTION PLAN yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya untuk mengurus Fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung tersebut sebesar USD100.000.000 (seratus juta dolar Amerika Serikat), namun pada saat itu Joko Soegiarto Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar USD10.000.000 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) yang akan dimasukkan ke dalam ACTION PLAN. Setelah pertemuan tersebut Rahmat mengantar Dr. Anita Dewi Angraeni Kolopaking menuju ke Bandara KLIA Kuala Lumpur karena harus berangkat ke Phuket Thailand, sedangkan Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH masih tinggal bersama Joko Soegiarto Tjandra di kantornya. Pada tanggal 25 November 2019, Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH bersama-sama dengan Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking dan Andi Irfan Jaya selaku orang swasta yang sebelumnya telah dijanjikan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH kepada Joko Soegiarto Tjandra menemui Joko Soegiarto Tjandra di Kantornya di The Exchange 106 Kuala Lumpur. Pada pertemuan tersebut, Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH dan Andi Irfan Jaya menyerahkan dan memberikan penjelasan mengenai rencana/planning berupa ACTION PLAN yang akan diajukan kepada Joko Soegiarto Tjandra untuk mengurus kepulangan Joko Soegiarto Tjandra dengan menggunakan sarana Fatwa Mahkamah Agung (MA)

(31)

melalui Kejaksaan Agung untuk dapat menindaklanjuti Putusan MK Nomor 33/PUU- XIV/2016, agar pidana penjara yang dijatuhkan kepada Joko Soegiarto Tjandra berdasarkan Putusan PK Nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Soegiarto Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana, dengan isi ACTION PLAN sebagai berikut Pada pertemuan tersebut Andi Irfan Jaya menjelaskan sebagai berikut : Action yang ke-1 adalah penandatanganan Security Deposit (Akta Kuasa Jual), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sebagai jaminan apabila Security Deposit yang dijanjikan Joko Soegiarto Tjandra tidak terealisasi.

Penanggungjawab Action ini adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra) dan IR (Andi Irfan Jaya), yang akan dilaksanakan pada tanggal 13 Februari 2020 sampai dengan 23 Februari 2020.

Action yang ke-2 adalah pengiriman Surat dari Pengacara kepada BR (Burhanudin/Pejabat Kejaksaan Agung), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sebagai Surat Permohonan Fatwa Mahkamah Agung dari Pengacara kepada Kejaksaan Agung untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

Penanggungjawab Action ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan AK (Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking), yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2020 sampai dengan 25 Februari 2020. Action yang ke-3 adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) mengirimkan surat kepada HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sebagai tindak lanjut surat dari Pengacara tentang permohonan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggungjawab Action ini adalah IR (Andi Irfan Jaya) dan P (Pinangki/ Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH), yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2020 sampai dengan 01 Maret 2020 Action yang ke-4 adalah Pembayaran 25% Konsultan Fee P (Pinangki/ Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH) ($250.000 USD), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah pembayaran tahap I atas kekurangan pemberian fee kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sebesar USD1.000.000 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang telah dibayarkan Down Paymentnya (DP) sebesar USD500.000 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Penanggungjawab Action ini adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra), yang

(32)

akan dilaksanakan pada tanggal 01 Maret 2020 sampai dengan 05 Maret 2020. Action yang ke-5 adalah Pembayaran Konsultan Media Fee kepada IR (Andi Irfan Jaya) (500.000 USD), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah pemberian Fee kepada Andi Irfan Jaya untuk mengkondisikan media sebesar USD500.000 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat). Penanggungjawab Action ini adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra), yang akan dilaksanakan pada tanggal 01 Maret Action yang ke-6 adalah HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung) menjawab surat BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah jawaban surat Mahkamah Agung atas surat Kejaksaan Agung tentang Permohonan Fatwa Mahkamah Agung. Penanggungjawab Action ini adalah HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung)/DK (Belum Diketahui)/AK (Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking), yang akan dilaksanakan pada tanggal 06 Maret 2020 sampai dengan 16 Maret 2020.

Action yang ke-7 adalah BR (Burhanuddin/Pejabat Kejaksaan Agung) menerbitkan instruksi terkait surat HA (Hatta Ali/Pejabat Mahkamah Agung), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah Kejaksaan Agung menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanakan Fatwa Mahkamah Agung.

Penanggungjawab Action ini adalah IF (Belum Diketahui)/P (Pinangki/ Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH), yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 26 Maret 2020. Action yang ke-8 adalah Security Deposit Cair ($10.000.000) USD, yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra) akan membayarkan sejumlah uang tersebut apabila ACTION PLAN poin ke-2, ACTION PLAN poin ke-3 dan ACTION PLAN poin ke-6 serta ACTION PLAN poin ke-7 tersebut berhasil dilaksanakan. Penanggungjawab Action ini adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra), yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2020 sampai dengan 05 April 2020. Action yang ke-9 adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra) kembali ke Indonesia, yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra) kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama 2 (dua) tahun berdasarkan Putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009. Penanggungjawab Action

(33)

ini adalah P (Pinangki/ Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH)/IR (Andi Irfan Jaya)/JC (Joko Soegiarto Tjandra), yang akan dilaksanakan pada bulan April 2020 sampai dengan bulan Mei 2020. 10. Action yang ke-10 adalah Pembayaran Konsultan Fee 25% P ($250.000 USD), yang dimaksudkan oleh Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH adalah pembayaran tahap II (Pelunasan) atas kekurangan pemberian fee kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH sebesar USD1.000.000 (satu juta dolar Amerika Serikat) yang telah dibayarkan Down Paymentnya (DP) sebesar USD500.000 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) apabila Joko Soegiarto Tjandra kembali ke Indonesia sebagaimana Action ke-9.

Penanggungjawab Action ini adalah JC (Joko Soegiarto Tjandra), yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2020 sampai dengan bulan Juni 2020. - Sebagai realisasi dari janji dan persetujuan Joko Soegiarto Tjandra tersebut, selanjutnya pada tanggal 25 Nopember 2019 sekitar sore hari, Joko Soegiarto Tjandra menghubungi adik iparnya yaitu Herriyadi Angga Kusuma (Almarhum) melalui pesan WhatsApp dan menyampaikan agar memberikan uang sebesar USD500.000 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Andi Irfan Jaya pada esok hari tanggal 26 November 2019 di sekitar Mall Senayan City untuk diberikan kepada Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH yang sebagiannya sebesar USD100.000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) untuk Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, sambil memberikan nomor handphone Andi Irfan Jaya. Setelah itu Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking berpamitan menuju ke Thailand, sedangkan Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH, Andi Irfan Jaya dan Rahmat kembali ke Jakarta.

Masih pada tanggal 25 November 2019 ketika dalam perjalanan pulang dari Bandara KLIA Malaysia menuju Jakarta, Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH menanyakan kepada Dr. Anita Dewi Anggraeni Kolopaking apakah mempunyai contoh Akta Kuasa Jual untuk menjaga apabila Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa memberikan uang, berarti akan memberikan jaminan. Kemudian Dr. Pinangki Sirna Malasari, SH., MH meminta kepada Dr. Anita Dewi A

Referensi

Dokumen terkait