• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SEJARAH PENULISAN HADIS MASA NABI, SAHABAT, DAN TABI'IN

N/A
N/A
GeoTrans 7C

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH SEJARAH PENULISAN HADIS MASA NABI, SAHABAT, DAN TABI'IN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH

SEJARAH PENULISAN HADIS MASA NABI, SAHABAT, DAN TABI'IN Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits

Dosen pengampu: Achmad Kholik, LC., M.Ag.

Dibuat oleh:

Muhammad yusron Marzuq 33010230104

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA TAHUN 2023

(2)

ii

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb.

Dengan penuh rasa syukur, kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan hidayah-Nya, yang memungkinkan kami menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini berjudul "Sejarah Penulisan Hadis Masa Nabi, Sahabat, Dan Tabi'in" yang kami susun sebagai bagian dari tugas yang diberikan oleh Pak Achmad Kholik, LC., M.Ag., untuk mata kuliah Ulumul Hadits di UIN Salatiga. Dalam upaya penyusunan makalah ini, kami berharap dapat memberikan tambahan wawasan kepada para pembaca mengenai Ulumul Hadits.

Kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Pak Achmad Kholik, LC., M.Ag., yang telah menjadi dosen pengampu mata kuliah Ulumul Hadits. Tugas yang diberikan beliau telah melengkapi pengetahuan dan pemahaman kami dalam bidang yang kami tekuni.

Selain itu, kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta dalam proses penyusunan makalah ini. Kami sadar bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun guna meningkatkan kualitas makalah ini.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Salatiga, 13 Oktober 2023

………..

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………..……..IV

B. Rumusan Masalah………..……….IV

C. Tujuan Masalah………....V

BAB II ISI

A. Hadis Pada Masa Nabi...………1

B. Hadis Pada Masa Sahabat………..………..7

C. Hadis Pada Masa Tabi’in……….…………..11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……….………13

B. Saran………...13

DAFTAR PUSTAKA

(4)

iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW setelah diangkat menjadi nabi dan rasul. Hadits memegang peranan penting sebagai pedoman bagi para sahabat dan seluruh umat Islam, menjadi panduan kedua setelah Al-Qur'an. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, penting bagi kita untuk memahami hadits. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, perhatian terhadap hadits belum sebesar perhatian terhadap Al- Qur'an. Para sahabat lebih memprioritaskan penulisan dan penghafalan Al-Qur'an dibandingkan dengan hadits. Hal ini sebagian besar dikarenakan kebijakan-kebijakan tertentu yang diterapkan oleh para sahabat pada saat itu.

Sejarah perkembangan hadits merujuk pada berbagai tahapan yang telah dialami oleh hadits sejak awal kelahirannya hingga proses pengenalan, penghayatan, dan pengamalan oleh umat dari generasi ke generasi. Perhatian khusus diberikan terhadap berbagai periode yang telah dilalui hadits sejak awal munculnya pada masa Rasulullah SAW, serta berbagai faktor yang memengaruhi perkembangan hadits tersebut.

Rasulullah SAW, selain sebagai utusan Allah SWT, juga merupakan panutan dan tokoh masyarakat yang penuh kesadaran bahwa agama yang dia sampaikan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, beliau memanfaatkan setiap kesempatan untuk berdialog dengan para sahabat melalui berbagai media komunikasi. Hadis-hadis Rasulullah SAW yang telah diterima oleh para sahabat ada yang dihafal dan ada yang dicatat.

Sejarah perkembangan hadits mengenal beberapa periode yang meliputi periode dari zaman Rasulullah SAW hingga masa Tabi’in. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan membahas materi yang berjudul " Sejarah Penulisan Hadis Masa Nabi, Sahabat, Dan Tabi'in."

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana sejarah penulisan hadits pada masa Nabi?

b. Bagaimana sejarah penulisan hadits pada masa Sahabat?

c. Bagaimana sejarah penulisan hadits pada masa Tabi’in?

(5)

v C. Tujuan Masalah

a. Untuk mengetahui sejarah penulisan hadits pada masa Nabi.

b. Untuk mengetahui sejarah penulisan hadits pada masa sahabat.

c. Untuk mengetahui sejarah penulisan hadits pada masa tabi’in.

(6)

1 BAB II

ISI A. Hadits Pada Masa Nabi

Pada masa Nabi, hadits dikenal dengan istilah "Ashr al-Wahy wa al-Takwin," yang mengacu pada periode ketika wahyu masih turun dan masyarakat Islam sedang dalam proses pembentukan.1 Situasi ini memerlukan seriusitas dan kehati-hatian ekstra dari para sahabat, yang merupakan pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dijelaskan melalui perkataan, perbuatan, dan persetujuan diamnya (taqrirnya). Oleh karena itu, apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat menjadi pedoman utama dalam mengamalkan agama dan beribadah.2

Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan Nabi, baik yang berkaitan dengan urusan masyarakat umum maupun yang berkenaan dengan hal-hal pribadi, telah berlangsung sejak awal Islam. Nabi Muhammad SAW, sebagai figur sentral, menjadi pusat perhatian dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syariat Allah. Hampir semua perkataan dan perilaku beliau memiliki implikasi hukum, kecuali sebagian yang terkait dengan urusan dunia biasa.

Kebiasaan menghargai segala hal yang berasal dari Nabi tampak pada sikap banyak sahabat. Meskipun mereka sibuk dengan memenuhi kebutuhan hidup mereka, mereka secara tekun menghadiri majelis Nabi. Beberapa di antara mereka tinggal bersama Nabi selama periode waktu yang lama, membahas dan menelaah secara kritis hadis-hadis yang mereka terima. Ketika muncul pertanyaan atau keraguan terkait kebenaran hadis yang mereka terima, mereka bisa langsung memeriksa kebenarannya kepada Nabi. Hal ini disebabkan karena Nabi berada di tengah mereka, berinteraksi sehari-hari, dan melakukan transaksi dengan mereka. Sehingga jika terdapat kesalahan dalam penulisan, pengucapan yang salah, atau ketidakpahaman terhadap makna teks hadis, mereka dapat langsung merujuk kepada Nabi.

Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi Muhammad SAW memanfaatkan beberapa metode yang mencakup berbagai cara, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Melalui Majelis Al-‘Ilm

Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadis melalui beberapa metode.

Pertama, melalui majelis al-'ilm, yang merupakan pusat atau majelis pengajian yang

1 Idris, Studi Hadis, (Jakarta:Kencana, 2013), h. 31.

2 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 70-71.

(7)

2

diadakan oleh Nabi untuk memberikan bimbingan kepada para jemaah. Melalui majelis ini, para sahabat memiliki kesempatan besar untuk menerima hadis-hadis dari Nabi, dan inilah sebabnya mengapa mereka selalu berupaya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan ini.

Periwayatan hadis melalui majelis ilmu ini dilakukan secara teratur, dan para sahabat dengan penuh semangat mengikuti setiap sesi di majelis tersebut. Catatan Musthafa al-Siba'i mengungkapkan bahwa tingkat kehausan ilmu para sahabat sangat tinggi, dan mereka sangat antusias mendapatkan fatwa-fatwa dari Nabi. Mereka selalu meluangkan waktu untuk hadir dalam majelis ilmu Rasulullah, bahkan jika itu berarti melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan solusi dari Nabi terkait masalah yang mereka hadapi.3

Di antara mereka, ada yang dengan sengaja membagi tugas untuk mengumpulkan informasi yang berasal dari Nabi. Sebagai contoh, Umar ibn al-Khathab pernah membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi. Jika pada suatu hari tetangganya berhasil bertemu dengan Nabi dan mendapatkan berita yang berkaitan dengan Nabi, maka Umar pada hari berikutnya akan mengambil giliran dan bertugas untuk mencari informasi tersebut, lalu segera menyampaikan berita tersebut kepada yang tidak bertugas. Umar bin Khathab juga sering kali bergantian hadir dengan ibn Zayd dari Bani Umayyah dalam menghadiri majelis Nabi. Ketika salah satu dari mereka berhalangan hadir, mereka akan menggantikannya pada hari berikutnya, sehingga mereka saling mengisi dan membantu satu sama lain.

Dengan cara ini, para sahabat Nabi yang sibuk atau tidak memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan Nabi tetap dapat memperoleh hadis-hadis melalui sahabat-sahabat yang telah berhasil berinteraksi dengan Nabi. Dalam situasi seperti ini, terjadi periwayatan hadis oleh sahabat dari sahabat lainnya. Pada masa Nabi, hadis tidak hanya diriwayatkan dari Nabi sendiri, tetapi sebagian besar juga diriwayatkan oleh para sahabat dari sesama sahabat.

Tidak jarang, kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusan mereka ke majelis Nabi untuk mengumpulkan informasi dan ajaran dari Nabi. Kemudian, mereka akan mengajarkan ajaran tersebut kepada suku mereka setelah kembali dari Madinah.

Sebagai contoh, Malik ibn al-Huwayris, yang pernah tinggal bersama Nabi selama dua

3 Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing, (Jakarta: Widytama Pressindo, 2011), h. 37.

(8)

3

puluh malam sebagai anggota rombongan kaumnya. Ia menyatakan bahwa Nabi sangat penyayang dan ramah. Nabi menyarankan agar mereka kembali ke keluarga mereka, mengajarkan Islam kepada keluarga mereka, dan melaksanakan salat bersama mereka.

Ketika waktu salat tiba, salah satu dari mereka akan memanggil untuk salat (adzan), dan yang tertua di antara mereka akan menjadi imam. Pengalaman Malik ibn al- Huwayris menggambarkan betapa besar minat para sahabat untuk mendapatkan pengetahuan langsung dari Nabi, termasuk hadis-hadis, yang kemudian mereka ajarkan kepada keluarga mereka masing-masing.

2. Melalui Sahabat Tertentu

Rasulullah juga menyampaikan hadis melalui para sahabat tertentu, yang kemudian para sahabat tersebut menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terjadi karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadis, hanya ada beberapa sahabat yang hadir, baik karena itu adalah pilihan dari Rasulullah sendiri atau karena kebetulan jumlah sahabat yang hadir pada saat itu hanya sedikit, bahkan bisa hanya satu orang.4 3. Melalui Istri Nabi

Dalam konteks hal-hal sensitif seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologi, terutama yang menyangkut hubungan, Nabi Muhammad akan menjawab secara langsung ataupun melalui istri-istri Nabi. Di ceritakan sebuah hadis ketika Nabi menjelaskan mengenai seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnnya. Nabi meyuruh wanita itu untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda " Ambillah sepercah kain (yang telah diolesi dengan wangi- wangian) dari kasturi, maka bersikanlah dengannya Wanita itu bertanya lagi.

"Bagaimana saya membersikannya Nabi bersabda: "Bersikanlah dengannya" Wanita itu masih berntanya lagi, "Bagaimana caranya?" Nabi bersabda : subhan Allah, hendaklah kamu bersihkan". Maka 'Aisyah, istri Nabi berkata: "Wanita itu saya tarik ke arah saya dan saya ketakan kepadanya, usapkan seperca kain itu ketempat bekas darah". Pada hadis ini,Nabi dibantu oleh 'Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif bekenaan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal diatas, karena segan bertanya kepada Rasulullah SAW. sering kali mereka bertanya kepada istri-istrinya.5

4 Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 54.

5 Syaikh Manna Al-Qathathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 2005), h.4.

(9)

4 4. Melalui Ceramah atau Pidato

Pada beberapa kesempatan, Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti yang terjadi saat peristiwa Futuh Mekkah (Penaklukan Mekkah) dan ketika beliau melakukan ibadah haji terakhir pada tahun 10 H (tahun 631 M). Pada saat itu, Nabi menyampaikan khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah haji. Khotbah tersebut berisi banyak hal yang berkaitan dengan muamalah (hubungan sosial), siyasah (urusan negara), jinayah (hukum pidana), dan hak asasi manusia, yang mencakup aspek-aspek kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas.

Dalam khotbah tersebut, Nabi menggarisbawahi beberapa hal penting, seperti larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak yang sah, larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah (batil), larangan praktik riba, dan pentingnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai pedoman dalam hidup.6

5. Melalui Perbuatan Langsung

Metode kelima yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan ajaran adalah melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yang disebut musyhadah. Ini mencakup praktik-praktik ibadah dan muamalah sehari-hari. Contohnya adalah ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum). Nabi memerintahkan laki-laki tersebut untuk memasukkan tangannya ke dalam gandum yang hendak dibelinya. Ketika laki-laki tersebut melakukan hal tersebut, ternyata gandum itu basah.7

Tindakan Nabi ini adalah contoh dari ajaran praktis yang diajarkan melalui tindakan langsung. Dalam hal ini, Nabi menunjukkan pentingnya kejujuran dan integritas dalam muamalah sehari-hari. Dengan perbuatan ini, Nabi mengajarkan kepada para sahabatnya dan kepada umat Islam secara lebih umum bahwa kejujuran dan transparansi dalam urusan bisnis dan transaksi sangat penting dalam Islam.

6 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. 15.

7 Endang H. Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press., 1997), h. 37.

(10)

5

Pada masa Nabi Muhammad terdapat perbedaan dalam penulisan hadist. Yang pertama adalah melarang penulisan hadis dan yang kedua adalah diperbolehkan menulis hadist.

Keterangan mengenai perbedaan dalam penulisan hadis 1. Larangan Menulis Hadis pada Masa Rasulullah SAW.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, hanya sedikit sahabat yang memiliki kemampuan menulis, sehingga kemampuan utama yang mereka andalkan dalam menerima hadis adalah menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah memberikan keistimewaan kepada para sahabat berupa daya ingat yang kuat dan kemampuan menghafal yang istimewa. Mereka mampu menghafal Al-Qur'an, hadis, dan syair dengan baik, seolah-olah mereka membacanya dari sebuah buku.

Sahabat-sahabat sangat memperhatikan hadis, terutama dalam berbagai majlis nabi dan tempat-tempat di mana pesan-pesan Islam disampaikan, seperti di masjid, majelis ilmiah, dan tempat-tempat lain yang dijanjikan oleh Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat sumber pengetahuan, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka adalah individu yang paling akrab dengan keadaan Rasulullah dalam konteks tersebut.

Pada saat itu, hadis pada umumnya hanya dihafal dan diingat oleh para sahabat, dan tidak ditulis seperti Al-Qur'an ketika disampaikan oleh Nabi. Hal ini disebabkan oleh kondisi dan situasi yang tidak memungkinkan untuk penulisan hadis. Secara umum, Nabi juga melarang penulisan hadis karena beliau khawatir terjadi percampuran antara hadis dan Al-Qur'an dalam tulisan. Ada banyak hadis yang mengingatkan para Sahabat untuk tidak menulis hadis, salah satunya adalah:

نع بيأ ديعس يردلخا نأ لوسر الل ىلص الل هيلع ملسو لاق ل كت اوبت نع نمو بتك نع يغ نآرقلا حميلف ه

Artinya:

“Diriwayatkan daro Abu Sa’id bahwa Rasulullah SAW bersabda: janganlah engkau menulis (hadis) dariku, barangsiapa menulis dariku selain dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”

Pencatatan hadis pada zaman Nabi Muhammad dilakukan karena kekhawatiran bahwa hadis-hadis tersebut mungkin bercampur dengan Al-Qur'an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Sebagai langkah pencegahan, Nabi sangat melarang para

(11)

6

sahabat untuk menulis dan mencatat hadis agar tidak terjadi percampuran dengan Al- Qur'an yang suci.

2. Diperbolehkannya Menulis Hadist pada Masa Rasullallah SAW.

Larangan menulis hadis tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadis. Nabi melarang menulis hadiskarena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Terdapat banyak riwayat-riwayat yang menyata kan bahwa pada masa Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah) yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash dengan lembarannya yang diberi nama al-Sahifah al-Shadiqah, dinamakan demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri, sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya.8

Begitu juga dengan Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama- sama memiliki catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang penulisan hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”9

Dari sini, kita dapat melihat bahwa terdapat dua riwayat yang berbeda mengenai masalah ini. Satu riwayat mengindikasikan bahwa Nabi melarang penulisan hadis, sementara riwayat lainnya menyatakan bahwa Nabi mengizinkannya. Dalam konteks ini, para ulama memiliki pendapat yang berbeda, dan ada dua pandangan utama.

Pandangan pertama adalah bahwa riwayat yang melarang penulisan hadis dinyatakan sebagai tidak berlaku (dinasakh) oleh riwayat yang mengizinkannya.

Menurut pandangan ini, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada tahap awal

8 Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Hadisah li al Thaba’ah, t.t), h. 15.

9 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 60.

(12)

7

Islam, dengan tujuan menjaga agar tidak terjadi percampuran antara hadis dan ayat-ayat Al-Qur'an.10 Namun, ketika sahabat-sahabat sudah familiar dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan mampu membedakan antara ayat Al-Qur'an dan hadis, Nabi mengizinkan mereka untuk menulis hadis.

Pandangan kedua adalah bahwa pada dasarnya kedua riwayat tersebut tidak saling bertentangan. Menurut pandangan ini, larangan penulisan hadis berlaku secara khusus bagi mereka yang mungkin mencampur adukkan hadis dan Al-Qur'an, sementara izin diberikan kepada mereka yang tidak mungkin mencampur adukkan keduanya. Contohnya, Nabi memberikan izin kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash untuk menulis hadis. Dengan kata lain, larangan tersebut berlaku secara umum, sedangkan izin hanya berlaku untuk sebagian sahabat tertentu.11

Secara keseluruhan, pada masa Rasulullah, hadis umumnya tidak tertulis kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas.

B. Hadits Pada Masa Sahabat

Periode kedua dalam sejarah perkembangan hadis adalah masa Khulafa' Rasyidin, yang meliputi Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib, dan berlangsung sekitar tahun 11 Hingga 40 H. Masa ini sering disebut sebagai masa sahabat besar.12

Dalam istilah ilmu hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, "sahabat"

merujuk kepada orang-orang Muslim yang pernah bergaul atau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan meninggal dalam keadaan beragama Islam. Peran sahabat Nabi dalam proses penerimaan hadis adalah sangat penting. Baik hadis yang disampaikan secara lisan maupun yang dituliskan, semuanya bergantung pada informasi yang disampaikan oleh para sahabat dari Nabi SAW. Melalui informasi yang mereka sampaikan, matan (isi) hadis diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa kehadiran para sahabat ini, pesan-pesan Nabi tidak akan sampai kepada generasi selanjutnya.

Pada masa Khulafa' Rasyidin ini, perhatian utama para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur'an. Oleh karena itu, periwayatan hadis pada masa ini belum begitu berkembang, dan terdapat pembatasan dalam perantaraan (periwayatan) hadis.

10 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008), h. 45.

11 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 37.

12 M. Agus Sholihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), h. 59.

(13)

8

Oleh karena itu, masa ini sering dianggap sebagai masa pembatasan dalam periwayatan hadis.13

1. Abu Bakar al-Shiddiq

Abu Bakar, sahabat Nabi yang pertama kali menunjukkan kehati-hatian dalam periwayatan hadis, mengambil tindakan hati-hati ini berdasarkan pengalamannya dalam sebuah kasus yang melibatkan seorang nenek. Nenek ini datang kepada Abu Bakar dan meminta bagian warisan dari harta yang ditinggalkan oleh cucunya yang telah meninggal. Awalnya, Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur'an atau praktek Nabi yang mengatur pemberian warisan kepada seorang nenek.

Namun, setelah itu, Abu Bakar berkonsultasi dengan para sahabat. Al-Mughirah Ibn Syu’bah kemudian memberitahu Abu Bakar bahwa Nabi pernah memberikan bagian warisan kepada seorang nenek sebesar seperenam dari harta warisan. Abu Bakar, sebagai tindakan hati-hati, meminta al-Mughirah untuk membawa seorang saksi, dan Muhammad ibn Salamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al- Mughirah. Akhirnya, Abu Bakar menetapkan bahwa nenek tersebut berhak menerima seperenam dari harta warisan berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan oleh al- Mughirah.14

Bukti lain dari ketelitian Abu Bakar dalam periwayatan hadis adalah tindakannya membakar catatan-catatan hadis miliknya. Putri Aisyah mengatakan bahwa Abu Bakar membakar catatannya yang berisi sekitar lima ratus hadis. Ketika Aisyah bertanya mengapa dia melakukannya, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia khawatir membuat kesalahan dalam meriwayatkan hadis. Ini menunjukkan sikap hati- hati Abu Bakar dalam periwayatan hadis.

Namun, data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadis pada masa pemerintahan Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa itu, umat Islam menghadapi berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan negara dan pemerintahan. Abu Bakar dan pasukannya harus mengatasi berbagai ancaman dan kekacauan tersebut, sehingga periwayatan hadis tidak menjadi fokus utama. Terlebih lagi, banyak sahabat Nabi, terutama yang menghafal Al-Qur'an, meninggal dalam

13 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 59.

14A bu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ ats al-Sajistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), juz III, h. 121.

(14)

9

berbagai pertempuran. Atas dorongan Umar ibn al-Khattab, Abu Bakar memutuskan untuk mengumpulkan dan meresmikan naskah Al-Qur'an.

Tindakan hati-hati Abu Bakar dalam menerima hadis sangat mencerminkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Ini menjelaskan mengapa jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar relatif sedikit, meskipun dia adalah salah seorang sahabat yang telah lama bergaul dan sangat akrab dengan Nabi, mulai dari masa sebelum hijrah hingga wafatnya Nabi. Faktor lain yang berkontribusi pada jumlah hadis yang sedikit yang diriwayatkan oleh Abu Bakar adalah kesibukannya selama menjabat sebagai khalifah, kebutuhan yang lebih rendah untuk hadis pada masa itu, dan jarak waktu yang singkat antara wafatnya dan wafatnya Nabi.15

2. Umar ibn al-Khattab

Umar juga dikenal sebagai sahabat yang sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, seperti halnya Abu Bakar. Ia juga mempunyai perhatian khusus untuk memastikan bahwa para sahabat tidak terlalu banyak menyebarkan hadis di masyarakat umum. Alasannya adalah untuk menjaga konsentrasi umat Islam agar tidak terpecah dalam membaca dan memahami Al-Qur'an, dan juga untuk mencegah kesalahan dalam periwayatan hadis.

Contoh dari kehati-hatian Umar adalah ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka'ab, dia tidak langsung menerima riwayat hadis tersebut.

Umar menunggu hingga ada beberapa sahabat yang menyatakan telah mendengar hadis yang sama dari Nabi, seperti Abu Dzarr, sebelum dia bersedia menerima riwayat hadis dari Ubay. Umar kemudian berbicara kepada Ubay dan mengungkapkan bahwa dia berperilaku seperti itu karena ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis tersebut.

Sikap hati-hati yang ditunjukkan oleh Umar ini juga dialami oleh beberapa sahabat lain, seperti Abu Musa al-As'ari dan al-Mughirah bin Shu'bah, yang semuanya menunjukkan kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis.

Selain itu, Umar ibn al-Khattab menekankan agar para sahabat tidak terlalu banyak meriwayatkan hadis di masyarakat. Ini bukanlah larangan mutlak terhadap periwayatan hadis, melainkan untuk menjaga agar masyarakat tetap fokus pada membaca dan memahami Al-Qur'an. Dalam rangka ini, Umar pernah mengirim pesan kepada umat Islam agar mereka mempelajari hadis Nabi dari para ahli yang lebih paham

15 K. Ali, A Study of Islamic History, (Delhi: Idarah al-Adabiyat Delhi, 1980), h. 83-86.

(15)

10

tentang isi Al-Qur'an. Umar sendiri juga meriwayatkan banyak hadis Nabi, dengan Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sekitar tiga ratus hadis dari riwayat Umar.

Selain itu, Umar pernah merencanakan untuk menghimpun hadis Nabi secara tertulis, dan dia meminta pendapat para sahabat mengenai hal ini. Meskipun rencananya kemudian diurungkan karena takut akan mengalihkan perhatian dari Al-Qur'an, ini bukan berarti larangan terhadap periwayatan hadis itu sendiri. Tujuannya lebih kepada menjaga agar masyarakat tetap berfokus pada pemahaman Al-Qur'an. Pendekatan bijaksana Umar ini memiliki efek yang baik dalam mencegah individu yang tidak bertanggung jawab untuk membuat pemalsuan terhadap hadis.16

3. Usman ibn Affan

Kebijakan Usman ibn Affan terkait periwayatan hadis pada dasarnya tidak terlalu berbeda jauh dari kebijakan dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar. Ini dapat dilihat ketika Usman memiliki kesempatan untuk berkhutbah, dalam khutbahnya dia meminta kepada para sahabat untuk tidak meriwayatkan terlalu banyak hadis yang mereka tidak pernah dengar pada masa Abu Bakar dan Umar. Sebenarnya, Umar sendiri juga tidak banyak meriwayatkan hadis. Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, tercatat bahwa Usman meriwayatkan sekitar empat puluh hadis saja, dan itu pun banyak matan hadis yang terulang karena perbedaan sanad.17

Sebagai hasilnya, jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khattab. Namun, pada masa Usman, aktivitas periwayatan hadis dalam umat Islam lebih banyak dibandingkan dengan masa Umar. Dalam khutbahnya, Usman memperingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, tetapi seruannya mungkin tidak memiliki dampak besar pada periwayat tertentu yang mungkin bersikap lebih longgar dalam meriwayatkan hadis. Ini bisa disebabkan oleh fakta bahwa Usman mungkin memiliki kepribadian yang tidak seserius Umar dalam hal ini dan karena wilayah Islam saat itu telah meluas, sehingga pengendalian periwayatan hadis menjadi lebih sulit.

4. Ali ibn Abi Thalib

Pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, perkembangan periwayatan hadis tidak jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya. Ali mempraktikkan kehati-hatian dalam menerima riwayat hadis, dan biasanya hanya bersedia menerima riwayat hadis setelah

16 Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadis, (Damaskus: Dar al-Fikr,t.t), h. 38

17 Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, (Cirebon: Dhiya Al Akfar, 2014) , h. 15.

(16)

11

pelapor mengucapkan sumpah bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi.

Namun, Ali tidak selalu meminta sumpah; ia akan melakukannya jika ia benar-benar telah yakin dengan kesahihan periwayat tersebut.18

Ali ibn Abi Thalib juga cukup banyak meriwayatkan hadis Nabi, baik secara lisan maupun tulisan. Hadis-hadis yang ia tulis berkaitan dengan hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, serta larangan menjalankan hukuman kisas terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.19

Pada masa Ali, seperti pada masa khalifah sebelumnya, sikap kehati-hatian dalam periwayatan hadis tetap ada. Namun, situasi politik pada masa Ali menjadi semakin tegang dengan pertentangan politik dan peperangan antara pendukung Ali dan Muawiyah. Kondisi politik yang tidak stabil ini memengaruhi periwayatan hadis, dan mendorong beberapa pihak untuk melakukan pemalsuan hadis demi kepentingan politik.20 Hal ini menyebabkan kesulitan dalam mempercayai semua riwayat hadis pada masa itu, karena ketidakpastian terhadap kesahihan riwayatannya.

C. Hadits Pada Masa Tabi’in

Pada periode Tabi'in, yang merupakan generasi berikutnya setelah para sahabat, juga banyak yang mengoleksi hadis Nabi. Para Tabi'in, yang secara harfiah berarti "mereka yang mengikuti," adalah murid-murid dari para sahabat Nabi. Mereka juga banyak mengumpulkan dan mengorganisasi hadis-hadis Nabi dalam berbagai kitab yang beraturan. Sama seperti sahabat, para Tabi'in juga berhati-hati dalam periwayatan hadis.

Dalam periode Tabi'in, Al-Qur'an sudah terkumpul dalam satu mushaf, dan para sahabat yang ahli hadis telah menyebar ke berbagai wilayah negara Islam. Ini berarti hadis- hadis Nabi juga mulai tersebar luas, dan inilah yang menyebabkan masa Tabi'in dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis. Metode yang digunakan oleh para Tabi'in untuk mengumpulkan dan mencatat hadis adalah dengan menghadiri pertemuan dengan para sahabat, mendengarkan hadis dari mereka, dan mencatat apa yang mereka pelajari dari pertemuan tersebut.21

Para Tabi'in menerima hadis Nabi dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk tulisan maupun hafalan. Mereka juga menyaksikan dan mengikuti praktik-praktik ibadah dan

18 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), h. 285.

19 Lukman Zain, Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, (Cirebon: Dhiya Al Akfar, 2014) , h. 16.

20 Alamsyah, Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, (al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin, 2013), Vol. 14, No.

2, h. 202.

21 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), h. 25.

(17)

12

amaliah para sahabat sebagai sumber pelajaran. Beberapa Tabi'in memiliki catatan-catatan atau surat-surat yang mereka terima langsung dari para sahabat yang menjadi gurunya.22

Sejumlah kota menjadi pusat penting dalam pengumpulan hadis, dan para Tabi'in sering mendatangi kota-kota ini untuk mencari dan mempelajari hadis. Kota-kota ini termasuk Madinah, Makkah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi, Andalusia, Yaman, dan Khurasan.

Madinah adalah salah satu pusat utama karena itu adalah tempat di mana Nabi Muhammad tinggal setelah hijrah, dan banyak sahabat, seperti Khulafa' Rasyidin dan Siti Aisyah, tinggal di sana. Ini menjadikan Madinah sebagai tempat penting untuk pembinaan dan pengumpulan hadis.23

22 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: Malang Press, 2008), h. 25.

23 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 65.

(18)

13 BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Periode awal Islam menunjukkan bahwa periwayatan hadis merupakan elemen kunci dalam pemahaman dan penyebaran ajaran Islam. Para sahabat Nabi adalah sumber utama hadis, yang diperoleh melalui berbagai metode, seperti lisan, pengamatan langsung, dan persetujuan diam dari Nabi. Mereka dengan tekun memahami dan menghafal hadis sebagai landasan praktik dan hukum Islam.

Kemudian, pada masa Khulafa' Rasyidin, seperti Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, periwayatan hadis dilakukan dengan hati-hati dan penuh kebijaksanaan. Mereka memastikan akurasi dalam penyampaian hadis dan membatasi penyebaran hadis di masyarakat umum.

Selanjutnya, periode Tabi'in, yang merupakan generasi yang mengikuti para sahabat, mengalami peningkatan pengumpulan dan organisasi hadis Nabi. Mereka meneruskan warisan sahabat dengan hati-hati, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, dan mengunjungi pusat- pusat penting, seperti Madinah, untuk mempelajari dan mendokumentasikan hadis. Ini adalah masa penyebarnya periwayatan hadis yang semakin tersebar dan terorganisir dalam berbagai kitab.

B. SARAN

Penulis dengan sepenuh kesadaran mengakui adanya kekurangan dalam makalah ini dan bahwa masih terdapat ruang untuk peningkatan. Dengan tekad untuk memperbaiki makalah ini, penulis akan mengambil panduan dari berbagai sumber serta menerima masukan yang membangun dari pembaca yang konstruktif.

(19)

14

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Akrom Fahmi. (1999). Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.

Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim. (Tidak ada tahun). Ushul al-Hadis al-Nabawi. Kairo: al- Hadisah li al Thaba’ah.

Alamsyah. (2013). Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya. Al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin, 14(2).

Endang H. Soetari. (1997). Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.

Idris. (2013). Studi Hadis. Jakarta: Kencana.

K. Ali. (1980). A Study of Islamic History. Delhi: Idarah al-Adabiyat Delhi.

Lukman Zain. (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya. Cirebon:

Dhiya Al Akfar.

M. Agus Sholihin dan Agus Suyadi. (2013). Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Mangunsuwito. (2011). Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing.

Jakarta: Widytama Pressindo.

Munzier Suparta. (2010). Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.

M. Hasbi Ash-Shiddieqy. (1974). Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis. Yogyakarta: Bulan Bintang.

Nuruddin ‘Itr. (Tidak ada tahun). Manhaj an-Naqd Fii Uluum al-Hadis. Damaskus: Dar al- Fikr.

Subhi as-Shalih. (2009). Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Syaikh Manna Al-Qathathan. (2005). Pengantar Studi Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Al – Kautsar.

Umi Sumbulah. (2010). Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.

Utang, Ranuwijaya. (1996). Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Zeid B. Smeer. (2008). Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: Malang Press.

Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ ats al-Sajistani. (Tidak ada tahun). Sunan Abu Dawud.

Beirut: Dar al-Fikr.

Referensi

Dokumen terkait

· Exhibit at the Cohen Gallery: Residue · Errant Landscapes · Filmideo + Comunidad: Tiffany Joy Butler · The Missing Piece · HR Tip of the Month · Cohen Conversation with Artists

1 MARSUM BAGELEN 2 SUKIYAH BAGELEN 3 SUKIYAH BAGELEN 4 EDGAR ARSHAQ ALFAREZEL BANYUURIP 5 FERA HARYANTI BANYUURIP 6 INTAN YATASYA CAROLINAWATI BANYUURIP 7 MUHAMMAD