• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sakramen: Baptisan dan Perjamuan Kudus

N/A
N/A
Albert Marchus Puntodewo

Academic year: 2023

Membagikan "Sakramen: Baptisan dan Perjamuan Kudus"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

Sakramen: Baptisan dan Perjamuan Kudus

A. Pendahuluan: Sakramen

Sakramen menjadi bagian yang tentu tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan menggereja, tetapi pertanyaannya apa itu sakramen? Apa saja bentuk-bentuk dari sakramen? Terdapat beberapa pendapat terkait dengan asal muasal kata sakramen ini. Yang pertama adalah bahwa kata ini berasal dari kata bahasa latin Sacrare yang artinya adalah menguduskan, atau secara mudah dipahami sebagai suatu upaya melakukan perbuatan yang kudus/suci/sakral. Namun di sisi lain, kata sakramen juga dipahami berasal dari kata sacramentum dalam bahasa latin yang sejatinya merupakan translasi dari kata mysterion. Mysterion merujuk pada sesuatu yang tersembunyi, yang rahasia, misteri, pada perkembangannya kata Mysterion ini merujuk pada sosok Ilahi yang penuh dengan misteri. Sedangkan kata sacramentum berkembang menjadi beberapa pemaknaan terutama dalam keseharian. Yang pertama sacramentum merujuk pada istilah hukum yang merujuk pada barang jaminan yang harus disetor oleh dua orang yang berperkara. Yang kedua, merujuk pada sumpah setia yang dinyatakan oleh prajurit. Dan yang ketiga, perbuatan kudus yang dilakukan sebagai pengabdian kepada yang Ilahi.

Sekalipun ada berbagai perbedaan pandangan terkait asal kata ini, juga berbagai makna yang terdapat di dalamnya, secara sederhana kata sakramen dapat dimaknai sebagai sebuah tanda yang kelihatan dari perjanjian keselamatan Allah. Sebab sakramen telah diambil alih maknanya secara teologis, sehingga sakramen digunakan untuk merujuk pada perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan melalui perbuatan tersebut kita dapat melihat secara konkrit perjanjian keselamatan yang sudah dilakukan oleh Allah. Dengan demikian sakramen dapat dipahami sebagai (1) tanda perjanjian keselamatan dengan Allah yang kelihatan oleh indra. (2) sebagai materai yang meneguhkan, mengokohkan perjanjian Allah itu. Sehingga sakramen pada akhirnya memegang peranan yang sungguh penting dalam kehidupan orang percaya. Tetapi ingat bahwa sakramen bukanlah cara mendapatkan keselamatan itu sendiri, sebab keselamatan telah diberikan oleh Allah kepada umat manusia melalui peristiwa inkarnasi. Sakramen justru menjadi bagian bagaimana kita merespons keselamatan yang diberikan itu, atau sebagai pengukuhan bahwa kita ikut terhisab dalam keselamatan yang diberikan itu.

Oleh karena pemahaman sakramen dilihat sebagai perbuatan yang diperintahkan Allah dan merujuk pada tanda dan meterai yang kelihatan dari janji keselamatan yang telah diberikan Allah, maka terdapat perbedaan jumlah sakramen antara gereja reformasi (protestan) dan gereja katolik. Dalam pengajaran gereja Katolik terdapat tujuh ritus sakramen yang dijalankan, dan dari ketujuh ritus itu dapat digolongkan menjadi tiga bagian. (1) sakramen inisiasi yakni Baptis, Penguatan dan Ekaristi, (2) sakramen pengakuan dosa, pengurapan orang sakit, (3) sakramen panggilan yakni imamat dan pernikahan. Tetapi dalam pemahaman gereja reformasi (protestan) sakramen hanya ada dua yakni Baptisan dan Perjamuan Kudus (Ekaristi). Yang perlu diingat disini adalah bahwa Sidi dalam pemahaman gereja reformasi BUKAN termasuk dalam sakramen (tidak seperti penguatan dalam katolik yang adalah sakramen), tetapi sidi dipahami sebagai upacara grejawi dimana orang yang telah dibaptiskan pada waktu anak-anak mengakui iman percayanya secara pribadi di

(2)

saat telah dewasa. Sekaligus juga pernyataan dari anak itu bahwa janji orangtua yang membaptiskannya untuk mendidiknya secara kristiani telah ditepati melalui pengakuan percayanya.

B. Baptisan Kudus

Baptisan kudus bagi GKI adalah salah satu dari 2 Sakramen (yang lain adalah Perjamuan Kudus – Tata Laksana Tata Gereja GKI Bab VIII pasal 20 ayat 1).

Baptisan ini dilakukan atas dasar perintah Tuhan Yesus sendiri dalam Matius 28:19

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus”. Dalam perintah yang diberikan Tuhan Yesus ini, kita juga menemukan sebuah formulasi baptisan yang akhirnya diadopsi oleh GKI yakni “dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus”. Terkait dengan pemahaman Allah trinitas akan dibahas pada pertemuan selanjutnya, tapi marilah kita melihat apa makna dari formulasi ini. Dibaptis dalam nama Bapa adalah sebuah pengakuan bahwa orang yang dibaptiskan ini telah masuk dalam rengkuhan anugerah dan kasih Bapa, sedangkan dalam nama Anak adalah pengingat bahwa janji keselamatan yang diberikan Allah sejatinya telah digenapi melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus sang Anak, sedang dalam nama Roh Kudus menunjukan bahwa orang yang bersangkutan telah menerima Roh Kudus yang menyertainya sepanjang waktu.

Nah, dasaran dari dilaksanakan perjamuan kudus ini bukan hanya karena diperintahkan oleh Allah, tetapi juga karena adanya iman dari yang bersangkutan.

Inilah yang juga menjadi perdebatan di kalangan Kristen, terkait dengan baptisan anak. Beberapa gereja tidak mengakui dan melakukan baptisan anak, sebab bagi mereka anak belum bisa menyatakan imannya kepada Allah. Dengan demikian anak hanya dapat diserahkan untuk datang kepada Allah, dengan dasar Alkitab Luk 18:16, “Biarkanlah anak anak itu datang kepada Ku, dan jangan kamu menghalang‐ ‐ ‐ halangi mereka, sebab orang orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan‐ Allah.” kelompok-kelompok tadi lebih senang menghayati ayat ini sebagai

“penyerahan” dan bukan baptisan. Lantas mengapa GKI melakukan baptisan anak?

Apa maknanya? Dasar yang pertama adalah bahwa baptisan merupakan materai perjanjian keselamatan Allah yang tentu anugerah itu tak dapat dibatasi siapa yang berhak atau tidak menerimanya. Yang kedua adalah pernyatan bahwa sejak jaman perjanjian lama Allah berkenan mengikat perjanjian itu dengan anak, misalnya ketika kita berbicara soal kewajiban bersunat bagi orang Yahudi. Sunat adalah tanda perjanjian dengan Allah, dan dilakukan pada semua laki-laki dan bahkan dilakukan pada saat usia delapan hari (Kejadian 17:10-12). Jadi, pada dasarnya GKi melakukan baptisan anak karena mengakui bahwa anak-anak yang ada dalam keluarga ikut terhisab dalam perjanjian Allah. Tentu dengan konsekuensi logis bahwa orang tuanyalah yang menyerahkan anak ini kepada Allah. Dengan demikian ada tanggung jawab dari orangtua untuk mendidik iman dari anak ini secara Kristiani, sampai nanti anak ini cukup dewasa untuk mengakui sendiri imannya.

Bagian lain yang menjadi perdebatan di kalangan Kristen adalah soal metode melakukan baptisan, sebab beberapa memilih untuk melakukan baptisan dengan metode selam, yang lain menggunakan metode percik. Yang menggunakan metode selam tentu dengan alasan bahwa baptisan yang sama jugalah yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis kala membaptiskan Yesus. Sehingga inilah metode yang dianggap sah. Sedangkan yang membaptiskan percik biasanya berpatokan pada

(3)

alasan bahwa “yang penting makna dari baptisannya dan bukan metodenya.” Betul memang metode sejatinya tidak perlu dipermasalahkan, namun tetap perlu dasar yang digunakan untuk menjelaskan metode yang digunakannya. Ada sebuah ulasan yang sangat menarik dari Pdt. Joas Adiprasetya tentang ini yang nampaknya baik untuk kita perhatikan terutama terkait kisah dalam Markus 1:9-10 yang menjadi rujukan. Seringkali pembaca berasumsi bahwa dalam kisah ini Yesus keluar dari dalam air, namun jika diamati dari kata aslinya απο του υδατος justru artinya adalah naik menjauhi air, artinya naik ke daratan. Sebab απο artinya “menjauh dari” atau

“meninggalkan”, sehingga dasaran ini tidak kuat untuk menyatakan bahwa baptisan yang dilakukan kepada Yesus adalah baptisan selam.

Dasar lain yang digunakan adalah arti kata βαπτίζω yang seringkali diterjemahkan sebagai membasuh, mencelupkan atau menyelamkan, dan dianggap sebagai alasan yang kuat bahwa baptisan yang sah adalah selam. Tetapi perlu diingat bahwa kata ini berasal dari akar kata βάπτω multi-makna. Di satu sisi betul bahwa kata ini merujuk pada mencelupkan atau membawa objek ke air, tapi di sisi lain kata ini juga bisa merujuk air yang dibawa kepada objek, yang berarti dipercik atau dicurahkan! Sehingga dengan demikian tidak kuat alasan yang mengatakan bahwa baptisan yang sah adalah baptisan selam, sebab dalam pemaknaan kisah ini pun justru ditemukan bahwa dua kemungkinan (selam dan percik) sama-sama ada. Dengan demikian memang betul bahwa tidak perlu mempermasalahkan baptis selam atau percik, tapi juga jangan merasa bahwa baptisan percik tidak memiliki akar atau dasar yang kuat. Sebab keduanya sama-sama memiliki dasar yang kuat.

Bagian yang penting dalam Baptisan adalah keberadaan air yang menjadi simbol dari pembersihan, pengudusan, penyucian atas diri manusia yang berdosa sehingga berkenan menerima keselamatan dari Allah. Yang pasti adalah bahwa GKI mengakui seseorang hanya dibaptiskan selama sekali sepanjang hidupnya. Artinya orang yang telah dibaptis (selam ataupun percik) tidak perlu dibaptiskan ulang ketika menjadi anggota jemaat GKI, termasuk juga anggota yang telah dibaptis anak, maka tidak perlu dibaptiskan kembali melainkan hanya melakukan sidi atau pengakuan percaya. Sebab fungsi baptisan selain untuk mempersatukan orang percaya dengan Kristus Yesus, juga adalah sebuah upaya mempersatukan orang beriman dengan tubuh Kristus (gereja) sebagai sebuah persekutuan. Jadi, agaknya keliru kalau sampai baptisan justru menjadi faktor yang memecah dan memisahkan tubuh Kristus itu hanya karena perdebatan mana yang benar dan yang salah.

C. Perjamuan Kudus

Sakramen berikutnya adalah sakramen perjamuan kudus. Tradisi perjamuan kudus tentunya berkembang dari perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dengan para muridnya di malam sebelum pesakh (Matius 26:26- 29). Juga didasari pada kisah dalam 1 Korintus 11:23-25 dimana Paulus juga meneruskan tradisi perjamuan ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh Yesus. Namun sejarah perjamuan kudus sebenarnya jauh lebih panjang dari itu. Perjamuan kudus awalnya adalah sebuah perjamuan makan yang dilakukan oleh orang Yahudi menjelang masa raya paskah (pesakh). Masa

(4)

raya itu adalah peringatan akan keselamatan yang diberikan Allah ketika bangsa Israel pergi keluar dari tanah Mesir. Perjamuan makan ini untuk memperingati perjamuan makan yang dilakukan oleh bangsa Israel di malam sebelum mereka keluar dari tanah Mesir. Inilah yang juga dilakukan oleh Yesus pada saat malam terakhir dengan murid-muridnya. Tetapi kemudian pemahaman teologis dari perjamuan ini berkembang atas dasar apa yang dilakukan Yesus. Kini perjamuan ini bukan lagi dimaknai sebagai peringatan akan keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir tetapi peringatan akan keselamatan yang diberikan Allah melalui pengorbanan Kristus Yesus.

Dalam pemahaman perjamuan kudus yang berkembang ini, maka berkembang pula makna roti dan anggur yang menjadi elemen utama dalam perjamuan kudus. Dalam pemahaman gereja Katolik Roma, roti dan anggur dipandang secara transubstansiasi, trans artinya berubah, dengan demikian roti dan anggur dianggap mengalami perubahan substansi menjadi sungguh- sungguh tubuh dan darah Kristus. Ketika gereja reformasi mulai berkembang, maka Luther mengusulkan pemahaman yang sedikit berbeda dari yang dipahami oleh gereja Katolik Roma. Luther mengembangkan sebuah konsep yang kemudian dikenal sebagai konsubstantiasi, con artinya dengan atau menghubungkan. Dalam pemahaman ini roti dan anggur tidak berubah secara substansinya tetapi Kristus tetap hadir melalui unsur-unsur roti dan anggur itu.

Namun kedua pendapat ini juga ditentang baik oleh Calvin maupun oleh Zwingli. Calvin melihat bahwa roti dan anggur hanya simbol kehadiran Kristus saja, sedang Zwingli melihat keduanya dalam rangka peringatan saja. Kita sebagai gereja GKI mengakui jika roti dan anggur adalah sarana untuk memperingati penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus. Yang menjadi penting adalah bahwa dalam pelaksanaan perjamuan kudus, umat diingatkan untuk terus berupaya hidup kudus sebagai ungkapan syukur atas keselamatan yang telah dilakukan oleh Kristus.

Perjamuan kudus memiliki fungsi yang mencakup masa lalu, kini dan yang akan datang. Sebab pada perjamuan kudus, (1) umat memperingati keselamatan yang telah diberikan melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus Yesus (masa lalu), (2) menjadi media pemberitaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Allah melalui Kristus (masa kini), dan (3) memberitakan pengharapan akan kedatangan Kristus yang kedua kali - eskatologis (masa depan). Selain itu perjamuan kudus juga memiliki sebuah elemen lain di dalam nya yakni elemen persekutuan dengan tubuh Kristus.

Sebab dalam sejarahnya memang perjamuan kudus merupakan sebuah perjamuan makan yang di dalamnya dibangun sebuah persekutuan antara orang-orang yang makan bersama di meja itu. Pun juga dengan perjamuan kudus di masa kini, ketika melaksanakannya umat sejatinya sedang mengadakan persekutuan dengan Kristus dan dengan umat-Nya.

Lalu kapan dilaksanakan perjamuan kudus? Dalam sejarahnya perjamuan kudus dalam praktek gereja katolik roma dilakukan setiap minggunya, sebab itulah juga yang diduga dilakukan oleh jemaat mula-mula. Tetapi pada

(5)

perkembangannya, oleh karena adanya pemahaman “mistis” yang berkembang dalam pemaknaan perjamuan kudus (efek dari pemahaman transubstansiasi), sebagian besar umat yang merasa diri masih berdosa enggan untuk mengikuti perjamuan kudus yang diadakan. Alasannya karena mereka takut dosa yang ada di tubuh mereka tidak dapat bersatu dengan tubuh Kristus yang kudus dan akhirnya justru mendatangkan kutuk bagi mereka (sebab pada masa itu memang roti dan anggur dianggap punya kuasa mistis). Sehingga akhirnya gereja katolik roma mewajibkan umat untuk ikut minimal sekali dalam setahun. Inilah yang kemudian dimodifikasi oleh Zwingli yang menetapkan perjamuan kudus diadakan 4 kali dalam setahun, tetapi umat WAJIB mengikutinya. Perjamuan kudus ini pada mulanya dilakukan pada hari-hari raya Grejawi yakni Natal, Paskah, Pentakosta dan di hari peringatan reformasi gereja. Dalam Tata Laksana GKI sendiri, perjamuan kudus diadakan minimal 4 kali dalam setahun (Tata Laksana, Tata Gereja GKI Bab VIII pasal 25 ayat 1).

Dalam perkembangannya juga mulai dipikirkan terkait dengan perjamuan kudus untuk anak-anak, sehingga anak-anak dapat dilibatkan sebagai bagian dalam sakramen perjamuan kudus. Tetapi proses perkembangan perjamuan kudus untuk anak masih ada dalam pro dan kontra. Yang kontra tentu saja menggunakan pemahaman Calvin sebagai alasan bahwa anak belum mengerti (secara kognitif) apa makna dari perjamuan kudus, sehingga kalaupun dilibatkan dalam perjamuan kudus menjadi tidak ada artinya. Tetapi dalam perkembangan teologis dilihat bahwa perjamuan kudus adalah undangan dari Allah untuk bersama-sama menikmati jamuan yang menjadi peringatan akan penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus, oleh karena itu mestinya setiap orang berhak menerimanya. Sebab jika alasannya adalah permasalahan kognitif, bagaimana dengan mereka yang disabilitas dan punya keterbatasan? Apakah mereka seumur hidup juga tidak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus? Lagipula dipercayai bahwa dalam sejarah perjamuan bangsa Israel, justru anak-anak dilibatkan di dalamnya. Pada perayaan pesakh bangsa Israel, keberadaan anak menjadi bagian yang penting di dalamnya. Dengan demikian perjamuan kudus anak berpatokan pada sisi afektif dimana iman yang menentukan berhak atau tidaknya seseorang untuk menerima perjamuan. Sejatinya ini juga adalah konsekuensi logis dari baptisan anak, kalau mereka boleh dibaptis mengapa tidak boleh perjamuan? Tetapi sekali lagi, perkembangan perjamuan kudus anak masih ada dalam pro kontra yang hingga kini belum mencapai kesepakatan khususnya di GKI sendiri.

Pertanyaan diskusi Kelompok

1. Ada seorang yang sakit-sakitan dan ada dalam kondisi yang sekarat, lalu meminta perjamuan kudus diluar jadwal perjamuan kudus rumahan.

Apa yang harus dilakukan oleh gereja?

2. Ada seorang yang sakit-sakitan dan ada dalam kondisi yang sekarat,

(6)

lalu meminta pelayanan baptisan. Apa yang harus dilakukan gereja?

Referensi

Dokumen terkait

Baptisan kudus adalah tanda dan meterai yang kelihatan dari perjanjian kekal yang diikat Allah dengan kita sebagai umat-Nya dan yang menjadikan kita anak-anak Allah,

Sakramen Perjamuan Kudus adalah penetapan dari Tuhan sendiri (1 Korintus 11:23-26) untuk memperingati kasih dan anugerah Allah yang sungguh luar biasa, yang dinyatakan dalam

PF Pada saat ini kita hadir dalam peristiwa karya kasih Allah yang menyelamatkan dunia: kelahiran dan kehidupan Kristus, Anak-Nya, di antara manusia, pembaptisan-Nya,

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar afektif, psikomotorik dan kognitif materi Sakramen Perjamuan Kudus bagi peserta didik kelas VIII SMP

Baptisan kudus adalah tanda dan meterai yang kelihatan atas perjanjian kekal yang diikat Allah dengan umat-Nya dan yang menjadikan kita anak-anak Allah, untuk

Apakah saudara-saudara percaya kepada Allah Tritunggal (Bapa dan Anak dan Roh Kudus) yang telah mengikat perjanjian keselamatan kekal dengan saudara sekeluarga dan

Baptisan kudus adalah tanda dan meterai yang kelihatan atas perjanjian kekal yang diikat Allah dengan umat-Nya dan yang menjadikan kita anak-anak Allah, untuk