• Tidak ada hasil yang ditemukan

SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XIII/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XIII/2015"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

Yang berwenang menangani permasalahan pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah mendapat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; Dan.

PEMOHON BERHAK ATAS PENGAKUAN, JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM YANG ADIL DALAM NEGARA HUKUM

Dan perbedaan yang sangat bertentangan itu diatur dalam Pasal 59 ayat menyatakan: “Seluruh umat manusia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Menimbulkan Ketidakpastian

Permohonan untuk mengesampingkan suatu putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada panitera pengadilan selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari setelah hari diterimanya putusan arbitrase. Permohonan untuk mengesampingkan suatu putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada panitera pengadilan selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari setelah hari diterimanya putusan arbitrase. 3) Keputusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Menjadi Inkonstitusional Jika Tidak

Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 67 ayat (1) undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak ada kewajiban . kekuasaan hukum, hal ini dapat terjadi kekosongan hukum (wetsvacuum) mengenai kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Dengan demikian, Pasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 inkonstitusional bersyarat apabila dimaknai batas waktu penyerahan/pendaftaran putusan arbitrase internasional dibatasi jangka waktu yang sama dengan batas waktu Pendaftaran Bersama.

Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Menimbulkan Ketidakpastian Keadilan

Untuk mencegah hal tersebut Pasal 67, par. selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal putusan arbitrase dijatuhkan.” Jakarta Pusat memberitahukan pendaftaran putusan arbitrase oleh arbiter/perwakilan. Perkara pembatalan secara resmi berpotensi melampaui batas waktu 30 hari. Alternatif penyelesaian sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bersyarat (conditionally konstitusional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “Putusan itu diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan arbitrase dijatuhkan”;.

Dari pengalaman penerapan ketentuan Konvensi New York sejak tahun 1960, Thailand juga memperpanjang batas waktu pendaftaran pengakuan dan penegakan putusan arbitrase guna menjamin anggotanya. Pasal ini menyatakan pada ayat (1) bahwa putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat diajukan banding atau dibatalkan. Sedangkan ayat (2) menyatakan, terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional dapat diajukan banding.

KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP

HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA KETENTUAN

Sedangkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 24 Juli 2014 mengeluarkan Penetapan Nomor 065/2014 tentang penetapan Putusan Arbitrase ICA (The International Cotton Association Limited). Pemohon baru menerima pemberitahuan pendaftaran putusan ICA dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Agustus 2014 (lihat halaman Permohonan: 8). Sedangkan dengan adanya pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 UU AAPS mengakibatkan hak untuk mengajukan pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (ICA Award) menjadi hilang dan/atau berpotensi tidak dapat diterima secara formal, karena permohonan pembatalan suatu Putusan Arbitrase dibatasi jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Putusan Arbitrase diserahkan dan didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri. tidak ditetapkan berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU AAPS dan tidak ada kewajiban bagi Panitera Pengadilan Negeri untuk memberitahukan pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional (lihat halaman permohonan: 9).

Bahwa tidak ditentukannya batas waktu penyerahan dan pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional pada Kantor Pendaftaran Pengadilan Negeri Jakarta telah menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum dan diskriminasi hukum bagi pemohon (lihat halaman permohonan: 9).

KETERANGAN DPR RI

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Akibat pendaftaran dan penetapan tersebut di atas, pemohon mengajukan pembatalan pada tanggal 28 Agustus 2014 dan mengajukan keberatan pada tanggal 15 September 2014 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang saat ini masih dalam proses persidangan. Terhadap keadaan hukum tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan menilai apakah para pemohon mempunyai kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU. Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007, DPR melimpahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menguji dan menilai apakah pemohon mempunyai kedudukan sah.) sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no. 006/PUU-III/2005 dan nomor 011/PUU-V/2007.

Pengujian atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bahwa permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional diajukan setelah arbiter atau orang yang ditunjuknya menyerahkan dan mendaftarkan putusan tersebut pada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mengingat syarat-syarat yang harus dipenuhi dan disertakan oleh pengusul penegakan hukum pada saat mengajukan permohonan pemberlakuan putusan arbitrase internasional, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ZZPS, memerlukan waktu yang cukup lama. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase pada panitera pengadilan negeri (lihat Pasal 70-71 ZPPPS) . hukum).

bahwa mengenai masalah jangka waktu pemberitahuan pendaftaran putusan arbitrase internasional oleh Panitera Pengadilan, hal.

Pokok Permohonan Pemohon

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, DPR berpendapat ketentuan pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 undang-undang a quo tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UU. UUD 1945. Jakarta Pusat untuk memberitahukan kepada pihak termohon eksekusi (yang berada di Indonesia) yang tercantum dalam putusan arbitrase internasional mengenai pendaftaran putusan arbitrase internasional yang didaftarkan, untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pihak (termohon eksekusi) yang berkepentingan untuk mengajukan solusi untuk pembatalan. Mempertimbangkan apa yang dialami oleh Pemohon, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat dan berpendapat bahwa Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase masih mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sah, maka kami mohon agar Majelis Konstitusi mengadili penafsiran konstitusional terhadap Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan menyatakan konstitusional bersyarat, yaitu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “keputusan diserahkan dan sepanjang yang dimaksud dengan “putusan itu harus diserahkan oleh arbiter atau orang yang ditunjuknya dan didaftarkan pada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal putusan arbitrase dikeluarkan”;.

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

Keterangan Pemerintah Atas Materi Permohonan Yang Dimohonkan Untuk Di Uji

Arbitrase institusional dilakukan dengan bantuan lembaga arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk menggunakan aturan lembaga arbitrase tersebut, seperti International Chamber of Commerce (ICC) dan Dewan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dalam arbitrase ad hoc, para pihak dapat sepakat untuk membuat seperangkat aturannya sendiri, menggunakan aturan atau prosedur salah satu pihak. Karena tidak adanya lembaga yang menyelenggarakan administrasi persidangan, maka sering timbul permasalahan dalam arbitrase ad hoc jika salah satu pihak menolak menunjuk arbiter atau jika para pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai pemilihan ketua arbiter.

Dalam hal para pihak tidak dapat sepakat mengenai pemilihan/penunjukan arbiter, Pasal 13 UU ZPSP mengatur bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk penunjukan arbiter atau majelis arbitrase dalam rangka untuk menyelesaikan perselisihan para pihak.

Kesimpulan

Tentang BANI

BANI berdomisili di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia antara lain Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan dan Batam. Keberadaan BANI sebagai Lembaga Arbitrase sesuai dengan Ketentuan Umum Pasal 1 angka 8 dan Pasal 34 UUAAPS yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan oleh lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dibentuk oleh para pihak yang bersengketa. dipilih. untuk memberikan keputusan terhadap perselisihan tertentu. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 9 juga mengenal Putusan Arbitrase Internasional, yaitu suatu putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase atau arbiter perseorangan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia, atau putusan lembaga arbitrase atau perseorangan yang sesuai dengan ketentuan hukum Arbitrase Internasional. Republik Indonesia dianggap sebagai Penghargaan Arbitrase Internasional.

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara mandiri dan independen dalam menegakkan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan prosedurnya sendiri, termasuk batas waktu dimana majelis arbitrase harus mengambil keputusan.

Pengertian Tentang Arbitrase

Dengan asas ini, pengadilan harus menjaga jarak semaksimal mungkin untuk mencampuri perselisihan para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase, termasuk terhadap dikeluarkannya putusan untuk membatalkan putusan arbitrase. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUAAPS, Pengadilan Negeri tidak berwenang memutus perselisihan antara para pihak yang terikat pada perjanjian arbitrase. Dalam melaksanakan perjanjian arbitrase berlaku asas hukum “Pacta Sunt Servanda”, dimana para pihak dapat menentukan hukum yang mengatur sengketanya atau menyerahkannya pada keputusan arbiter.

Dengan demikian, para pihak dalam Perjanjian Arbitrase terikat untuk menerima KEPUTUSAN yang diambil oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase sebagai keputusan yang resmi, final dan mengikat para pihak.

Arbitrase Internasional

Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase juga dapat ditolak jika pejabat yang berwenang di negara tempat pengakuan dan pelaksanaan dimintakan menemukan bahwa:. a) permasalahan utama yang berkaitan dengan perselisihan tersebut tidak tunduk pada arbitrase berdasarkan hukum negara tersebut; atau. Penerapan Lex Arbitri menjadi faktor penentu bagi pengadilan yang berwenang untuk membatalkan suatu putusan arbitrase. Kewenangan untuk melaksanakan pembatalan suatu putusan arbitrase adalah pejabat yang berwenang di negara tempat putusan itu dibuat, juga tampak dari Pasal V.1.

Dengan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat mengesampingkan putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (UUAAPS)

Penolakan untuk melaksanakan tersebut mengakibatkan putusan arbitrase yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan di wilayah hukum pengadilan yang menolaknya. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengesampingkan putusan arbitrase yang diberikan oleh Dewan Arbitrase ICA yang berkedudukan di luar wilayah hukum Republik Indonesia. Kewenangan mempertanyakan Ketua Pengadilan Negeri hanya sebatas pada peninjauan formal terhadap Putusan Arbitrase Nasional yang diberikan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Menurut Pasal 62 UUAAPS, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan terlebih dahulu memeriksa apakah Putusan Arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Tanggapan Terhadap Perkara Nomor 19/PUU-XIII/2015

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, artinya pihak yang kalah harus mematuhi putusan tersebut secara sukarela dan bebas. Untuk melaksanakan eksekusi pada tanggal 5 Mei 2014, majelis arbitrase di Liverpool - atas permintaan OEL - mendaftarkan putusan arbitrase a quo ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menghadapi hal tersebut, Pertamina kemudian berupaya untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa a quo di Indonesia dengan terlebih dahulu mendaftarkan putusan arbitrase a quo di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan Pengadilan Jakarta Pusat tersebut kemudian membatalkan putusan arbitrase Jenewa, namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.

Kesimpulan

  • PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah
  • KONKLUSI
  • AMAR PUTUSAN Mengadili,

Hak pemohon untuk meminta pembatalan putusan arbitrase dalam perkara a quo yang menurut pemohon merupakan kerugian hak konstitusional tidak hilang. Sebab undang-undang a quo, dalam hal ini Pasal 67 ayat (1) UU 30/1999, tidak menghalangi atau menghilangkan hak pemohon untuk meminta pembatalan putusan arbitrase yang bersangkutan. 3.8.2] Pasal 71 UU 30/1999 merupakan ketentuan yang mengatur batas waktu permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional, dan bukan batas waktu permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional yang menjadi titik tolak permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional. pemohon.

Namun hal tersebut tidak akan terjadi karena pemohon masih belum dapat mengajukan permohonan ke pengadilan Indonesia untuk pembatalan putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pasal 3 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase disebukan bahwa: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam