• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Pelatihan Pendidikan Neuroscience untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Guru: Sebuah Systematic Literature Review

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Pelatihan Pendidikan Neuroscience untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Guru: Sebuah Systematic Literature Review"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Profesi guru bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana.

Untuk dapat berkecimpung dalam profesi tersebut seseorang harus memiliki standar kualifikasi khusus. Dalam Permendiknas tahun 2007, dinyatakan bahwa setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang berlaku secara nasional (Permendiknas RI No.16 Tahun 2007, 2007). Ada standar akademik dan kompetensi khusus yang harus dimiliki seorang guru. Standar akademik tentu saja didapatkan melalui pendidikan formal. Sedangkan standar kompetensi baik pedagogik maupun sikap dapat diperoleh guru melalui belajar secara terus menerus baik otodidak maupun pelatihan tertentu yang diikuti.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan

(2)

1

dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Guru adalah pekerjaan profesi, oleh sebab itu untuk menjadi guru tentu harus menguasai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku khusus tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa guru yang berkompeten adalah guru yang profesional (UU 14- 2005 Guru Dan Dosen.Pdf, 2005).

Menurut Zainuri (2018 : 29) guru profesional adalah guru yang senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan dalam interaksi belajar mengajar, serta senantiasa mengembangkan kemampuannya secara berkelanjutan, baik dalam segi ilmu yang dimilikinya maupun pengalamannya.

Menurut (Hamid, 2020) guru profesional harus memiliki kesadaran kolektif dan utuh, terhadap profesinya sebagai seorang pendidik. Kemudian menurut (Illahi, 2020) guru profesional adalah sosok pribadi yang mampu membentuk muridnya menjadi generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan dan mampu menjunjung tinggi moral keberadaban. Lalu diungkapkan oleh (Sutiono, 2021) guru profesional adalah seseorang yang memiliki arah, tujuan, kualitas, dan nilai serta keahlian dan

(3)

2

kewenangan sesuai dengan profesinya. Sebagai seorang pendidik harus selalu mengembangkan diri tidak boleh hanya puas dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya saat ini. Hal itu dilakukan agar guru dapat selalu menguasai bahan atau materi serta media pembelajaran yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Ini berarti bahwa, mengembangkan potensi bagi seorang guru merupakan pembelajaran yang dilakukan sepanjang hayat.

Kompetensi adalah kecakapan dalam menjalankan seperangkat tugas yang memerlukan penyatuan pengetahuan, keterampilan, serta sikap (Febrianna, 2019). Kompetensi menurut (Rusdiana & Heryati, 2015) adalah seperangkat penguasaan pengetahuan, keterampilan, nilai, serta sikap yang wajib dimiliki seseorang. Menurut (Cahyani et al., 2019) kompetensi adalah tingkat kreativitas tinggi yang mampu menyiapkan dan mendidik dengan menarik, serta memiliki kemampuan menerapkan teknologi. Lalu kemudian dikatakan oleh (Musbikhin, 2019) kompetensi adalah pribadi yang mampu memenuhi kriteria- kriteria yang sudah ditentukan secara profesional. Dan kemudian

(4)

3

menurut (Sutisna, 2020) kompetensi adalah kemahiran seseorang dalam mengerjakan bidang profesinya.

Berkaitan dengan pengertian kompetensi menurut para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa, ada kemiripan pernyataan antara pendapat ahli dan berdasarkan Undang-Undang, dan di sini penulis lebih condong pada ketiga pendapat tersebut. Benar bahwa guru yang kompeten harus menguasai tiga aspek utama berikut yaitu pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Guru yang berkompeten pasti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang berkualitas. Untuk dapat memiliki kompetensi yang berkualitas tentu guru harus senantiasa bersedia untuk mengembangkan diri.

Para ahli melalui pendapatnya tersebut, semakin menguatkan bahwa guru memang harus memiliki kompetensi yang handal, untuk dapat mampu menjalankan keprofesionalannya tersebut. Tetapi pada kenyataannya memang masih banyak ditemukan guru yang memiliki kualitas kompetensi yang masih rendah, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hoesny & Darmayanti, 2021) dalam

(5)

4

penelitiannya yang berjudul “Permasalahan dan Solusi Untuk Meningkatkan Kompetensi dan Kualitas Guru: Sebuah Kajian Pustaka”. Pernyataan tersebut juga dikuatkan oleh (Mulyati, 2022) yang mengatakan bahwa kompetensi guru yang sangat kurang, menjadi masalah tersendiri bagi dunia pendidikan.

Kompetensi guru perlu dikembangkan, mengingat kompetensi ini berpengaruh pada kinerja guru. Semakin berkompeten seorang guru maka semakin berkualitas pula hasil kinerjanya. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh (Supriyanto, 2019; Rosyada et al., 2021) dalam penelitiannya tentang peran kompetensi pedagogik terhadap kinerja guru.

Dalam penelitian ini dikatakan bahwa kompetensi profesional berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru.

Tentang kompetensi guru menurut para ahli tersebut, maka semakin baik kinerja guru, dunia pendidikan pun akan semakin baik pula. Tujuan utama peningkatan kompetensi guru adalah untuk memperbaiki dunia pendidikan tersebut. Guru adalah fasilitator dan motor penggerak dalam kegiatan pembelajaran, sehingga merupakan hal yang wajar bila guru selalu menjadi

(6)

5

objek pelatihan dan pengembangan (Syafiq et al., 2022;

Utiarahman, 2020).

Pelatihan guru yang menarik, banyak ditawarkan, salah satunya adalah pelatihan pendidikan neuroscience. Pelatihan neuroscience ini mulai diminati oleh praktisi pendidikan, hal ini diungkapkan oleh (Privitera, 2021) dalam penelitiannya tentang pelatihan neuroscience untuk guru. Konsep pelatihan ini diminati karena dirasa akan mampu memberikan metode yang ampuh untuk kegiatan pembelajaran yang lebih baik, mengingat pembelajaran itu berkaitan dengan otak. Menurut (Thomas et al., 2019) dalam penelitiannya tentang kemajuan dan prospek neuroscience mengatakan bahwa neuroscience merupakan penelitian interdisipliner yang berupaya menterjemahkan temuan penelitian neuroscience ke praktik dan kebijakan pendidikan, untuk memahami efek pendidikan pada otak.

Pembelajaran berkaitan dengan kegiatan otak, sehingga hal yang tepat bila guru mampu memahami neuroscience. Saat seorang guru mampu memahami kinerja otak, maka akan semakin memudahkan guru dalam menerapkan model

(7)

6

pembelajaran yang mudah dan menyenangkan diterima peserta didik. Semua kegiatan pembelajaran dipersiapkan dengan memperhatikan perkembangan otak, oleh sebab itu tentunya akan semakin mudah diterima, semua ilmu yang akan ditransfer oleh guru.

Betapa pentingnya untuk memahami kinerja otak bagi seorang guru. Oleh sebab, pelatihan pendidikan neuroscience tentu pilihan yang paling tepat untuk diikuti guru, terutama dalam rangka mengembangkan kompetensi pedagogiknya. Tetapi masih banyak keraguan tentang efektivitas pelatihan ini untuk meningkatkan kompetensi guru.

Belum ada bukti nyata apakah neuroscience benar-benar efektif untuk meningkatkan kompetensi guru. Hal ini terjadi karena, banyak pendapat bahwa pendidikan neuroscience ini sulit untuk dipahami guru. Neuroscience masih dirasa terlalu teoritis sehingga akan sulit bila diterapkan dalam dunia pendidikan yang merupakan dunia praktis atau praktek. Menilik dari pendapat yang bertolak belakang tersebut, peneliti ingin mencari tahu lebih dalam tentang kebenaran dari pelatihan neuroscience ini.

(8)

7

Untuk mendapatkan gambaran kebenaran tersebut penelitian ini akan mencari pembuktian melalui penelitian- penelitian orang lain, atau penelitian Systematic Literature Review (SLR). Pendekatan Systematic Literature Review (SLR) ini dipilih didasarkan pada beberapa pertimbangan diantaranya.

Pertama, kajian tentang neuroscience bukan merupakan materi yang mudah untuk diangkat sebagai penelitian evaluasi atau R&D oleh seorang amatir dalam bidang ilmu otak. Bahkan ahli syaraf pun hingga saat ini belum dapat memecahkan misteri kerja otak, seperti yang dikatakan oleh (Morusu et al., 2023) otak bekerja dengan cara yang misterius, dan ahli saraf masih berusaha menemukan rahasia yang tersembunyi. Penelitian yang dilakukan (Gage, 2019) juga menambahkan hal yang cukup mengejutkan, ia mengatakan bahwa standar pendidikan sains modern masih kekurangan konsep dasar penelitian otak.

Neuroscience adalah bidang baru yang muncul yang menggabungkan penelitian dalam ilmu saraf, psikologi, dan pendidikan untuk mengadaptasi temuan tentang mekanisme saraf ke praktik pendidikan (Thomas et al., 2019). Sehingga untuk

(9)

8

menghasilkan sebuah penelitian murni neuroscience dibutuhkan kompetensi dalam memahami ilmu syaraf, psikologi, serta pendidikan.

Kedua, dibutuhkan waktu yang panjang untuk melakukan penelitian neuroscience, bahkan ahli syaraf sekalipun.

Ditambahkan juga oleh (Morusu et al., 2023) bahwa ahli saraf, selama berabad-abad, telah mencoba memecahkan misteri otak manusia: Bagaimana cara mengaturnya? Area mana yang mengontrol fungsi mental yang berbeda? Janet M. Dubinsky dan rekan-rekannya bahkan membutuhkan waktu 16 tahun untuk mendapatkan jawaban bahwa penelitian R&D tentang Brind-U yang mereka lakukan berhasil. Kemudian (Caballero-Cobos &

Llorent, 2022), membutuhkan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan R&D nya. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk dapat melakukan penelitian neuroscience agar tidak terjebak pada neuromyths.

Ketiga, pemahaman yang kurang tentang neuroscience dapat menjerumuskan seseorang pada pengetahuan neuromyths.

Dikatakan oleh (Schmied et al., 2021) terburu-buru untuk

(10)

9

menerapkan dan memasarkan ide atau teknik neuroscience kepada pendidik telah menghasilkan penciptaan neuromyths.

OECD dalam (Torrijos-Muelas et al., 2021) mengatakan neuromyths adalah kesalahpahaman tentang fungsi otak yang dihasilkan oleh kesalahpahaman, salah membaca, atau salah mengutip fakta yang ditetapkan secara ilmiah dalam pendidikan dan konteks lainnya. (Grospietsch & Mayer, 2019) juga menambahkan bahkan para guru, yang dianggap ahli dalam pembelajaran, mendukung miskonsepsi tentang ilmu saraf dan mendasarkan praktik pedagogis mereka pada neuromyths. Guru mempelajari neuroscience untuk meningkatkan pedagogik mereka, tetapi saat mereka terjerumus dalam pemahaman neuromyths hal itu akan membahayakan dunia pendidikan.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini akan membahas tentang “Pelatihan Pendidikan Neuroscience untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogik Guru: Sebuah Systematic Literature Review”. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pelatihan neuroscience benar- benar dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

(11)

10 1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut : 1) Banyak guru yang tidak memahami tentang pendidikan

neuroscience.

2) Guru kesulitan untuk memahami pendidikan neurosains.

3) Pentingnya guru memahami pendidikan neurosains.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah tersebut maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah pelatihan pendidikan neuroscience berhasil meningkatkan kompetensi pedagogik guru?

2. Metode pelatihan neuroscience yang mana yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru?

3. Bagaimanakah kajian pengembangan metode neuroscience yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru?

(12)

11

4. Bagaimanakah prinsip, dan prosedur implementasi metode neuroscience yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru?

5. Seberapa penting bagi guru untuk mendapatkan pelatihan neuroscience?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Menjabarkan pelatihan pendidikan neuroscience berhasil meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

2. Menjabarkan metode pelatihan neuroscience yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

3. Mendeskripsikan kajian pengembangan metode neuroscience yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

4. Mendeskripsikan prinsip, dan prosedur implementasi metode neuroscience yang mampu meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

5. Mendeskripsikan pentingnya guru mendapatkan pelatihan neuroscience.

(13)

12 1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

Manfaat teori dari pelatihan pendidikan neuroscience, secara umum adalah dapat mengembangkan pengetahuan manajemen pendidikan dan memperkaya bahan kajian ilmu manajemen pendidikan bidang Sumber Daya Manusia, khususnya untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru dalam memahami pendidikan neuroscience. Kemudian secara khusus manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kompetensi guru dalam memahami pendidikan neuroscience.

2) Memberikan sumbangan ilmiah dalam pelatihan peningkatan kompetensi pedagogik guru dengan memahami pendidikan neuroscience.

3) Sebagai pijakan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pemahaman pendidikan neuroscience untuk peningkatan kompetensi pedagogik guru.

(14)

13 1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini secara umum adalah untuk dapat mengembangkan modul pelatihan peningkatan kompetensi pedagogik guru khususnya dalam pemahaman pendidikan neuroscience. Sedangkan manfaat praktis secara khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagi Dinas Pendidikan, dalam rangka meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan demi untuk pembelajaran yang lebih bermakna, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan pelatihan pemahaman guru tentang pendidikan neuroscience.

2) Bagi Sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam forum diskusi ilmiah tingkat sekolah dalam upaya sekolah untuk meningkatkan kompetensi guru dalam pemahaman pendidikan neuroscience.

3) Bagi Organisasi Profesi Guru, hasil penelitian pendidikan neuroscience ini dapat menjadi motivasi untuk dapat

(15)

14

memahami perkembangan syaraf peserta didik secara lebih mendalam.

4) Bagi Progdi S2 Administrasi Pendidikan, hasil penelitian pendidikan neuroscience ini dapat menjadi pertimbangan untuk dapat memasukkan mata kuliah neuroscience dalam Progdi S2 Administrasi Pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

Despite the acquisition by Amazon in 2017 and the online distribution via Amazon Fresh, Whole Foods products continue to follow the known offline pricing schemes: First, prices

Last Name First Name NAME OF JUNIOR HIGH SCHOOL SHS STRAND MACARIOLA MIGUEL ANDREI Notre Dame of Marbel University - Integrated Basic Education Department SCIENCE, TECHNOLOGY,