BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan dapat diambil dari istilah "policy" (Inggris) atau
“politiek” (Belanda).18 Menurut Barda Nawawi Arief, istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”.19 Menurut Sudarto menyebutkan bahwa politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.20 Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.21 Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan
18 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 26.
19 Ibid, hlm. 27
20 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 159.
21Ibid., hlm. 161.
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.22
Menurut Barda Nawawi Arief, Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/ operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari Kebijakan formulasi/legislatif, yaitu23 tahap perumusan/ penyusunan hukum pidana. Dalam tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana, karena pada tahap ini kekuasaan formulatif/legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. apabila ada kesalahan/ kelemahan dalam kebijakan legislatif maka akan menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi; kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana. Tahap aplikatif, merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan dan Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu
22 Ibid., hlm. 93.
23 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 78-79.
tahap pelaksanaan hukum pidana, tahap ini merupakan tahapan dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.
B. Teori Hukum Gustav Radbruch (tiga tujuan hukum yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan
Sebagai bentuk pemenuhan konsep hukum, Radbruch menggunakan tiga (3) ajaran umum diantaranya yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum24. Yang mana masyarakat selalu mendambakan ketertiban dan untuk mencapai ketertiban itu hukum harus dapat memberikan keadilan kemanfaatan dan kepastian hukum yang mana dalam proses untuk mencapai tujuan hukum tersebut harus ditentukan prioritas dari ketiga nilai tersebut hal ini patut dimaklumi karena terkadang hukum untuk mencapai suatu keadilan akan berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum demikian sebaliknya kepastian hukum kadang juga bisa mengabaikan keadilan dan kemanfaatan oleh karena itu Radbruch mendefinisikan hukum sebagai25 “the complex of general precepts for the living together of human being” yang mana hukum sebagai aturan umum yang komplek dan hidup bersama kehidupan manusia.sehingga gagasan hukum berorientasi pada keadilan dan kesetaraan. Keadilan merupakan perlakuan adil tidak memihak, berpihak pada
24 Muslih, M. (2013). “Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav
Radbruch (Tiga Nilai Dasar Hukum)”. Legalitas Edisi Juni, 4 (1).
25 Herman Bakir, Kastil Teori Hukum, Semarang: Intan Sejati Klaten, 2005, h. 18
yang benar tidak berat sebelah,tidak merugikan seseorang dan memberikan perlakuan yang sama terhadap masing-masing pihak sesuai dengan hak yang dimilikinya yang mana substansi keadilan yaitu prinsip untuk menghindari tindakan yang menyebabkan penderitaan kerugian rasa sakit bagi orang lain.
masyarakat yang mendapat keberuntungan oleh hukum dengan demikian tidak masalah jika ada sebagian kecil yang dikorbankan haknya, padahal hukum melihat dan melindungi manusia bukan hanya dalam bentuk sebuah masyarakat akan tetapi hukum juga harus melihat manusia dari eksistensinya sebagai individu. Maka dari itu tidak dibenarkan kalau ada sebagian individu yang dikorbankan haknya. Hukum harus hadir untuk melindungi sampai pada pihak yang paling lemah sekalipun demikian hukum tetap berorientasi untuk memberikan keadilan Sebagaimana Geny adalah salah satu ahli yang juga mendukung bahwa hukum bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan mengajarkan, bahwa tujuan hukum ialah semata-mata keadilan, akan tetapi merasa terpaksa juga memasukkan kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai sesuatu unsur dari pengertian keadilan: le juste contient dans ses flancs l’utile.26 Radbruch pada akhirnya mengoreksi pandangannya sendiri ia menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan. Selanjutnya ia juga menyatakan, “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fiat justitia quam jus.” Yang artinya: Akan tetapi hukum berasal dari keadilan
26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, Op.Cit., Hlm. 77.
seperti lahir kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.
Kemanfaatan artinya hukum harus memberikan manfaat bagi setiap masyarakat yang memerlukannya, baik bagi pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang merasa tidak dirugikan kedua belah pihak harus bisa merasa dari setiap putusan. Yang mana manfaat dapat dicapai dengan ketentraman dalam kehidupan masyarakat karena adanya hukum yang tertib.
Kemanfaatan merupakan salah satu dari tiga ajaran umum yang digunakan oleh Radbruch kemanfaatan ini digunakan untuk melengkapi suatu konsep hukum.tiga ajaran hukum tersebut membantu untuk menentukan isi hukum dan hasil dari pandangan yang berbeda di berbagai negara kemanfaatan ini sebisa mungkin dijauhkan dari kepentingan dari hal-hal individual atau kepentingan pribadi yang mana substansi kemanfaatan adalah memberikan kebahagian bagi masyarakat yang mana masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegak hukum.Hukum adalah manusia maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat sehingga jangan sampai justru hukum yang dilaksanakan atau ditegakan menimbulkan keresahan didalam masyarakat
Sedangkan kepastian hukum hukum artinya ketentuan maupun putusan hakim harus berdasarkan aturan yang jelas, konsisten, teratur dan konsekuen
serta terbebas dari pengaruh oleh subyektifitas empat (4) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum yaitu:
1. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa hukum positif adalah perundang-undangan.
2. Bahwa hukum itu disadari pada kenyataan.
3. Bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan dan mudah untuk dilaksanakan.
4. Hukum positif tidak mudah diubah.
Yang mana pendapat ini didasari pada pandangan bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri yang mana Radbruch mengatakan bahwa hukum itu positif harus ditaati masyarakat yang mana substansi hukum harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dan mencerminkan budaya masyarakat hal ini disebut dengan kepastian hukum sebenarnya yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dalam memahami sistem hukum.
Hukum dituntut untuk memiliki kepastian dengan maksud bahwa hukum tidak boleh berubah-ubah. Sebuah undang-undang yang telah diberlakukan akan mengikat bagi setiap orang dan sifatnya tetap sampai undang-undang tersebut ditarik kembali. Permasalahan yang sering terjadi
akibat kekeliruan memahami makna dari kepastian hukum adalah, sering kali bunyi bahkan sifat redaksional dari sebuah pasal dalam undang-undang dipertahankan secara mutlak, sehingga yang terjadi sebagaimana ada ungkapan: lex duras sed tamen scripta, yang artinya undang-undang adalah keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya.27 Hukum harus memiliki kepastian untuk itu maka hukum harus berupa peraturan tertulis akan tetapi sangat penting dipahami bahwa undang-undang tidak dapat menguras hukum28 Karena meskipun kaidah hukum dirumuskan melalui teks-teks dalam undang-undang akan tetapi rumusan teks tersebut tidak sepenuhnya dapat menampung isi dan maksud kaidah hukumnya. Semakin banyak hukum memenuhi syarat “peraturan yang tepat”, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniura atau lebih sering kita dengar dengan ungkapan Keadilan tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi29
C. Pengertian Anak
Anak merupakan salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya.
27 O. Notohamidjojo, Soal-Soal pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, Hlm. 33
28 Kuat Puji Priyanto, Pengantar Ilmu Hukum (Kesenian Hukum dan Penemuan Hukum dalam Konteks Hukum Nasional), Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, Hlm. 2.
29 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2008, Hlm. 80
Tanpa kualitas yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit pula dibayangkan.30 Pasal 1 angka (1) UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Artinya bahwa anak adalah siapa saja yang belum berusia delapan belas tahun dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan mengupayakan perlindungan anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada dalam kandungan hingga berusia delapan belas tahun. Pasal 76 E Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) yang menyatakan bahwa;31 “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
30 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, Penerbit Alumni, Edisi Pertama Cet- Ke 2, Bandung, 2014, hlm. 11.
31 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Selanjutnya di dalam Pasal 81 dan 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa; “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dan 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)..” Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang.32
D. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak
Asas dan tujuan perlindungan anak diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perlindungan Anak yaitu bahwa Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi; non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.Sedangkan Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
32Satino, Sulastri, dan Yuliana Yuli W, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Melalui Diversi Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Esensi Hukum, Volume 2 No. 1, 2020, hlm. 16
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Konsep hak-hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 1 angka (12) UU Perlindungan Anak menyebutkan. “Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah”.Hak-Hak anak diatur di dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU Perlindungan Anak yang menyatakan sebagai berikut;
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b) Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.”Pada ayat (2) disebutkan bahwa:“Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.”Pasal 15 UU Perlindungan Anak disebutkan bahwa:Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari; a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; c) pelibatan dalam kerusuhan sosial; d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan.Pasal 16 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa; 1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.Pasal 18 UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Sedangkan kewajiban anak diatur di dalam Pasal 19 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berkewajiban; menghormati orang tua, wali, dan guru, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa, dan negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Kewajiban anak sebagaimana tersebut di atas merupakan keharusan untuk dilakukan demi kebaikan anak itu sendiri. Namun demikian campur tangan setiap orang terkhususnya orang tua menjadi sangat penting melalui didikan yang baik dan benar agar anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia-manusia yang berguna bagi bangsa dan negara.
E. Pengertian Tindak Pidana
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.33 Senada dengan pendapat tersebut, Moeljatno berpandangan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.34 Menurut Sri Harini
33Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 55.
34Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2002 hlm. 54.
Dwiyatmi, delik atau tindakan pidana adalah perbuatan yang dapat dihukum, merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja (dengan niat, ada kesalahan atau schuld) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.35
F. Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Menurut Pasal 1 angka 15 huruf (a) UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwa, Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Sedangkan Kekerasan Seksual berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, disebutkan bahwa: “Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.” Tindak pidana kekerasan seksual merupakan suatu kejahatan yang mengakibatkan penderitaan kepada orang lain, terkhususnya anak.
35Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, 2013, hlm . 95.
Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Disebutkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas; pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi,pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi; perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 76D yaitu: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Sanksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual terkhususnya mengenai perbuatan cabul dapat dirujuk pada Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dinyatakan bahwa; “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”Selanjutnya di dalam Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka berdasarkan Pasal 6 huruf c
peraturan a quo, terdakwa dapat dijatuhi pidana sebagaimana disebutkan sebagai berikut;Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun) dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
G. Norma Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana dalam Perundang- Undangan
Konsep restitusi bagi korban tindak pidana
a) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam pasal 1 poin 11 Menyatakan bahwa restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dan dalam Pasal 7A
1. Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:
a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.
3. Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.
4. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
5. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
6. Dalam hal Korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban
b) Ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang pelaksanaan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, menyebutkan bahwa; “Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”
c) Sedangkan Pasal 1 angka (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, disebutkan bahwa;36 “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.”
d) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana Pasal 1 poin 1 mengatakan Bahwa Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.
H. Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi Dan Kompensasi
36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Stephen Schafer dalam bukunya, (the victim and his criminal) mengemukakan ada lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu :37
Pertama, ganti rugi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.
Kedua, kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana. Pemeriksaan tuntutan kompensasi yang demikian dalam proses pidana, di Jerman disebut sebagai “Adhasion Prozes”.
Ketiga, restitusi yang bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana.
Walaupun disini tetap bersifat keperdataan namun tidak diragukan sifat pidananya (punitif). Salah satu bentuk restitusi menurut sistem ini adalah denda kompensasi/compensatory fine yang dikenal dengan istilah busse di Jerman dan Swiss. Denda ini kewajiban yang bernilai uang yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang diberikan.
Keempat, kompensasi yang bersifat perdata diberikan melalui proses pidana dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan telah gagal mencegah
37 Stephen Schafer, “The Victim and His Criminal A Study in Fungsional Responsibility” dalam Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-1, Bandung, 2016, hlm, 59-65.
terjadinya kejahatan. Kelima, kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus. Sistem ini berlaku di Swiss sejak tahun 1937 dan di New Zealand sejak tahun 1963 dan di Inggris sejak tahun 1964. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan ganti rugi, sedangkan si pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak dapat memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Yang berkompeten memeriksa bukan pengadilan perdata atau pidana melainkan prosedur khusus dan independen yang menuntut campur tangan Negara atas permintaan korban.
Berdasarkan lima sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban tindak pidana menurut stephen Schafer diatas yakni, restitusi dan kompensasi merupakan istilah-istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan. Namun Stephen Schafer mengidentifikasi perbedaan kedua istilah tersebut yakni; kompensasi bersifat keperdataan timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat/Negara sedangkan, restitusi bersifat pidana, timbul dari putusan Pengadilan pidana, dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (responsibility of the offender)38.
Memperhatikan kelima sistem diatas, maka sistem ganti rugi di Indonesia selama ini lebih dekat dengan sistem ke satu sampai dengan ketiga.
38 Ibid, hlm, 60-61.
Namun patut dicatat, bahwa ganti rugi untuk perkara pidana pada umumnya di Indonesia lebih bersifat keperdataan walaupun diberikan lewat proses pidana. Jadi lebih mirip dengan sistem kedua (Adhasionn Prozes). Hal ini terlihat dalam ketentuan-ketentuan KUHAP yang diperuntukkan bagi perkara pidana umum. Jadi untuk delik pada umumnya tidak dikenal dengan ganti rugi yang bersifat pidana. Ini jelas terlihat di dalam aturan umum KUHP yang tidak mengenal jenis pidana “ganti rugi” adanya kemungkinan ganti rugi menurut ketentuan Pasal 14c KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, hanya sekedar syarat/pengganti untuk menghindari atau tidak menjalani pidana. Jadi tetap dilandasi latar belakang pemikiran/konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang pelaku tindak pidana, tidak dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada korban. Dengan demikian ganti rugi dalam pidana bersyarat menurut ketentuan Pasal 14c KUHP tidak dapat disamakan dengan denda kompensasi seperti sistem ketiga diatas yang dibebankan kepada terpidana disamping pidana yang seharusnya. Walaupun Indonesia tidak mengenal ganti rugi yang bersifat pidana untuk delik pada umumnya, namun untuk delik-delik tertentu ada tiga jenis ganti rugi yang demikian. Hal ini terlihat pada “tindakan tata tertib” dalam tindak pidana ekonomi dan dalam pidana tambahan untuk tindak pidana korupsi (Pasal 34 sub c UU. No 3 tahun 1971). Seperti telah dikemukakan di atas, sistem ini mirip dengan sistem ketiga yang diuraikan oleh Stephen Schafer diatas.
Sekiranya sistem pidana dan pertanggungjawaban pidana seyogyanya diorientasikan pada korban, maka kebijakan untuk mengenakan pidana ganti rugi untuk delik-delik tertentu itu seyogyanya juga ditarik dan diangkat menjadi kebijakan umum untuk semua delik. Konsep KUHP baru, pidana ganti rugi dijadikan kebijakan umum (dimasukan dalam aturan umum) untuk semua delik, walaupun masih diberi status sebagai pidana tambahan. Namun patut dicatat bahwa menurut konsep pidana tambahan tidak selalu harus dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Dalam hal delik hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan saja. Jadi pidana tambahan dapat menjadi pidana yang dijatuhkan tersendiri untuk delik-delik tertentu. Hal tersebut berarti bahwa pidana ganti rugi dapat dijatuhkan bersama dengan pidana pokok, tetapi juga dapat dipilih atau dijatuhkan secara mandiri di samping sebagai alternatif dari pidana pokok. Hal tersebut sesuai dengan himbauan Resolusi Kongres PBB ke-7.39
Selanjutnya yang belum dikembangkan di Indonesia adalah pemberian restitusi dan kompensasi oleh Negara sebagaimana terlihat pada system ke-4 dan system ke-5 yang dikemukakan oleh Stephen Schafer diatas. System ke-4 dam ke-5 ini memang untuk mengatasi kekurangan yang ada pada system ke-
39 Ibid, hlm 62-64.
1 sampai dengan ke-3 yang lebih menekankan pada ganti rugi dari pelaku tindak pidana. System ke 1 sampai dengan ke-3 tidak banyak artinya apabila pelaku tindak pidana itu tidak mampu membayar ganti rugi kepada korban, sementara korban sangat memerlukan bantuan ganti rugi dan santunan. Oleh karena itu wajar apabila Resolusi MU-PBB 40/43 juga menghimbau agar Negara memberi restitusi atau kompensasi kepada korban. Dalam butir sebelas dinyatakan, bahwa apabila aparat/petugas publik dalam melakukan tugasnya melanggar hukum pidana positif Nasional maka para korban seharusnya menerima restitusi dari Negara. Selanjutnya dalam butir dua belas menyatakan bahwa apabila kompensasi tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku tindak pidana maka Negara harus berusaha menetapkan kompensasi kepada korban yang menderita kerugian. Gagasan untuk memberi ganti rugi atau santunan kepada korban kejahatan oleh Negara, telah dicoba di beberapa Negara.
Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan gagasan di Indonesia, ada baiknya meninjau bahan perbandingan di New Zealand dan Inggris.40
40 Ibid, hlm 64-65