• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH: OBJEK KAJIAN FILOLOGI

N/A
N/A
HILALUL KHOIRI 2021

Academic year: 2023

Membagikan "NASKAH: OBJEK KAJIAN FILOLOGI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Hilalul Khoiri Kelas: 5 D

NIM: 11210210000121

NASKAH: OBJEK KAJIAN FILOLOGI

Dalam memahami kata "naskah" yang menjadi objek kajian filologi, maka hal yang pertama yang perlu dilakukan adalah "membayangkan masa lalu". Masa lalu yang dimaksud disini adalah masa ketika sebuah naskah atau dokumen ditulis dengan tulisan tangan. Bayangkan bagaimana sebuah dokumen digandakan melalui proses penyalinan manual (dengan tulis tangan), dimana di zaman itu belum ditemukan mesin cetak apalagi mesin fotokopi. Dokumen- dokumen tersebut terus disalin ratusan atau bahkan ribuan kali selama ratusan tahun, hingga akhirnya entah salinan yang ke-berapa sampai kepada kita. Maka, "naskah" yang seperti inilah yang menjadi alasan lahirnya ilmu filologi.

Dalam KBBI, kata "naskah" memiliki beberapa pengertian: (1) karangan yang masih ditulis tangan, (2) karangan seseorang yang belum diterbitkan, (3) bahan-bahan berita yang siap untuk diset, dan (4) rancangan.

Sedangkan padanan kata naskah dalam bahasa arab adalah al-makhthuthath yang didefinisikan sebagai: al-kutub al-maktubah bil yad (buku yang dihasilkan dengan tulis tangan) dan manuscript dalam bahasa Inggris yang didefinisikan sebagai buku, dokumen atau lainnya yang ditulis tangan.

Umumnya, kata naskah dan teks dimaknai sama, padahal keduanya berbeda. Naskah adalah bentuk fisik dokumennya sedangkan teks adalah tulisan ataupun isi kandungan dari naskah tersebut. Mengapa perbedaan makna dari kedua kata tersebut perlu diperhatikan bahkan dianggap penting? Pasalnya, dalam sebuah naskah atau dokumen bisa saja berisi lebih dari satu teks dan bahkan berisi topik bidang keilmuan yang berbeda antara teks yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sangat mungkin terjadi disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah keterbatasan jumlah kertas, mengingat pada masa lalu kertas merupakan barang mewah yang

(2)

sulit didapat sehingga para pemilik naskah menuliskan berbagai informasi yang mereka anggap penting dalam satu naskah, sekalipun informasi-informasi tersebut tak ada kaitannya satu sama lain.

Objek kajian filologi hanya berfokus terhadap teks yang tertulis diatas kertas, oleh karena itu teks-teks yang tertulis dalam inskripsi dan batu nisan tidak termasuk dalam objek kajian filologi. Teks- teks dalam inskripsi dan batu nisan biasanya menjadi objek kajian epigrafi dan arkeologi. Tetapi ini bukan berarti bahwa tulisan dalam inskripsi itu tidak penting di dalam kajian filologi. Kadang kala keduanya saling melengkapi.

Seperti telah dikemukakan di atas, naskah yang menjadi objek kajian filologi umumnya beralaskan kertas, baik kertas Eropa maupun lokal (daluwang). Selain itu, ada juga naskah dalam bentuk daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu, atau rotan.

Ketika pengertian naskah atau manuskrip yang menjadi objek penelitian filologi sudah jelas, maka hal penting berikutnya adalah memahami dengan sebaik-baiknya hakikat dari naskah tersebut: kapan ditulis, pada masa apa ditulis, siapa yang menulis, dan mengapa pula ditulis? Ini bagian yang sangat penting agar telaah yang dilakukan oleh seorang pengkaji naskah tidak keluar dari konteksnya. Dan sekali lagi, yang harus dilakukan adalah "membayangkan masa lalu".

Apa yang dibayangkan? Banyak hal, tapi terutama adalah yang berkaitan dengan tradisi tulis masyarakat Indonesia masa lampau: bayangkan apa yang mereka tulis, bagaimana cara dulu mereka menulis, bahan apa yang digunakan untuk menulis, bagaimana bahan-bahan seperti kertas dan tinta itu mereka peroleh, mengapa mereka menulis, untuk siapa mereka menulis, dan lain-lain hal yang bisa dibayangkan.

Bayangkan juga bagaimana naskah itu sampai kepada kita sekarang ini: bayangkan ketika tradisi cetak belum ada, bayangkan bagaimana naskah-naskah itu harus disalin tangan, disalin lagi, dan disalin lagi sampai puluhan kali selama ratusan tahun hingga akhirnya sampai kepada kita sekarang.

Bayangkan juga bahwa para penulis dan penyalin naskah-naskah itu mungkin harus melakukan proses penyalinan dalam keterbatasan fasilitas dan berada di ruangan dengan pencahayaan seadanya. Mereka melakukannya berjam-jam karena tinta celup yang digunakan pun tidak memungkinkan untuk menulis cepat sehingga matanya pun terlalu lelah dan

(3)

mengakibatkan ketelitian membaca teks yang disalinnya juga semakin lama semakin menurun.

Belum lagi bahwa sebagian penyalin naskah itu tidak selalu mengerti apa yang mereka salin, karena sebagian dari mereka hanya dibayar untuk melakukannya.

Bayangkan, mungkin dalam kondisi seperti itulah sebagian dari naskah-naskah yang sampai kepada kita itu ditulis atau disalin. Teks di dalamnya tidak mengandung titik dan koma, pun tidak ada pembagian paragraf seperti yang kita kenal sekarang, kesalahan tulis juga tidak dapat dihapus seketika sehingga banyak kata susulan yang disisipkan sebagai revisi, atau kata yang salah itu "diakali" sedemikian rupa supaya tidak terbaca, dan karena ketersediaan kertas yang terbatas, penjelasan-penjelasan yang dirasa penting pun seolah berebut ruang serta ditulis secara acak-acakan di sekeliling teks utamanya.

Semakin banyak salinan naskah dari satu teks, entah karena popularitas teks tersebut atau karena alasan lain, niscaya semakin banyak tangan-tangan penyalin terlibat di dalamnya.

Penyalin dengan berbagai keterbatasan, penyalin sebagai manusia biasa. Semakin banyak tangan terlibat dalam proses penyalinan itu, sering kali mengakibatkan semakin jauhnya sebuah teks dari versi asli yang ditulis oleh pengarangnya.

Apalagi, jika seorang penyalin mereproduksi ulang teks dengan bersumber pada versi yang sudah terlanjur "salah", maka semua bentuk "kesalahan" itu akan diturunkan begitu saja.

Tentu saja, tidak semua naskah yang kita jumpai sekarang ditulis dalam situasi tidak kondusif seperti yang digambarkan di atas, sebagian di antaranya ditulis dan disalin secara elegan dan cermat oleh tangan-tangan cendekiawan, bahkan dilengkapi dengan ilustrasi, iluminasi, dan kaligrafi yang tergolong indah.

Meskipun, satu hal yang hampir dapat dipastikan adalah bahwa lebih banyak naskah salinan yang sampai kepada kita daripada naskah asli yang ditulis langsung oleh pengarang- nya (autograph), sehingga bagaimana pun, sekarang ini, persoalan berkaitan dengan otentisitas teks menjadi masalah yang paling sering dihadapi oleh para pengkaji naskah.

Pada dasarnya, pengertian naskah tidak dibatasi oleh kandungan isinya, ia bisa berisi paparan teks dalam berbagai bidang yang sangat luas, angka matematis, peta, ilustrasi gambar atau foto, dan lain-lain. Sebuah naskah beriluminasi bisa merupakan gabungan indah dari teks, gambar, hiasan pinggir, kaligrafi huruf, atau ilustrasi sepenuh halaman (full- page illustrations).

(4)

Pada masa lalu, terutama sebelum ditemukannya teknologi mesin cetak di Eropa, semua dokumen dihasilkan melalui tulis tangan, baik berbentuk gulungan (scroll) papirus, atau buku (codex) pada masa berikutnya.

Penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (w. 1468) di Jerman pada sekitar 1448 telah menciptakan sebuah revolusi besar-besaran di bidang penggandaan dokumentasi.

Gutenberg membangun sebuah piranti mesin cetak yang belakangan berhasil menyempurnakan teknik pencetakan aneka dokumen dengan memanfaatkan perkembangan teknologi saat itu.

Sebuah dokumen yang awalnya hanya dapat digandakan secara manual dengan kecepatan puluhan hala- man per hari, kini berubah drastis menjadi ribuan halaman per harinya berkat teknologi mesin cetak. Tentu saja, penggunaan mesin cetak tidak dengan serta merta mengganti- kan tradisi tulis manual, bahkan di Eropa sendiri sekalipun, karena biaya produksi cetak masih dianggap mahal pada awal penemuannya.

Di Nusantara, perlu waktu setidaknya tiga abad sebelum teknologi cetak ini juga memengaruhi tradisi tulis di Nusantara. Ketika 'mesin Gutenberg' semakin banyak digunakan di daratan Eropa, dan juga dunia Islam secara umum pada abad ke-16 dan 17, tradisi tulis tangan di Nusantara justru sedang menikmati masa 'kejayaannya' hingga abad ke-19. Kini, dokumen Nusantara yang dihasilkan pada masa transisi antara tradisi lisan dan tradisi cetak itu dapat kita jumpai dalam jumlah yang sangat melimpah, dan berisi tidak hanya masalah sastra belaka melainkan juga hampir semua aspek bidang keilmuan lainnya.

Naskah merupakan salah satu sumber primer paling autentik yang dapat mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini. Naskah merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk mengetahui khazanah intelektual dan sejarah sosial kehidupan masyarakat masa lalu, asalkan tahu cara membaca dan menafsirkannya. Dalam konteks Nusantara, naskah, yang jumlahnya sangat melimpah dalam berbagai bahasa, menjadi 'lumbung emas' yang telah lama disadari oleh para sarjana Barat dan Eropa sejak masa kolonial, tapi belum maksimal dimanfaatkan oleh para pengkaji pribumi sendiri kecuali hingga beberapa tahun belakangan ini.

Di Eropa dan Barat pada masanya, khazanah naskah juga telah melahirkan 'penemu- penemu' awal sejarah kehidupan dan tradisi intelektual masyarakat Yunani kuno abad perte- ngahan, melalui penerjemahan dan pengkajian atas naskah- naskah yang ditemukan.

(5)

Kini, di era digitalisasi ketika banyak naskah, termasuk naskah Nusantara, tersedia secara online, para sarjana pribumi sepatutnya berlomba mengakses dan membaca naskah untuk menjadikannya sebagai sumber penelitian. Mereka seharusnya memiliki keuntungan tersendiri karena, dibanding sarjana asing, tumbuh dalam tradisi di mana naskah itu lahir, dan sebagiannya adalah penutur asli (native) bahasa lokal yang digunakan.

NASKAH, TEKS, DAN MATAN

Sebelumnya telah dijelaskan perbedaan pengertian "naskah" dan "teks". Tapi kalau dalam tradisi tulis dan intelektual Arab-Islam, khususnya untuk teks-teks keagamaan, istilah teks dibedakan lagi menjadi tiga macam, yakni: (1) matan (matn), (2) komentar (syarh), dan (3) penjelasan (häsyiyah).

Matan merupakan teks dasar utama dalam sebuah naskah yang menjadi landasan bagi seorang pengarang, bisa penulis matan itu sendiri atau orang lain, untuk menulis karya berupa syarḥ atau häsyiyah atasnya. Umumnya, syarḥ atau häsyiyah ditulis karena pengarang merasa bahwa cakupan diskusi yang terdapat dalam matan dirasa terlalu ringkas dan tidak memadai, terutama bagi kelompok pembaca tertentu yang membu- tuhkan penjelasan lebih terperinci dan mendalam.

Kitab Umm al-barahin karangan Abu Abd Allah Mu- hammad ibn al-Wali al-Salih Yusuf al-Sanusi al-Maliki al- Maghribi al-Tilmisani (841-895 H/1437-1490 M) adalah contoh yang baik berkaitan dengan topik diskusi di atas. Kitab tentang aspek-aspek tauhid dalam Islam ini dapat di- anggap sebagai matan utama yang telah melahirkan karya lain berbentuk komentar atasnya, semisal Syarh al-Hud-hudi alá Umm al-barahin karangan Muhammad ibn Muhammad Manşür al-Hud-hudi.

Contoh lainnya adalah Tafsir al-Jalalayn karangan Jalāl al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli (791-864 H/1389-1459 M) dan Jalal al-Din 'Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al- Suyuti (849-911 H/1445-1505 M). Karya ini merupakan matan utama bagi kitab-kitab lain yang berupa penjelasan (häsyiyah), seperti Häsyiyat al-Jamal alá al-Jalalayn karangan Sulayman ibn 'Umar Jamal dan Hasyiyat al-Sawî 'alá al-Jalalayn karangan Aḥmad al-Sawi al-Maliki (1175-1241 H/1761-1825 M).

(6)

Dalam konteks naskah-naskah keilmuan Islam, terma- yang beredar di Nusantara, karya- karya yang berbentuk suk syarḥ atau häsyiyah ini tergolong sangat banyak dan lazim (lihat beberapa contohnya dalam, antara lain, katalog Fathurahman, dkk. 2010), sehingga kajian filologis naskah-naskah keagamaan Islam tersebut tidak lagi bisa dibatasi hanya dengan menyebut 'naskah' dan 'teks' belaka, melainkan harus diperkaya dengan istilah 'matan, syarh dan häsyiyah, karena masing-masingnya memiliki karakteristik tersendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kecemasan matematika siswa kelas X MA Bi’rul Ulum pada pembelajaran daring di masa pandemi covid-19 dan mendeskripsikan penyebab

ii TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PUTRI DI PULAU BALANG LOMPO KABUPATEN PANGKEP TAHUN 2020 Siti Awalia Rammadhani1 , Kadri Rusman2,1,2 Medical Faculty, University