• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Penetapan Diversi Dalam Tingkat Pemeriksaan Perkara Anak Di Pengadilan Dikaitkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Penetapan Diversi Dalam Tingkat Pemeriksaan Perkara Anak Di Pengadilan Dikaitkan Dengan Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DIVERSI DAN ASAS KEPENTINGAN TERBAIK BAGI ANAK

Sesuai dengan judul Bab II diatas, pada bagian pertama akan membahas mengenai kajian pustaka penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Berikut dibawah ini adalah konsep-konsep dan pengertian dari konsep tersebut yang akan diuraikan satu per satu.

1. Pengertian Penerapan

Pengertian penerapan sendiri adalah perbuatan menerapkan4. Kata penerapan berasal dari kata dasar tetap yang mana artinya menjalankan suatu kegiatan, kemudian menjadi sebuah proses, cara menjalankan atau melakukan sesuatu, baik yang abstrak atau sesuatu yang konkrit5. Penerapan secara bahasa mempunyai arti cara atau hasil.6

Beberapa ahli juga mencoba untuk memberikan pengertian dari kata penerapan. Menurut Wahab penerapan adalah suatu keputusan yang dituangkan agar mencapai tujuan yang sudah diputuskan. Penerapan juga merupakan melaksanakan sesuatu yang dipraktekkan ke dalam lingkungan sekitar7. Sedangkan menurut Mulyadi penerapan mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan8. Di dalam dunia hukum, istilah penerapan lebih dikenal dengan kata implementasi. Penerapan hukum bisa diartikan sebagai suatu kegiatan untuk menjalankan aturan-aturan atau kaidah hukum dalam peristiwa tertentu.

4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Perss, Jakarta, 2002, hal. 1598.

5 Lexy J. Moloeng, Metodologi Pendidikan Kualitas, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hal. 93.

6 Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Efektifitas Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2010, hal. 148.

7 Wahab, Tujuan penerpaan Program, Bulan Bintang, Jakarta, 2008, hal. 63.

8 Mulyadi Deddy, Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik, Alfabeta, Bandung, 2012, hal.

12.

(2)

2. Diversi a. Pengertian

Diversi merupakan sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Dalam hal ini, para pihak yang terlibat adalah anak. Maka dari itu diversi adalah suatu upaya untuk menempatkan penyelesaian perkara di luar sistem peradilan anak.9 Tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka, atas perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.10 Dengan adanya diversi, perkara-perkara anak dapat diselesaikan di luar jalur peradilan formal. Hal yang melatarbelakangi diversi sendiri adalah unsur keadilan bagi anak untuk dapat memenuhi kepentingan yang terbaik bagi dirinya.11

b. Menurut Para Ahli

Para ahli juga memberikan pendapatnya mengenai definisi dari diversi. M.

Nasir Jamil menjelaskan bahwa diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu yang awalnya melalui proses pidana formal menjadi penyelesaian damai antara anak yang berkonflik dengan hukum atau pelaku tindak pidana dengan korban. Diversi tersebut difasilitasi oleh keluarga atau masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim.12 Sedangkan Marlina menjelaskan bahwa diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana formal demi memberikan perlindungan dan rehabilitasi (protection and rehabilitation) kepada pelaku sebagai upaya pencegahan anak

9 Marlina, Peradilan Pidana Anak di di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 158.

10 M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta Timur, Sinar Grafika, hal. 137.

11 Sri Rahayu, Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang Dilakukan Anak dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 6, No. 1, 2015, hal. 130.

12 M. Nasir Jamil, Op., Cit.

(3)

yang menjadi pelaku kriminal dewasa.13 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan pengertian mengenai diversi. Menurut Pasal tersebut, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

c. Syarat dan Tujuan

Selanjutnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak berusia 12 tahun, penyidik atau pembimbing kemasyarakatan akan menyerahkannya kepada orang tua/wali anak tersebut. Tujuan daripada upaya diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara anak dan korban.

Dengan demikian syarat diversi hanya dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak sesuai yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Kemudian terdapat beberapa syarat diversi menurut Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.11 Tahun 2012 SPPA, antara lain; 1) Syarat diversi harus dilakukan melalui musyawarah dengan menghadirkan anak serta orang tua/walinya, pekerja sosial profesional dan pembimbing kemasyarakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. 2) Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No.11 Tahun 2012 SPPA hal yang menjadi syarat diversi harus menciptakan kesejahteraan sosial.

Kemudian dalam proses diversi harus memperhatikan beberapa hal seperti;

1) Tetap berorientasi terhadap kepentingan korban. 2) Menekankan rasa tanggung jawab dan kesejahteraan anak. 3) Menghindari stigma negatif yang dapat timbul kepada anak. 4) Mengantisipasi terjadinya pembalasan. 5) Menciptakan suasana kondusif dalam masyarakat; dan 6) Kesusilaan, ketertiban umum serta kepatutan.

Dalam upaya melakukan diversi atau pengalihan proses peradilan tindak pidana anak ke luar proses tindak pidana harus memenuhi syarat diversi, yaitu

13 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 22.

(4)

ancaman pidana penjara kurang dari 7 (tahun) dan tidak melakukan tindak pidana yang sama atau melakukan tindak pidana kembali.

Tidak hanya syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan diversi, namun tujuan dari diversi itu sendiri juga harus diperhatikan dengan baik. Dalam Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2012 SPPA telah dijelaskan tujuan dari diversi, antara lain: 1) mencapai perdamaian antara korban dan Anak, 2) menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan, 3) menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan, 4) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan 5) menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Tujuan dari diversi tersebut harus diperhatikan dan dijalankan sebagaimana mestinya telah diatur dalam Undang-Undang agar proses diversi mencapai hasil yang baik.

d. Tahapan Diversi

Diversi sendiri tidak bisa atau tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya tahapan atau langkah-langkah seperti yang sudah diatur. Peraturan yang mengeluarkan aturan tentang tahapan diversi adalah PERMA No. 4 Tahun 2014 Pasal 5, yang menjelaskan tentang Tahapan Musyawarah Diversi. Kemudian prosedur Peradilan Pidana Anak pada dasarnya, ketentuan beracara peradilan pidana anak mengikuti hukum acara pidana sebagaimana diatur Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam UU SPPA. Penyidik wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari setelah penyidikan dimulai. Jika diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

Penangkapan anak dilakukan guna kepentingan penyidikan maksimal 24 jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Sedangkan ketentuan penahanan anak ialah: 1) Atas permintaan penyidik:

maksimal 7 hari dan dapat diperpanjang penunutut umum maksimal 8 hari. 2) Atas permintaan penuntut umum: maksimal 5 hari dan dapat diperpanjang hakim pengadilan negeri maksimal 5 hari. 3) Atas permintaan hakim: maksimal 10 hari dan dapat diperpanjang oleh kepala pengadilan negeri maksimal 15 hari. Patut diperhatikan, penahanan tidak boleh dilakukan jika anak memperoleh jaminan

(5)

dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.

Penuntut umum wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari setelah menerima berkas perkara penyidik. Jika diversi gagal, penuntut umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan. Pemeriksaan Hakim

Dalam pemeriksaan hakim ini ketua pengadilan menetapkan hakim tunggal atau hakim majelis untuk menangani perkara anak maksimal 3 hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum, dengan ketentuan: 1) Pada setiap tingkat peradilan, dilakukan oleh hakim tunggal. 2) Jika tindak pidana diancam pidana penjara 7 tahun atau sulit pembuktiannya, dapat ditetapkan pemeriksaan dengan hakim majelis.

Tidak hanya tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan dalam melakukan diversi, namun syarat-syarat dalam melakukan diversi juga harus sangat diperhatikan. Dalam sistem pengalihan peradilan pidana anak merupakan anak yang berkonflik dengan hukum, anak menjadi korban dan menjadi saksi atas tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum genap berusia 18 (tahun) akan melalui pengadilan anak berdasarkan UU No.11 Tahun 2012 SPPA.

Selanjutnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak berusia 12 tahun, penyidik atau pembimbing kemasyarakatan akan menyerahkannya kepada orang tua/wali anak tersebut. Tujuan daripada upaya diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara anak dan korban.

Dengan demikian terdapat beberapa syarat diversi menurut Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.11 Tahun 2012 SPPA, antara lain; 1) Syarat diversi harus dilakukan melalui musyawarah dengan menghadirkan anak serta orang tua/walinya, pekerja sosial profesional dan pembimbing kemasyarakatan melalui pendekatan keadilan restoratif. 2) Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 UU No.11 Tahun 2012 SPPA hal yang menjadi syarat diversi harus menciptakan

(6)

kesejahteraan sosial. 3) Proses diversi harus memperhatikan hal seperti; a) tetap berorientasi terhadap kepentingan korban, b) menekankan rasa tanggung jawab dan kesejahteraan anak, c) menghindari stigma negatif yang dapat timbul kepada anak, d) mengantisipasi terjadinya pembalasan, e) menciptakan suasana kondusif dalam masyarakat, dan f) kesusilaan, ketertiban umum serta kepatutan.

Dalam upaya melakukan diversi atau pengalihan proses peradilan tindak pidana anak ke luar proses tindak pidana harus memenuhi syarat diversi sebagai berikut, 1) Ancaman pidana penjara kurang dari 7 (tahun), dan 2) Tidak melakukan tindak pidana yang sama atau melakukan tindak pidana kembali.

Kemudian hakim wajib mengupayakan diversi maksimal 7 hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim yang dilakukan maksimal 30 hari. Jika diversi tidak berhasil, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.

Selanjutnya hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Setelah hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, anak dipanggil masuk beserta orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan. Kemudian setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain. Selanjutnya pada saat memeriksa anak korban dan/atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa ke luar ruang sidang dengan ketentuan orang tua/wali, advokat atau pemberi bantuan hukum, dan pembimbing kemasyarakatan tetap hadir. Dan yang terakhir pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak, dengan catatan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi harus dirahasiakan oleh media massa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar.

Jadi berdasarkan ketentuan di atas, pada dasarnya SPPA diterapkan pada anak berusia 12 sampai dengan di bawah umur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kemudian peradilan pidana anak mengutamakan keadilan

(7)

restoratif, di mana pidana penjara hanya diberikan sebagai upaya terakhir dan jika diberikan, masa pemidanaannya diupayakan dalam waktu paling singkat.

Apabila dilihat secara mendalam, diversi sendiri terbentuk karena adanya kepentingan perlindungan terhadap anak. Menurut UU SPPA, batasan usia anak yang berkonflik dengan hukum sendiri adalah yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA.

Anak sendiri merupakan generasi penerus yang nantinya akan melanjutkan keberlangsungan bangsa. Maka dari itu, kepentingan perkembangan bagi anak sangatlah diperhatikan. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.14 Perlindungan Anak Indonesia berarti melindungi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.15

Hak-hak anak juga dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Awal mula dari adanya perlindungan anak adalah adanya deklarasi PBB tahun 1948 yang dikenal dengan Universal Declaration of Hukum Rights (UDHR). Di dalam UDHR, terdapat salah satu rumusan yang menjelaskan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Dengan demikian, anak dijamin hak-haknya untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kemampuannya dan harus dilindungi.16 Perlindungan terhadap hak anak oleh dunia internasional tertuang dalam (1) 1959 UN General Assembly Declaration on the Rights of the Child; (2) 1966 International Covenant on Civil and Rights of

14 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 1.

15 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2011, hal. 1.

16 Azwad Rachmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Vol. 13, No. 1, 2019, hal. 16.

(8)

the Child; (3) 1966 International Covenant on Economic, Social & Cultural Right;

(4) 1989 UN Convention on the Rights of the Child.17

Konvensi hak-hak anak adalah instrumen dan HAM yang dinilai paling komprehensif untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.18 Pemerintah Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1990 yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989.19 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1990, kemudian dituangkan dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20014 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup yang menghargai dan tumbuh berkembang. Hadirnya perangkat peraturan tersebut telah merumuskan perlindungan terhadap hak-hak anak.

Anak memiliki hak secara spesifik berbeda dengan hak-hak orang dewasa, hal ini disebabkan bahwa anak sangat rentan mengalami kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi.20 Berbagai kasus tindak pidana yang melibatkan anak harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah aktual dan faktual sebagai gejala sosial dan kriminal yang telah menimbulkan kehawatiran dikalangan orang tua pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta penegak hukum.21

17 Muhammad Azil Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia, Pandecta: Research Law Journal, Vol. 7, No. 2, 2012, hal.

172.

18 Zendy Wulan Ayu Widhi Prameswari, Ratifikasi Konvensi Tentang Hak-Hak Anak dalam Sistem Peraturan PerundangUndangan di Indonesia, Jurnal Yuridika, Vol .32, No. 1, 2017, hal.

167.

19 Hardianto Djanggih, Konsepsi Perlindungan Hukum Bagi Anak sebagai Korban Kejahatan Siber Melalui Pendekatan Penal dan Non Penal, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 30, No. 2, 2018, hal.

317.

20 Nur Rochaeti, Implementasi Keadilan Restoratif dan Pluralisme Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 44, No. 2, 2015, hal.

150.

21 Ulang Mangun Sosiawan, Perspektif Restorative Justice Sebagai Wujud Perlindungan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum, Jurnal Penelitian Hukum Dejure, Vol. 16, No. 4, 2016, hal.

428.

(9)

3. Restorative Justice

Konsep Restoratif Justice dapat dilaksanakan apabila adanya persetujuan korban, membuat Anak bertanggung jawab untuk memperbaiki kesalahannya, melibatkan korban, orang tua, keluarga, masyarakat dalam upaya penyelesaian perkara, menciptakan forum kerja sama dengan masyarakat sekitarnya untuk menangani masalah yang ada seperti Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan lain-lain dan konsep Restoratif Justice mengutamakan pemulihan bukan pembalasan seperti keadilan retributif. Sedangkan upaya diversi merupakan upaya agar tercapainya Restoratif Justice tersebut karena prinsipnya untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa Keadilan Restoratif merupakan konsep, sedangkan diversi merupakan upaya.

Adanya upaya pelaksanaan Restoratif Justice tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua, karena Hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain:

1) Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first offender);

2) Anak tersebut masih sekolah;

3) Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum.

Sistem peradilan anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali kepada kemauan dan kemampuan para pelaksananya untuk mengutamakan keputusan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip the best interest of the children.

Pendekatan Restorative Justice adalah suatu pendekatan alternatif dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada rekonsiliasi, pemulihan, dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hubungan dan kerugian yang ditimbulkan kepada

(10)

korban, serta komunitas, bukan hanya sebagai pelanggaran terhadap negara atau hukum semata.

Prinsip utama dalam pendekatan Restorative Justice adalah pemulihan dan rekonsiliasi. Pendekatan ini mengusahakan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kriminal, baik secara materiil maupun emosional, dan membangun kembali hubungan yang rusak antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada korban untuk berbicara langsung dengan pelaku, mengungkapkan dampak pribadi dari kejahatan tersebut, dan menentukan solusi yang memadai. Hal ini juga memberikan kesempatan kepada pelaku untuk mengakui kesalahan mereka, bertanggung jawab atas tindakan mereka, dan melakukan upaya pemulihan serta rehabilitasi.

Pendekatan Restorative Justice melibatkan proses dialog dan mediasi yang dipimpin oleh mediator yang netral. Pihak yang terlibat, termasuk pelaku, korban, dan anggota masyarakat terkait, dapat berpartisipasi dalam proses ini. Dialog tersebut bertujuan untuk memperbaiki pemahaman, empati, dan saling pengertian antara pelaku dan korban, serta untuk mencari solusi yang dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan semua pihak terkait.

Dalam konteks Restorative Justice, hukuman dianggap sebagai sarana untuk mengubah perilaku pelaku dan memulihkan keseimbangan dalam masyarakat, bukan hanya sebagai hukuman yang bersifat punitif. Hukuman yang diberikan dalam pendekatan ini cenderung lebih berfokus pada rehabilitasi, reintegrasi, dan penghindaran dari perilaku kriminal di masa depan.

Restorative Justice adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat yang terkena dampak. Pendekatan ini berusaha untuk mengubah paradigma tradisional yang hanya fokus pada hukuman dan balas dendam, dengan mengedepankan upaya pemulihan, pertanggungjawaban, dan rekonsiliasi sebagai tujuan utama. Berikut adalah analisis tentang restorative justice:

1. Pemulihan dan Rekonsiliasi: Restorative justice menempatkan pemulihan dan rekonsiliasi sebagai tujuan utama. Pendekatan ini

(11)

mengakui pentingnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kejahatan, baik secara emosional, psikologis, maupun sosial. Hal ini dicapai melalui proses dialog, mediasi, atau pertemuan antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat terdampak, di mana mereka berbagi pengalaman, menyampaikan kebutuhan, dan mencari solusi bersama.

2. Pertanggungjawaban dan Restitusi: Restorative justice menekankan pentingnya pelaku kejahatan untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya. Dalam proses restorative justice, pelaku didorong untuk mengakui dan mengakui kesalahan mereka, serta bekerja untuk memperbaiki dampak yang mereka sebabkan. Ini bisa berarti memberikan restitusi kepada korban, baik berupa kompensasi materiil maupun non-materiil, atau melakukan tindakan yang memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan.

3. Kolaborasi dan Partisipasi: Restorative justice melibatkan kolaborasi aktif antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat. Proses restorative justice menghargai kepentingan dan suara semua pihak yang terlibat dan memberikan mereka kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan solusi yang adil dan bermakna. Hal ini mempromosikan rasa memiliki, keadilan yang lebih menyeluruh, dan pemulihan yang lebih berkelanjutan.

4. Pencegahan Kejahatan Secara Berkelanjutan: Salah satu aspek penting dari restorative justice adalah upaya untuk mencegah kejahatan di masa depan. Melalui proses restorative justice, pelaku kejahatan diberikan kesempatan untuk mengubah perilaku mereka, menerima bimbingan dan dukungan, dan mengembangkan keterampilan yang membantu mereka menjadi anggota masyarakat yang lebih baik.

Dalam jangka panjang, ini diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan dan memperbaiki hubungan sosial.

5. Kritik dan Tantangan: Meskipun restorative justice memiliki potensi yang signifikan, pendekatan ini juga menghadapi beberapa kritik dan

(12)

tantangan. Misalnya, ada kekhawatiran bahwa restorative justice dapat mengabaikan keadilan formal dan memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk menghindari hukuman yang layak. Selain itu, ada tantangan dalam mengimplementasikan restorative justice secara konsisten dan menyediakan sumber daya yang memadai.

Memusatkan perhatian pada pemulihan korban dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini berbeda dengan sistem peradilan pidana tradisional yang lebih fokus pada hukuman dan pemisahan pelaku dari masyarakat. Dalam restorative justice, pelaku diminta untuk mengakui kesalahannya dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan akibat tindakan kriminalnya, serta memperbaiki hubungan dengan korban dan masyarakat.

4. Fasilitator

Hakim sebagai fasilitator dalam proses Diversi berpedoman kepada Pasal 1 ayat (2) PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam PERMA tersebut Hakim fasilitator ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk bertindak sebagai fasilatator dalam proses diversi. Fasilitator diversi adalah hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan diversi terhadap anak pelaku sekaligus korban tindak pidana.

Selanjutnya Fasilitator wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan). Setelah fasilitator menerima penetapan ketua pengadilan untuk menangani perkara tindak pidana anak, fasilitator mengeluarkan penetapan hari musyawarah diversi yang berisi perintah kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan anak dan orang tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional, perwakilan masyarakat, pihak-pihak terkait lainnya yang dipandang perlu untuk dilibatkan dalam musyawarah diversi. Musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi dengan

(13)

perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak yang hadir.

Kedudukan fasilitator dalam proses diversi begitu sentral dan penting.

Dalam hal ini, fasilitator bersifat aktif untuk mengupayakan kedua belah pihak untuk berdamai dengan cara mengumpulkan kedua belah pihak dan mendengar masing-masing keinginan kedua belah pihak dalam proses diversi tersebut yang untuk selanjutnya mendapaikan kedua belah pihak22.

Tahapan musyawarah diversi berdasarkan ketentuan Pasal 5 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut :

1) Musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi dengan perkenalan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi, serta tata tertib musyawarah untuk disepakati oleh para pihak yang hadir.

2) Fasilitator diversi menjelaskan tugas fasilitator diversi.

3) Fasilitator Diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan Pembimbing Kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial Anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.

4) Fasilitator Diversi wajib memberikan kesempatan kepada:

a. Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan.

b. Orangtua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

c. Korban/Anak Korban/Orangtua/Wali untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

5) Pekerja Sosial Profesional memberikan informasi tentang keadaan sosial Anak Korban serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.

22 Esther Wita Simanjuntak, dkk, Peran Hakim Terhadap Penerapan Diversi Sebagai Upaya Menciptakan Restoratif Justice Dalam Tindak Pidana Anak, Jurnal Kajian Hukum Peran Hakim Terhadap Penerapan Diversi Sebagai… Volume 2 Nomor 2, hal. 317.

(14)

6) Bila dipandang perlu, Fasilitator Diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian.

7) Bila dipandang perlu, Fasilitator Diversi dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus) dengan para pihak.

8) Fasilitator Diversi menuangkan hasil musyawarah ke dalam Kesepakatan Diversi.

9) Dalam menyusun kesepakatan diversi, Fasilitator Diversi memperhatikan dan mengarahkan agar kesepakatan tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilaan;

atau memuat hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan Anak; atau memuat itikad tidak baik.

Diatur pula mengenai tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan diversi bagi fasilitator diversi, kemudian mengenai barang bukti dimana penetapan ketua pengadilan atas kesepakatan diversi memuat pula penentuan status barang bukti yang telah disita dengan memperhatikan kesepakatan diversi. Selanjutnya diatur juga dalam hal belum terdapat hakim yang memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai hakim anak sesuai UU SPPA, maka hakim pada pengadilan yang telah ditetapkan sebagai hakim anak berdasarkan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ditetapkan sebagai Hakim Anak berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Fasilitator diversi menjelaskan tugas fasilitator diversi. Fasilitator diversi menjelaskan ringkasan dakwaan dan pembimbing kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitator diversi wajib memberikan kesempatan kepada anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan, orang tua/wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan, korban/anak korban/orangtua/wali untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

(15)

Dalam hal ini fasilitator mencatat musyawarah diversi dicatat dalam berita acara diversi dan ditandatangani oleh fasilitator diversi dan panitera/panitera pengganti, kesepakatan diversi ditandatangani oleh para pihak dan dilaporkan kepada ketua pengadilan oleh fasilitator diversi. Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan kesepakatan diversi berdasarkan kesepakatan diversi. Ketua pengadilan dapat mengembalikan kesepakatan diversi untuk diperbaiki oleh fasilitator diversi apabila tidak memenuhi syarat selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari setelah menerima penetapan dari ketua pengadilan, hakim menerbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara.

5. Pengertian Penetapan

Penetapan adalah putusan yang berisi diktum penyelesaian permohonan yang dituangkan dalam bentuk ketetapan pengadilan.23 Sifat dari penetapan pengadilan adalah sebagai berikut. sifat yang pertama adalah diktum bersifat deklaratoir, yakni hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta. Sifat yang kedua adalah penetapan pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapapun. Sedangkan sifat yang terakhir adalah penetapan diktum tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru.24

Penetapan hakim dapat diartikan sebagai keputusan atau putusan yang dibuat oleh seorang hakim dalam suatu perkara atau persidangan. Penetapan hakim tersebut berisi keputusan hakim mengenai hak, kewajiban, atau tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.

6. Pengertian Anak

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga, dibina dengan baik dan penuh kasih sayang, karena anak juga memiliki harkat, martabat dan hak yang harus junjung tinggi dan dilindungi, supaya dimasa mendatang anak tersebut dapat berguna dan bermanfaat bagi sesama dan bagi bangsa. Di Indonesia ada banyak berbagai macam peraturan perundang-undangan

23 Rio Christiawan, Penetapan Pengadilan Sebagai Bentuk Upaya Hukum Pada Proses Eksekusi, Jurnal Yudisial, Vol. 11, No. 3, 2018, hal. 371.

24 M. Y. Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan Pembuktian &

Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 29.

(16)

yang mengatur tentang anak. Sebagai contoh pengertian anak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yaitu

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Di dalam KUHperdata Pasal 330 ayat (1)

“Seseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun.” Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak juga menjelaskan tentang anak yang berkonflik dengan hukum yaitu “anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian anak secara etimologi diartikan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.Devinisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana maupun hukum perdata. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nasioanal Convention on The Right of The Child Tahun 1989. Menurut R. A.

Koesnan, anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam jiwa dan pejalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk keadaan sekitarnya.25 Definisi anak sendiri terdapat beberapa pengertian, dari beberapa penraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Pengaturan anak berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam Pasal 45 yang memberi batasan mengenai anak, yaitu apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun, oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya dikembalikan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan. Pengertian anak juga diatur didalam Kitab Undang-Undang

25 R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, 2005, hal.

113

(17)

Hukum Perdata. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdara (KUH Perdata) menyebutkan, orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Sedangkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai 16 (enam belas) tahun. Dalam Pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang pria yang belum mencapai usia 19 dan wanita belum mencapai usia 16 masih dikategorikan sebagai anak. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan Anak juga dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam peraturan yang lainyaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentinganya. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak adalah seseorang yang telah berusia 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Peraturan perundang-undagan di Indonesia memang tidak seragam akan tetapi dalam setiap perbedaan memiliki pemahaman tersebut tergantung situasi dan kondisi dalam pandangan mana yang akan digunakan nantinya. Pengertian anak memiliki arti yang sangat luas, dan anak dikategorikan menjadi beberapa kelompok usia.

Pada dasarnya anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha

(18)

Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukan dalam penjara.26

7. Teori Pemidanaan terhadap Anak

Istilah sistem peradilan anak adalah terjemahan dari isitlah The Juvenile Justice System. The Juvenile Justice System sendiri adalah gabungan beberapa institusi yang ada dalam pengadilan seperti polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.27 Sistem Peradilan Pidana Anak ini menjadikan para aparat penegak hukum untuk terlibat aktif dalam proses menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses pidana sehingga menghasilkan putusan pidana.

Penyidik kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang SPPA ini, selain itu ada penuntut umum atau jaksa, dan ada hakim.

Keadilan resotarif dan diversi diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak untuk menjaga agar prinsip-prinsip sistem peradilan pidana anak dapat berjalan dan terjaga. Pedoman pelaksanaan keadilan restoratif atau restorative justice di Indonesia terdapat dalam United Nations Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), dalam resolusi PBB 40/30 tanggal 29 November 1985. Pengaturan tersebut mengatur bahwa memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan- tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain mengentikan atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakan dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Tujuan sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi

26 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 1.

27 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 35.

(19)

pelaku, bukan pada perbuatan atau kerugian yang diakibatkan. Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak relevan, insidental dan secara umum tak layak.

Tujuan diadakannya peradilan pidana anak tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak dari aspek psikologi dengan memberikan pengayoman, bimbingan dan pendidikan.28 Tujuan penting dalam peradilan anak adalah memajukan kesejahteraan anak (penghindaran sanksi-sanksi yang sekadar menghukum semata) dan menekankan pada prinsip proposionalitas (tidak hanya didasarkan pada pertimbangan beratnya pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keaaan pribadinya, seperti status sosial, keadaan keluarga, kerugian yang ditimbulkan atau faktor lain yang berkaitan dengan keadaan pribadi yang akan mempengaruhi kesepadanan reaksi-reaksinya).29

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang akan meneruskan keberlangsungan suatu bangsa. Maka dari itu, anak memiliki peranan peranan strategis, termasuk mempunyai ciri khusus. Usia anak memperlukan pembinaan dan perlindungan fisik, mental, dan sosial secara utuh. Dalam proses bimbingan dan pembinaan ini akan terjadi proses pembentukan tata nilai anak-anak remaja.

Tata nilai tersebut terbentuk dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.

Di dalam perkembangan anak, lingkungan merupakan salah satu faktor yang menentukan. Lingkungan dapat membawa dampak positif dan negatif terhadap anak. Dampak dari lingkungan negatif tersebut tidak jarang membawa anak kedalam perbuatan yang melanggar hukum. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dan tidak ada kecualinya. Namun terhadap seorang anak sebagai pelaku tindak pidana berlaku perlindungan khusus dengan tujuan melindungi kepentingan anak dan masa depan anak. Di jelaskan juga dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa

28 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014, hal. 93.

29 Setya Wahyudi, Op., Cit, hal. 41.

(20)

“perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Penangkapan, penahanan, atau sangsi pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Perlindungan hukum anak merupakan upaya perlindungaan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak.30 Bentuk perlindungan hukum terhadap anak misalnya pendampingan dari petugas kemasyarakatan, masa penahanan yang lebih singkat di banding orang dewasa, fasilitas oleh aparat penegak hukum khusus anak, termasuk pemisahan tahanan anak dari tahanan orang dewasa merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap anak.31 Anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atastindakan atau perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.

Dalam Undang-Undang No 11 tahun 2012 asas yang dianut dalam Sistem Peradilan Anak di antaranya adalah kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, serta wajib diupayakan diversi. Diversi sendiri bertujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

30 Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bagti, Bandung, 1998, hal. 153.

31 Guntarto Widodo, Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol. 6, No. 1, 2016, hal. 61.

(21)

Peradilan pidana anak mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam peradilan pidana anak, seyogianya dilakukan oleh penyidik anak , penuntut umum anak, hakim anak atau petugas lembaga pemasyarakatan anak. Sistem peradilan anak juga dilakukan dengan berdasarkan prinsip kesejahteraan anak.

Dalam perkara anak, Hakim menjatuhkan pidana atau tindakan dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibawa hukum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran, keadilan dan kesejahteraan Anak. Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa depannya. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus dipertanggaungjawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanakan pidana atau tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan sosial.

8. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah prinsip hukum dan etika yang menempatkan kesejahteraan dan kepentingan anak sebagai faktor utama dalam setiap keputusan, kebijakan, atau tindakan yang melibatkan anak. Prinsip ini mengakui bahwa anak adalah individu yang rentan dan perlu dilindungi, serta memiliki hak untuk hidup, berkembang, dan dihormati. Prinsip ini mengakui bahwa anak memiliki hak-hak khusus dan memerlukan perlindungan serta perhatian khusus untuk memastikan perkembangan dan kesejahteraan mereka.

Asas kepentingan terbaik bagi anak didasarkan pada pemahaman bahwa keputusan yang baik untuk anak adalah keputusan yang paling menguntungkan bagi kesejahteraan mereka secara menyeluruh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini melibatkan pertimbangan terhadap berbagai faktor yang dapat memengaruhi kehidupan anak, seperti keselamatan, kesehatan, pendidikan, hubungan keluarga, identitas budaya, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

(22)

Asas kepentingan terbaik bagi anak mengacu pada Pasal 8 Undang- Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu proses diversi wajib memperhatikan :

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;

c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan;

e. Keharmonisan mayarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan kebutuhan fisik, emosional, sosial, dan perkembangan anak. Setiap keputusan atau tindakan yang melibatkan anak harus berupaya untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak anak, serta memastikan mereka mendapatkan perawatan yang sesuai dengan usia, kedewasaan, dan keadaan mereka. Dalam konteks hukum keluarga, asas kepentingan terbaik bagi anak sering menjadi pertimbangan utama dalam masalah perwalian, pengasuhan, pemisahan orang tua, perawatan anak yang terlantar, atau adopsi. Prinsip ini memberikan panduan bagi pengadilan, lembaga sosial, dan pihak terkait lainnya untuk membuat keputusan yang paling menguntungkan bagi anak dalam situasi- situasi tersebut.

Penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak tidak berarti bahwa keinginan atau kepentingan orang dewasa diabaikan, tetapi bahwa keputusan dan tindakan harus didasarkan pada pertimbangan utama kepentingan dan kesejahteraan anak. Asas ini juga mendorong keterlibatan anak dalam proses pengambilan keputusan yang sesuai dengan usia dan kedewasaan mereka, memberikan mereka kesempatan untuk mengungkapkan pendapat mereka dan mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Asas kepentingan terbaik bagi anak didasarkan pada keyakinan bahwa anak adalah individu yang rentan dan masih dalam proses perkembangan fisik, mental, dan emosional.

Prinsip ini menekankan pentingnya melindungi dan mempromosikan kesejahteraan anak, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil

(23)

mempertimbangkan perspektif anak, kebutuhan mereka, hak-hak mereka, dan perkembangan yang sehat.

Penerapan asas kepentingan terbaik bagi anak membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi anak, termasuk kesehatan fisik dan mental, pendidikan, lingkungan keluarga, hubungan sosial, dan faktor-faktor lain yang relevan. Prinsip ini juga mencakup pemahaman bahwa setiap anak adalah individu yang unik, dengan kebutuhan dan keinginan yang berbeda, sehingga keputusan yang diambil harus sesuai dengan kondisi dan karakteristik individu tersebut. Dalam konteks hukum, asas kepentingan terbaik bagi anak digunakan dalam berbagai situasi, termasuk dalam proses peradilan keluarga, penentuan hak asuh, perwalian, pengadopsian, perlindungan anak, dan keputusan lain yang melibatkan kepentingan dan kesejahteraan anak. Prinsip ini juga diakui dalam berbagai instrumen internasional, seperti Konvensi Hak Anak PBB, yang menetapkan bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan yang melibatkan anak.

Penting untuk dicatat bahwa asas kepentingan terbaik bagi anak tidak berarti bahwa keinginan atau kepentingan orang dewasa sepenuhnya diabaikan.

Namun, kepentingan dan kesejahteraan anak harus menjadi faktor dominan dalam pengambilan keputusan yang melibatkan mereka. Prinsip ini mengharuskan pemangku kepentingan, termasuk orang tua, pengadilan, pekerja sosial, dan lembaga terkait, untuk mempertimbangkan dampak setiap keputusan terhadap anak dan melakukan tindakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan hak- hak mereka. Asas kepentingan terbaik bagi anak bersifat relatif dan dapat bervariasi tergantung pada konteks budaya, sosial, dan hukum tertentu. Prinsip ini mengarahkan kita untuk memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan anak dalam segala keputusan yang mempengaruhi mereka, dan melibatkan pendekatan yang sensitif terhadap hak-hak anak.

Referensi

Dokumen terkait

Dari sisi perlin- dungan kepentingan terbaik bagi anak, keberadaan diversi sangat diperlukan, karena melalui diversi, kemungkinan penuntutan pidana gugur, rekam jejak kriminal anak