• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: SIMBOLISASI NILAI KEKRISTENAN PADA ARSITEKTUR BANGUNAN GEREJA PNIEL DI BLIMBINGSARI: KAJIAN AKULTURASI BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: SIMBOLISASI NILAI KEKRISTENAN PADA ARSITEKTUR BANGUNAN GEREJA PNIEL DI BLIMBINGSARI: KAJIAN AKULTURASI BUDAYA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

1.1 Pendahuluan

Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur asing lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan tersebut.1 Bangunan gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu contoh bangunan yang telah terakulturasi oleh kebudayaan Bali. Dalam arsitektur bangunan terdapat seni arsitektur yang adalah suatu seni atau praktek perancangan dan pembangunan struktur dan konstruksi bangunan, dan menurut Brinckmann seni arsitektur yakni suatu kesatuan antara ruang dan bentuk, sekaligus penciptaan ruang dan bentuk. Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis seni arsitektur yaitu arsitektur tradisional yang mempunyai nilai historical dan kebudayaan yang tinggi. Contohnya adalah arsitektur rumah joglo.2 Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali ini merupakan salah satu objek yang patut untuk diteliti keunikannya, karena bangunan Gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu contoh bangunan gereja yang sudah terakulturasi oleh kebudayaan Bali.

Letak geografis wilayah Gereja Pniel Blimbingsari terletak di jalan Nusa Indah no satu di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jambrana, Bali dan merupakan salah satu desa dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana, bahkan sebagai desa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan.3 Gereja Kristen Pniel Blimbingsari merupakan salah satu bangunan yang telah dipengaruhi oleh budaya setempat yaitu budaya Bali melalui proses

1Dr. Ir. Bachtiar Fauzy, MT.Dr. Ir. Purnama Salura, MMT., MT.Stephanie Arvina Yusuf, ST., 2014."Sintesis Akulturasi Arsitektur Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali" Laporan Akhir Penelitian Arsitektur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Bandung : Universitas Katolik Parahyangan.

https://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/1489

2Guru Pendidikan, " Seni Arsitektur". Diakses 1 November 2022. https://seputarilmu.com/2021/07/seni- arsitektur.html

3Enrike Puspita Indrianto. Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali: Jurnal Intra. 1, No. 1 (2013) 1 https://www.neliti.com/id/publications/90420/akulturasi-pada-gereja-kristen-pniel-blimbingsari-bali

(2)

2

akulturasi. Karena masyarakat desa Blimbingsari memiliki latar belakang Bali maka mereka tetap menggunakan arsitektur Bali, bangunan untuk sembahyang dibuat terbuka seperti bangunan pura di Bali tanpa tembok penyekat, dan terdapat halaman luar, ada bangunan gapura, candi bentar, bangunan candi kurung, bangunan bale bengong, area jeroan, bangunan wantilan dan ornamen dan ragam hias. Dari arah utara keselatan dibuat jalan panjang kemudian dari arah barat ke timur dibuat lebih pendek agar memberi gambaran Salib. Formasi salib tersebut dibuat berdasarkan budaya Bali nyagara-gunung, luanan-tebenan. Dari hal ini bisa dilihat bahwa masyarakat Desa Blimbingsari berusaha untuk tetap mempertahankan warisan leluhur sebagai identititas diri yang mereka miliki. Hal ini yang membuat Gereja Kristen Pniel Blimbingsari yang memiliki wujud arsitektur yang unik dan menarik dibandingkan Gereja lainnya di pulau Bali.

Latar belakang dan tujuan gereja Pniel Blimbingsari dibangun berdasarkan arsitektur budaya Bali, Bapak I Nyoman Yohanes mengatakan "Agar gereja bertumbuh dan berkembang dalam akar budaya Bali. Kita tidak mau menjadi orang asing di negeri sendiri, misalnya, dengan membangun gedung gereja berarsitektur Eropa seperti tembok tebal, menara tinggi, model bangunan gaya Romawi. Itu akan membuat gereja terkesan Asing. Dan tujuannya agar gereja bisa diterima sebagai bagian masyarakat Bali yang berbudaya Bali. Sebab tubuh jasmani kita Bali hanya jiwa kita Kristiani atau bersifat ke-Kristus-an bukan kedewaan atau keleluhuran hal mana menjadi jiwa Hindu".4 Filosofi dan konsep bangunan gereja Pniel Blimbingsari berdasarkan arsitektur tradisional Bali pada masa prasejarah hingga kekuasaan majapahit dianggap sebagai masa tumbuh dan berkembangnya arsitektur tradisional Bali yang dilandasi oleh lontar asta kosala kosali dan lontar asta bumi. Asta kosala kosali adalah aturan tentang bentuk bentuk simbol pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan), dan hiasan. Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih.5 Hasil studi mengenai wujud arsitektur dan

4Hasil wawancara dengan I Nyoman Yohanes tanggal 3 November 2022.

5Dr. Ir. Bachtiar Fauzy, MT.Dr. Ir. Purnama Salura, MMT, MT.Stephanie Arvina Yusuf, ST. 2014. "Sintesis Akulturasi Arsitektur Gereja Kristen Pniel Blimbingsari di Bali" Laporan Akhir Penelitian Arsitektur Lembaga

(3)

3

aspek budaya terhadap kondisi faktual menunjukkan bahwasannya Gereja Kristen Pniel Blimbingsari mengalami proses akulturasi pada arsitektur bangunannya secara keseluruhan. Kajian tentang akulturasi budaya dan arsitektur yang mempengaruhi arsitektur bangunan gereja ini akan menarik untuk diangkat dan diteliti Adanya keterkaitan konteks budaya dan lingkungan setempat menjadikan suatu wujud arsitektur memiliki ciri karakter tersendiri di tiap-tiap daerahnya.6

Konsep Tri Hita Karana sangat berpengaruh dalam kehidupan umat Hindu Bali yang dapat dilihat pada tatanan norma dan adat istiadat yang sudah terwariskan secara turun temurun. Konsep Tri Hita Karana ini tidak terlepas dari konsep arsitektur tradisional Bali sebagai dasar dalam menyusun tata pola ruang, baik secara metafisik. Konsep Tri Hita karana ini menunjukkan adanya keharmonisan secara vertikal dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan secara horisontal dalam hubungan antara lingkungan dengan sesama manusia. Wujud dari dari konsep Tri Hita Karana ini adalah dengan dibangunnya seperti Pura Desa dan agung untuk tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan selain itu dibangun sanggah yang sebagai tempat pemujaan untuk memberikan atau mengantarkan sesajen7 . Sama halnya dengan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) yang pada dasarnya juga menggunakan ornamen khas Bali.

Dapat dilihat dari bentuk arsitektur bangunan gereja yang menggunakan corak kebudayaan di setiap bangunan gereja, hal itu menunjukkan bahwa bentuk arsitektur bangunan gereja tersebut merupakan bentuk arsitektur budaya Bali untuk pemeliharaan dan pelestariaan budaya Bali.

Gereja merupakan sebuah gedung yang dijadikan umat Kristen sebagai rumah Allah dan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang makna bangunan gereja.

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

https://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/1489

6Stephanie Arvina Yusuf. Wujud Alkulturasi Arsitektur Pada Aspek Fungsi, Bentuk Dan Makna Bangunan Gereja Pniel Blimbingsari Di Bali. Jurnal Arteks. 1, No 1 (2016) 16

https://www.researchgate.net/publication/326142359_Wujud_Alkulturasi_Arsitektur_Pada_Aspek_Fungsi_Bentu k_Dan_Makna_Bangunan_Gereja_Kristen_Pniel_Blimbingsari_Di_BaliI

7I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja Bali dalam Tahap Permulaan(Malang: Departemen Literatur YPPII. 1999). 8

(4)

4

Banyak pandangan terhadap kualitas fisik dari suatu bangunan gereja dapat memberikan pengaruh pada pengguna bangunan gereja. Hal tersebut dapat terlihat dari penciptaan elemen-elemen yang dapat memberikan suasana tertentu, dapat dimunculkan dari bunyi-bunyian, pencahayaan ruangan atau penempatan simbol- simbol lainnya yang lebih spesifik. Arsitektur bangunan gereja adalah seni pertukangan yang menunjukkan model tertentu dari suatu arsitektur bangunan gedung gereja, dari tujuan dibangunnya gedung tersebut, yaitu sebagai tempat untuk beribadah.8

Gedung gereja yang ada di Indonesia pada dasarnya dapat kita lihat sebagai hasil pembentukan dari para misionaris dari Barat terdahulu, pada umumnya arsitektur bangunan-bangunan gereja tersebut yang ada di Indonesia memiliki wujud arsitektur bangunan gereja barat. Maka, berbeda dari bangunan gereja yang ada dan yang tersebar di setiap provinsi di Indonesia, Gereja Protestan di Bali mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri dari bangunan gereja terkhusus nya Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) yang mengunakan arsitektur tradisional Bali. Adanya pengaruh dari lingkungan atau tradisi masyarakat Bali sangat berperan dalam wujud untuk menyampaikan seninya, makna dari simbolisasi estetika atau hiasan yang digunakan menekankan pada ajaran Iman Kristiani yang berasal dari budaya Barat. Terdapat Delapan kabupaten di Bali gereja Pniel di Blimbingsari adalah salah satu Gereja Kristen Protestan di Bali yang memakai ornamen dan elemen Bali di dalam gereja, dari luar halaman gereja hingga di dalam gereja menggunakan ornamen dan elemen budaya Bali dan terdapat ukir-ukiran Bali yang ikut meramaikan hiasan-hiasan dalam gedung gereja tersebut.

Penelitian mengenai alkulturasi pada arsitektur Bangunan Gereja Pniel di Blimbingsari sudah dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya yaitu: pertama, Bunga Reksi Imanuel judul Kontekstualisasi Corak Pura dalam Arsitektur Gedung Gereja di GKPB Jemaat "Pniel" Blimbingsari, Tujuan dari penelitiannya adalah Menganalisa

8TimPenyunting, Buku Ensiklopedia Dunia, dalam Arsitektur Gereja, diakses 27 September 2022.

http://repository.unika.ac.id/19471/3/14.A1.0027%20FEBY%20SHERENTYA%20%288.18%29..pdf%20BAB%20II.p df

(5)

5

corak pura dalam gedung gereja GKPB Pniel Blimbingsari ditinjau dalam perspektif kontekstualisasi. Penelitian tersebut lebih khusus memilih lokus Gereja GKPB Pniel Blimbingsari dan membahas kontekstualisasi terhadap corak Pura dalam arsitektur gedung gereja dari perspektif kontekstualisasi.9 Kedua, Stephanie Arvina judul wujud Alkulturasi Arsitektur Pada Aspek Fungsi, Bentuk Dan Makna Bangunan Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Di Bali, bertujuan untuk mengungkap wujud akulturasi yang terjadi dilihat dari aspek fungsi, bentuk dan makna bangunannya. Jurnal ini menganalisis aspek fisik dan non-fisik pada arsitektur Gereja Kristen Pniel Blimbingsari.10 Ketiga,Enrike Puspita Indrianto dengan judul Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari-Bali, Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh budaya Hindu-Bali terhadap Gereja Pniel tersebut dan cakupan dari pengaruh budaya Bali terhadap Gereja Pniel Blimbingsari.11 Jurnal ini membahas tentang pengaruh budaya Hindu-Bali dan cakupan dari pengaruh budaya Bali terhadap Gereja Pniel Blimbingsari.

Ketiga penelitian tersebut memiliki perhatian dan fokusnya masing-masing yaitu terhadap kontekstualisasi corak pura bangun gereja, Wujud alkulturasi dari aspek fungsi, bentuk dan makna bangunan gereja dan Pengaruh budaya Hindu-Bali terhadap bangun gereja. Namun, penulis melihat tulisan-tulisan tersebut masih meninggalkan celah karena belum melakukan penelitian yang mengarah kepada simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti ini lebih menekankan pada Simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja di Pniel Blimbingsari dengan tinjauan berdasarkan prefektif Alkulturasi Budaya dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana

9Bunga Reyksi Imanuel, Kontekstualisasi Corak Pura dalam Arsitektur Gedung Gereja di GKPB Jemaat "Pniel"

Blimbingsari”,(Salatiga:Universitas Kristen Satya Wacana, 2022) 3

10Stephanie Arvina Yusuf. Wujud Alkulturasi Arsitektur Pada Aspek Fungsi, Bentuk Dan Makna Bangunan Gereja Pniel Blimbingsari Di Bali. Jurnal Arteks. 1, No 1 (2016) 16

https://www.researchgate.net/publication/326142359_Wujud_Alkulturasi_Arsitektur_Pada_Aspek_Fungsi_Bentu k_Dan_Makna_Bangunan_Gereja_Kristen_Pniel_Blimbingsari_Di_BaLI

11 Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari-Bali,Jurnal INTRA 1, No1.(2013)https://www.neliti.com/id/publications/90420/akulturasipadagereja-kristen-

pnielblimbingsari-bali

(6)

6

simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur gereja. Menurut penulis, bahwa setiap simbol, ornamen, dan ragam hias yang ada di gereja merupakan simbol dari umat Kristen, bukan hanya sekedar sebagai hiasan melainkan memiliki makna simboliknya dan tentu memiliki nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja tersebut. Dengan demikian penulis mengangkat judul: “Simbolisasi Nilai Kekristenan Pada Arsitektur Bangunan Gereja Pniel Di Blimbingsari, Kajian Akulturasi Budaya”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja Pniel Blimbingsari?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja Pniel Blimbingsari.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan memberikan manfaat sebagai pengetahuan dalam ranah akulturasi dalam makna simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja Pniel Blimbingsari.

Manfaat Praktis

Memberikan kontribusi kepada umat Kristiani di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) untuk mengenal dan memahami makna simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja Pniel Blimbingsari.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif. Berdasarkan metode penelitian tersebut maka dilakukan dengan setting tertentu yang ada di dalam kehidupan real (alamiah) dengan maksud menginvestigasi dan memahami fenomena: apa yang terjadi,

(7)

7

mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya? Salah satu karakteristik dari metode kualitatif adalah peneliti sebagai instrumen kunci.12

Teknik pengumpulan data yang digunakan ada tiga yaitu: wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang yaitu pewawancara (interviewer) dengan orang yang diwawancarai (interviewee) untuk bertukar informasi dan ide akan suatu hal13 pengambilan data melalui wawancara terhadap 1 ketua Majelis Jemaat, 1 Majelis Jemaat dan 2 Pengurus adat desa. Hal ini berdasarkan pada metode Purposive Sampling, yaitu metode sampling non random dan mengutamakan pemilihan informan yang sesuai dengan tujuan penelitian.14 Dalam proses wawancara ini penulis menggunakan teknik Wawancara tak Tersruktur, yaitu proses tanya jawab bersifat bebas tetapi tetap menekankan garis besar permasalahan yang hendak ditanyakan.15

Teknik Observasi, penulis akan menggunakan teknik observasi melalui pengamatan terhadap objek penelitian dalam hal Simbollisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan Gereja Pniel di Blimbingsari. Karena observasi adalah metode pengumpulan data esensial dalam suatu penelitian.16 Pada metode observasi ini, pengumpulan data dilakukan dengan keterlibatan penuh penulis dalam kegiatan sumber data secara natural, yang disebut dengan observasi partisipasi lengkap.17

Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian di lapangan. Pada penelitian ini data primer diperoleh dari hasil wawancara dan data sekunder adalah data yang sudah tersedia dalam berbagai literatur yang telah ada. Data sekunder digunakan untuk mendukung data primer yang telah diperoleh peneliti di lapangan. Dalam

12(researcher as key instrument). ( John W. Creswell. “ Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran”. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) 247-249

13Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,cv, 2010), 72

14Ika Lenaini, “Teknik Pengambilan Sampel Purposive dan Snowball Sampling,” Historis 6, No. 1 (2021): 34, Diakses Oktoberber 27 September 2022, https://doi.org/10.31764/historis.vXiY.4075.

15Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, 116-117

16Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, 116-117

17Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, 108

(8)

8

penelitian ini data sekunder berasal dari buku, jurnal, skripsi, artikel, situs web dan dokumen-dokumen gereja.

1.6 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari pendahuluan yang terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Terdapat landasan teori mengenai simbolisasi arsitektur, seni arsitektur, alkulturasi budaya dan terdapat data dan hasil dari penelitian di gereja Pniel Blimbingsari. terdapat pula analisis data dari hasil penelitian. Bagian kelima penutup terdapat kesimpulan serta saran.

(9)

9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Simbol Menurut Prefektif F.W. Dillistone

Pada umumnya simbol sering ditemukan di lingkungan masyarakat dengan berbagai macam bentuk dan makna simbol tersebut, baik dalam hubungannya dengan ranah ilmiah dan untuk menjalin relasi dengan yang transenden atau Ilahi. Tentu hal ini sangat menarik karena hingga saat ini simbol masih bertahan bahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Maka, mengutip Dillistone, simbol adalah media untuk mengetahui ini dan memahami daya kekuatan dari sesuatu yang hendak diteliti, dan ini akan membantu penulis menganalisis dan mendeskripsikan Simbolisasi nilai kekristenan pada arsitektur bangunan gereja Pnie Blimbingsari, dengan memperhatikan pula pandangan beberapa ahli.

 Definisi simbol

Simbol berasal dari kata Yunani yaitu “sym-bollein”, dan menurut para ahli hal itu mempunyai beberapa makna. Pertama, symbollein berarti melemparkan bersama sesuatu benda, perbuatan yang berkaitan dengan suatu ide-ide. 18Kedua, simbol artinya mempersatukan unsur-unsur yang berbeda dengan cara menjadi sebuah penghubung pemikiran individu terhadap proses alam yang terjadi. Dan sebuah simbol mengarahkan diri dari dunia sekitar yang diterima melalui panca-indera manusia.19 Ketiga, symbollein menurut Dillistone yang artinya mencocokkan dan mempersatukan20 yaitu menempatkan kedua bagian yang berbeda dalam suatu bentuk bahasa, dan lainnya21. Maka, menurut pandangan para ahli tersebut arti kata symbollein menunjukkan bahwa simbol menunjukkan suatu objek seperti benda dan bahasa yang

18 Hartoko & Rahmanto , “Kamus Istilah Sastra,” dalam Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 155

19 Jyoti Sahi Tarian di Hutan Belantara”, dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga:

BITES-Persetia, 1992), 74.

20 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Symbol, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2002), 21

21 Dillistone, Daya 154.

(10)

10

berbeda untuk memdapatkan suatu kesepakatan bersama dengan mengungkapkan, menghubungkan dan menyatukan objek yang berbeda.

Melalui pemikiran Dillistone yang berdasarkan pada pemikiran dari Erwin Goodenough yang menyatakan bahwa simbol adalah barang atau pola bekerja pada manusia dan dapat memberikan pengaruh pada manusia.22 Definisi simbol menurut para ahli sangatlah beragam, namun ide-ide, gagasannya bertumpu pada suatu objek yang menjadi makna, baik itu dari benda, bahasa, pola dan lainnya. Hal ini, seperti di ungkapkan Dillistone bahwa definisi simbol, tidak berusaha untuk mengungkapkan keserupaan yang sama atau untuk hanya untuk mendokumentasikan suatu keadaan.

Simbol merupakan saranan yang kuat untuk memperluas penglihatan, merangsang daya imajinasi dan memperdalam pemahaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.23

 Hakekat simbol

Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap sebuah obyek karena berdasarkan pada kemampuan dan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam kehidupannya. Maka, orang-orang dapat menggunakan imajinasinya yaitu sebuah kemampuan untuk memahami sebuah kebenaran yang ada, dan menciptakan sesuatu untuk bertahan hidup. Walaupun demikian, dapat di sadari juga bahwa manusia dapat mengenal dan memahami sebagian dari objek yang dilihat atau yang dianggap, manusia mengerti namun tidak mengerti dengan jelas apa yang ada dibelakang pikirannya atau alam bawah sadarnya, sehingga untuk mengkomunikasikan hal-hal yang tak dipahami maka muncullah simbol-simbol. Dalam hal ini, individu yang kreatif adalah yang mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak disadari dalam bentuk lambang-lambang tersebut24 Orang-orang tersebut memiliki imajinasi atau “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan)”. 25 Artinya

22 Dillistone, Daya,19

23Dillistone, Daya, 20.

24 Timur Indyah, Lambang-lambang bukan Lelaki dalam Kebudayaan Jawa, dalam Bertheologia dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat, diedit oleh Pdt. Yusak Tridarmanto, Drs. Basuki Djati Utomo, Pdt. Meno Subagyo (Salatiga: BITES-Persetia, 1992), 27

25 H. Tedjowono, Imaji dan imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), 21.

(11)

11

gambaran tersebut tidak terlihat oleh mata atau secara visual dan dapat terasa serta dapat teraba oleh tangan dan kulit atau tekstural. Lukisan adalah hasil imajinasi dari seorang pelukis. Namun lukisan tersebut yang dilihat dengan panca indera dan disentuh itu tidak nyata atau tidak sesuai dengan imaji yang muncul saat sang pelukis berimajinasi melalui lukisan tersebut26. Menurut F.W Dillistone bahwa sebuah daya tidak dapat dilihat dan tidak terdengar, sama halnya dengan udara yang dihirup manusia.27

Daya itu diwujudkan dalam ide-ide yang menunjukkan sebuah realitas untuk dapat berkomunikasi dengan sekitarnya. Menurut A.N. Whitehead pikiran setiap manusia dapat berfungsi secara simbolis apabila ada beberapa bagian pengalamannya yang menbangkitkan kepercayaan, perasaan dan kesadaran dan gambaran tentang bagian- bagian dari pengalaman-pengalaman tersebut. Bagian yang pertama yaitu “simbol” dan terbentuk menjadi “makna” sebuah simbol atau lambang. Hal tersebut yang mengakibatkan adanya suatu peralihan sebuah objek dari simbol kepada makna simbol yang adalah referensi28. Sesuai dengan pendapat Whitehead dan Edwyn Bevan yang berpendapat bahwa simbol menghadirkan suatu makna melalui indera atau imajinasi manusia, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia.29

Manusia menggunakan bahasa simbol atau hal-hal yang telah disepakati bersama untuk berkomunikasi. Dillistone menyatakan bahasa membantu manusia memahami simbol yang terdapat pada pengalamannya yang memiliki pola berirama dan berulang- ulang, yang menunjuk kepada bahasa di sekitar barang yang dikenal sehari-hari yang terperinci, diberi nama dan ditentukan pola hubungannya, kuantitas dapat ditunjukkan dengan angka, banyak peristiwa terjadi berulang-ulang dan membentuk suatu tanda.

Pola berikutnya ialah yang berurutan dan memiliki tujuan, dan muncul pada hal-hal yang tidak biasa dan peristiwa yang tak terduga, misalnya angin ribut dan hujan, sakit

26 Tedjowono, Imaji dan Imajinasi, 21

27 Dillistone, Daya, 40

28 Dillistone, Daya, 18-19.

29 Edwyn Bevan, Symbolism and Belief, (London: Goerge Allen & UNWIN LTD, 1938), 11.

(12)

12

penyakit dan cacat cela pada manusia dan binatang. Dillistone menegaskan dalam situasi seperti ini, simbol melukiskan secara imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi.30

Analogi memberikan dasar tentang yang transenden atau Ilahi yang mengarah kepada fenomenal di dunia yang sebagai ciptaanNya.31 Menurut Penulis bahwa analogi tentu membahas tentang suatu objek tertentu dengan mulai memahami dan menafsirkan, serta adanya pandangan itu baik secara horizontal artinya adanya ada sebuah hubungan atau relasi alam dan manusia dan baik secara vertikal yang menjelaskan adanya hubungan atau relasi antara Tuhan dengan yang diciptakan-Nya.

Sebuah simbol dapat menjadi jembatan penghubung untuk pengalaman-pengalaman manusia dalam menghayati atau merefleksikan eksistensi Tuhan dalam kehidupannya.

Dan menurut penulis, hakekat dari simbol adalah hasil pemikiran Orang-orang terhadap suatu objek yang dapat ditangkap oleh panca indera dan diproses dengan berpikir serta berefleksi di situasi kondisi tertentu, dengan pengalaman-pengalaman hidup manusia yang begitu beragam untuk mendapatkan sebuah makna baru dan, mengembangkan arti makna dari simbol itu sendiri.

 Fungsi simbol

Simbol membuka celah ketika manusia melihat sesuatu atau objek dan menyingkapkannya secara mendalam. Dillitone membuka celah untuk menyingkapkan makna simbol dengan mendasarkan pada pemikiran para ahli, yang kemudian menemukan pola-pola hubungan yang menunjukkan fungsi simbol yaitu untuk menjembatani jurang antara “sebuah kata atau barang atau objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret (atau yang di sebut simbol)” dan

“sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi; sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga dan suatu keadaan (atau yang disebut referen) 32 Simbol menjadi penghubung dalam usaha pencarian manusia yang terus bertanya dan mencari jawaban untuk menyatukan dua realitas ini,

30Dillistone, Daya, 80

31 Dillistone, Daya, 81-86

32 Dillistone, Daya, 20-21.

(13)

13

untuk menemukan sebuah makna simbol terbaru atau pengembangan dari makna sebelumnya.

Merujuk pada arsitektur, simbol mengarah kepada bentuk dan simbol juga menyampaikan sebuah pesan karena menurut pemikiran Joyce M. Laurens, arsitektur adalah persoalan tentang teknik dan estetika pada suatu bangunan dari bentuk simbol tersebut maka tercipta persepsi dan imajinasi manusia. Dalam mempelajari arsitektur penting sekali mempelajari hal-hal yang tidak kasat mata yang sebagai bagian dari realitas yaitu realitas pada konkret dan realitas pada simbolik tersebut.33 Dalam hal bentuk arsiktektur, makna simbolik berfungsi untuk menghidupkan tanda-tanda material dan membuatnya bermakna dan menceritakan sesuatu bahkan menggambarkan pengalaman yang menciptakan simbol tersebut serta menegaskan sebuah identitas tertentu dibalik simbol tersebut.

Selain itu, simbol berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan yang transenden atau Ilahi. Dalam pengalaman-pengalaman manusia sehari-hari yang dapat menghadirkan inspirasi, imajinasi terhadap sesuatu yang tidak terlihat namun dapat dirasakan memiliki kekuatan yang melebihi dirinya. Dalam situasi seperti itu, manusia dapat menunjukkan kelebihannya dalam melihat lebih jauh keberadaannya, kemampuannya untuk menganalisa dan memaknai diri terhadap yang Ilahi melalui simbol-simbol tertentu yang akan mengubah pola perilaku kehidupannya. Maka dengan demikian, simbol memiliki peran dalam hal pengenalan dan penghayatan manusia pada yang transenden atau ilahi, tentu simbol-simbol rohani tersebut ada dalam setiap agama dan kepercayaan yang ada.

2.2 Semiotika

Secara etimologi, istilah semiotik dan semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu

33 Oyce Marcella Laurens, Arsitektur dan Perilaku Manusia , (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), 26.

(14)

14

yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain34. Semiotika yang didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.35 Tinarbuko mengungkapkan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, mampu mengetahui bagaimana tanda tersebut berfungsi dan menghasilkan makna. Tanda tidak terbatas pada benda melainkan juga sebuah isyarat atau gerak tubuh manusia. Sebagai metode kajian semiotika telah memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian media, cultural studies.36

Terkait tanda dalam semiotika, Umberto berpendapat bahwa ‘semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign’ 37maksudnya semua yang ada di sekitar kita baik fisik non fisik, dapat disebut dan dapat di wakilkan (dibuktikan) masuk dalam kategori tanda, tidak terkecuali arsitektur ragam hias sebagai karya seni.

maka akan Merujuk teori Charles Sanders Peirce, ‘kami berpikir hanya dalam tanda- tanda’.38 Kategori tanda berupa kata, karya seni, suara, bau, rasa, tindakan atau objek, tetapi hal-hal seperti itu tidak memiliki hakiki makna dan menjadi tanda hanya jika kita menanamkannya sesuai makna. Memahami kategori gambar termasuk tanda demikian juga arsitektur ragam hias sebagai karya seni termasuk tanda. Untuk memudahkan peran interpretan maka dapat merujuk pada pernyataan Glaser, B.G. and Strauss, A.L:‘deals with those general principles which underlie the structure of all signs whatever and with the character of their utilization within messages, as well as with the specifics of the various sign systems and of the diverse messages using those

34 Seto Indiwan, Semiotika komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi (Edisi 2, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013),7.

35 (Kris Budiman,Semiotika Visual Konsep,Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta :Jalasutra, 2011), 3.

36 Servience in lumine veritati. Semiotika Visual. Open Dictionary Wikipedia, diakses dari e- journal.uajy.ac.id > 2EM15583, pada tanggal 20 November 2022, 34.

37 Umberto, E. (1976). A theory of semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

38 Chandler, D. (2007). Semiotic the basics. Prancis: Routledge.

(15)

15

different kinds of signs,39 Maksudnya dengan prinsip-prinsip umum (istilah umum) yang mendasari struktur semua tanda apapun dan dengan sifat pemanfaatannya di dalam pesan, serta spesifikasi dari berbagai sistem tanda dan dari beragam pesan yang menggunakan berbagai jenis tanda, dapat merujuk pada kata-kata “prinsip-prinsip umum”. Artinya:pengetahuan umum atau pengalaman atau penyebutan umum di masyarakat atau menjadi kesepahaman umum dan menjadi budaya terbiasa disebutkan oleh masyarakat, dapat digunakan sebagai rujukan pengalaman.40

2.3 Arsitektur Gereja

 Pengertian Arsitektur Gereja

Gereja adalah rumah atau bait Allah, dalam gereja Allah berkenan hadir diantara umatNya yang berkumpul untuk memuji serta menaikan syukur kepadaNya.

Pengertian gereja adalah sebuah "gedung gereja‟. Arsitektur gereja adalah menunjukkan seni pertukangan yang menampilkan gaya tertentu dari segi bangunan gedung gereja, dimana pertimbangan pertama ditinjau dari tujuan dibangunnya gedung tersebut, yaitu sebagai tempat beribadah.41 Dalam membangun gereja maka perlu sebuah rancangan yang matang agar gereja dapat memperhatikan aspek-aspek dalam mendirikan gereja baik itu dari segi teologis, filosofis dan fisiknya. Adapun ada beberapa gaya arsitektur gereja yaitu Gothic, Romawi, Renaissance, dan macam- macam gaya arsitektur gereja.42

 Filosofi Bangunan Gereja

Dalam arsitektur bangunan gereja itu secara kualitas fisik sangat memengaruhi persepsi pengguna bangunan gereja tersebut, karena sebuah simbol atau tanda yang memiliki arti yang sudah dikenal bahkan dipahami oleh masyarakat secara luas, hal

39 Sri Sunarti dan Ikaputra, "Semiotika untuk Memahami Makna Arsitektur Ragam Hias", Jurnal Arsitektur 7, No. 2, (2021), 48.

40 Glaser, B.G. and Strauss, A.L. (1999). Discovery of grounded theory: Strategies for qualitative research. New York: Routledge.

41 Buku Ensiklopedia Dunia”, Arsitektur Gereja, Akses November 20, 2022.http://alumnus- alumni.indonesia-info.info/id3/dunia-jurnal-152/ArsitekturGereja_70186_alumnus-alumni- indonesia-info.html.

42 Marsana Windhu, Mengenal Ruangan, Perlengkapan, dan Petugas Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 11.

(16)

16

tersebut akan menjadi tanda dalam sebuah tradisi tertentu yang seolah-olah sudah menjadi simbol khusus di dalam lingkungan masyarakat. Maka, Simbol tersebut memberikan sinyal atau tanda untuk “berkomunikasi” dengan individu-individu yang ada di sekelilingnya. Dalam konsep teologis, gereja sebagai simbol umat Allah.

Sehingga melalui gereja Allah dapat berkomunikasi dengan umatnya dan selaku ciptaanNya43 dapat membangun relasi atau hubungan dengan penciptaNya Dari segi filosofi nya tentu gereja dibangun dengan sangat memperhatikan tata ruang gereja tersebut.

 Fungsi dan Tujuan Bangunan Gereja

Dari segi fungsi serta tujuan mendirikan bangunan gereja, agar dapat menjadi sarana pembangunan rohani yaitu untuk membangun kerohanian bagi masyarakat di sekitarnya dalam menjangkau jiwa-jiwa bagi kemuliaan nama Tuhan. Arsitektur bangunan gereja sangat memengaruhi dalam jemaat menjalankan segala aktivitas keagamaan maupun ritual atau liturgi yang dijalankan di dalam gedung gereja. Setiap jemaat dapat beribadah karena tata ruang ibadah yang membantu jemaat memusatkan dirinya kepada yang transenden atau Ilah. Kemudian, bangunan gereja dapat membantu menetapkan makna ibadah bagi orang yang berkumpul di dalamnya serta dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan terbuka bagi jemaat dalam bentuk-bentuk dan gaya-gaya ibadah dalam gedung gereja tersebut.44 Penulis berpendapat juga bahwa ornamen dan simbol memiliki fungsi menyatukan untuk sebuah keteraturan dalam kosmos, yang tampak dalam interaksi yang saling mempengaruhi. Ada kesamaan dalam proses menghubungkan dan menjangkau objek atau sesuatu yang diluar pikiran manusia, yang dalam perkembangannya mempunyai pengaruh kuat dalam sejarah perjalanan kehidupan manusia. Dalam proses tersebut ada sebuah kebebasan dan menurut penulis, inilah daya kekuatan simbol Dillistone yang terletak pada menciptakan dengan kebebasan dalam sebuah usaha menghubungkan, menyatukan dan

43 Norberg-Schulz, Christian. InJotentions in Architecture. (Cambridge: MIT Press, 1965), 38

44James F.White, Pengantar Ibadah Kristen, (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 2009), 78.

(17)

17

mempertemukan sesuatu atau bagian yang berbeda, yang pada akhirnya manusia menjadi tokoh simbolis berharga, bermakna dan berkarya yang aktif dalam sebuah relasi dengan yang Ilahi dalam kehidupan.

Daya kekuatan tersebut terdapat dalam ornamen dan simbol, di mana daya ini pertama ada pada seniman yang bebas mengekspresikan daya imajinasinya untuk menggambarkan setiap objek dengan cermat dan teliti, memberikan pewarnaan untuk menambahkan arti sebuah objek dan menghubungkan unsur-unsur di dalamnya, untuk menjelaskan eksistensi manusia dalam kesatuannya secara utuh sebagai ciptaan Tuhan.

Dengan demikian, simbol memiliki daya kekuatan dan menurut penulis, ini terdapat dalam sebuah ornamen yang hingga hari ini masih terus dilestarikan untuk memaknai kehidupan baik di masa lampau, sekarang dan masa depan.

(18)

18 BAB III

HASIL PENELITIAN

2.1 Sejarah Singkat Gereja Kristen Protestan di Bali

Pada tahun 1630, seorang pendeta yang bernama Justus Heurnius mengungjungi Bali bersama-sama VOC (Vorenigde Oost Indische Compagnie) dalam upaya perdagangan. Pendeta Justus tertarik akan Bali sebagai tempat penginjilan. Setelah ia kembali ke Belanda, ia memohon kepada pemerintah untuk mengutus pekabar injil ke Bali, namun pemerintah tidak banyak menaruh perhatian. 45 Tahun 1863 UZV (Utrechtsche Zending vererniging), memilih Bali sebagai daerah pekerjaannya.

Pengurus UZV tertarik kepada Pulau Bali karena penduduk dianggap masih kafir atau bukan Islam, sehingga diutuslah Van der Jagt, yang datang ke Bali pada Tahun 1864.

Van der Jagt membawa tugas pokok yang harus dilaksanakan, yaitu mempelajari bahasa daerah Bali dan menemukan titik-titik kontak yang dibutuhkan dalam hati mereka bagi berita Injil. Semua itu sebagai persiapan kedatangan pendeta-pendeta Zending ke Bali.46

Tugas-tugas pelayanan, maka datanglah Van Eck kemudian menyususl de Vroom untuk bersama-sama dalam tugas tersebut. Mereka bekerja dengan giat dengan harapan pekerjaan yang mereka lakukan akan memperoleh hasil yang Baik. Namun semuanya tidak sesuai harapan dan tujuan mereka tidak segera menjadi kenyataan. Akhirnya Van der Jagt dan Van Eck kembali ke Belanda, sehingga yang masi bertahan hanya De Vroom sendiri. Ia melanjutkan tugas-tugas dengan semangat, meskih pada akhirnya pada tahun 1868 ia harus menyingkir ke Jawa karena adanya situasi yang tidak memungkin di Bali yang pada saat itu ada pemberontakan. Pemberontakan tersebut tidak berlangsung lama, pada awal tahun 1869 De vroom dan Van Eck sudah kembali ke Bali untuk melanjutkan tugas-tugas mereka.47

45 Muller Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1986), 124

46 Dr. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979). 111

47 Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979)112.

(19)

19

Mereka memulai dengan memberikan pendidikan kepada anak-anak Bali sebagai awal pembibitan hidup kekristenan yang lebih tinggi dengan membuka sekolah dengan jumlah murid 40 orang pada akhir tahun 1869. Selain pendekatan melalui sekolah, mereka membuat pertemun-pertemuan pada hari minggu pagi di rumah-rumah pendeta zending. Pertemuan itu bukan lah ibadah tetapi hanya berupa percakapan tentang masalah agama. Mereka lebih suka menerima pendeta zending datang kerumah mereka, terutama jika pendeta zending datang dengan obat untuk mengobati orang sakit. Melalui kesempatan itu para pendeta zending berkesempatan menyampaikan firman Tuhan kepada orang-orang Bali yang ditemui. Akhirnya ada beberapa orang yang menyatakan mengikut kristen, yaitu suami-istri Ida Putu Sideman, dan ketut Srubong dan menyusul Gusti Wayan Karangasem, sedangkan yang lain mengundurkan diri. Pada hari raya Paskah 1873 Gusti Wayan Karangasem dibaptis sebagai orang Kristen Bali yang pertama.48

Baptisan pertama yang dilakukan oleh De Vroom dan Van Eck ini tidak mendatangkan kegembiraan melainkan menimbulkan kekacauan besar dan kemudian menjadi hambatan besar bagi pekerjaan misi. Kekacawan yang tejadi mengakibatkan terbunuhnya De vroom pada malam hari tanggal 8 Juni 188149. Bali dinyatakan sebagai daerah tertutup bagi misi sejak tahun 1881 sampai 1931, terutama di bawah pemerintahan Hindia Belanda, dengan alasan tertip hukum. Bali tidak selamanya tinggal tertutup bagi penginjil karena selanjutnya pada tahun 1929 seorang yang bernama Salam Watias dari jawa timur yang berprofesi sebagai penjual buku-buku rohani agen BFBS (British and Foreign Bible Society). Buku-bukunya banyak terjual karena orang Bali suka membaca pelajaranpelajaran agama. Salam Watias dengan rajin melakukan pendekatan dengan orang-orang Bali dengan sistem persaudaraan sehingga banyk orang Bali yang meminta untuk memberikan pengajaran agam kristen, namun watias menyadari bahwa sebagai penjual buku dia tidak mampu melakukannya sehingga ia meminta GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang melalukan tugas

48 Idem.,113

49 Idem.,115

(20)

20

tersebut. Namun tugas tersebut tidak segerah ditanggani karena Bali masi merupakan daerah tertutup bagi penginjilan.

Pada tahun 1929, seorang penginjil CAMA (The Christian and Misionary Alliance) dari tiongkok yang bernama Tsang Kam Fuk (Tsang To Hang) mendapat izin pemerintah untuk memberitakan injil di kalangan orang-orang Tionghoa di Bali.50 Pengabaran Injil yang dilakukan bukan saja di dengar oleh orang-orang Tionghoa tetapi kebanyakan diantara mereka orang-orang Bali. Tsang di anggap sebagai pengganti seorang guru dari jawa yang mengajar ilmu kebatinan karena ia datang setelah guru tersebut keluar dari Bali karena di usir oleh pemerintah. Oleh karena orang-orang Bali mengira ia pengganti guru itu, Tsang di minta untuk mengunjungi kampung-kampung orang Bali. Pada akhirnya tanggal 11 november 1931, 12 orang Bali di baptis oleh Dr.

Robert Alexander Jaffray yang mendapat tugas melakukan Baptisan Kudus yang terdiri dari 1 (satu) orang wanita dan 11 (sebelas) orang laki-laki, pada sebuah sungai kecil yang dikenal dengan nama Tukad Yeh Poh, di Untal-Untal, Desa Dalung. Baptisan tanggal 11 Nopember 1931 terhadap 12 orang Bali ini dipakai sebagai tanggal kelahiran Gereja Kristen Proteatan Bali (GKPB) Jadi setiap tanggal 11 November warga GKPB memperingati hari Ulang Tahun berdirinya Gereja Kristen Protestan Bali. Pada tahun 1932 terulang kembali pembabtisan, sehingga pada tahun tersebut sudah ada 100 orang kristen Bali.

2.2 Sejarah dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari

Jumlah anggota jemaat GKPB Pniel Blimbingsari ada 669 Jiwa Jumlah KK 172 dan terdapat Lembaga-lembaga: 1 Sekolah Minggu Duta Kristama 150 anak, 2 Guru Sekolah Minggu 7 orang, 3 Pemuda Kristiyasa 100 orang, Pesekutuan Wanita Dian Kristawati 150 orang, Persekutuan Kaum bapak Kristiawinangun 148, orang Persekutuan Lansia Kristiajati 120 orang, Kelompok Pentakoinonia 27, kelompok Kelompok Wilayah 6 Wilayah, Pekabaran Injil Fun learning center Blimbingsari 100 orang. Terdapat Fun learning center Tanah Lot 1 ada 20 orang dan Fun learning center Tanah Lot 2 ada 16 orang. (Hasil wawancara)

50 Th Van den End, Ragi Cerita 2, Jilid 3 (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), 264

(21)

21

Gambar 1. Gereja Pniel Blimbingsari

(sumber: Dokumentasi pribadi)

Pemberian nama Desa Blimbingsari mempunyai sejarah yang cukup sederhana, karena sejarah terbentuknya desa tersebut dapat dikatakan tidak sesederhana nama desa tersebut. Sejarah singkat desa Blimbingsari dimulai dari pembaptisan kepada orang Bali yang dilakukan oleh Dr.R.A. Jaffray kepada 12 orang Bali, yang berada di Tukad Yeh Poh, Untal-untal, di Dalung. Penginjil yang dilakukan oleh Tsang To Hang dan para pengikutnya mengakibatkan perlawanan serta permusuhan dari umat Hindu pada saat itu, sehingga membuat kekacauan dan permusuhan di desa-desa tempat umat Kristen tinggal.

Pada saat itu, orang Kristen Bali mulai diperlukan dengan tidak baik dengan dihina, dikucilkan, dicaci maki, dipukuli diasingkan bahkan mereka tidak di izinkan untuk melakukan penguburan mayat umat Kristen Bali di kuburan umat Hindu, bahkan tidak diperbolehkan mendapatkan aliran air di sawah dan masih banyak kesulitan dan penderitaan lain yang dialami oleh umat Kristen Bali pada saat itu. 51melihat situasi yang kacau tersebut, maka pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk membuang atau mengucilkan orang-orang Kristen Bali ke hutan angker atau liar di wilayah Bali Barat dengan tujuan agar orang-orang Kristen Bali mati di makan oleh

51Ayub, Blimbingsari The Promise, 23-27

(22)

22

binatang buas.52 Dari hal tersebut orang-orang Bali Kristen bekerja keras dan juga atas berkat pertolongan Tuhan, mereka dapat berhasil bertahan hidup di hutan tersebut dan memberdayakan segala sesuatu di hutan itu, yang dulunya disebut sebagai hutan angker dan liar itu, dan sekarang menjadi telah sebuah desa dengan mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen atau bermayoritas Kristen.

Pemberian nama desa Blimbingsari mempunyai sejarah yang sederhana karena berdasarkan latar belakang pembuangan serta pengasingan orang Kristen Bali ke hutan angker atau liar di wilayah Bali bagian barat. Pada saat itu, orang-orang Bali Kristen yang dibuang serta dikucilkan memulai kehidupan mereka di hutan angker tersebut, dengan melakukan berbagai cara untuk dapat bertahan hidup dengan mulai menebang pohon-pohon yang ada dihutan tersebut agar layak dijadikan tempat tinggal mereka pada saat itu. penebangan pohon-pohon yang dilakukan mereka terdapat banyak pohon belimbing hutan yang mereka sebut pada saat itu sebagai belimbing talun, pohon yang memiliki daun hampir sama dengan bentuk daun belimbing, tetapi daun-daun muda yang berwarna merah muda dan terlihat sangat indah karena daun-daun muda dari pohon tersebut tumbuh pada bulan-bulan tertentu bahkan dapat bertumbuh dengan bersamaan pula. Dari pohon belimbing talun tersebut maka daerah itu diberi nama desa Blimbingsari.53 Pembentukan dan pembangunan desa tersebut ini begitu sangat unik, karena adanya jalan yang berbentuk seperti salib yang dari arah utara ke selatan, dibentuk jalan panjang, seperti tempat bagi tubuh Yesus Kristus, yang mulai dari kepala sampai ke kaki Yesus Kristus yang terpaku. Sedangkan dari arah barat sampai ke timur dibentuk jalan yang lebih pendek, sebagai bentuk tangan Yesus Kristus yang tertancap paku pada kayu salib.54

Sampai saat ini, Jemaat dan penduduk di Blimbingsari berjumlah 1.25,00 orang, mungkin saja data tersebut dapat berubah seiring berjalannya waktu akan semakin bertambah.55 Pekerjaan sehari-hari dari penduduk Blimbingsari adalah berkebun,

52Ayub, Blimbingsari The Promise, 23-27

53Ayub, Blimbingsari The Promise, 49

54 Hasil wawancara dengan Bapak Ketut Irawan

55 Hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Tri Agus Adiwijaya

(23)

23

berternak seperti memelihara sapi, ayam dan babi dan juga petani. Tingkat pendidikan penduduk Blimbingsari adalah rata-rata lulusan SMA berjumlah 80%.56 Selain jemaat yang menetap di Blimbingsari, ada juga jemaat yang diaspora. Jemaat yang diaspora merupakan jemaat yang statusnya tercatat sebagai anggota GKPB Pniel Blimbingsari, akan tetapi karena pekerjaan atau hal lain mereka meninggalkan desa dan merantau ke tempat lain. Oleh sebab itu, hari-hari raya gereja seperti natal, paskah dan hari raya lainnya menjadi kesempatan yang paling mereka tunggu agar dapat berkumpul dengan keluarga mereka dan beribadah di kampung halaman mereka yaitu di desa Blimbingsari.

2.3 Letak Geografis Desa Blimbingsari

Desa Blimbingsari terletak melintang dari timur ke barat dalam wilayah administratif Kabupaten Jembrana. Sebagian wilayahnya adalah dataran rendah, sebagiannya lagi dataran tinggi berupa pegunungan dan perbukitan. Sebelah utara dan barat desa merupakan kawasan hutan jati (bukit dan gunung Klatakan). Di bagian selatan Blimbingsari berbatasan dengan Desa Pangkung Tanah. Sedangkan di sebelah timur Blimbingsari berbatasan dengan Desa Ekasari. Desa Blimbingsari merupakan satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana Kabupaten Jembrana, dimana Desa Blimbingsari adalah salah satu desa yang ada di kabupaten Jembrana. Blimbingsari adalah desa yang berada di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, Indonesia. Blimbingsari dikenal sebagai desa yang berpenduduk mayoritas Kristen di seantero Kabupaten Jembrana. Secara administratif Desa Blimbingsari berada di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana yang memiliki 5 kecamatan, dari barat ke timur yaitu Kecamatan Melaya, Kecamatan Negara, Kecamatan Jembrana, Kecamatan Mendoyo, Kecamatan Pekutatan.Adapun Kecamatan Melaya terdiri dari 9 desa, 1 kelurahan, yaitu Kelurahan Gilimanuk; Desa Blimbingsari; Desa Melaya; Desa Ekasari; Desa Nusasari; Desa Candikusuma; Desa Warnasari; Desa Tuwed; Desa Tukadaya; Desa Manistutu. 57

56 Hasil wawancara dengan Bapak Gede Putra Wijaya

57Hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Tri Agus Adiwijaya

(24)

24

Luas Desa Blimbingsari secara keseluruhan adalah 443 ha. Luasan itu terdiri atas tanah pemukiman/pekarangan sebesar 55,88 ha (12,61%), tanah perkebunan/ladang 351,12 ha (79,26%), tanah sawah tadah hujan 10 ha (2,26%), tanah adat 20 ha (4,51%) serta tanah pemerintahan 6 ha (1,35%)58 Blimbingsari adalah desa yang asri. Udaranya bersih, sejuk, penataan rumah-rumah masyarakat dan tanaman bersih dan pot bunga sangat rapi, dikelilingi oleh hutan dan perkebunan masyarakat. Blimbingsari termasuk wilayah dengan topografi berbukit landai dengan kemiringan 0-9 derajat dan berada pada ketinggian 100m - 200m dari permukaan laut.59

2.4 Simbolisasi Nilai Kekristenan Pada Arsitektur Bangunan Gereja Atap berumpak dan plafond utama gereja

Asitektur gereja menginginkan bangunan Gereja lebih dapat menyatu dengan alam sekitar, sehingga saat ibadah tidak hanya manusia saja yang beribadah dan datang kepada Tuhan namun seluruh makhluk hidup yang ada pada saat itu, dengan hembusan angin, burung-burung yang terbang masuk, ikan yang berenang di kolam belakang Altar, dan sebagainya ikut memuji Tuhan. Dan itu merupakan pemahaman dari jemaat Gereja Pniel Blimbingsari bahwa Gedung gereja dibuat terbuka sebab bukan saja manusia tetapi kita semua menyembah Allah bersama alam sekitar. Ada burung, angin, air dan semua ciptaannya.

Plafond utama menunjukkan ekspresi simbol Ketuhanan, bukaan cahaya utama pada puncak atap dan plafond sebagai ekspresi cahaya Tuhan. Gubahan bentuk kolom yang menjulang keatas mengikat pada bagian ujung plafond dan atap merupakan ekspresi bentuk simbolik tentang Ketuhanan. Atap pada gedung gereja seperti menyerupai gunung, mengingatkan bahwa orang Bali memandang suci gunung bagi mereka gunung adalah tempat bertahta dan tempat tinggal para dewa seperti dibangun pura Besakih. Dalam iman Kristen terdapat nilai-nilai kristiani tentang gunung, Atap pada gedung gereja menyerupai gunung yang berumpak tiga yang menunjukkan simbol Trinitas dalam keyakinan umat Kristiani, dengan penambahan ukiran taman eden yang

58Profil Pembangunan Desa, 2018

59Profil Pembangunan Desa, 2018

(25)

25

diletakkan pada bagian paling atas plafon yang menunjukkan bahwa kita tidak akan mencapai kesucian hidup selain dari pada Tuhan.

Gambar 1. Atap puncak dan Plafon utama

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Gambar 1. Atap berumpak tampak samping

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Dinding Aling-aling

Dinding Aling-aling ini juga merupakan penerapan mentah dari Pura yang memiliki filosofi sebagai penghalau segala hal yang jahat, hanya saja pada gereja Pniel

(26)

26

Blimbingsari ini adanya Dinding aling-aling difungsikan untuk sebuah pengingat awal bahwa kita akan memasuki sebuah tempat peribadahan. Dinding Aling-aling pada pura biasanya terletak setelah Kori Agung namun pada Gereja Pniel ini Dinding aling-aling diletakkan pada daerah jaba sisi setelah gerbang bentar. Pada bagian dinding- dindingnya biasanya merupakan patra, jika pada Gereja Pniel Ukirannya berupa sebuah cerita perjanjian pada Alkitab dan sejarah mengenai Desanya. Kemudian dibagian- bagian lain juga terdapat ukiran kebun anggur tersebut serta panggilan domba seperti pada dinding Kori Agung. Gereja Pniel Blimbingsari menggunakan Karang Gajah Juga pada beberapa bagian Gerejanya seperti pada Kori Agung, Bale Kul-kul, dan Bale Bengong. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi pada titik-titik tertentu pada bagian Gereja.

Gambar 2. Dinding Aling-aling

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Mahkota kerajaan Allah.

Apabila selesai beribadah dan jemaat keluar dari ruang ibadah melalui pintu utama, maka jemaat akan melihat simbol mahkota. Sebelum meninggalkan tempat bersekutu mereka memberikan hidup dan mempersiapkan diri untuk kedatangan Yesus yang

(27)

27

kedua kalinya dimana Yesus menjadi Raja yang kekal. Konsep ragam hias yang diterapkan pada simbol ini dibuat sehingga tidak terpaku terhadap ajaran Kristiani saja namun juga merupakan perpaduan bentuk arsitektur berdasarkan ragam dan ukiran yang merupakan perwujudan dari ukiran khas Bali dengan wujud yang dapat berupa kesatuan antara flora dan fauna lengkap menyatu sebagaimana mereka hidup berdampingan dengan alam.

Gambar 3. Mahkota kerajaan Allah

(Sumber : dokumentasi pribadi) Simbol Alfa dan Omega

Di atas altar terdapat simbol mahkota (crown) yang bertuliskan Yunani Alfa dan Omega, yang berarti kerajaan Allah yang tidak berbubah dari dahulu hingga sekarang dan sampai selamanya dan mengingatkan kita pada kekekalan Yesus Kristus adalah sang raja itu, yang diperoleh Yesus melalui pengorbanan-Nya di salib. Ragam hias flora yang diterapkan pada simbol mahkota tersebut berdasarkan dengan bentuk-bentuk flora (tanaman atau bunga) yang ada di alam. Karakter bentuknya mendekati keadaan alam yang sesungguhnya, yang memiliki berbagai macam ragam hias flora yang sering dijumpai. Ragam hias fauna juga menyerupai keadaan sebenarnya yang biasanya dilengkapi dengan ragam hias flora yang disesuaikan dengan kondisi alam setempat di kawasan tersebut.

(28)

28

Gambar 4. Simbol Alfa dan Omega

(Sumber: dokumentasi pribadi) Altar dengan dancing cross di bagian atasnya.

Salib itu bagian kakinya bengkok (simbol salib GKPB) sering disebut dancing cross (salib menari). Menyimbolkan Bali yang sangat aktif dan penuh dengan tarian.

Ingin mengambarkan salib kita sebagai gereja bukan sebagai salib Yesus Kristus, bahwa kita sebagai gereja masih hidup di dunia dengan segala kelemahan yang ada.

Salib bengkok melambangkan ketidaksempurnaan hidup manusia di dunia ini, maka kita memerlukan Tuntunan Roh Kudus dan Firman Tuhan. Terdapat motif-motif ragam hias pada pura dan dipadukan di altar dengan bentuk flora yang mampu memberikan nuansa alamiah dari motif yang ditampilkan.

(29)

29

Gambar 5.Altar dengan dancing cross di bagian atasnya.

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Mimbar Gereja dengan tiga simbol yang berbeda pada tiap sisinya.

Terdapat meja Mimbar dengan motif ukiran ciri khas Bali dan Bangunan Paruman, Bale Piasan, Gedong Pasimpangan, Padmasana, dan Meru. Bangunan tersebut merupakan ruang sakral yang berada pada Jeroan ruang ini difungsikan untuk ibadah umat Hindu. Sedangkan Pada Gereja Umumnya ruang sakral terletak pada Mimbar Gereja, dan terdapat ruang umat. Sehingga pada Gereja Pniel Blimbingsari ini diambil bentukan dari Wantilan ini karena Wantilan adalah tempat untuk berkumpul dan memiliki pola terpusat di tengah. Mimbar adalah tempat pemberitaaan kabar baik yang berintikan tiga panggilan Gereja, yaitu bersekutu (koinonia), pelayanan (diakonia), pemberitaan injil (Marturia) dan mempunyai makna yang berkaitan dengan Pewartaan Firman Tuhan.

(30)

30

Gambar 6.Mimbar Gereja dengan tiga simbol yang berbeda pada tiap sisi.

.

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Meja baptisan dengan simbol yang berbeda pada tiap sisinya.

Terdapat ukiran ciri khas Bali yang bermotifkan dedaunan (patra) dan memiliki motif bunga-bungaan. Biasanya, konsep yang diambil berupa tanaman rambat, seperti labu, pare, dan tanaman rambat liar lainnya.Tak hanya memiliki motif yang indah dan unik, motif pepatran juga memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Makna dari pepatran sendiri adalah memberikan perlindungan kepada manusia dari rasa takut, panas, haus, dan lainnya. Dengan harapan bahwa penghuni rumah yang dihiasi motif pepatran akan merasa nyaman dan aman. Meja baptisan disimbolkan dengan tangan yang membaptis dan karya roh kudus yang sedang bekerja di seluruh dunia di dalam gedung gereja Pniel tersebut.

(31)

31

Gambar 7.Meja baptisan dengan simbol yang berbeda pada tiap sisi.

(Sumber: dokumentasi pribadi) Meja korban

Meja korban dibuat dengan mengambil simbol meja korban di perjanjian Lama.

Korban dalam kehidupan Israel menduduki posisi penting dan identik dengan budaya Bali dimana korban sangat penting dalam kehidupan manusia. Tuhan berkehendak agar umatNya memberi korban yang hidup, untuk melakukan pekerjaan Tuhan di dunia ini.

Terdapat ukiran ciri khas Bali yang bermotifkan dedaunan (patra) dan memiliki motif bunga-bungaan. Biasanya, konsep yang diambil berupa tanaman rambat, seperti labu, pare, dan tanaman rambat liar lainnya.Tak hanya memiliki motif yang indah dan unik, motif pepatran juga memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Makna dari pepatran sendiri adalah memberikan perlindungan kepada manusia dari rasa takut, panas, haus, dan lainnya.

(32)

32

Gambar 8. Meja korban

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Simbol Roh Kudus pada tiap sisi wantilan.

Gedung gereja dikelilingi oleh simbol Roh Kudus umat Tuhan yang sedang beribadah memperoleh perlindungan Roh kudus yang disimbolkan dengan tangan Tuhan, di simlbokan dengan lidah api dan merpati, hidup baru bila Roh kudus bekerja bagi setiap umat-Nya dan mengingatkan Umat-Nya bahwa mereka di tuntun oleh Roh Kudus dan sebagai bentuk pengajaran kepada mereka. Keindahan yang dicapai pada bangunan gereja dan simbol melalui nilai estetika, etika dan logika pada ragam hiasnya dan menempatkan ragam hias dengan mengambil 3 bagian yaitu, kehidupan di bumi, manusia, binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). Ragam Hias yang digunakan pada simbol ini tidak sepenuhnya mengambil pada ragam hias yang biasa digunakan pada sebuah pura Bali, melainkan lebih mengarah sentuhan rohani yang digunakan dengan menempatkan ragam hias yang menggambarkan mengenai kebun anggur dan peranan Roh Kudus.

(33)

33

Gambar 9. Simbol Roh Kudus pada tiap sisi wantilan.

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Simbol persatuan pada bagian luar bangunan wantilan.

Ragam Hias yang digunakan pada Gereja ini tidak sepenuhnya mengambil pada Ragam Hias yang biasa digunakan pada sebuah Pura di Bali. Pada Gereja Pniel Blimbingsari ini lebih mengarah kepada sentuhan Rohani sebuah Kekristenan konsep yang digunakan adalah ragam hias yang menggambarkan mengenai kebun anggur dan peranan Roh Kudus. Bagian depan ruang beribadah maka kita kan menemukan simbol perempuan dan laki-laki, dengan disatukan sebuah garis segitiga kemudian di tengah terdapat bangunan seperti candi. Simbol itu mengingat Kita sebagai image Tuhan dan Simbol itu bermakna bahwa bermacam-macam jenis kita mau pria ataupun wanita kita disatukan di dalam gedung gereja Pniel tersebut.

(34)

34

Gambar 10. Simbol persatuan pada bagian luar bangunan wantilan.

(Sumber: dokumentasi pribadi) Simbol pada kedua Kori Agung.

Kori Agung merupakan sebuah pintu yang berfungsi sebagai penghubung antara jaba tengah dengan jeroan. Kori agung yang mengapit kori kembar di sisi sampingnya merupakan kesatuan tiga kori yang manunggal dengan susunan terbesar terdapat di bagian tengah berfungsi sebagai pintu masuk formal, sedangkan kori yang terletak di sisi sampingnya berfungsi sebagai pintu masuk informal. Pada Candi Gelung atau Kori agung merupakan simbol dari gunung karena orang Bali percaya roh dan kehidupan yang datang atau mengalir dari gunung, sedangkan laut adalah kematian. Pada puncak Kori Agung juga terdapat ukiran salib yang menegaskan fungsi bangunan di dalamnya.

Pada Kori Agung ini terdapat ukiran salib yang patah melambangkan posisi ketika Yesus di salib. Gunung mempunyai posisi yang sangat penting dalam Injil yaitu

"Engkaulah Gunung Batuku”Candi Gelung mempunyai dua pintu masuk. Ketika merencanakan gedung Gereja, kita bermaksud menghargai pendahulu kita yang membangun gereja berbentuk salib dengan menara dua pintu. Pintu masuk dibuat dengan posisi yang sama dengan aslinya sehingga ada kelanjutan sejarah. Dua pintu ini juga memberi simbol manusia datang dari asal budaya dan ras yang berbeda. Setelah masuk ke dalam gedung gereja, mereka dipersekutukan dalam satu nama, yaitu: Yesus Kristus.

(35)

35

Gambar 11. Simbol pada kedua Kori Agung

(Sumber : dokumentasi pribadi) Patung malaikat pada bagian bawah Kori Agung.

Tempat suci umat Hindu di Bali terdapat patung penjaga di setiap pintu masuk menuju ke tempat suci tersebut. Di depan Kori Agung gereja terdapat patung malaikat yang memberikan suatu simbol peringatan bila kita masuk ke dalam gedung gereja tersebut, kita sudah berada di tempat suci karena kehadiran serta penyertaan Roh Allah dan para malaikat. Jika dilihat terdapat perpaduan antara Patung Malaikat dengan arca kala Hindu kemudian terjadilah bentukan Patung baru dari keduanya. Sehingga dibuat tidak terpaku terhadap ajaran Kristiani saja namun jika kita lihat ukirannya merupakan perwujudan dari ukiran khas Bali. Seperti Patung Malaikat yang terdapat pada area Jaba tengah, pada Pura biasa mengunakan patung-patung seperti Arca Kala dengan menggunkan pakaian adat Bali dan pada Gereja biasanya digambarkan dengan malaikat yang bersayap dan menggunakan pakaian seperti jubah sehingga dari kedua bentukan ini melahirkan sebuah Patung Malaikat yang menggunakan sewek atau sarung yang dapat kita temui pada Gereja Pniel Blimbingsari ini.

(36)

36

Gambar 12. Patung malaikat pada bagian bawah Kori Agung.

(Sumber : dokumentasi pribadi) Ukiran Perjanjian pada tembok Penyengker.

Pada sekeliling tembok pembatas pada Gedung Gereja terdapat ukiran perjanjian, namun ukiran tersebut terdapat beberapa perbedaan.Pada bagian paling dalam tembok pembatas yaitu pada area dekat gedung ibadah pada tembok pembatas terdapat ukiran pada perjanjian baru Sedangkan pada bagian halaman gereja terdapat ukiran dari Kitab perjanjian Lama. Pada bagian paling luar gereja terdapat sejarah pembangunan gereja Blimbingsari oleh nenek moyang mereka dan terdapat ukiran sejarah penginjilan, baptisan pertama orang-orang Bali serta perjalanan orang Bali Kristen ke Blimbingsari.

Banyak ornamen diterapkan pada eksterior bangunan yakni pada Dinding Panyeker, Aling-Aling, dan bangunan khas tradisional Bali lainnya. Penggunaan material yang sama seperti bangunan tradisional Bali pada umumnya menggunakan batu paras dan bata merah.

(37)

37

Gambar 13. Ukiran Perjanjian pada tembok Penyengker.

(Sumber : dokumentasi pribadi)

(38)

38 BAB lV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Berdasarkan gambaran tentang data yang penulis dapatkan dalam proses penelitian pada BAB sebelumnya. Gereja Pniel Blimbingsari merupakan gereja yang telah mendapatkan sentuhan dari budaya Hindu-Bali. Sentuhan ornamen dan ukiran- ukiran yang terdapat pada bangunan gereja, serta tata letak ruang pada interior gereja tersebut menunjukan alkulturasi budaya Kristiani dan Hindu-Bali. Keunikan yang ada pada bangunan gereja Pniel ini menarik baik dari segi arsitektur bangunan-nya seperti pembangunan bangun gereja Blimbingsari sebagian besar diadaptasi dari pura Hindu- Bali yang di-bangun berdasarkan nilai-nilai religius dan estetika yang terkandung dalam persiapan proses dan pemakaian bangunan gereja. Bentuk arsitektur Gereja Kristen Pniel Blimbingsari ini terbentuk melalui konsep yang melingkupinya dan filosofis utama yang menjadi landasan arsitektur tradisional Bali memiliki prinsip yang diterapkan, yaitu Dalam konsep tri hita karana terdapat tiga unsur penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup, yaitu terdapat jiwa, raga dan tenaga, yang akan tercipta denganmemperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan pencipta, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam.

Jika dilihat dari luar dan dalam, tatanan bangunan gereja dan ornamen-ornamen serta simbol-simbol pada bangunan gereja maka dapat dilihat pertama, atap berumpak tiga menunjukkan ekspresi bentuk simbolik dari konsep Trinitas. Bentuk atap ini merupakan gabungan dari konsep arsitektur tradisional Bali dengan konsep bentuk gereja. Kedua, Kori Agung adalah pintu gerbang pura antara daerah jaba tengah dengan daerah jeroan yang bentuk atapnya atau puncaknya tertutup menjadi satu. Fungsi dari kori agung ini adalah sebagai pintu masuk ke daerah parahyangan atau tempat-tempat suci lainya seperti bangunan gereja yang disakralkan untuk kegiatan ibadah. Ketiga, Dinding panyeker dan Dinding Aling-Aling Sekeliling Dinding Panyeker atau dinding pembatas komplek Gereja Pniel Blimbingsari terdapat ornamen ukiran khas Bali berupa flora atau disebut juga ornamen pepatraan Bali. Hal ini juga terjadi pada Dinding Aling-Aling, dinding dipenuhi oleh ukiran khas Bali berupa pepatraan Bali dilengkapi dengan batu ukiran perjanjian lama di Alkitab serta sejarah gereja pada sisi

(39)

39

depannya. Keempat, patung Seperti Patung Malaikat yang terdapat pada area Jaba tengah, pada Pura biasa mengunakan patung-patung seperti Arca Kala dengan menggunakan pakaian adat Bali dan pada Gereja biasanya digambarkan dengan malaikat yang bersayap dan menggunakan pakaian seperti jubah sehingga patung Malaikat tersebut menggunakan sewek atau sarung. Kelima, Atap puncak dan plafond utama menunjukkan ekspresi simbol Ketuhanan, bukaan cahaya utama pada puncak atap dan plafond sebagai ekspresi cahaya Tuhan. Gubahan bentuk kolom yang menjulang keatas mengikat pada bagian ujung plafond dan atap merupakan ekspresi bentuk simbolik tentang Ketuhanan.

Dengan gambaran umum seperti demikian, penulis kemudian mencoba menganalisa Simbolisasi Nilai Kekristenan pada bangunan Gereja Pniel Blimbingsari dari sudut pandang teori simbol yang dikemukakan oleh F.W Dilistone.

Dillistone mendefinisikan simbol dengan mencocokkan dan menempatkan kedua bagian yang berbeda dalam bentuk gambaran, bahasa dan lainnya, untuk menciptakan suatu hubungan baru di mana kedua unsur itu masih dapat dibedakan namun terikat satu sama lain. Kedua bagian tersebut dapat menunjuk pada sesuatu yang nyata, konkret dan menunjuk pula sesuatu yang lebih besar. Lewat simbol-simbol (bahasa, benda, wacana, gambar, dan peristiwa), kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Dengan membedakan simbol-simbol yang ada, maka akan terlihat jelas proses pemaknaan, penilaian yang diberikan pada sesuatu benda tersebut.

Berdasarkan penjelasan dalam teori Diliistone, ini dapat dengan jelas dilihat bahwa makna dari sebuah simbol sendiri banyak sekali terdapat pada setiap Ornamen dan ukiran-ukiran di bangunan Gereja Pniel Blimbingsari memiliki makna tersendiri terutama bagi warga masyarakat Blimbingsari yang juga sekaligus jemaat di sana.

Dikarenakan simbol tersebut merupakan peringatan akan peristiwa serta perwujudan dari sebuah akulturasi budaya dan nilai-nilai kristiani dan pada akhirnya menjadi sebuah bangunan gereja dengan arsitektur yang memiliki makna pula bagi warga atau jemaat Blimbingsari. Peringatan peristiwa dan perwujudan dari akulturasi budaya dan nilai-nila

Gambar

Gambar 1. Gereja Pniel Blimbingsari
Gambar 1. Atap puncak dan Plafon utama
Gambar 2. Dinding Aling-aling
Gambar 3. Mahkota  kerajaan Allah
+7

Referensi

Dokumen terkait