• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perkembangan Hukum Amdal di IndonesiaXXIII

Awan Rusdi

Academic year: 2024

Membagikan "Sejarah Perkembangan Hukum Amdal di IndonesiaXXIII"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH HUKUM ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) DI INDONESIA

LAW HISTORY OF ENVIRONMENTAL IMPACT ANALYSIS (EIA) IN INDONESIA Oleh:

Awan A. Rusdi

1*

, Yoyon Setiawan

2,

Ano Junaedi

3,

Agus Satory

4

1, 2, 3,

Mahasiswa

4

Dosen Ilmu Hukum, SPS, Universitas Pakuan

*

E-mail: awan.a.rusdi@gmail.com

ABSTRAK. Sebagai sebuah intrumen yang penting dalam perlindungan lingkungan di Indonesia, Amdal telah mengalami beberapa perubahan sepanjang 1972-2022. Dilakukan penelitian perubahan perundangan Amdal dari periode tersebut dengan menggunakan metode yuridis normatif deskriptif dengan telaah pada literatur dan perundang-undangan. Sejarah Hukum Amdal dimulai saat partisipasi di Stockholm tahun 1972 pada Konferensi UNCHE.

Lahirlah Undang-Undang 4/1982 yang disempurnakan pemerintah dengan mengundangkan UU 23/1997. Diperbaharui kembali dengan UU 32/ 2009 tentang Perlindungan &

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan terakhir dengan UU 11/2020. Amdal berperan sebagai dasar penerbitan izin lingkungan berdampak pada pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Pada UUCK izin lingkungan berubah menjadi persetujuan.

Penghilangan Amdal dalam UUCK tidak sepenuhnya, hanya menghilangkan fungsi wajib Amdal bagi aktivitas bisnis yang tidak ada kepastian dan dasar yang gamblang.

Kata Kunci: Amdal, Sejarah, Hukum Lingkungan Hidup

ABSTRACT. As an important instrument for environmental protection in Indonesia, the EIA law has undergone several changes from 1972 to 2022. Research on changes to EIA legislation from that period was carried out using descriptive normative juridical methods with a review of literature and legislation. The history of Amdal in Indonesia began with participation in the UNCHE Conference in Stockholm in 1972. Law 4/1982 was born which was refined by the government by enacting Law 23/1997. Renewed with Law 32/2009 concerning Environmental Protection & Management and finally with Law 11/2020. EIA acts the basis for issuing environmental licenses which has an impact on preventing damage and pollution of environment. In the Job Creation Law, environmental permits changed to approval. The Job Creation Law does not completely eliminate EIA, but eliminates the mandatory EIA function for business activities without certainty and a clear basis.

Key Words: EIA, History, Law of Environment

(2)

1.PENDAHULUAN

Menurut Siahaan (2009) menyebutkan bahwa Amdal (kepanjangan dari Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan)

merupakan pemikiran mengenai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan lingkungan seperti yang dibahas pada Konferensi Stockholm 1972 maupun Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio De Jenairo 1992. KTT Rio lebih menekankan lagi bahwa Amdal adalah

“untuk melindungi lingkungan dengan pendekatan kehati-hatian yang harus diterapkan secara luas oleh negara-negara sesuai dengan kapabilitasnya”.

Penelitian Hukum Amdal (1994) dalam Siahaan(2009) mengemukakan pakar Amdal asal Kanada yang mendefinisikan

“Amdal sebagai suatu aktivitas (studi) yang dilakukan untuk mengidentifikasi, memprediksi, menginterpretasi dan mengkomunikasikan pengaruh suatu rencana aktivitas tersebut pada lingkungan. Secara legislasi oleh Hukum Lingkungan Amerika dalam NEPA 69 sebagai Amdal adalah proses sistematik identifikasi, prediksi, evaluasi dan presentasi konsekuensi dari tindakan yang diusulkan pada tahap proses pengambilan putusan kerusakan lingkungan yang serius dapat dihindari atau diminimalkan”.

Pasal 1 butir 21 dalam UU 23/1997 tentang PLH menjelaskan tentang Amdal sebagai “Analisis mengenai dampak lingkungan adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu bisnis dan/atau aktivitas yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggraaan suatu bisnis dana tau aktivitas”

Dengan berjalannya waktu maka undang-undang lingkungan hidup mengalami beberapa perubahan dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2020. Undang-undang juga mengamanatkan penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Amdal sebagai instrument penecegahan kerusakan lingkungan.

Peraturan Pemerintah (PP) mengenai Amdal juga mengalami penyesuaian dengan Undang-undang lingkungan hidup dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor

29/1986, Nomor 51/1993, Nomor 27 /1999, PP Nomor 27/2012 dan Nomor 22/2021 perihal perizinan lingkungan.

1.b. Tujuan dari riset ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan Amdal di Indonesia sampai yang terakhir dengan UU Ciptaker. Diharapakan penelitian ini mendapat gambaran proses dan fungsi Amdal di Indonesia.

2. METODE PENELITIAN

Metode yuridis normatif deskriptif jadi dasar penelitian dalam paper ini dengan telaah pada literature dan perundang-undangan yang terkait dengan perkembangan hukum Amdal pada periode 1972 – 2021.

3. HASIL PENELITIAN

3.a.Tahap Awal Amdal 1972 - 1982

Pembangunan dapat menjadi alat seluruh manusia agar mencapai tingkat kemakmuran, hal itu bisa dicapai bila semua sumber daya alam dan lingkungan tersedia dengan baik. Hadirnya pembangunan menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan berupa risiko ancaman yang dapat membuat kualitas lingkungan menurun, dan tidak lestari.

Adanya pembangunan tetap diperlukan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan manusia.

Kerugian-kerugian lingkungan dan risiko lainnya dapat dikurangi bila ada perencanaan atas suatu aktivitas yang memiliki peluang dapat memberikan dampak besar dan penting pada lingkungan. Dengan perencanaan yang mempertimbangkan manfaat dan dampak yang timbul pada lingkungan dilakukan dengan analisis Amdal (Siahaan, 2009).

Konferensi Stockholm 1972 atau dikenal sebagai UNCHE yang merupakan kepanjangan dari United Nation Conference on Human Environment banyak mendiskusikan kekawatiran pada issue-issue lingkungan di dunia. Kesepakatan Stockholm mencakup 26 prinsip pengelolaan lingkungan dan rekomedasi Rencana Aksi Lingkungan.

Inilah cikal bakal kepedulian dunia pada lingkungan.

Di Indonesia seminar lingkungan hidup pertama diadakan oleh Universitas Padjadjaran dengan tokoh utama Prof Otto Soemarworto dan Prof. Mochtar Kusumatmadja pada 1972. Seminar ini

(3)

menginspirasi pembentukan Lembaga Ekologi yang banyak memberi kontribusi pengambil kebujakan penanganan lingkungan dan pembangunan.

Pembahasan pertumbuhan ekonomi, pengendaian pencemaran lingkungan dan keberlangsungan kehidupan manusia di dunia dibahas pertama kali dalam dialog antara negara maju dan negara berkembang dalam Deklarasi Stockholm yang merupakan cikal bakal pembentukan Badan Dunia untuk Program Lingungan atau UNEP. Penetapan tersebut dijadikan landasan hari lingkungan hidup sedunia yang biasa dilaksanakan tiap tanggal 5 Juni.

Kelanjutan pasca Konferensi Stockholm kemudian pemerintah membentuk panitia berdasarkan Kepres 16/1972 dengan menunjuk JB Sumarlin sebagai ketua pantia pada Bidang Lingkungan Hidup. Hasil kerja panitia perumus diputuskan dengan dalam Tap MPR IV/1973 yang masuk dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dalam Repelita II Bab 4 perihal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

Seminar nasional pada 25 – 27 Maret 1976 kerja sama antara BPHN dengan Universitas Padjadjaran dengan focus pada aspek lingkungan secara kritis dari segi aspek hukum dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menteri Kehakiman, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, selaku Menteri Kehakiman, mengarahkan peserta seminar agar melakukan system pendekatan lebih menyeluruh hal-hal yang harus ditetapkan oleh hukum sehingga mampu mengatur lingkungan hidup lebih baik lagi.

Pembentukan pranata hukum dalam bentuk undang-undang untuk perlindungan lingkungan menjadi rekomendasi seminar.

Saran lainnya adalah perlunya pembentukan Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan serta perlu ada satu departemen yang menangani lingkungan dipimpin seorang menteri.

Keseriusan pemerintah pada lingkungan diwujudkan dengan Kepres No. 28 Tahun 1978 dengan pengangkatan Prof Emil Salim sebagai Meneg PLH yang pertama kali.

Kepres No. 25 Tahun 1983 mengubahnya menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Menteri Negara adalah menteri yang tidak memimpin suatu departemen pemerintahan dengan tugas pokok membantu presiden menangani dengan tugas

tertentu yang saat itu belum tertampung dalam suatu departemen.

Pemerintah juga membentuk Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) yakni suatu badan pemerintah non departemen dan dibentuk dengan Kepres No.

23 Tahun 1990. Bapedal memiliki atasan langsung ke Presiden dengan melaksanakan tugas operasional dikoordinasi oleh Meneg LH. Bapedal bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan dalam melakukan pencegahan serta penanggulangan kerusakan lingkungan dan pencemarannya termasuk pemulihan kualitas lingkungan dalam penyusunan pedoman pengendaliannya.

3.b. Proses Pembentukan Amdal (1982-1992) Menurut Hayatuddin & Aprita (2021) menyebutkan bahwa draft awal RUU lingkungan hidup telah dimulai dari tahun 1976 dilanjutkan dengan dibentuknya Pokja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup oleh Meneg PPLH pada Maret 1979.

Rapat antardepartemen mendiskusikan naskah RUU yang draftnya telah disiapkan panitia dilakukan pada tahun 1981 membahas persetujuan para menteri yang mewakili masing-masing departemen. Konsep RUU dibahas dan diperbaiki berdasarkan masukan wakil dari tiap departemen dan disampaikan pada menteri sekretaris negara. Hasil penyempurnaan RUU diajukan kepada presiden pada Januari 1982 danmenjadi RUU LH yang diajukan kepada pimpinan DPR.

Inilah cikal bakal Undang-undang 4/1982 Lingkungan Hidup.

Menurut M. Arief Nurdua, et.al, (1993) menyebutkan bahwa karakteristik Undang-udang 4/1982 tentang LH adalah:

1) UU 4/1982 sebagai undang-undang yang pertama tentang lingkungan hidup yang didasarkan atas konsepsi lingkungan hidup yang modern karenanya ia harus berperan sebagai pelopor bagi pembangunan dan pembinaan hukum lingkungan nasional.

Undang-undang tersebut merupakan batu pertama untuk nantinya akan dibangun suatu hukum Lingkungan Nasional Indonesia.

2) UU 4/1982 adalah suatu undang-undang yang berdasarkan kajian dengan konsepsi ilmiah karena berdasarkan prinsip-prinsip ekologi yang dijadikan undang-undang karenanya untuk memahami peraturan ini

(4)

dengan baik sangat diperlukan pemahaman atas ilmu ekologi dan lingkungan secara baik.

3) UU 4/1982 mengatur PLH secara garis besar dan belum bersifat operasional. UU ini akan efektif operasional dengan peraturan pelaksanaan di bawahnya.

4) UU 4/1982 tidak dianggap sebagai konsep final karena adanya beberapa kkurangsempurnaan yang pastinya akan terlihat seiring dengan berjalannya waktu.

Ikhtiar penyempurnaan harus terbuka kapan saja bilamana terlihat adanya kekurangan.

5) UU 4/1982 akan dikaitkan dengan dengan peraturan mengenai lingkungan yang berlaku sekarang walau berasal dari zaman kolonialisme maupun peraturan setelah Indonesia merdeka sehingga perlu adanya sinkronisasi di antara peraturan tersebut.

kebijakan LH yang baik menjadi hal yang penting karena menyangkut kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya masa kini dan mendatang.

Pembuatan kajian LH bertujuan untuk memperoleh keputusan kelayakan lingkungan atas suatu rencana menjalankan suatu aktivitas atau bisnis yang memberi pengaruh penting pada LH. Secara khusus, pembuatan Amdal lebih ditujukan untuk:

1) Memperoleh data dan keterangan terkait rencana aktivitas suatu bisnis;

2) Memperoleh keterangan awal yang nyata dan akurat tentang pengaturan lingkungan tempat aktivitas/bisnis yang aktivitas dan/atau bisnis yang diperkirakan memberi pengaruh penting pada berlangsung;

3) Memperoleh hasil perkiraan pengaruh yang penting dan signifikan atas suatu rencana aktivitas pada perubahan bagian lingkungan dan upaya melakukan mitigasi terhadap dampak penting yang ditimbulkan oleh rencana aktivitas dan/atau bisnis;

4) Memperoleh penilaian tentang pengaruh yang nyata pada rencana bisnis dan/atau aktivitas yang dapat berdampak penting terhadap perubahan kualitas lingkungan hidup; kelima, memperoleh program perencanaan pengelolaan dan pemantauan kualitas LH yang diperkirakan tidak luput pengaruh signifikan suatu rencana bisnis dan/atau aktivitas.

Secara administratif, tahapan Amdal meliputi penyaringan, pembuatan naskah

Amdal, evaluasi naskah Amdal , pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan dan hasil studi dan Amdal dari suatu bisnis dan/atau rencana aktivitas. Proses dan pedoman pembuatan Amdal ssemakin berkembang dan berubah seiring dengan perubahan Undang-Undang dan peraturan pendukung di bawahnya.

Amdal pada periode 1982-1992 ini aturan operasional menggunakan PP 29/1986 tentang Amdal. Beberapa hal penting dalam Amdal berdasarkan PP tersebut dalam periode ini adalah sebagai berikut:

1) Susunan Amdal berdasarkan peraturan pemerintah bahwa pemrakarsa proyek harus mengusulkan proyek kepada Menteri atau Penanggung Jawab aktivitas terkait.

Usulan tersebut memuat perlu tidaknya melengkapi aktivitas tersebut dengan Environmental Information Presentation (EIP). Persyaratan EIP atau penapisan awal adalah aktivitas mengubah lahan dan lanskap, eksploitasi sumber daya alam terbarukan dan tidak terbarukan, aktivitas yang menyebabkan penipisan, kerusakan atau deteriorasi sumber daya alam, aktivitas yang mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya, mempengaruhi kawasan konservasi dan warisan budaya, aktivitas pengenalan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati, serta penerapan teknologi aktivitas yang diperkirakan memiliki potensi dampak yang besar terhadap lingkungan.

2) Setelah aktivitas tersebut dinyatakan berdampak penting oleh menteri atau penanggung jawab, aktivitas tersebut harus dilengkapi dengan Amdal. Pedoman mengenai besaran dampak penting ditetapkan oleh menteri yang membidangi pengelolaan lingkungan hidup.

3) Jika pemrakarsa menganggap bahwa rencana tersebut akan berdampak signifikan terhadap lingkungan, pemrakarsa dan instansi yang bertanggung jawab langsung membuat kerangka acuan untuk pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan tanpa membuat Amdal terlebih dahulu.

4) Tidak perlu adanya analisis mengenai dampak lingkungan untuk rencana aktivitas yang segera dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat. Keputusan ini diambil setelah menteri atau penanggung jawab

(5)

berkonsultasi dengan menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup.

5) Apabila instansi yang bertanggung jawab dalam hal ini menteri atau gubernur menyatakan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan harus dilakukan, maka pemrakarsa harus membuat kerangka acuan dengan paling lambat 30 hari setelah ditetapkan oleh komisi.

6) Analisis mengenai dampak lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa kemudian diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab, dalam hal ini menteri atau gubernur, untuk dievaluasi oleh komisi. Komisi evaluasi memutuskan untuk menyetujui atau menolak analisis mengenai dampak lingkungan (paling lambat 90 hari setelah diputuskan oleh komisi). Jika komisi menolak, pemrakarsa harus merevisi proposal dan mengajukan kembali kepada komisi untuk mendapatkan persetujuan atas proposal tersebut.

penilaian dampak lingkungan (paling lambat 30 hari setelah diputuskan oleh komisi).

7) Apabila tenggat waktu penetapan kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan dilampaui oleh komisi, berdasarkan kekuatan peraturan pemerintah ini aktivitas tersebut memperoleh persetujuan.

8) Apabila hasil analisis mengenai dampak lingkungan menyatakan bahwa dampak negatif lebih besar dari dampak positif dan dampak tersebut tidak dapat diatasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, menteri atau gubernur dapat menolak rencana aktivitas tersebut. Selanjutnya pemrakarsa diberi waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan atas putusan tersebut. Dalam hal demikian, menteri atau gubernur diberikan waktu 30 hari untuk memproses keberatan pemrakarsa (jika melewati batas waktu, keberatan pemrakarsa dianggap diterima berdasarkan kekuatan peraturan pemerintah, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan dapat dibuat.

9) Setelah izin diberikan, pemrakarsa langsung menyampaikan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan kepada menteri atau gubernur dalam hal ini disebut sebagai instansi yang bertanggung jawab memberikan persetujuan.

10) Jika rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dinyatakan tidak sempurna oleh menteri atau gubernur berdasarkan evaluasi komisi, pemrakarsa diberi waktu 30 hari untuk merevisinya. Jika lewat batas waktu 30 hari, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dianggap telah disetujui. Pada periode ini, keputusan persetujuan Amdal merupakan keputusan yang sangat menentukan dapat tidaknya suatu aktivitas dilaksanakan. Namun apabila tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh pemrakarsa dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan, maka keputusan tersebut dianggap kadaluwarsa. Oleh karena itu, pemrakarsa harus mengajukan proposal baru.

Menteri atau gubernur dapat memberikan persetujuan ulang berdasarkan analisis dampak lingkungan baru, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan, atau dokumen lama yang masih dapat digunakan.

Selain kadaluwarsa, keputusan persetujuan Amdal dapat dinyatakan batal. Persetujuan tersebut batal apabila terjadi perubahan lingkungan yang mendasar akibat peristiwa alam atau peristiwa lain sebelum aktivitas tersebut dilakukan.

Jika ini terjadi, pemrakarsa harus membuat analisis dampak lingkungan baru berdasarkan kawasan lingkungan baru berdasarkan peraturan yang berlaku. Apabila lokasi sebelumnya telah memperoleh persetujuan Amdal dan mengalami perubahan lingkungan mendasar, pemrakarsa tidak perlu membuat informasi lingkungan baru dan lokasi yang mengalami perubahan mendasar dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat analisis dampak lingkungan baru.

3.c. Pada Dekade Ketiga (1992 -2002) Proses dan pedoman pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan pada periode ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebagai penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 16. Proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan dimulai dengan menentukan jenis bisnis atau aktivitas yang

(6)

diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan. Hal ini ditetapkan oleh menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan, setelah mempertimbangkan saran dan pendapat menteri atau penanggung jawab lembaga pemerintah nondepartemen.

Apabila telah ditetapkan rencana bisnis atau aktivitas untuk melakukan analisis mengenai dampak lingkungan, maka menurut Peraturan Pemerintah ini tahapan yang dilakukan dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan adalah sebagai berikut:

1) Pemrakarsa harus membuat kerangka acuan untuk pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan. Kerangka acuan diajukan kepada komisi analisis mengenai dampak lingkungan untuk mendapatkan koreksi atau umpan balik tertulis dalam waktu 12 hari. Jika tenggat waktu terlewati, kerangka acuan tersebut dinyatakan sah sebagai dasar pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan.

2) Setelah kerangka acuan disetujui oleh komisi analisis mengenai dampak lingkungan, pemrakarsa mulai membuat analisis mengenai dampak lingkungan, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan, dan menyerahkan kepada instansi yang bertanggung jawab, dalam hal ini menteri atau gubernur. Setelah dievaluasi oleh komisi analisis mengenai dampak lingkungan (dalam waktu 45 hari setelah dokumen diterima, komisi analisis mengenai dampak lingkungan harus menilai dan membuat keputusan tentang penerimaan atau penolakan dokumen).

Jika dalam waktu yang diberikan komisi belum mengambil keputusan, dokumen tersebut dinyatakan sah dan disetujui.

3) Jika rencana analisis dampak lingkungan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan ditolak, pemrakarsa diberi waktu 30 hari untuk melakukan revisi. Apabila dalam waktu yang diberikan komisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup belum mengambil keputusan, maka dokumen tersebut dinyatakan disetujui untuk diterima berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan.

4) Jika dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup menyimpulkan bahwa dampak negatif dari aktivitas tersebut tidak dapat diatasi berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan biaya

untuk mengatasi dampak tersebut lebih besar daripada dampak positifnya, menteri atau gubernur harus memutuskan untuk menolak. Terhadap putusan ini, pemrakarsa diberi waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan atas penolakan tersebut. Selanjutnya instansi yang bertanggung jawab dalam hal ini menteri yang membidangi bisnis dan/atau aktivitas berkoordinasi dengan menteri yang ditugasi menangani dampak lingkungan hidup untuk mengambil keputusan paling lambat 30 hari sejak pemrakarsa mengajukan keberatan atas penolakan aktivitas. Menurut Peraturan Pemerintah ini, keputusan dalam tata cara proses analisis mengenai dampak lingkungan di Indonesia ini merupakan keputusan final.

5) Persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan dinyatakan habis masa berlakunya apabila aktivitas tersebut tidak dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun sejak keputusan dikeluarkan. Apabila dinyatakan kadaluarsa, pemrakarsa dapat mengajukan permohonan persetujuan kepada instansi yang bertanggung jawab (Menteri yang membidangi aktivitas atau Gubernur). Lembaga memutuskan apakah dokumen sebelumnya dapat digunakan kembali atau harus diperbarui.

6) Keputusan persetujuan dinyatakan batal apabila terjadi perubahan lingkungan yang mendasar akibat peristiwa alam atau peristiwa lain sebelum dan selama aktivitas dilaksanakan. Selanjutnya, kondisi lingkungan yang telah mengalami perubahan mendasar dapat digunakan kembali sebagai gambaran baru tatanan lingkungan yang akan digunakan kembali sebagai dasar pembuatan dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Perbedaan peraturan pemerintah yang paling mendasar antara periode sebelumnya dan periode ini adalah bahwa EIP tidak dijadikan sebagai dasar penentuan pembuatan dokumen AMDAL, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Selain itu, durasi proses analisis mengenai dampak lingkungan berbeda. Peraturan pemerintah ini hanya memakan waktu maksimal 131 hari, sedangkan peraturan

(7)

pemerintah sebelumnya bisa memakan waktu maksimal 224 hari.

Masyarakat selalu berkembang, selalu mengikuti perubahan-perubahan, maka hukum harus bisa menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan yang terjadi di masyarakat. Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini menggantikan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1982.

UULH Tahun 1997 Tetap memuat konsep konsep yang semula dituangkan dalam UULH Tahun 1982, misalnya kewenangan Negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Lingkungan hidup, perizinan, Amdal, penyelesaian sengketa dan sanki pidana. Selain itu UULH Tahun 1997 memuat konsep konsep atau hal hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH Tahun 1982.

Misalnya dibidang hak masyarakat, UULH mengakui hak masyarakat untuk mendapatkan imformasi. Di bidang intrumen pengelolaan lingkungan UULH Tahun 1997 mengatur penetapan audit lingkungan. Dibidang penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan di pengadilan atas dasar kebebasan memilih para pihak. Di bidang sanksi pidana, UULH Tahun 1997 memperlakukan delik formil disamping materiil dan delik korporasi (Takdir Rahmadi, 2012).

Perkembangan lainnya adalah pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140) pada tanggal 3 Oktober 2009.

3.d. Pada Dekade Keempat (2002-2012), Periode 1998 hingga 2008 merupakan masa transisi reformasi. Pada periode ini, peraturan perundang-undangan mengalami perubahan sebagai akibat dari perubahan pemerintahan. Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1982. Undang- Undang ini telah disesuaikan dengan Undang- Undang sebelumnya.

3.e Dekade Kelima (2012-2022)

Peraturan Pemerintah tentang Amdaal dalam kurun waktu 2009 berpedoman pada UU No 32 Tahun 2009. Dalam undang- undang ini disebutkan dalam Pasal (14) bahwa salah satu instrumen untuk mencegah

kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah Amdal, dan karenanya merupakan salah satu instrumen dalam pemberian izin lingkungan, maka Pasal (41) mengamanatkan untuk mengatur izin lingkungan berupa Peraturan Pemerintah.

Peraturan pemerintah tersebut di atas adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pada periode ini, keputusan kelayakan lingkungan yang diperoleh melalui proses berikut analisis dampak lingkungan:

1. Rencana bisnis dan/atau aktivitas yang diperkirakan berdampak penting terhadap komponen lingkungan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan.

Ketentuan mengenai jenis bisnis dan/atau aktivitas yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012, sedangkan tata cara penilaian dan pemberian izin diatur dalam Peraturan Menteri.

Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan.

2. Pemrakarsa mengajukan term of reference kepada Komisi Pemeriksa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk diperiksa dan diaudit secara teknis guna mendapatkan persetujuan dari komisi.

Jangka waktu evaluasi kerangka acuan sampai dengan diterbitkannya surat persetujuan adalah paling lambat 30 hari kerja setelah dinyatakan lengkap secara administratif.

3. Setelah mendapat persetujuan kerangka acuan, pemrakarsa mengajukan analisis mengenai dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan untuk dievaluasi oleh Komisi Pemeriksa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk mendapatkan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan. Jangka waktu paling lama evaluasi sampai diperolehnya rekomendasi paling lama 75 hari kerja.

4. Berdasarkan rekomendasi dari Komisi Pemeriksa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, pemrakarsa akan memperoleh surat keputusan kelayakan lingkungan dan izin lingkungan dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(8)

Pasca berlakunya UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Ciptaker (UUCK), beberapa ketentuan khususnya terkait izin lingkungan dan pengaturan yang relevan menjadi tidak berlaku. UUCK mengganti terminologi izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan.

UUCK mengubah standar pengelolaan lingkungan berbasis risiko dampak terhadap lingkungan. Perizinan berbisnis berbasis risiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala bisnis aktivitas bisnis, serta berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. Penilaian tingkat bahaya dilakukan pada aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan/atau pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya, serta aspek lain yang sesuai dengan sifat aktivitas bisnis, dengan memperhitungkan jenis, kriteria, dan lokasi aktivitas bisnis, serta keterbatasan sumber daya dan/atau risiko volatilitas.

Sementara penilaian potensi terjadinya bahaya meliputi: hampir tidak mungkin terjadi, kemungkinan kecil terjadi, kemungkinan terjadi, atau hampir pasti terjadi. Berdasarkan penilaian tersebut, tingkat risiko dan peringkat skala bisnis aktivitas ditetapkan menjadi aktivitas bisnis berisiko rendah, menengah, atau tinggi.

Tidak hanya izin lingkungan, Amdal yang merupakan bagian penting dalam pengelolaan lingkungan hidup juga mendapatkan imbas lahirnya UUCK. Amdal yang sebelumnya dalam UUPPLH merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup serta prasyarat diterbitkannya izin lingkungan serta izin bisnis, mengalami perubahan dalam UUCK. Uji kelayakan lingkungan hidup dalam UUCK, dapat dilakukan sebelum atau saat aktivitas bisnis dimulai sesuai dengan dampak lingkungan. Tidak hanya itu, perizinan berbisnis juga dapat diterbitkan sebelum maupun sesudah diterbitkannya surat keputusan kelayakan lingkungan.

Adanya perubahan sebagaimana disebutkan di awal, diyakini dapat memperpendek mekanisme perizinan.

Ditambah lagi, persetujuan lingkungan dalam UUCK tidak secara eksplisit dan tegas dijelaskan sebagai perizinan yang terintegrasi.

UUCK yang bertujuan untuk memperpendek mekanisme perizinan, tetap memperhatikan lingkungan hidup (Sudarwanto et al., 2020).

4. KESIMPULAN

Sejarah Hukum Amdal di Indonesia dimulai pada tahun 1972 ketika Indonesia berpartisipasi dalam konferensi internasional UNCHE di Stockholm, Swedia. Mulai tahun 1973, Pemerintah RI mulai mengeluarkan program pembangunan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 dalam GBHN Bab III Bagian B butir (10). Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 sebagai undang- undang pertama di Indonesia yang mengatur Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang lingkungan hidup telah mengalami dua kali perubahan hingga saat ini, yaitu UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 32/2009 tentang PLH . Perubahan Undang-Undang tersebut diikuti dengan perubahan peraturan pemerintah tentang Amdal. Aturan PP 29/1986 yang menjalankan undang-undang diganti dengan PP 51/1993, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Amdal Izin Lingkungan. Status mengenai perizinan ini dianggap sebagai perubahan yang paling krusial dalam UU Ciptaker.

Dalam UU Ciptaker, izin lingkungan telah berubah menjadi persetujuan lingkungan oleh karena itu penilaian terhadap dokumen Amdal juga akan hilang dikarenakan juga komisi penilai Amdal telah dihapus dalam UU Ciptaker. Selanjutnya ketentuan tentang peran Amdal dan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan sebuah bisnis dan/atau aktivitas yang semula tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH berencana diubah dalam RUU Ciptaker Pasal 23. Serta dampak adanya UU Ciptaker disebutkan tidak sepenuhnya Amdal dihilangkan, tetapi akan menghapuskan fungsi wajib Amdal bagi sebagian besar aktivitas atau aktivitas bisnis tanpa adanya kepastian dan landasan yang jelas

.

5. DAFTAR PUSTAKA Perundang-undangan

(1) Undang-undang (UU) No. 4 Tahun

1982 Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup,

(9)

(2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

(4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Buku:

Hayatuddin, K. dan S. Aprita. 2021.

Hukum Lingkungan. Jakarta. Kencana.

Rahmadi, T., 2012. Hukum Lingkungan di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta. Pancuran Alam.

Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan).

Deepublish. Yogyakarta.

Jurnal:

Febriyanti, D.; S.N. Aini; A. V. Resta dan R. Bagaskara P.K.P. 2021. Fungsi

AMDAL Dalam Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Setelah Diundangkannya UU Cipta Kerja. Jurnal Widya Pranata Hukum. Vol. 3, No. 2.

Dhiksawan, F.S, S. P. Hadi, A. Samekto, D. P. Sasongko. 2018. History of environmental impact assessment in Indonesia. Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. 2(1): 55 68.

Meta, K.. 2015. Perspektif Historis Dan Perbandingan Pengaturan Masalah Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.6 (1) 67–76 Sudarwanto, AL Sentot dan D.B.

Kharisma. 2020. Omnibus Law Dan Izin

Lingkungan Dalam Konteks

Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal

Media Pembinaan Hukum Nasional Rechtsvinding, Vol 9 (1) :109.

Ubaiyana & K. Viri, 2022. Perijinan Lingkungan Terintegrasi Pasca Berlakunya Undang-undang Cipta Kerja.

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol.

19 No. 1 : 33-47

Wagner, I.. 2020. Maju Mundur Transformasi Aturan Mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Diktum.

Volume 8 (2)

Referensi

Dokumen terkait

Mengidentifikasi latar belakang dan dampak kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Liberal. Menganalisis perkembangan perekonomian Indonesia pada

Pasal 36 angka (1) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal

Lingkungan Hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan pentinga. suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penegakan hukum lingkungan terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) reklamasi pantai di Kota Bandar Lampung,

Dalam rangka penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 308 tahun 2005, Tim

CSS Indonesia untuk lingkungan secara bertahap telah berkembang sebagai instrumen penilaian dampak lingkungan khusus proyek (analisis Dampak Lingkungan; AMDAL) sejak tahun

Ketepatan menguraikan proses penyusunan dokumen KA- AMDAL dan AMDAL 5% 9 Mahasiswa mampu menelaah C4 kajian dampak lingkungan dengan mendiskusikan A2 metode identifikasi prediksi

"POLITIK HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP", FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum,