• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Dampak Pencemaran dan Kerusakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Dampak Pencemaran dan Kerusakan"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Topik: Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan

Ekstraktif

Analisis Dampak Buruk Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Hidup Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia

MAKALAH

Dibuat Oleh:

Armein Muhammad Fikri 12014061

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BANDUNG

(2)

ANALISIS DAMPAK PENCEMARAN DAN KERUSAKAN

pembangunan dan energi listrik. Dalam usaha memanfaatkan batubara, terdapat sejumlah langkah-langkah yang dilakukan, dimulai dari pencarian potensi batubara dari lingkungan pengendapan dan lingkungan tropis yang berawa, eksplorasi batubara yang meliputi berbagai tahap-tahap, dan pembentukan cara-cara penambangan batubara sesuai dengan kondisi.

Langkah-langkah dalam usaha pemanfaatan batubara tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, Standar Nasional Indonesia (SNI), dan referensi literatur. Namun, kegiatan penambangan batubara di Indonesia pada akhirnya menimbulkan pencemaran dan kerusakan. Tiga pulau di Indonesia dengan keterdapatan batubara yang potensial beserta kegiatan penambangannya, yakni Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan mengalami masalah akibat pencemaran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan batubara. Warga yang tinggal di sekitar perusahaan yang beroperasi di tiga pulau teresebut dan lingkungan sekitarnya terkena dampak dari pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan batubara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan batubara.

(3)

ANALYSIS OF THE IMPACT OF POLLUTION AND

DESTRUCTION FROM COAL MINING IN INDONESIA

Oleh

Armein M Fikri

NIM: 12014061

ABSTRACT

Coal is one of natural resource found in many places in Indonesia. Coal has been used in infrastructure development and as a source of electricity for many years. In harnessing coal to gain its full benefits, several methods have been conducted, ranging from finding the best depositional environment of coal, developing several geological exploration techniques to find coal, and making several approaches to mine coal that depends on the nature of the location.

The methods to gain full benefits of coal have been govened in Standar Nasional Indonesia (SNI), public law and several literatures. However, the act of coal mining in Indonesia usually generates pollution and destruction to environment. Three islands in Indonesia are abundant in coal and have been known as the top producer of coal Indonesia. There are Sumatera Island, Java Island, and Kalimantan Island. The people and the environment from those islands are suffering from the impact of pollution and destruction caused by coal mining. The goal of this research is to understand the impact of pollution and destruction from coal mining in Indonesia.

(4)

HALAMAN ORISINALITAS

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis Dampak Pencemaran dan Kerusakan Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia” dengan baik dan lancar. Penulis sadar bahwa selesainya karya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Sutan Adjamsyah, selaku dosen mata kuliah hu

kum lingkungan kelas 01 yang selalu membimbing penulis dalam menyusun makalah

(6)
(7)

II.8 Jenis-jenis Pencemaran Lingkungan Hidup...25

BAB III.ANALISIS PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG TIMBUL AKIBAT KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA ...27

III.1 Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Terkait Kegiatan Penambangan Batubara...27

III.2 Kasus Pencemaran dan Kerusakan Lingkungkan Hidup Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia...28

III.2.1 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan di Kalimantan Timur ...28

III.2.2 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan di Kalimantan Selatan...31

III.2.3 Kasus Pencemaran dan Kerusakan Akibat Kegiatan Penambangan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat...32

III.2.4 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Kabupaten Aceh Barat...33

III.3 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia...34

III.4 Aspek Hukum Terkait Kasus Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia...35

BAB IV.KESIMPULAN DAN SARAN...36

IV.1 Kesimpulan...36

IV.2 Saran...36

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies pesisir

Pantai ...5

Gambar II.2 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies lower delta plain...6

Gambar II.3 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies upper delta plain...7

Gambar II.4 Model modern pembentukan gambut...8

Gambar II.5 Proses terbentuknya batubara sesuai tingkatannya...8

Gambar II.6 Conventional contour mining...12

Gambar II.7 Block-cut contour mining...12

Gambar II.8 Teknik haulback truck dengan menggunakan front-end loader...13

Gambar II.9 Haulback dengan menggunakan kombinasi scraper dan truk...14

Gambar II.10 Box-cut contour mining...14

Gambar II.11 Mountaintop removal method...15

Gambar II.12 Conventional area mining method...16

Gambar II.13 Area mining with stripping shovel...16

Gambar II.14 Block area mining...17

Gambar II.16 Open pit method pada lapisan miring...18

Gambar II.17 Open pit method pada lapisan tebal...18

Gambar III.18 Lokasi penambangan batubara PT. Berau Coal...29

(9)

DAFTAR TABEL

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sumber daya alam merupakan modal bagi suatu bangsan dan negara dalam kegiatan pembangunan. Sumber daya alam pada umumnya dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui yang sering dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan pembangunan di Indonesia, seperti bahan untuk pembangkit listrik, . Pemenuhan kebutuhan batubara untuk kegiatan pembangunan dilakukan dengan cara menambang wilayah-wilayah di Indonesia yang potensial batubaranya. Namun, dalam kegiatan penambangan batubara untuk memenuhi pembangunan di Indonesia, sering muncul dampak tertentu akibat kegiatan penambangan batubara itu sendiri. Dampak yang terjadi meliputi berbagai bidang seperti kesehatan dan perekenomian warga sekitar lingkungan penambangan batubara.

(11)

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul persoalan utama, yakni dampak yang timbul akibat pencemaran dan kerusakan dari kegiatan penambangan batubara serta aspek hukum terkait pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan batubara

I.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat

Tujuan yang hendak dicapat dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dampak pencemaran dan kerusakan yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan batubara serta indikasi pelanggaran terhadap aspek hukum mengenai kegiatan penambangan batubara. Diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan wawasan mengenai pencemaran dan kerusakan akibat penambangan batubara kepada pembaca.

I.4 Ruang Lingkup Kajian

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, perlu pengkajian beberapa pokok persoalan, yaitu:

1. Batubara dan proses terbentuknya 2. Proses eksplorasi batubara

2. Proses penambangan batubara

3. Aturan terkait kegiatan penambangan batubara

4. Pencemaran dan kerusakan akibat penambangan batubara

I.5 Anggapan Dasar

(12)

lingkungannya, sehingga timbul pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan itu.

I.6 Hipotesis

Kegiatan penambangan batubara harus memerhatikan keadaan lingkungan tempat batubara tersebut ditambang agar tidak menimbulkan pencemaran dan kerusakan yang membawa dampak bagi masyarakat.

I.7 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

I.7.1 Metode

Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mendeskripsikan data secara literatur. Sehubungan adanya metode yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah metode deskriptif analitis dengan pendekatan empiris dan rasional.

I.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian kali ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi literatur dari paper, jurnal, buku, skrispi mahasiswa S1, tesis mahasiswa S2, dan internet.

I.8 Sistematika Penulisan

Makalah ini terbagi menjadi empat bab, yaitu pendahuluan, teori dasar, analisis kegiatan penambangan di Indonesia, serta kesimpulan dan saran. Pada bab satu akan dibahas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat, ruang lingkup kajian, anggapan dasar, hipotesis, metode dan teknik pengumpulan data, sistematika penulisan. Pada bab dua akan dibahas mengenai teori pembentukan batubara, eksplorasi batubara, cara-cara penambangan batubara, limbah hasil penambangan batubara, peraturan mengenai kegiatan penambangan batubara, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta jenis-jenis pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

(13)

kerusakan lingkungan hidup akibat kegiatan penambangan di Indonesia. Bab empat berisi kesimpulan dan saran dari makalah ini.

BAB II

TEORI DASAR

II.1 Batubara

Batubara adalah salah satu jenis fosil yang menjadi saksi sejarah ketika bumi pada masanya didominasi oleh hutan lebat, tumbuhan berkayu berukuran besar-besar, dan tumbuhan paku berukuran besar-besar. Sama seperti minyak bumi, batubara berasal dari komponen organik makhluk hidup yang terawetkan dengan baik. Perbedaannya terletak pada asal komponen organik tersebut. Minyak bumi berasal dari hewan berukuran mikro, seperti protozoa, sementara batubara berasal dari tumbuhan (Alexeev, 2012).

Batubara terbentuk akibat akumulasi sisa-sisa tumbuhan mati yang terendapkan di lingkungan tertentu. Proses akumulasi tersebut sering dipengaruhi oleh proses pascapengendapan sehingga terbentuk berbagai jenis tingkatan batubara. Terdapat kemiripan tertentu yang ditemukan pada perlapisan batuan pembawa batubara. Namun, hingga saat ini, belum ada model lingkungan pengendapan batubara yang bisa mengidentifikasi dengan tepat keberadaan batubara, proses pembentukan batubara, hingga tipe batubara yang terbentuk meskipun asal mula batubara sudah dipelajari berabad-abad (Thomas, 2013).

Pada saat ini, terdapat model tradisional lingkungan pengendapan batubara yang digunakan sebagai dasar pembentukan batubara. Model tradisional lingkungan pengendapan batubara dijadikan sebagai dasar model modern dalam mempelajari lingkungan pengendapan batubara (Thomas, 2013). Dalam model tradisional tersebut, terdapat fasies-fasies sebagai acuan eksplorasi batubara. Fasies itu sendiri karakteristik fisik, kimiawi, dan biologis dari unit sedimen (Nichols, 2009). Model tradisional tersebut menjelakan fasies pesisir pantai, fasies lower delta plain, fasies upper delta plain, dan fasies dataran aluvial.

(14)

dengan batulempung karbonatamn dan batuan karbonat. Ketika pengendapannya mengarah ke darat, batupasir tersebut menghalus menjadi batulempung dengan keterdapatan organisme air payau dan vegetasi rawa.

Fasies lower delta plain didomniasi oleh batulanau dan batulempung dengan tekstur semakin mengkasar ke atas ukuran butirnya, ketebalan mencapai 15 – 55 m, dan persebaran lateralnya dapat mencapai 8 - 110 km (Gambar II.2). Akibat kenaikan permukaan air laut, batulempung dengan klastik berukuran halus sering ditemukan. Batulempung tersebut merepresentasikan butiran lanau dan organik yang terendapkan di bagian distiributary mouth bar, yakni bagian yang menutupi fasies lower delta plain ini. Di beberapa tempat fasies lower delta plain, sering terdapat adanya akumulasi endapan organik yang mengisi channel dari distributary mouth bar. Akumulasi tersebut menyebabkan terbentuknya batubara dengan tekstur melensa (Thomas, 2013).

(15)

Fasies upper delta plain didominasi oleh perlapisan tipis batupasir dengan tesktur melensa, ketebalan 25 m dan persebaran lateral mencapai 11 km, sangat kontras dengan fasies upper delta plain yang dicirikan dengan perlapisan tebal batupasirnya (Gambar II.3). Batupasir tersebtu memiliki tekstur menghalus ke atas dengan keterdapatan kerikil dan klastik batubara. Perlapisan batubara di fasies upper delta plain ditemukan dengan ketebalan 10 m, tetapi persebaran lateralnya sangat terbatas. Di antara fasies upper delta plain dan lower delta plain, terdapat zona transisi yang mencerminkan karakteristik dari dua fasies tersebut. Di zona transisi tersebut, banyak ditemukan jejak proses pembentukan batubara. (Thomas, 2013).

(16)

Model modern lingkungan pengendapan batubara dititikberatkan pada proses terbentuknya ekosistem gambut sebagai material awal batubara (Thomas, 2013). Secara umum, dalam pemodelan modern, gambut ditemukan pada daerah berawa (Gambar II.4). Daerah berawa tempat pembentukan gambut dibedakan menjadi daerah rawa yang sumber masukan airnya berasal dari hujan dan daerah rawa yang sumber masukan airnya berasal dari aliran fluida dengan klastik sedimen (Nichols, 2009). Kedua jenis daerah berawa tersebut membutuhkan lingkungan yang cukup basah. Lingkungan yang basah sering ditemukan pada tempat-tempat beriklim hujan. Tempat-tempat beriklim hujan banyak berada di daerah ekuator.

(17)

Dengan kata lain, daerah tropis merupakan daerah yang ideal bagi pembentukan gambut sebagai material awal batubara (Thomas, 2013)

II.2 Tingkatan Batubara

Batubara yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak berasal dari satu jenis tertentu. Terdapat tingkatan batubara sebagai dasar dalam penentuan kegunaannya. Tingkatan tersebut terdiri dari gambut, lignit, subbituminus, bituminus, dan antrasit (Gambar II.5). Gambut, sebagai material awal batubara, terbentuk dari proses dekomposisi kimiawi jaringan tumbuhan secara aerobik. Gambut yang terbentuk tersebut memiliki nilai kalori yang rendah. Nilai kalori akan berangsur naik ketika gambut terendapkan dan tertutupi oleh sedimen lain hingga kedalaman ratusan meter, disertai kenaikan suhu dan tekanan (Nichols, 2009).

(18)

Faktor kenaikan suhu memiliki peranan penting dalam proses pengendapan gambut. Semakin tinggi suhu, gambut mengalami berbagai perubahan. Komponen volatil seperti karbon dioksida, metana, dan air semakin berkurang ketika suhu semakin tinggi. Gambut pun mengalami perubahan menjadi lignit. Proses kenaikan suhu akan semakin terus terjadi hingga ketebalan gambut jauh berubah. Lignit pun mengalami perubahan menjadi subbituminus. Proses kenaikan suhu secara terus-menerus pada akhirnya mengubah subbituminus menjadi bituminus seiring semakin besarnya tekanan dari overburden. Proses kenaikan suhu tersebut juga mengubah bituminus hingga terbentuk antrasit. Ketebalan antrasit yang terbentuk biasanya hanya sepersepuluh dari ketebalan gambut (Nichols, 2009). II.3 Eksplorasi Batubara

Sebelum kegiatan penambangan batubara dilakukan, terdapat kegiatan yang harus dilakukan terlebih dahulu, yakni kegiatan eksplorasi batubara. Tujuan dari kegiatan eksplorasi adalah untuk megidentifikasi keterdapatan, keberadaan, ukuran, bentuk, sebaran, kuantitas, serta kualitas suatu endapan batubara sebagai dasar analisis/kajian kemungkinan dilakukannya investasi. Kegiatan eksplorasi ini terdiri dari empat tahap, yakni survei tinjau, prospeksi, eksplorasi pendahuluan, dan eksplorasi rinci. Tahap-tahap tersebut menentukan tingkat keyakinan geologi dan kelas sumber daya batubara yang dihasilkan (SNI 5104:1998).

(19)

batubara energi tinggi memiliki nilai kalori >7.000 kalori/gram (kondisi dry ash free – ASTM) (SNI 5104:1998).

Tahap pertama dari eksplorasi batubara adalah survei tinjau. Survei tinjau dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi daerah-daerah yang secara geologis mengandung endapan batubara yang berpotensi untuk diselidiki lebih lanjut serta mengumpulkan informasi tentang kondisi geografi, tata guna lahan, dan kesampaian daerah. Kegiatannya, antara lain adalah studi geologi regional, penafsiran penginderaan jauh, penafsiran metode tidak langsung lainnya, serta inspeksi lapangan pendahuluan yang menggunakan peta dasar dengan skala sekurang-kurangnya 1:100.000 (SNI 5104:1998).

Tahap kedua dari eksplorasi batubara adalah prospeksi. Tahap ini dilakukan untuk membatasi daerah sebaran endapan batubara yang akan menjadi sasaran eksplorasi selanjutnya. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini, di antaranya yakni, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:50.000, pengukuran penampang stratigrafi, pembuatan paritan, pembuatan sumuran, pemboran uji (scout drilling), percontohan, dan analisis. Metode eksplorasi tidak langsung, seperti penyelidikan geofisika, dapat dilakukan pada tahap ini apabila dianggap perlu (SNI 5104:1998). Tahap ketiga dari eksplorasi batubara adalah eksplorasi pendahuluan. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui gambaran awal bentuk tiga-dimensi endapan batubara yang meliputi ketebalan lapisan, bentuk, korelasi, sebaran, struktur, kuantitas, dan kualitas. Kegiatan yang dilakukan antara lain, pemetaan geologi dengan skala minimal 1:10.000, pemetaan topografi, pemboran dengan jarak yang sesuai dengan kondisi geologinya, penampangan (logging) geofisika, pembuatan sumuran/paritan uji, dan pengambilan contoh sampel batubara. Studi awal geoteknik dan geohidrologi dapat dimulai pada tahap ini (SNI 5104:1998).

(20)

sesuai dengan kondisi geologinya, penampangan (logging) geofisika, serta ditambang. Beberapa metode penambangan terbuka yang sering digunakan adalah contour mining, mountaintop removal method, area mining method, dan open pit method.

II.4.1 Contour Mining

Contour mining cocok diterapkan untuk endapan batubara yang relatif datar dan tersingkap di lereng pegunungan atau bukit. Cara penambangan dengan metode ini diawali dengan pengupasan tanah penutup (overburden) di daerah singkapanm di sepanjang lereng mengikuti garis ketinggian (kontur), kemudian diikuti dengan penambangan endapan batubaranya (Bramani, 2008). Penambangan dilanjutkan ke arah tebing sampai dicapai batas endapan yang masih ekonomis bila ditambang. Akibat keterbatasan daerah yang bisa digali, maka daerah menjadi sempit tetapi panjang sehingga memerlukan alat-alat yang mudah berpindah-pindah. Penambangan dengan metode biasanya memiliki umur tambang yang pendek. Contour mining dapat dibagi lagi menjadi beberapa metode, antara lain: a. Conventional contour mining

(21)

b. Block-cut contour mining

Pada cara ini, daerah penambangan dibagi menjadi blok-blok penambangan yang bertujuan untuk mengurangi timbunan tanah buangan pada saat pengupasan tanah penutup di sekitar lereng (Gambar II.7).

12

(22)

Pada tahap awal, blok 1 digali sampai batas tebing (highwall) yang diizinkan tingginya. Tanah penutup tersebtu ditimbun sementara, batubaranya kemudian diambil. Setelah itu, lapisan blok 2 digali kira kira setengahnya dan ditimbun di blok 1. Ketika blok 2 sedang dalam proses persiapan penggalian, lapisan penutup blok 3 digali dan berlanjut ke siklus penggalian blok 2 dan menimbun tanah buangan pada blok awal. Pada saat blok 1 sudah ditimbun dan diratakan kembali, maka lapisan tanah penutup blok 4 dipindahkan ke blok 2 setelah batubara pada blok 3 tersingkap semua. Lapisan penutup blok 5 dipindahkan ke blok 3, kemudian lapisan tanah penutup blok 6 dipindahkan ke blok 4 dan seterusnya sampai selesai. (Gambar II.6). Penggalian berurutan ini akan mengurangi jumlah lapisan tanah penutup yang harus diangkut untuk menutup final pit (Bramani, 2008).

c. Haulback contour mining

Metode haulback contour mining (Gambar II.8 dan II.9) merupakan modifikasi dari konsep block-cut, yang memerlukan suatu jenis angkutan overburden, sehinga tidak langsung menimbun batubara. Metode ini membutuhkan perencanaan dan operasi yang teliti untuk bisa menangani batubara dan overburden secara efektif (Bramani, 2008). Terdapat tiga jenis peralatan yang sering digunakan, yakni truk atau front-end loader, scrapers, dan kombinsai dari scrappers dan truk

(23)

\

d. Box-Cut Contour Mining

Pada metode box-cut contour mining (Gambar II.10), lapisan tanah penutup yang sudah digali, ditimbun pada daerah yang sudah rata di sepanjang garis singkapan hingga membentuk suatu tanggul-tanggul yang rendah yang akan membantu menyangga porsi terbesar dari tanah timbunan

14

(24)

II.4.2 Mountaintop Removal Method

Metode mountaintop removal method ini (Gambar II.11) dikenal dan berkembang cepat, khusunya di Kentucky Timur (Amerika Serikat). Dengan metode ini, lapisan tanah penutup dapat terkupas seluruhnya, sehingga memungkina perolehan batubara 100%.

II.4.3 Area Mining Method

Metode ini diterapkan untuk menambang endapan batubara yang dekat permukaan pada daerah mendatar sampai sedikit landai. Penambangannya dimulai dari singkapan batubara yang mempunyai lapisan dan tanah penutup dangkal dilanjutkan ke yang lebih tebal sampai batas pit (Bramani, 2008). Terdapat tiga cara dengan metode area mining method ini, yaitu:

a. Conventional area mining method

Pada cara ini, penggalian dimulai pada daerah penambangan awal sehingga penggalian lapisan tanah penutup dan penimbunannya tidak terlalu mengganggu

(25)

lingkungan. Kemudian lapisan tanah penutup ini ditimbun di belakang daerah yang sudah ditambang (Gambar II.12)

b. Area mining with stripping shovel

Cara ini digunakan untuk batubara yang terletak 10-15 m di bawah permukaan tanah. Penambangan dimulai dengan membuat bukaan berbentuk segi empat.

(26)

Lapisan tanah penutup ditimbun sejajar dengan arah penggalian, pada daerah yang sedang ditambang. Penggalian sejajar ini dilakukan sampai seluruh endapan tergali (Gambar II.13)

c. Block area mining

Cara ini hampir sama dengan conventional area mining method, tetapi daerah penambangan dibagi menjadi beberapa blok penambangan. Cara ini terbatas untuk endapan batubaran dengan tebal lapisan tanah penutup maksimum 12 m (Gambar II.14). Blok penggalian awal dibuat dengan bulldozer. Tanah hasil penggalian kemudian didoorng pada daerah yang berdekatan dengan daerah penggalian.

II.4.4 Open Pit Method

Metode ini digunakan untuk endapan batubara yang memiliki kemiringan (dip) yang besar dan curam (Bramani, 2008). Endapan batubara harus tebal bila lapisan tanah penutupnya cukup tebal. Terdapat beberapa penyesuaian open pit method yang bergantung pada lapisan batubara seperti berikut ini:

(27)

a. Lapisan miring

Cara ini dapat diterapkan pada lapisan batubara yang terdiri dari satu lapisan (single seam) atau lebih (multiple seam). Pada cara ini, lapisan tanah penutup yang telah dibuka, dapat ditimbun di kedua sisi pada masing-masing pengupasan (Gambar II.15)

b. Lapisan tebal

Pada cara ini, penambangan dimulai dengan melakukan pengupasan tanah penutup dan penimbunan dilakukan pada daerah yang sudah ditambang. Sebelum dimulai, harus tersedia dahulu daerah singkapan yang cukup untuk dijadikan daerah penimbunan pada operasi berikutnnya (Gambar II.15). Pada cara ini, baik pada pengupasan tanah penutup maupun penggalian batubaranya, digunakan sistem jenjang (benching system).

18

(28)

II.5 Tempat Penimbunan Hasil Penambangan Batubara

Terdapat beberapa pertimbangan dalam penentuan tempat penimbunan, baik dari segi material lokasi dan syarat-syarat yang lain. Tempat penimbunan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni waste dump dan stockpile. Suatu waste dump adalah daerah ketika operasi tambang terbuka dapat membuang material kadar rendah dan/atau material bukan bijih yang harus digali dari pit memperoleh bijih/material kadar tinggi. Sementara itu, stockpile adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan material yang akan digunakan pada saat yang akan datang, material yang akan disimpan dibagi menjadi bijih kadar rendah yang dapat diproses pada saat yang akan datang dan tanah penutup yang dapat digunakan untuk reklamasi (Bramani, 2008).

Rancangan waste dump sangat penting untuk perhitungan keekonomian. Lokasi dan bentuk dari waste dump dan stockpile akan berpengaruh terhadap jumlah gilir truk yang diperlukan, demikian pula biaya operasi dan jumlah trsuk dalam satu armada yang diperlukan.

Daerah yang diperlukan untuk waste dump pada umumnya luasnya 2-3 kali dari daerah penambangan (pit). Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:

a. Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30-45% dibandingkan dengan material in situ.

b. Sudut kemiringan untuk suatu dump umumnya lebih landai dari pit

(29)

II.5.1 Jenis Dump

Pembagian jenis dump sebagian besar berdasarkan lokasi tempat dump tersebut, pembagian ini di antaranya:

1. Valley Fill/Crest Dumps

a. Dapat diterapkan di daerah yang mempunyai topografi curam. Dumps dibangun pada lereng

b. Elevasi puncak (dump crest) ditetapkan pada awal pembuatan dump. Truk membawa muatannya ke elevasi ini dan membuang muatannya ke lembah di bawahnya. Elevasi crest ini dipertahankan sepanjang umur tambang.

c. Dump dibangun pada angle of repose

d. Membangun suatu dump ke arah atas (dalam beberapa lift) pada daerah yang topografinya curam, biayanya akan mahal. Dumping akan mulai pada kaki (toe) dari dump final yang berarti pengangkutan truk yang panjang pada awal proyek

e. Diperlukan usaha yang cukup besar untuk pemadatan yang memenuhi persyaratan reklamasi (Bramani, 2008).

2. Terraced Dump/Timbunan yang dibangun ke atas (dalam lift)

a. Dapat diterapkan jika topografi tidak begitu curam pada lokasi timbunan b. Timbunan dibangun dari bawah ke atas. Tiap lift memiliki tinggi 20-30 m c. Ada keuntungan dan kerugian dari segi ekonomi antara jarak horizontal untuk perluasan lift terhadap kapan memulai suatu lift baru

d. Lift-lift berikutnya terletak lebih ke belakang sehingga sudut lereng keseluruhan (overaal slope angle) mendekati yang dibutuhkan untuk reklamasi

II.5.2 Pemilihan Lokasi Dump

(30)

b. Topografi

c. Volume waste rock sebagai fungsi waktu dan sumber

d. Batas KP

e. Jalur penirisan yang ada f. Persyaratan reklamasi g. Kondisi pondasi

h. Peralatan penanganan material

Selama rancangan detail dapat dipertimbangkan, beberapa lokasi yang berbeda dapat digunakan sebagai lokasi dump untuk perbandingan faktor ekonomis.

II.5.3 Parameter Rancangan Dump

Penentuan rancangan dump mempertimbangkan parameter sebagai berikut: 1. Angel of Repose

a. Batuan kering run of mine umumnya mempunyai angle of repose antara 34-37 derajat.

b. Sudut ini dipengaruhi oleh tinggi dump, ketidakteraturan bongkah batuan, dan kecepatan dumping.

c. Dapat dibuat pengukuran pada sudut lereng yang ditemukan bongkah-bongkah alami (talus) pada lokasi tersebut.

2. Faktor pengembangan (load factor)

a. Pada batuan keras, faktor pengembangan pada umumnya antara 30 dan 45%. Satu meter kubik in situ akan mengembang menjadi 1,3-1,45 meter kubik material lepas (loose)

b. Pengukuran bobot isi dapat dilakukan

(31)

3. Tinggi lift / jarak setback

a. Hanya berlaku untuk dump yang dibangun ke atas (dengan lift)

b. Tinggi lift umumnya adalah 10 – 20 m

c. Rancangan jarak setback sedemkian rupa, sehingga sudut kemiringan keseluruhan rata-rata (average overall slope angle ) adalah 2H : IV (27 derajat) sampai 2,5 H : 1 V (22 derajat) untuk memudahkan reklamasi

4. Jarak dari pit limit

a. Jarak minimum adalah ruanngan yang cukup untuk suatu jalan antara pit limit dan kaki timbunan (dump toe). Kestabilan pit akibat dump harus diperhitungkan

b. Jarak yang sama atau lebih besar dari kedalaman pit akan mengurangi resiko yang berhubungan dengan kestabilan lereng pit.

II.6 Peraturan Mengenai Penambangan Batubara

Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Bab 1 Pasal 1, disebutkan bahwa batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Dalam pasal yang sama, terdapat sejumlah izin yang wajib dimiliki oleh setiap penanggung jawab kegiatan penambangan batubara. Izin dalam kegiatan penambangan batubara ini disebut dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). IUP tersebut diatur dalam Pasal 1 Ayat 7-13.

IUP terbagi menjadi beberapa izin usaha lainnya, tergantung tahapan yang sudah dilewati oleh kegiatan penamabangan, wilayah penambangan, dan keduanya. IUP yang terbagi dengan dasar tahapan yang sudah dilewati meliputi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah kegiatan operasi produksi.

(32)

pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Selain IUP yang terbagi dengan dasar tahapan kegiatan penambangan yang sudah dilewati dan wilayah penambangan, terdapat juga IUP dengan dasar kedua hal tersebut, yakni IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Selain pengaturan mengenai izin usaha pertambangan, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Bab 1 Pasal 1 juga mengatur tentang wilayah penambangan dan wilayah usaha penambangan dalam ayat 29 – 35. Wilayah Penambangan (WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Wilayah Usaha Penambangan (WUP) adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. WUP ini terbagi lagi seusai dengan IUP yang telah didefinisikan pada uraian sebelumnya, yakni meliputi Wilayah Izin Usaha Penambangan, Wilayah Penambangan Rakyat, Wilayah Pencandangan Negara, Wilayah Usaha Pertambangan Khusus, dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus.

(33)

Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2009, Bab VII Pasal 37, IUP dapat diberikan oleh:

a. Bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, dalam Pasal 38, IUP diberikan kepada: a. Badan usaha

b. Koperasi; dan c. Perseorangan

Selain peraturan mengenai izin usaha penambangan dan wilayah penambangan, kewajiban pemegang IUP dan IUPK juga diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009. Dalam Pasal 96, pemegang IUP dan IUPK berkewajiban melaksanakan sejumlah kaidah teknik pertambangan yang baik, yakni:

a. Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan b. Keselamatan operasi pertambangan

c. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang

d. Upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara

(34)

Sementara itu, dalam pasal 97, pemegang IUP dan IUPK diwajibkan untuk menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah.

Dalam pasal 98, pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

II.7 Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup

Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sementara itu, yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

II.8 Jenis-jenis Pencemaran Lingkungan Hidup

Terdapat beberapa aspek lingkungan yang berpotensi terancam pencemaran, antara lain air, tanah, dan udara. Jenis-jenis pencemaran yang ada pada lingkungan pada umumnya adalah pencemaran udara, air, tanah, dan suara. Penjabaran mengenai pencemaran tersebut adalah sebagai berikut (https://www.eartheclipse.com, 2018):

a. Pencemaran udara, yakni masuknya zat berwujud gas di udara yang mengakibatkan gangguan tertentu. Pencemaran ini membuat udara terkontaminasi. Polutan yang mengakibatkan pencemaran udara adalah hidrokarbon tertentu seperti karbon monoksida dan karbon dioksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida

(35)

lainnya masuk secara langsung ataupun tidak langsung ke zona luahan (discharge) dari perairan.

c. Pencemaran tanah, yakni penurunan kualitas dari permukaan tanah dalam menopang kebutuhan makhluk hidup. Pencemaran ini berasal dari limbah padat yang tidak terurai dengan baik sehingga menghasilkan racun yang mencemari tanah. Bahan-bahan kimia seperti pestisida, pupuk, herbisida juga berpotensi mencemari tanah

(36)

BAB III

ANALISIS PENCEMARAN DAN KERUSAKAN

LINGKUNGAN HIDUP YANG TIMBUL AKIBAT KEGIATAN

PENAMBANGAN BATUBARA

III.1 Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Terkait Kegiatan Penambangan Batubara

Penambangan batubara di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground mining). Cara tambang terbuka tersebut akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi. Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem lainnya di sekitar wilayah tambang, termasuk tata air (Subardja, 2007).

Permasalahan lingkungan dalam aktivitas penambangan batubara umunya terkait dengan Air Asam Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga, 2007). Timbulnya air asam bukan hanya berasal dari pencucian batubara, tetapi juga dari dibukanya suatu potensi keasaman batuan sehingga menimbulkan permasalahan kepada kualitas air dan tanah. Air tersebut sering ditandai dengan nilai pH yang rendah yaitu di bawah 6, sementara pH air normal adalah 6 – 9. Penampakan air asam tambang di bawah di tahap awal adalah adanya air di pit tambang yang berwarna hijau.

Selain pH yang rendah, tingginya senyawa logam tertentu seperti besi (Fe), mangan (Mn), cadmium (Cd), alumunium (Al), dan sulfat (SO4) merupakan ciri

(37)

membentuk air asam tambang.Selain pirit, masih ada beberapa senyawa seperti markasit (FeS2), pyrrotit, kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS), molibdenit (MoS2) ,

kalkopirit (CuFeS2), galena (PbS), sfalerit (ZnS), dan arsenopirit (FeAsS) sering

berpotensi menimbulkan potensi air asam tambang. Penampakan air asam tambang di bawah di tahap awal adalah adanya air di pit tambang yang berwarna hijau (Hidayat, 20107).

Pada awal kegiatan tambang, yaitu eksplorasi atau tahap perencanaan, perlu dilakukan pengumpulan data untuk mengetahui dan menghitung besarnya potensi air asam tambang yang akan ditimbulkan. Mengetahui potensi keasamaan dari suatu tambang sangat penting karena keasaman batuan tersebut baru merupakan potensi yang kehadirannya belum tentu akan menjadi persoalan setelah dilakukan eksploitasi (Hidayat, 2017).

Beberapa kegiatans seperti pertanian, pembuatan jalan, drainase, dan pengolah tanah lainnya pada wilayah yang mengandung mineral belerang akan menghasilkan air asam yang memiliki karakteristik sama dengan air asam tambang (Hidayat, 2017).

III.2 Kasus Pencemaran dan Kerusakan Lingkungkan Hidup Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia

Kegiatan penambangan batubara biasa menghasilkan limbah (dump) yang sering tidak dikontrol oleh perusahaan penambang batubara. Limbah tersebut dapat berasal dari kegiatan pengupasan lapisan tanah, penggalian batubara itu sendiri, dan sebagainya. Hasilnya, limbah yang tidak dikontrol sering menimbulkan pencemaran dan kerusakan bagi lingkungan sekitar. Dalam makalah ini, terdapat empat kasus pencemaran dan kerusakan yang ditimbulkan dari kondisi limbah seperti itu di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Ketiga pulau tersebut terkenal dengan potensi batubaranya di beberapa daerah.

III.2.1 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan di Kalimantan Timur

(38)

tersingkapnya batuan yang mengandung mineral sulfida seperti pirit dan markasit yang selanjutnya bereaksi dengan oksigen dan air membentuk air asam tambang, seperti terlihat pada lokasi penelitian (Gambar III.1). Tersingkapnya batuan tersebut dikarenakan proses pengupasan tanah penutup (overburden), penggalian batubara, dan material limbah tambang (dump) Air asam tambang tersebut mengikis tanah dan batuan yang berakibat pada larutnya berbagai logam seperti besi (Fe), cadmium (Cd), Mangan (Mn), dan seng (Zn) (Marganingrum dan Noviardi, 2010). Dengan demikian, selain dicirikan oleh pH yang rendah, air asam tambang juga akan mengandung logam-logam dengan konsentrasi tinggi (Juari, 2006).

Perubahan pH air Sungai Lati, Kalimantan Timur, sudah dalam proses pengontrolan oleh PT Berau Coal dengan menggunakan metode pengendalian aktif, yakni percampuran kalsium hidroksida (CaOH) secara langsung ke air asam tambang yang ada pada kolam pengendapan (Subardja, 2007). Akan tetapi, fluktuasi perubahan pH air Sungai Lati tetap terjadi dan cenderung asam (Tabel III.1). Kondisi tersebut diperkirakan berasal dari suplai substrat mineral sulfida di sepanjang perjalanan air sungai (Gambar III.2).

(39)

Gambar III.2 Fluktuasi erubahan pH air Sungai Lati (Marganingrum dan Noviardi, 2010)

(40)

Menurut hasil penelitian Marganingrum dan Noviardi (2010), fluktuasi tersebut berasal dari adanya material yang masuk yang mengandung mineral sulfida (pirit) ke kolam pengendapan melalui proses run-off. Material yang masuk tersebut melalui proses run-off diduga berasal dari proses erosi sehingga menyebabkan fluktuasi. Fluktuasi tersebut tetap terlihat ketika kondisi hujan. Pengontrolan pH air sungai dengan percampuran kalsium hidroksida (CaOH) untuk kolam pengendapan tersebut menjadi tidak terlalu berpengaruh akibat masukan material yang melalui proses run-off tersebut. Akan tetapi, kondisi fluktuasi tersebut tidak terlalu terlihat dalam kondisi cerah, sehingga seharusnya pengontrolan pH air sungai tersebut didasarkan tidak hanya kepada debit aliran air asam yang masuk, akan tetapi didasarkan juga pada beban polutan hasil percampuran dalam kolam pengendapan.

III.2.2 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan di Kalimantan Selatan

(41)

Meskipun sudah ada upaya active treatment dalam menangani air asam tambang, tetapi upaya tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Menurut Hidayat (2017), upaya berkesinambungan tersebut diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang semakin parah bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tambang.

III.2.3 Kasus Pencemaran dan Kerusakan Akibat Kegiatan Penambangan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

Pada kasus penambangan batubara di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, masalah pencemaran dan kerusakan muncul pada pembuatan stockpile batubara. Pembuatan stockpile yang berdekatan dengan perumahan warga sekitar menyebabkan paparan debu yang mengganggu warga (Maryuningsih, 2015). Setiawan (2011) menyatakan bahwa debu batubara adalah campuran kompleks berbagai proporsi mineral, trace metal, dan bahan organik dengan derajat yang berbeda dari partikulat batubara. Beberapa penyakit akibat paparan debu batubara kronik meliputi simple coal workers pneumoconiosis (CWP), progressive massive fibrosis (PMF), bronkitis kronik, dan emfisema. Terdapat adanya peningkatan asma pada anak yang tinggal di dekat atau jauh dari lokasi pertambangan terbuka, sebagai akibat debu batubara yang mudah diterbangkan angin (Maryuningsih, 2015).

Selain dampak pencemaran debu batubara akibat pembuatan stockpile yang dirasakan oleh warga sekitar, dampak yang sama juga dirasakan oleh tanaman akibat pembuatan stockepile. Penelitian yang dilakukan oleh Maryuningsih (2015) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman kangkung yang media penamanan tersebut berdasarkan tanah stockpile memiliki laju yang lambat dibandingkan dengan tanah biasa. Bahkan, tanaman kangkung yang menggunakan media tanah stockpile tersebut akhirnya mati membusuk. Selain laju pertumbuhan yang lambat, warna daun pada tanaman juga menguning, tidak hijau segar layaknya warna daun yang wajar. Hasil penelitian tersebut terlihat pada Tabel III.2

(42)

Kelompok tanaman kangkung A pada tabel di atas adalah tanaman kangkung yang ditanami dengan media tanah biasa berbanding tanah stockpile sebesar 5:5. Kelompok tanaman tersebut mati pada interval tiga hari keempat. Sementara itu, kelompok tanaman kangkung B adalah tanaman kangkung yang ditanami dengan media sekam berbanding tanah stockpile sebesar 2:5. Sedangkan kelompok tanaman kangkung C adalah tanaman kangkung yang ditanami dengan media sekam berbanding tanah stockpile sebesar 5:2. Terlihat bahwa tanah stockpile berpotensi merusak tanaman di sekitar stockpile tersebut (Maryuningsih, 2015). III.2.4 Kasus Pencemaran Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Kabupaten Aceh Barat

Pada kasus pencemaran akibat kegiatan penambangan batubara di Kabupaten Aceh Barat, masyarakat terkena kerugian berupa polusi suara, debu hasil kegiatan penambaangan batubara dan potensi kehilangan lahan kerja akibat pembukaan lahan untuk penambangan batubara yang dilakukan oleh PT. MBA. Mayoritas masyarakat di daerah tersebut berprofesi sebagai petani, yang tentunya akan mengalami perubahan pendapatan akibat kegiatan penambangan. Dampak lain yang dirasakan selain kehilangan pekerjaan adalah terhambatnya pekerjaan mereka sebagai petani karena kualitas air menurun (Fachlevi, 2015). Sementara itu, gangguan debu akibat kegiatan penambangan memiliki dampak yang sama dengan kasus pencemaran di daerah Kabupaten Cirebon pada bahasan subbab sebelumnya.

(43)

III.3 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Akibat Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia

Dari keempat kasus pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan di sejumlah daerah di Indonesia, jenis pencemaran air merupakan pencemaran yang paling umum ditemukan. Pada makalah ini, pencemaran air terjadi pada kegiatan penambangan di daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, berupa air asam tambang yang mengubah pH air sungai di sekitar lingkungan penambangan batubara. Selain pencemaran air, pencemaran tanah terjadi pada kasus di daerah Kabupaten Cirebon, yakni tanaman yang terkena buangan berupa stockpile pada akhirnya mati. Selain matinya tanaman, perubahan warna daun juga terjadi pada tanaman yang tanahnya terkontaminasi stockpile. Terdapat pula pencemaran udara yakni debu hasil kegiatan penambangan batubara yang mengganggu warga sekitar.

Dampak yang terjadi akibat pencemaran air oleh air asam tambang adalah kemungkinan matinya biota air akibat perubahan pH. Selain itu, jika mata air berupa sungai seperti kasus pencemaran air di Sungai Lati, Kalimantan Selatan dijadikan sebagai air untuk kebutuhan sehari-hari warga sekitar, maka besar kemungkinan kesehatan warga sekitar terancam akibat kondisi seperti itu.

(44)

wilayah penambangan terganggu aktivitas istirahat di malam hari dan aktivitas ibadah mereka (Fahlevi, 2015).

III.4 Aspek Hukum Terkait Kasus Kegiatan Penambangan Batubara di Indonesia

Dari empat kasus mengenai pencemaran dan kerusakan akibat kegiatan penambangan batubara di Indonesia, semuanya memiliki potensi melanggar Pasal 97 dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 karena tidak ada standar penerapan baku mutu lingkungan dalam kegiatan penambangan batubara tersebut. Pada keempat kasus tersebut, seluruhnya memiliki kondisi yang sama yakni merubah lingkungan sekitar kegiatan penambangan dan tidak memerhatikan kondisi awal lingkungan tersebut sebelum kegiatan penambangan batubara.

(45)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Kesimpulan

Kegiatan penambangan batubara tidak terlepas dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat proses pengupasan tanah penutup, penggalian batubara itu sendiri, dan akumulasi material buangan. Sumber pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tersebut pada akhirnya memberi dampak bagi warga sekitar, tanaman, air, udara sehingga merugikan bagi bidang kehidupan lain seperti kesehatan dan ekonomi.

IV.2 Saran

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Alexeev, A. D. 2012. Physics of Coal and Mining Processes. CRC Press: US. Bramani, Y.H. (2008): Penjadwalan Produksi Penambangan Batubara Sanga Sanga Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Tugas Akhir Program Sarjana, Institut Teknologi Bandung.

Chironis, N.P. 1987. “Coal Age Operating Handbook of Coal Surface Mining and Reclamation”, vol. 2, Mc Graw-Hill, Inc., New York, N.Y. 10020.

Fachlevi, T. A. (2015): Dampak Pertambangan Batubara Terhadap Ekonomi Lingkungan dan Sosial di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat, Tesis Program Magister, Institut Pertanian Bogor.

Hidayat, L. (2017): Pengelolaan Lingkungan Areal Tambang Batubara (Studi Kasus Pengelolaan Air Asam Tambang (Acid Mining Drainage) di PT. Bhumi Rantau Energi Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan), Jurnal ADHUM, Vol.7, No.1, Hal: 44 - 52.

Marganingrum, D. dan Noviardi, R. (2010): Pencemaran Air dan Tanah di Kawasan Pertambangan Batubara di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Riset Geologi dan Pertambangan, Vol.20, No.1 Hal: 11-20.

Marganingrum, D. dan Noviardi, R. (2010): Pencemaran Air dan Tanah di Kawasan Pertambangan Batubara di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Riset Geologi dan Pertambangan, Vol.20, No.1 Hal: 11-20.

Nichols, G. 2009. Sedimentology and Stratigraphy. Wiley-Blackwell: UK.

Skelly dan Loy. 1975. “Economic Engineering Analysis of U.S. Surface Coal Mines and Effective Land Reclamation,” US Bureau of Mines Contract Report SO 241049, February.

SNI 5104:1998. Klasifikasi Sumberdaya dan Cadangan Batubara. Badan Standardisasi Nasional ICS 73.020.

Stefanko, R., Ramani, R. V., and Ferko, M. R., 1973, “An Analysis of Strip Mining Methods and Equipment Selection, ” Research Report, Contract No. 14-01-0001-390 to Office of Coal Research, US Dept. Of the Interior, May 29.

Undang-Undang No.4 Tahun 2009.

Thomas, L. 2013. Coal Geology. John Wiley&Sons: UK.

Daftar Pustaka dari Situs Internet (web site):

Gambar

Gambar  II.1 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies pesisirpantai (Thomas, 2013)
Gambar  II.2 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies lower delta plain (Thomas, 2013)
Gambar II.3 Rekonstruksi lingkungan pengendapan transisi berupa fasies upper delta plain (Thomas, 2013)
Gambar II.4 Model modern pembentukan gambut (Nichols, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem informasi adalahsekumpulan komponen pembentuk sistem yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai suatu

30) tanpa mengalami teubus tegangan, dibiarkan dalam bak air yang sau' atau direndam dalam bak air laj.n pada suhu dan laua waktu sebagaimana. dicantumkan dalam

Berdasarkan wawancara kepada Adi Supriadi selaku Asisten Manajer SDM pada tanggal 16 Februari 2010 permasalahan kinerja karyawan yang terjadi di reshare CV Rabbani Asysa

Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka hasil penelitian yang kelak kita hasilkan – kalau kita sampai ke tahap pelaporan, tidak hanya sebagai kumpulan huruf-huruf yang

Manajemen arsip sebagai proses pengawasan, penyimpanan, dan pengamanan dokumen sertaArsip, baik dalam bentuk kertas maupun media elektronik.arsip manual terdiri dari

Hal ini dilakukan untuk mengetahui gambaran derajad persepsi responden terhadap variabel-variabel penelitian.Berdasarkan analisis deskriptif, menunjukkan bahwa hampir

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa islamic parenting mempengaruhi self regulation pada remaja sebesar 0,369 dan

Tanpa adanya akar, maka tidak akan ada batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang hijau, bunga yang indah ataupun buah yang manis.. Akar bekerja tanpa pamrih, tanpa