#SaveRajaAmpat: Alarm Bahaya dari Pulau yang Terluka
By Rahmi Angreni
Sosial media dipenuhi dengan berita mengenai masalah kerusakan alam yang terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pulau Gag, yang merupakan lokasi pertambangan nikel, diberitakan mengalami berbagai kerusakan lingkungan, dari penebangan hutan hingga erosi tanah dan pengendapan yang membahayakan terumbu karang dan ekosistem laut di Raja Ampat. Tagar
#SaveRajaAmpat bertebaran di berbagai platform media sosial ketika lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan para pengguna internet menyerukan agar pemerintah Indonesia menghentikan kegiatan penambangan nikel di Pulau Gag.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut penerbitan izin lima perusahaan tambang di sana telah melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 35 (k) UU itu melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
Merespon hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memutuskan untuk menghentikan sementara dan akan mengevaluasi kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Kasus Raja Ampat sebenarnya hanyalah salah satu contoh tentang kuatnya pengaruh oligarki di negara kita. Di sini, sejumlah kecil penguasa bekerja sama dengan para pemilik kekayaan untuk mengambil hak rakyat dan menikmati keuntungan dari penderitaan mereka dengan dalih investasi dan pembangunan yang berbasis pada eksploitasi sumber daya alam. Mereka kemudian terus-menerus menyebarkan pandangan bahwa semua tindakan tersebut dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Saat ini, Indonesia sedang gencar melaksanakan hilirisasi di sektor pertambangan yang dianggap sebagai pilar utama pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik di masa depan. Usaha ini dipandang cerah, meskipun banyak hal yang harus dikorbankan. Hal ini bukan hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga mengganggu ruang hidup dan hak rakyat atas tanah mereka di masa depan.
Kasus di Raja Ampat hanyalah bagian kecil dari masalah yang lebih besar. Apa yang tidak terlihat di permukaan bisa jadi jauh lebih parah. Terdapat banyak kasus serupa di seluruh
Indonesia yang menimbulkan penderitaan dari waktu ke waktu. Namun seiring waktu, perkara- perkara perampasan ruang hidup ini sering kali menghilang tanpa jejak, baik karena tergeser oleh isu baru, atau ditutupi oleh kebijakan populis yang selalu menarik perhatian rakyat sehingga mereka tetap berada dalam keadaan tak berdaya.
Kisruh di Raja Ampat dan berbagai kasus lain sebenarnya menunjukkan adanya masalah dalam paradigma kepemimpinan yang berlaku saat ini. Terlihat bahwa paradigma kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme yang berasal dari pemahaman sekularisme dan liberalisme yang sangat mengagungkan kebebasan.
Dalam paradigma kapitalisme, tambang hanya bisa dikuasai oleh para pemilik modal. Negara bertindak hanya sebagai regulator dan perusahaan yang dimiliki oleh negara harus bersaing di tingkat yang setara dengan perusahaan swasta. Kemudian, orientasi utama kapitalisme adalah profit. Untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal, sebuah perusahaan bisa menjual produk dengan harga yang sangat tinggi atau mengurangi biaya serendah yang bisa. Oleh sebab itu, metode termudah untuk meningkatkan keuntungan adalah dengan mengurangi biaya. Apa elemen produksi yang paling mudah untuk dipangkas dari sisi biaya? Jawabannya adalah pengelolaan limbah dan pengurangan dampak lingkungan. Tidak mengherankan jika perusahaan yang berada dalam sistem kapitalisme sering kali mengabaikan pengaruh lingkungan dari kegiatan industri mereka. Sebab, jika biaya dampak lingkungan dimasukkan ke dalam total biaya produksi, maka margin keuntungan perusahaan bisa sangat berkurang, bahkan bisa menjadi negatif ketika produknya dijual dengan harga pasar.
Selain itu, kekuatan modal membuka peluang terjadinya kolusi antara pengusaha dan penguasa.
Di sinilah terjadi ketidakberdayaan penguasa terhadap berbagai pelanggaran yang disebabkan oleh pengusaha. Bahkan, penguasa dengan mudahnya merevisi UU yang ada untuk memudahkan jalan para pengusaha.
Situasi buruk seperti ini jelas tidak pantas untuk terus dipertahankan. Umat seharusnya segera melakukan taubat dengan mengembalikan sistem kepemimpinan Islam sebagai wujud dari iman mereka. Apalagi, sistem kepemimpinan Islam secara nyata telah terbukti dapat menghasilkan kehidupan yang harmonis dan penuh keberkahan, baik di antara manusia satu sama lain, maupun antara manusia dengan alam semesta.
Dalam Islam, setiap sumber daya alam yang jumlahnya berlimpah seharusnya tidak dapat dimiliki oleh individu. Hal ini dikarenakan kepemilikan individu bisa menghalangi orang lain untuk mendapatkan hak mereka. Oleh karena itu, tambang nikel merupakan milik bersama bagi
umat Islam, tidak boleh dikuasai oleh individu atau perusahaan seperti yang terlihat dalam sistem kapitalis. Dengan mengembalikan kepemilikan kepada umat dan menyerahkan pengelolaan kepada pemerintah, beragam kemungkinan kerusakan lingkungan yang timbul dari ideologi kapitalisme yang didorong oleh kepentingan ekonomi bisa diminimalkan sejak dini.
Di sisi lain, relasi antara penguasa dan masyarakat terjalin dengan baik. Di sini, penguasa berfungsi sebagai pengelola dan pelindung, sedangkan masyarakat berperan dalam membangun peradaban yang gemilang. Masing-masing pihak saling mendukung dalam sebuah hubungan yang harmonis berdasarkan iman.
Lebih dari itu, dalam syariat Islam terdapat banyak peraturan yang menjamin kesejahteraan dan keadilan, mencakup aturan mengenai politik pemerintahan, sistem ekonomi termasuk aturan kepemilikan aset dan anggaran negara, serta sistem hukum dan sanksi untuk mencegah terjadinya pelanggaran, dan lainnya. Namun, semua sistem dan aturan ini hanya dapat berfungsi dengan baik jika diterapkan di bawah sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagai bentuk kepemimpinan yang ideal.