88
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa dalam kebijakan normanya dan Implementasi Restitusi bagi korban tentu memberikan manfaat akan tetapi norma yang belum jelas (ketiadaan norma) dalam pengaturan besaran restitusi yaitu Terbatasnya jenis dan jumlah kerugian yang dapat dimintakan oleh korban tindak pidana dan juga Apabila pengajuan restitusi menggunakan proses yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang LPSK, maka tidak semua korban tindak pidana dapat mengajukan restitusi sebagai haknya, karena tidak semua tindak pidana dapat diajukan restitusi. Penetapan suatu tindak pidana yang dapat diajukan restitusi oleh korbannya ditentukan oleh LPSK dan menjadi permasalahan mekanisme pengajuan mengingat LPSK tidak termasuk dalam sistem peradilan pidana, dan bukan merupakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan eksekutorial sehingga dalam pertimbangan hakim menetapkan bahwa besaran restitusi merupakan pidana tambahan bagi pelaku.
apabila menggunakan mekanisme implementasi maka akibat terdakwa tidak mau membayar restitusi dan tidak ada subsider pengganti restitusi dan ruang lingkup restitusi yang belum jelas mengenai cakupan materil dan imateril .
89
Hasil analisis dari enam putusan hakim yang menjadi objek kajian penulis teliti dengan penemuan hukum membantuk norma-norma baru yang bersifat implementasi tentang restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual, ditemukan bahwa dari enam putusan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 111 /Pid.Sus/2021/Pn Salatiga, Pengadilan Negeri Ponorogo No.
XX/Pid.Sus/2022/Pn Ponorogo, Pengadilan Negeri Wates No. 1/Pid.Sus 2022/Pn Wates. Pengadilan Negeri Wates No. 5/Pid.Sus 2018 /Pn Wates.
Pengadilan Negeri Wonosari No. XX/Pid.Sus/2020/Pn Wonosari. Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 331/Pid.Sus/2021/Pn Yogyakarta dengan adanya pengaturan mengenai norma yang belum jelas dalam perhitungan nilai restitusi oleh LPSK yang kemudian oleh Hakim memberikan pertimbangannya dalam penentuan besaran restitusi dapat mengikuti perhitungan yang diajukan oleh LPSK atas permohonan korban atau tidak mengikuti yang mana menurut hakim membebankan pembayaran restitusi kepada pelaku sebagai pidana tambahan atau dalam vonis hakim ada pidana pokok, denda dan pidana tambahan. Restitusi berbeda dengan kompensasi, pemulihan Kembali terhadap hak-hak korban perlu dilihat juga aspek psikologi anak dan juga kerugian immaterial tidak dapat dihitung.
Dan juga adanya multitafsir bagi hakim dalam membebankan restitusi kepada pelaku tindak pidana sehingga dapat dilihat dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Salatiga dan putusan majelis hakim Pengadilan
90
Negeri Ponorogo putusan hakim yang telah mengabulkan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan ganti rugi berupa restitusi dan subsider pengganti restitusi. Sedangkan empat putusan hakim lainya hanya membebankan restitusi dalam putusannya tetapi tidak menetapkan subsider pengganti restitusi.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis/pembahasan serta kesimpulan diatas, maka, penulis hendak memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan penelitian tentang bagaimana norma dan implementasi pemberian restitusi. Pengaturan mengenai norma pemberian restitusi kepada korban tindak pidana kekerasan seksual dibebankan kepada negara sebagai bentuk tanggung jawab negara atas perlindungan anak. Oleh karena itu, tidak jarang restitusi bersifat mendesak untuk dipergunakan oleh korban dalam kebutuhan rehabilitasi baik medis maupun psikologis.
1. Pemberian restitusi harus dijadikan pidana pokok bukan pidana tambahan.
2. Harus diatur secara tegas tentang subsider pengganti restitusi.
3. Hakim harus melakukan penemuan hukum terkait besaran pemberian restitusi dan subsider pengganti restitusi.
91
4. Hakim harus sempurnakan implementasi pemberian restitusi pada putusan-putusan di masa yang akan datang.
5. Sebaiknya negara ambil alih implementasi restitusi dengan pemberian kompensasi.
6. Penelitian selanjutnya disarankan mengkaji lebih banyak putusan- putusan Hakim yang membebankan restitusi.