• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Norma dan Implementasi Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Norma dan Implementasi Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Anak korban tindak pidana kekerasan seksual wajib mendapatkan perlindungan. hak korban oleh hukum pidana termasuk para hakim pidana, pandangan para viktimolog berikut ini. “perhatian terhadap korban baru muncul tidak disebutkan apakah baru menjadi perhatian hukum pidana seiring dengan pesatnya ilmu pembantu1 dalam hukum pidana, yaitu viktimologi yang baru dikembangkan pada akhir abad 20 (sekitar tahun 1940-an)”. Di Indonesia sendiri perkembangan ilmu baru viktimologi dilakukan segelintir akademisi pada sekitar tahun 1970-an.2

Pada prosesnya perlindungan hukum yang diberikan kepada Saksi dan/atau Korban, maka hal itu dapat membantu proses pidana menurut hukum acara pidana mengungkap suatu tindak pidana, atau menemukan kebenaran materiil karena dengan perlindungan hukum kepada Saksi dan/atau Korban, maka keterangan dapat diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman.

1 Teguh Prasetyo, Tri Astuti Handayani dan Rizky Pratama Putra Karo-Karo, Hukum Acara Pidana Reorientasi Pemikiran Teori Keadilan Bermartabat, Cetakan I, K-Media, Yogyakarta, 2021, hlm . 42-47.

2 G Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan,

(2)

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perlindungan hukum terhadap saksi dan korban menjadi sangat penting terutama dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual baik itu pencabulan terhadap anak dan persetubuhan terhadap anak. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia pencabulan dari kata dasarnya cabul yaitu keji kotor sifatnya tidak sesuai dengan adab sopan santun, tidak susila bercabul berzinah melakukan tindak pidana asusila, mencabuli;

menzinahi, memperkosa mencemari kehormatan.3 Sedangkan di dalam Kamus Hukum juga menjelaskan mengenai arti kata pencabulan, yaitu cabul merupakan kata dasar dari pencabulan yang artinya tidak senonoh melanggar kesusilaan, kesopanan. Dan persetubuhan memiliki arti kata bersetubuh, atau arti lainnya bersenggama.

Tindak pidana kekerasan seksual dalam hal ini pencabulan terhadap anak secara khusus telah diatur dalam Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 14.

(3)

tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) yang menyatakan bahwa;4 “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Selanjutnya di dalam Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa; “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Tindak pidana percabulan adalah kejahatan seksual yang dilakukan seorang pria atau perempuan terhadap anak di bawah umur baik pria maupun wanita dengan kekerasan ataupun tanpa kekerasan. Oleh karena itu apabila anak yang menjadi korban dalam tindakan cabul maka anak wajib dilindungi hak-haknya dan juga salah satunya ialah mengenai hak anak terkait pemberian restitusi dari pelaku tindak pidana percabulan yang telah merugikan hak anak baik materil maupun immateril.

Hak Anak untuk mendapatkan restitusi yang menjadi korban tindak pidana pencabulan sesuai dengan ketentuan Pasal 71D ayat (1) UU perlindungan anak) menyatakan bahwa:

4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak(Lembaran Negara Republik Indonesia

(4)

“setiap anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf (b), huruf (d), huruf (f), huruf (h), huruf (i), dan huruf (j) berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.”

Penjelasan Pasal 71D ayat (1) disebutkan bahwa:

“yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.5 Anak yang menjadi korban dalam suatu tindak pidana berhak mendapatkan restitusi adalah anak korban.”

Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa pembebanan kepada terdakwa dan pemberian restitusi kepada korban merupakan bentuk dari perlindungan hukum kepada saksi dan/atau korban yang dilakukan melalui mekanisme pengajuan permohonan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (yang selanjutnya disebut LPSK) sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga dalam hal ini restitusi menjadi bagian dari putusan Pengadilan. Untuk itu, apabila ada pengajuan restitusi maka permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka LPSK berkewajiban

5 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

(5)

menurut hukum untuk mengajukan permohonan restitusi secara langsung kepada Pengadilan agar majelis hakim dapat memutus memberikan restitusi dalam bentuk suatu penetapan Pengadilan. Meskipun telah ditetapkan maupun diputuskan oleh Majelis Hakim untuk membebankan restitusi kepada terdakwa, tetapi dimungkinkan terdakwa memilih menjalani kurungan dari pada membayar ganti rugi atau restitusi. Oleh karena itu legal issue/isu hukum di dalam penelitian ini yakni, berkaitan dengan pemberian restitusi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.

Secara eksplisit Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 7A Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa;

“Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:

a) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b) ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK. Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.Dalam hal Korban

(6)

tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.”6

Penulis telah menarasikan enam putusan Hakim yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini, berkaitan dengan isu hukum yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah. Hal tersebut dimaksudkan agar pembaca mendapatkan gambaran secara jelas terkait dengan bagaimana pengaturan dan implementasi pemberian restitusi berkaitan dengan perlindungan anak.Putusan pertama, adalah putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 111/Pid.Sus/2021/PN Slt. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga telah mengadili perkara pidana percabulan terhadap anak dengan terdakwa nama W. Bin S. Amar putusan hakim yakni, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan tipu muslihat membujuk anak untuk membiarkan dilakukan perbuatan cabul”

menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan; membebankan terdakwa untuk membayar restitusi terhadap anak korban sesuai dengan penilaian restitusi yang dilakukan oleh LPSK sejumlah Rp.111.200.000,00 (seratus sebelas juta dua ratus ribu rupiah),

6 Pasal 7A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(7)

dengan ketentuan apabila restitusi tersebut tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;. Selain dijatuhi pidana penjara dan denda kepada terdakwa tetapi majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada korban tindak pidana percabulan terhadap anak dengan jumlah yang sesuai sebagaimana hasil perhitungan dari LPSK. Namun, majelis hakim juga menyatakan bahwa apabila pelaku tidak menjalankan restitusi maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Putusan kedua adalah, Putusan Pengadilan Negeri Ponorogo No.

XX/Pid.Sus/XXXX /PN Png. majelis hakim Pengadilan Negeri Ponorogo yang mengadili perkara pidana percabulan terhadap anak. Amar putusan majelis hakim tersebut yakni, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”; menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun, dan denda sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; membebankan restitusi kepada terdakwa sebesar Rp.16.739.925,00 (enam belas juta tujuh ratus tiga puluh sembilan ribu

(8)

sembilan ratus dua puluh lima rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak memenuhi kewajibannya membayar restitusi tersebut paling lambat 30 hari sejak menerima salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan maka harta kekayaannya akan disita dan dilelang untuk pembayaran restitusi. Selain dijatuhi pidana terdakwa, majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada korban tindak pidana percabulan terhadap anak dengan jumlah yang sesuai sebagaimana hasil perhitungan dari LPSK. Namun, majelis hakim juga menyatakan bahwa apabila pelaku tidak menjalankan restitusi maka harta kekayaan terdakwa akan disita dan dilelang untuk pembayaran restitusi kepada korban.

Putusan ketiga Pengadilan Negeri Wates Nomor 1/Pid.Sus/2022/PN Wat. majelis hakim Pengadilan Negeri Wates telah mengadili perkara pidana percabulan terhadap anak, Amar putusan majelis hakim tersebut yakni, terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membujuk anak melakukan cabul secara berlanjut; menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. menghukum terdakwa untuk membayar restitusi bagi anak korban sebesar Rp.4.013.000,00 (empat juta tiga belas ribu rupiah) sebagaimana surat

(9)

perhitungan dari LPSK. majelis hakim selain menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa tetapi majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada korban tindak pidana percabulan terhadap anak dengan jumlah yang sesuai sebagaimana hasil perhitungan dari LPSK.

Putusan keempat Pengadilan Negeri Wates Nomor 5/Pid.Sus/2018/PN Wat. majelis hakim Pengadilan Negeri Wates telah memeriksa dan memutus perkara pidana percabulan terhadap anak (pelakunya anak). Amar putusan hakim tersebut yakni, menyatakan anak tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain; menjatuhkan pidana kepada anak dengan pidana pembinaan dalam lembaga dengan menempatkan di panti sosial marsudi putra “Antasena” Magelang Jawa Tengah selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pelatihan kerja di Panti Sosial 3 (tiga) bulan, menghukum anak untuk membayar restitusi bagi korban sejumlah Rp.30.828.000,00 (tiga puluh juta delapan ratus dua puluh delapan ribu rupiah) secara tanggung renteng masing-masing sejumlah Rp.7.707.000,00 (tujuh juta tujuh ratus tujuh ribu rupiah) bersama dengan A.L.W, dkk, majelis hakim selain menjatuhi pidana bersalah kepada anak tetapi majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar anak membayar restitusi kepada korban tindak

(10)

pidana percabulan terhadap anak secara tanggung renteng bersama teman- temannya dengan jumlah yang sesuai hasil perhitungan dari LPSK.

Putusan kelima Pengadilan Negeri Wonosari Nomor XX/Pid.Sus/2020/PN Wno. majelis hakim Pengadilan Negeri Wonosari telah mengadili perkara pidana percabulan terhadap anak. Amar putusan majelis hakim yakni, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh orang tua”;

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut diatas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 (dua belas tahun) serta pidana denda sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan jika pidana denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;

menghukum terdakwa untuk membayar restitusi kepada korban sebagaimana laporan penilaian restitusi dari LPSK sebesar Rp.1.356.500,00 (satu juta tiga ratus lima puluh enam ribu rupiah). majelis hakim selain menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa tetapi majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada korban tindak pidana percabulan terhadap anak dengan jumlah yang sesuai hasil perhitungan dari LPSK.

Berikutnya putusan keenam Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 331/Pid.Sus/2021/PN Yyk. Amar putusan majelis hakim tersebut yakni,

(11)

menyatakan terdakwa I. dan terdakwa II. telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak”; menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa I. dan terdakwa II. dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan 3 (tiga) bulan. majelis hakim selain menjatuhi pidana penjara dan denda kepada terdakwa tetapi majelis hakim juga memutus dalam amar putusannya menetapkan agar para terdakwa membayar restitusi kepada korban tindak pidana percabulan terhadap anak sebesar Rp.81.650.000,00 (delapan puluh satu juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) jumlah yang sesuai hasil perhitungan dari LPSK.

Meskipun telah ditetapkan maupun diputuskan oleh majelis hakim untuk membebankan restitusi kepada terdakwa, tetapi dimungkinkan terdakwa memilih menjalani pidana kurungan daripada membayar ganti rugi atau restitusi, sehingga tentunya hal ini sangat merugikan dan melanggar hak anak korban untuk memperoleh keadilan karena tidak memberikan pemenuhan terhadap hak anak korban. Problematika lainnya adalah merefleksi ketentuan restitusi yang telah diatur di dalam peraturan perundang- undangan apakah sudah memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan seksual baik cabul maupun persetubuhan.

(12)

Penulis melihat bahwa di sini menimbulkan suatu permasalahan (legal issue) hukum sangat serius, dalam tataran norma hal ini dikarenakan belum jelas norma mengenai penetapan besaran restitusi belum ada aturan bagaimana penetapan besaran restitusi dan juga belum ada aturan yang mengatur mengenai berapa besaran ketentuan subsider pengganti restitusi dan juga dalam pengaturan mengenai Restitusi tidak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan anak Tidak diatur tetapi di atur dalam Undang-Undang LPSK.

maka dibutuhkan adalah peran negara secara langsung untuk melakukan pemenuhan terhadap hak anak korban. Berdasarkan hal tersebut, maka concern penelitian ini adalah pemenuhan hak anak korban terkait restitusi atau ganti kerugian atas tindak pidana kekerasan seksual yang dialami sehingga mengakibatkan penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian dan akan menulis suatu karya tulis dengan judul: “ NORMA DAN IMPLEMENTASI RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL ”

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah sebagaimana digambarkan diatas maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

(13)

Bagaimana pengaturan norma dan implementasi pemberian restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual berkaitan dengan perlindungan Anak ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan pokok masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Untuk menggambarkan serta menganalisis norma dan implementasi pemberian restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan seksual.

D. Manfaat Penelitian

Untuk menambah ilmu pengetahuan penulis mengenai hukum pidana khususnya terhadap kasus perlindungan terhadap anak khususnya dalam ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Untuk dapat mendatangkan manfaat bagi peneliti yang akan memperdalam kajian Hukum Pidana, dan juga para mahasiswa/i lainnya dalam hal mengangkat penelitian yang sama.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kebijakan Hukum Pidana

(14)

Istilah kebijakan dapat diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau

politiek” (Belanda).7 Menurut Barda Nawawi Arief, istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Politik hukum adalah, usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yakni sebagai berikut; Kebijakan formulasi/kebijakan legislatif adalah tahap perumusan/penyusunan hukum pidana.8 Dalam tahap ini

7Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm .26.

8 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 78-79.

(15)

merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana, karena pada tahap ini kekuasaan formulatif/legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Sehingga apabila ada kesalahan/kelemahan dalam kebijakan legislatif maka akan menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan.

Kemudian pada tahapan kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.

Tahap ini merupakan tahapan dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.

2. Teori Hukum Gustav Radbruch (tiga tujuan hukum yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan

Sebagai bentuk pemenuhan konsep hukum, Radbruch menggunakan tiga (3) ajaran umum diantaranya yaitu keadilan, kemanfaatan dan

(16)

kepastian hukum9. Yang mana masyarakat selalu mendambakan ketertiban dan untuk mencapai ketertiban itu hukum harus dapat memberika n keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum yang mana dalam proses untuk mencapai tujuan hukum tersebut harus ditentukan prioritas dari ketiga nilai tersebut hal ini patut dimaklumi karena terkadang hukum untuk mencapai suatu keadilan akan berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum demikian sebaliknya kepastian hukum kadang juga bisa mengabaikan keadilan dan kemanfaatan oleh karena itu Radbruch mendefinisikan hukum sebagai10 “the complex of general precepts for the living together of human being” yang mana hukum sebagai aturan umum yang komplek dan hidup bersama kehidupan manusia.sehingga gagasan hukum berorientasi pada keadilan dan kesetaraan.

Keadilan merupakan perlakuan adil tidak memihak, berpihak pada yang benar tidak berat sebelah,tidak merugikan seseorang dan memberikan perlakuan yang sama terhadap masing-masing pihak sesuai dengan hak yang dimilikinya yang mana substansi keadilan yaitu prinsip untuk menghindari tindakan yang menyebabkan penderitaan kerugian rasa sakit bagi orang lain. masyarakat yang mendapat keberuntungan oleh hukum dengan demikian tidak masalah jika ada sebagian kecil yang dikorbankan

9 Muslih, M. (2013). “Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav

Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum)”. Legalitas Edisi Juni, 4 (1).

10 Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, Semarang: Intan Sejati Klaten, 2005, h. 18

(17)

haknya, padahal hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya dalam bentuk sebuah masyarakat akan tetapi hukum juga harus melihat manusia dari eksistensinya sebagai individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada sebagian individu yang dikorbankan haknya. Hukum harus hadir untuk melindungi sampai pada pihak yang paling lemah sekalipun demikian hukum tetap berorientasi untuk memberikan keadilan Sebagaimana Geny adalah salah satu ahli yang juga mendukung bahwa hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan mengajarkan, bahwa tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga memasukkan kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai sesuatu unsur dari pengertian keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.11 Radbruch pada akhirnya mengoreksi pandangannya sendiri ia menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan. Selanjutnya ia juga menyatakan, “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fiat justitia quam jus.” Yang artinya: Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum. Terlalu luasnya bentangan keadilan, sebagai contoh Keadilan bermartabat adalah suatu teori hukum atau apa yang dikenal dalam literature berbahasa Inggris dengan konsep legal theory, jurisprudence atau philosophy of law dan pengetahuan mengenai hukum

(18)

substansif dari suatu sistem hukum. Teori keadilan bermartabat mengungkap pula semua kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku di dalam sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum yang dimaksud yaitu sistem hukum positif Indonesia; atau sistem hukum berdasarkan Pancasila . Sistem Hukum Pancasila adalah sistem yang bermartabat, karena berbasis pada jiwa bangsa (volksgeist). Pancasila sebagai etika positif yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, jiwa bangsa (volksgeist) telah berisi kelengkapan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan negara. Sebagai etika positif, Pancasila berisi etik, nilai-nilai tertinggi dan dijunjung tinggi (values and virtues), termasuk etika politik, sebagai landasan moral, yang pada dasarnya diharapkan bukan semata-mata mencerahkan, tetapi memberikan jalan bagi perjalan kehidupan suatu bangsa dan negara. Teori Keadilan Bermartabat sebagai legal theory atau teori hukum, adalah suatu sistem filsafat hukum yang mengarah seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines. Termasuk di dalam substantive legal disciplines yaitu jejaring nilai (value) yang saling terikat, dan mengikat satu sama lain. Jejaring nilai yang saling kait-mengkait itu dapat ditemukan dalan berbagai kaidah, asas-asas atau jejaring kaidah dan asas yang inheren di dalamnya nilai-nilai serta virtues yang kaitmengkait dan mengikat satu sama lain itu berada.

(19)

Kemanfaatan artinya hukum harus memberikan manfaat bagi setiap masyarakat yang memerlukannya, baik bagi pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang merasa tidak dirugikan kedua belah pihak harus bisa merasa dari setiap putusan. Yang mana manfaat dapat dicapai dengan ketentraman dalam kehidupan masyarakat karena adanya hukum yang tertib. Kemanfaatan merupakan salah satu dari tiga ajaran umum yang digunakan oleh Radbruch kemanfaatan ini digunakan untuk melengkapi suatu konsep hukum.tiga ajaran hukum tersebut membantu untuk menentukan isi hukum dan hasil dari pandangan yang berbeda di berbagai negara kemanfaatan ini sebisa mungkin dijauhkan dari kepentingan dari hal-hal individual atau kepentingan pribadi yang mana substansi kemanfaatan adalah memberikan kebahagian bagi masyarakat yang mana masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegak hukum. Hukum adalah manusia maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat sehingga jangan sampai justru hukum yang dilaksanakan atau ditegakan menimbulkan keresahan didalam masyarakat

Sedangkan kepastian hukum hukum artinya ketentuan maupun putusan hakim harus berdasarkan aturan yang jelas, konsisten, teratur dan konsekuen serta terbebas dari pengaruh oleh subyektifitas. Empat (4) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu:

(20)

1. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa hukum positif adalah perundang-undangan.

2. Bahwa hukum itu disadari pada kenyataan.

3. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah untuk dilaksanakan.

4. Hukum positif tidak mudah diubah.

Yang mana pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri yang mana radbruch menyatakan bahwa hukum itu positif harus ditaati masyarakat yang mana substansi hukum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dan mencerminkan budaya masyarakat hal ini disebut dengan kepastian hukum sebenarnya yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dalam memahami sistem hukum.

Hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-undang yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan sifatnya tetap sampai undang-undang tersebut ditarik kembali. Permasalahan yang sering terjadi akibat kekeliruan memahami makna dari kepastian hukum adalah, sering kali bunyi bahkan sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-undang

(21)

dipertahankan secara mutlak, sehingga yang terjadi sebagaimana ada ungkapan: lex duras sed tamen scripta, yang artinya undang-undang adalah keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya.12 Hukum harus memiliki kepastian untuk itu maka hukum harus berupa peraturan tertulis akan tetapi sangat penting dipahami bahwa undang-undang tidak dapat menguras hukum13 Karena meskipun kaidah hukum dirumuskan melalui teks-teks dalam undang-undang akan tetapi rumusan teks tersebut tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud kaidah hukumnya. Semakin banyak hukum memenuhi syarat “peraturan yang tepat”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniura atau lebih sering kita dengar dengan ungkapan Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi14

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

12 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33

13 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional), Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.

14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty,

(22)

Jenis penelitian ini adalah, Jenis penelitian hukum yuridis normatif yakni, melakukan kajian terhadap keenam putusan hakim tentang pemberian restitusi kepada anak korban kekerasan seksual.

b. Sifat Penelitian

Penulisan ini bersifat deskriptif analitis, yang berarti penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran secara rinci, jelas dan sistematis tentang permasalahan pokok penelitian. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah, suatu penelitian yang bermaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, dengan maksud untuk mempertegas hipotesa, untuk memperkuat suatu teori, atau menyusun teori-teori baru tentang penegakan hukum15 terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual baik itu perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak. Penelitian ini dilihat dari sifatnya, bersifat deskriptif kualitatif, yakni untuk menggambarkan serta menganalisis, Putusan Hakim yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.

2. Pendekatan Masalah

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, hlm.

10.

(23)

Pendekatan dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki meliputi:16pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah regulasi- regulasi. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang telah incraht.

Pendekatan konseptual/pandangan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum Pendekatan perbandingan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.

Penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan penelitian yakni dengan beberapa jenis pendekatan diatas ialah, pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah, Pendekatan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum dalam penelitian ini yakni, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga juga Undang-Undang 31 Tahun 2014

16Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet. 9, (Jakarta; Kencana

(24)

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pendekatan kasus (case approach) adalah, pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus- kasus yang berkaitan dengan legal issue/problematika hukum yang diteliti yakni, ke enam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht).

3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum, yaitu:

a) Bahan hukum primer b) Bahan hukum sekunder c) Bahan Hukum Tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan yang menjadi sumber utama dalam penelitian ini yang mengikat dan merupakan landasan utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(25)

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.

5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana

6. Putusan Pengadilan Salatiga No. 111/Pid.Sus/2021/PN Slt.

7. Putusan Pengadilan Negeri Ponorogo No.XX/Pid.Sus/2022/PN Png.

8. Putusan Pengadilan Negeri Wates No.1/Pid.Sus/2022/PN Wat.

9. Putusan Pengadilan Negeri Wates No.5/Pidsus/2018/PN Wat.

10. Putusan Pengadilan Negeri Wonosari No.XX/Pid.Sus/2020/PN Wno.

11. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.331/Pid.Sus/2021/PN Yyk.

(26)

b. Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder yakni data yang diperoleh melalui media perantara atau diperoleh melalui buku-buku, catatan, bukti, atau arsip yang dipublikasikan. Bahan Hukum Sekunder yakni; bahan hukum berupa pendapat atau teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, dan website. Bahan hukum sekunder digunakan untuk menjelaskan bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier yang dikumpulkan dan diteliti adalah bahan hukum yang mempunyai fungsi untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, dan media internet sebagai bahan penunjang informasi dalam melengkapi data dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum dikumpulkan, diolah dengan teknik; studi kepustakaan (Library Research) yakni; Penelitian dilakukan dengan cara memperoleh data-data, atau variabel, catatan, buku-buku, peraturan berkaitan dengan permasalahan.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah, analisis yuridis normatif. Untuk menggambarkan, menganalisis data, memaparkan,

(27)

mengelola, hasil penelitian untuk menjawab atas permasalahan yang diteliti.17 Penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan menganalisis data secara kualitatif dengan cara menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dan mengelolah secara sistematis.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut dengan menggunakan analisis kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan dengan menganalisis data berdasarkan pandangan teori dan bahan hukum yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat dikemukakan yang perlu dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa Prabowo Adi Saputro Bin Sujarwo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

Masing-masing putusan tersebut menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemilihan sebagai ASN dengan sengaja membuat keputusan

Bahwa dalam putusan hakim menyatakan terdakwa Ahmad Sholeh Bin Abdulloh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membawa lari

Sesuai amar putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor 24/Pid.Sus/2012/PN.PL yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

Adapun alasan-alasan yang kami ajukan untuk menyatakan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu tersebut adalah tentang Strafmaat yang ringan : Bahwa Putusan Majelis Hakim

Masing-masing putusan tersebut menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemilihan sebagai ASN dengan sengaja membuat keputusan dan/atau

Atas dasar itu, hakim menyatakan terdakwa BAP tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan alternatif Pertama Pasal 289 KUHP,

Pengadilan Negeri Bengkulu Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Heny Susanti alias Putri binti Hermansyah tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan