• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selamat Datang - Digital Library

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Selamat Datang - Digital Library"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH VARIASI H2SO4 PADA PEMBUATAN NANOSELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

(Skripsi)

Oleh MEGA PERTIWI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(2)

i ABSTRAK

PENGARUH VARIASI H2SO4 PADA PEMBUATAN NANOSELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

Oleh

Mega Pertiwi

Telah dilakukan pembuatan nanoselulosa dari bahan tongkol jagung dengan metode hidrolisis asam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi H2SO4 terhadap karakteristik nanoselulosa yang dihasilkan dari tongkol jagung dan morfologi permukaannya. Variasi H2SO4 yang digunakan adalah 5, 10, 15, dan 20%. Karakterisasi yang digunakan adalah X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microsopy (SEM). Hasil karakterisasi XRD menunjukkan ukuran kristalit yang didapat sudah sesuai dengan ukuran kristalit nanoselulosa pada umumnya yaitu berkisar antara 1,79-2,59nm dan didapatkan hasil indeks kristalinitas 57,76-61,40%. Hasil karakterisasi SEM memperlihatkan morfologi permukaan nanoselulosa yang dihasilkan menggumpal dan tidak berpori.

Kata kunci: Asam sulfat, Hidrolisis asam, Nanoselulosa, Selulosa, Tongkol jagung.

(3)

ii ABSTRACT

THE EFFECT OF H₂SO4 VARIATIONS ON THE MANUFACTURING OF NANOCELLULOSE FROM CORN COB

By

MEGA PERTIWI

The manufacture of nanocellulose from corn cobs has been carried out using the acid hydrolysis method. This study aims to determine the effect of variations in H2SO4 concentrations on the characteristics of nanocellulose produced from corn cobs and their surface morphology. The variations of H2SO4 used were 5, 10, 15, and 20%. The characterizations used are X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning- Electron Microscopy (SEM). The results of XRD characterization showed that the crystallite size obtained was in accordance with the size of the nanocellulose crystallites in general, which ranged from 1,79-2,59nm and the crystallinity index ranged from 57,76-61,40%. The result of SEM characterization showed that the surface morphology of the resulting nanocellulose was lumpy and non-porous.

Keywords: Acid hydrolysis, Cellulose, Corn Cob, Nanocellulose, Sulfuric acid.

(4)

HALAMAN JUDUL

PENGARUH VARIASI H2SO4 PADA PEMBUATAN NANOSELULOSA DARI TONGKOL JAGUNG

Oleh Mega Pertiwi

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2022

(5)
(6)
(7)
(8)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 07 Juni 1999, yang merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Widodo dan Ibu Atik Rahayu. Penulis memulai pendidikan pertama kali di Taman Kanak-kanak (TK) Dharma Wanita dan menyelesaikannya pada tahun 2006, lalu melanjutkan pendidikan dasar di SDN 01 Bumi Dipasena Mulya dan menyelesaikannya pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) AL-Muhsin dan menyelesaikannya pada tahun 2014. Selanjutnya penulis menyelesaikan Madrasah Aliyah di MA AL- Muhsin pada tahun 2017.

Selanjutnya pada tahun 2018 penulis tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lampung pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang diterima melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti program Kredensial Mikro Mahasiswa Indonesia (KMMI) di Universitas Gajah Mada course Entrepeneur Public Speaking dan program Studi Independen Kampus Merdeka di Microsoft Teams. Pada Tahun 2021 penulis melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung dengan judul “Analisis

(9)

viii

Produksi Jagung di Kota Bandar Lampung Tahun 2014-2018 Menggunakan Metode Interplasi Linier dan Polinomial Lagrange. Kemudian penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Variasi H2SO4 pada Pembuatan Nanoselulosa dari Tongkol Jagung” dimana dilakukannya penelitian ini untuk menyelesaikan tugas akhir di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(10)

ix

PERSEMBAHAN

Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, tulisan ini saya persembahkan:

Untuk Ayah dan Ibu yang telah membesarkan, membimbing, mendidik serta selalu memberikan semangat dan mendoakan hingga saat ini.

Untuk kakak yang selalu memberikan dukungan dan doa.

Dan untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu membantu serta memberikan dukungan dan semangat.

Serta Almamater tercinta Universitas Lampung.

(11)

x MOTTO

“Jika kamu tak dapat melakukan hal yang besar, lakukan hal kecil dengan

cara yang hebat”

-Napolean Hill-

(12)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kupanjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya dan kesehatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Variasi H2SO4 Pada Pembuatan Nanoselulosa Dari Tongkol Jagung”. Tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains di Program Studi Sarjana Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

Penulispun menyadari masih banyak kekurangan serta kekeliruan dalam penulisan skripsi ini.Sehingga, penulis meminta kritik dan saran yang dapat membangun

dalam pembuatan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 14 November 2022

Mega Pertiwi

(13)

xii SANWACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kemudahan, kelancaran dan atas berkat karunia-Nya penulis dapat membuat hasil penelitian yang berjudul “Pengaruh Variasi H2SO4 Pada Pembuatan Nanoselulosa Dari Tongkol Jagung“. Penulisan skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik berupa tenaga maupun pemikiran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Posman Manurung, Ph.D. selaku pembimbing pertama, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, masukan serta ilmunya dibidang akademik maupun non akademik.

2. Ibu Sri Wahyu Suciyati S.Si., M.Si. sebagai pembimbing kedua yang telah memberikan saran serta komentar yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Pulung Karo-Karo, M.Si. sebagai penguji yang telah memberikan koreksi selama penulisan ini.

4. Orang tua dan kakak yang selalu meberikan dukungan dan do’a.

5. Faradilla, Shabrina dan Rosanti selaku teman penelitian yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(14)

xiii

6. Irfan Abdurrahman Nur Arivin yang telah menemani dan memberikan semangat selama ini.

7. Sayyidah, Mayola, Eza atas bantuannya selama pesnyelesaian skripsi dan masa kuliah.

8. Sahabat serta teman-teman yang telah membantu dan memberikan semangat.

9. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Semoga Allah SWT selalu membalas dengan hal yang lebih baik lagi atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Bandar Lampung, 14 November 2022

Mega Pertiwi

(15)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

PERSEMBAHAN ... ix

MOTTO ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWACANA ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Batasan Masalah ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 5

(16)

xv II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nanomaterial ... 6

B. Selulosa ... 7

C. Nanoselulosa ... 9

D. Jagung ... 13

E. Metode Hidrolisis Asam ... 14

F. X-Ray Diffraction (XRD) ... 17

G. Sccanning Electron Microsopy (SEM) ... 21

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

B. Alat dan Bahan ... 26

C. Prosedur Penelitian ... 26

1. Preparasi Sampel ... 27

2. Isolasi Selulosa ... 27

3. Isolasi Nanoselulosa ... 28

4. Karakterisasi ... 28

D. Diagram Alir Penelitian ... 29

IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Pembuatan Nanoselulosa ... 30

B. Hasil Analisis Kualitatif X-Ray Diffraction ... 33

C. Hasil Analisis Kuantitatif X-Ray Diffraction ... 36

D. Hasil Analisis Scaning Electron Microsopy ... 39

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 42

B. Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2. 1. Struktur molekul selulosa (Klemm et al., 2005) ... 7

2. 2. Proses pemisahan lignoselulosa (Lee et al., 2014) ... 8

2. 3. Distribusi ukuran partikel nanoselulosa (Ali et al., 2020) ... 10

2. 4. Struktur nanoselulosa (Taib et al., 2018) ... 10

2. 5. Buah jagung ... 14

2. 6. Diagram skematis selulosa nanokristalin yang dibuat dengan hidrolisis asam (Moon et al., 2011) ... 16

2. 7. Pola XRD tongkol jagung (Silvério et al., 2013) ... 20

2. 8. Skema interaksi antara elektron dan sampel dalam SEM ... 22

2. 9. Skema kerja SEM (Bradbury et al., 2019) ... 24

2.10.SEM dari selulosa (B1) dan nanoselulosa (B2) yang diekstraksi dari tongkol jagung (Harini & Mohan, 2020) ... 25

3. 1. Diagram alir penelitian ... 29

4. 1. a. Serbuk tongkol jagung b. Hasil delignifikasi c. Hasil bleaching ... 32

4. 2. Difaktogram XRD nanoselulosa tongkol jagung dengan variasi H2SO4 ... 33

4. 3. Hasil refinement XRD dengan variasi H2SO4 1) sampel 1 5%, 2) sampel 2 10%, 3) sampel 3 15%, 4) sampel 4 20% ... 37

4. 4. Hasil SEM nanoselulosa tongkol jagung variasi konsentrasi H2S04 10% .... 40

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2. 1. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung (Mendes et al., 2015). ... 14

3. 1. Variasi konsentrasi asam ... 28

4. 1. Ukuran kristalit nanoselulosa. ... 34

4. 2. Indeks kristalinitas nanoselulosa. ... 35

4. 3. Hasil refinement data XRD nanoselulosa. ... 38

4. 4. Parameter sel nanoselulosa fasa Iα... 38

4. 5. Parameter sel nanoselulosa fasa Iβ. ... 39

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian dan penerapan nanoteknologi telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir. Nanoteknologi dianggap sebagai salah satu perubahan teknologi dari revolusi industri 4.0. Penelitian dan perkembangan nanoteknologi telah berkembang pesat di pasar global dengan perkiraan melebihi $125 miliar pada tahun 2024 (Alsaleh, 2021). Menurut Duncan (2011), nanoteknologi melibatkan karakterisasi, fabrikasi dan manipulasi struktur perangkat atau bahan yang memiliki setidaknya satu dimensi yang panjangnya sekitar 1-100 nm. Ketika ukuran partikel dikurangi hingga mencapai batas ini, bahan yang dihasilkan menunjukkan sifat fisik dan kimia yang secara signifikan berbeda dari sifat bahan skala makro yang terdiri dari zat yang sama. Penelitian di bidang nanoteknologi telah meroket selama dekade terakhir, dan sudah ada banyak perusahaan yang mengkhususkan diri dalam pembuatan bentuk-bentuk baru materi berukuran nano, dengan aplikasi yang mencakup terapi medis dan diagnostik, produksi energi, komputasi molekuler dan bahan struktural.

Selulosa merupakan salah satu polimer alam yang paling banyak dimanfatkan dalam industri, dengan bantuan teknologi nano selulosa dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi yaitu nanoselulosa.

(20)

2

Nanoselulosa merupakan salah satu ilmu dibidang nanoteknologi nanomaterial.

Berdasarkan sumbernya selulosa terbagi menjadi selulosa kayu, selulosa tanaman dan sisa tanaman, selulosa berbasis alga dan selulosa berbasis tunicate (Klemm et al., 2011).

Proses isolasi nanoselulosa dari selulosa bisa dilakukan dengan menggunakan banyak metode salah satunya yaitu metode hidrolisis asam. Konsentrasi asam mempengaruhi nanoselulosa yang dihasilkan, semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan maka semakin banyak reaksi hidrolisis yang terjadi dan semakin banyak daerah yang terkena reaksi asam sehingga mikrofibril selulosa hilang dan mengakibatkan produk yang dihasilkan menurun (Steven et al., 2021). Jenis asam yang sering digunakan pada metode hidrolisis asam yaitu asam klorida (HCL), asam sulfat (H2SO4), asam format (CH2O2) dan asam nitrat (HNO3). Hidrolisis asam menggunakan asam encer memiliki keunggulan seperti dampak yang rendah terhadap lingkungan dan biaya bahan baku yang rendah (Cheng, 2015). Kelebihan hidrolisis asam menggunakan asam sulfat menghasilkan suspensi yang stabil dari nanoselulosa yang bermuatan negatif, karena adanya gugus sulfat (Silvério et al., 2013). Dari penelitian yang dilakukan Liu (2016) serat nanoselulosa yang dihidrolisis dengan asam format cenderung menggumpul bersama sedangkan yang dihidrolisis dengan asam sulfat jauh lebih menyebar dengan baik karena adanya gugus sulfat pada permukaan nanoselulosa yang dihidrolisis oleh asam sulfat.

Tongkol jagung termasuk jenis limbah sisa tanaman yang diketahui mengandung banyak selulosa. Produksi jagung di Indonesia cukup besar menurut data dari Kementrian Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2018 produksi jagung di

(21)

3

Indonesia mencapai 30.055.623 ton dengan luas lahan 5.734.326 ha sedangkan pada tahun sebelumnya hanya mencapai 28.924.015 ton dengan luas lahan 5.533.169 ha. Produksi jagung meningkat sebanyak 24,15% dari total produksi jagung di Indonesia pada tahun sebelumnya (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2022).

Seiring dengan meningkatnya produksi jagung maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri berbahan jagung. Jagung umumnya hanya diambil bagian dagingnya saja, sedangkan tongkol dan kulitnya akan menjadi limbah.

Tongkol jagung memiliki kandungan komposisi kimia yaitu haloselulosa 68-78%

(selulosa 31-39 %, hemiselulosa 34-41%) lignin 2-14% dan abu 3-7% (Mendes et al., 2015). Pemanfaatan limbah merupakan salah satu cara alternatif untuk menaikkan nilai ekonomi dari limbah tersebut. Beberapa penelitian tentang pemanfaatan limbah tongkol jagung telah dilakukan seperti Song et al., (2013) memanfaatkan limbah tongkol jagung untuk bahan pembuatan karbon aktif, Yah et al., (2010) membuat bahan bakar cair alternatif bioetanol dari tongkol jagung, Tsai et al., (2001) membuat adsorben karbon dari tongkol jagung dan Silvério et al., (2013) memanfatkan tongkol jagung sebagai bahan pembuatan nanoselulosa. Maka dalam penelitian ini limbah pertanian tongkol jagung dimanfaatkan menjadi bahan sumber sintesis nanoselulosa sehingga dapat bermanfaat bagi peningkatan nilai limbah pertanian.

Beberapa penelitian tentang pembuatan nanoselulosa telah dilakukan seperti (Li et al., 2012) membuat nanoselulosa dengan metode ultrasonikasi pada mikrostalin selulosa didapatkan nanoselulosa yang memiliki diameter 10nm sampai 20 nm dan

(22)

4

panjang 50nm sampai 250 nm. Liu et al., (2016) membuat nanoselulosa dari tongkol jagung dengan metode hidrolisis asam menggunakan jenis asam sulfat didapatkan nanoselulosa yang panjangnya 198 ± 51 nm dan diameter 5,5 ± 1,5 nm dan indeks kristalinitas 55,9%. Ditzel et al., (2017) membuat nanoselulosa dari tongkol jagung dengan metode hidrolisis asam didapatkan indeks kristalinitas sebesar 70,9%.

Oleh karena itu, peneliti akan membuat nanoselulosa dari tongkol jagung menggunakan metode hidrolisis asam dan uji karakterisasi XRD dan SEM. Asam yang digunakan yaitu asam sulfat, dengan konsentrasi 5%, 10%, 15% dan 20%.

Variasi asam tersebut digunakan untuk mencari konsentrasi yang paling optimum dalam pembuatan nanoselulosa dari tongkol jagung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dibuat rumusan masalah:

1. Apakah terdapat perbedaan terhadap karakteristik nanoselulosa dari tongkol jagung setelah pemberian asam dengan berbagai variasi konsentrasi penambahan asam sulfat?

2. Bagaimana morfologi permukaan dari tongkol jagung setelah pemberian asam dengan berbagai variasi konsentrasi penambahan asam sulfat?

(23)

5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian sintetis dan karakterisasi nanoselulosa dari tongkol jagung adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik nanoselulosa dari tongkol jagung setelah pemberian asam dengan berbagai variasi kosentrasi penambahan asam sulfat.

2. Untuk mengetahui struktur morfologi permukaan dari tongkol jagung setelah pemberian asam dengan berbagai variasi konsentrasi penambahan asam sulfat.

D. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tongkol jagung yang digunakan dikeringkan dan dihaluskan.

2. Proses hidrolisis asam yang dilakukan menggunakan asam sulfat (H2SO4).

3. Kadar asam sulfat yang digunakan yaitu 5%, 10% 15% dan 20%.

4. Nanoselulosa yang didapat akan diuji karakteristiknya dengan XRD dan SEM.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang kondisi optimal volume H2SO4 dalam pembuatan nanoselulosa dari tongkol jagung.

2. Memberikan informasi mengenai perkembangan pembuatan nanoselulosa kepada peneliti lain.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nanomaterial

Nanomaterial adalah bidang ilmu material dengan pendekatan berbasis nanoteknologi. Kata “nano” berasal dari bahasa Yunani yaitu “nanos’ yang berarti kerdil atau kecil. Nanoteknologi dapat didefinisikan sebagai desain, sintesis, dan aplikasi bahan atau perangkat yang ukuran dan bentuknya telah direkayasa pada skala nano. Nanometer adalah satuan panjang yang menunjukkan seperjuta meter atau 109 (Buzea et al., 2007).

Nanoteknologi merupakan pengetahuan dan kontrol material pada skala nano dalam dimensi antara 1-100 nanometer. Ukuran partikel yang sangat kecil tersebut dimanfaatkan untuk mendesain dan menyusun atau memanipulasi material dengan sifat dan fungsi baru. Nanoteknologi merupakan fenomena unik yang dapat diaplikasikan dalam bidang teknologi informasi, kesehatan, pertanian, industri dan lain lain (Clunan, 2014). Jadi dapat disimpulkan nanomaterial adalah suatu bahan atau material yang memiliki ukuran sangat kecil pada skala nano (1-100 nm).

Nanomaterial dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur dimensi:

1. Nanomaterial satu dimensi

Nanomaterial satu dimensi yaitu jika material tersebut memiliki ukuran nano dalam satu dimensi saja. Misalnya memiliki ketebalan yang

(25)

7

berukuran nano sedangkan panjang dan lebarnya bebas contohnya seperti lapisan graphene, lapisan tipis dan pelapis (coatings).

2. Nanomaterial dua dimensi

Nanomaterial dua dimensi yaitu jika material tersebut memiliki ukuran nano dalam dua dimensi. Misalnya memiliki ketebalan dan lebar yang berukuran nano seperti kabel nano (nanowires) atau kabel kuantum (quantum wires), tabung nano (nanotubes) dan serat nano (nanofibers).

3. Nanomaterial tiga dimensi

Nanomaterial tiga dimensi adalah material yang tidak terbatas pada skala nano dalam dimensi apapun misalnya nanopartikel dan titik kuantum (Talebian et al., 2021).

B. Selulosa

Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul yang tinggi, terdiri dari blok bangunan D-glucose yang bergabung dengan ikatan β-1,4glucosidic. Dalam selulosa asli, lebih dari 10.000 β-D-glukosa dihubungkan untuk membentuk molekul rantai panjang (Fan et al., 1987). Selulosa memiliki struktur molekul seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1. Struktur molekul selulosa (Klemm et al., 2005).

Di alam, selulosa tidak terbentuk sebagai molekul individu yang terisolasi, tetapi ditemukan sebagai rakitan serat pembentuk rantai selulosa individu (Habibi et al.,

(26)

8

2010).Lignoselulosa merupakan kumpulan struktur supermolekul yaitu gabungan antara selulosa, hemiselulosa, lignin, abu dan lain-lain dimana selulosa dibungkus oleh struktur padat yang dibentuk oleh hemiselulosa dan lignin, sehingga membentuk struktur spasial yang kompleks dengan jaringan tiga dimensi (Zhang, 2008). Biomasa lignoselulosa memiliki struktur kristal yang tinggi pada polimer lignin dan hemiselulosa yang menyebabkan terjadinya recalcitrance. Recalcitrance merupakan ketahanan dinding sel tumbuhan terhadap dekonstruksi. Recalcitrance ini menyebabkan kendala saat pemisahan antara selulosa, hemiselulosa dan lignin untuk berbagai aplikasi yang berbeda. Maka dari itu dilakukan perlakuan secara kimia untuk mengatasinya agar dapat mengubah ukuran dan struktur biomassa dengan melakukan pemisahan selulosa dari polimer matriks dan agar dapat terjadinya hidrolisis asam untuk mengubah selulosa menjadi nanoselulosa (Lee et al., 2014). Proses pemisahan lignoselulosa menjadi selulosa, hemiselulosa dan lignin dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2. 2. Proses pemisahan lignoselulosa (Lee et al., 2014).

(27)

9

Variasi polimorf selulosa tergantung pada sumber biomassa lignoselulosa dan metode pengolahannya. Secara umum terdapat empat jenis alomorf selulosa yaitu selulosa tipe I, II, III, dan IV.

• Selulosa tipe I adalah selulosa yang diproduksi alami oleh berbagai organisme (pohon, tumbuhan, alga, bakteri dan tunicates) atau disebut sebagai selulosa alami. Selulosa I memiliki dua polimorf yaitu struktur triklinik (Iα) dan struktur monoklinik (Iβ) yang bergantung pada sumber selulosa. Struktur Iα adalah polimorf yang mendominasi pada sebagian besar alga dan bakteri, sedangkan polimorf Iβ dominan terdapat pada selulosa dinding sel tumbuhan tingkat tinggi dan tunicates.

• Selulosa tipe II adalah selulosa tipe I yang dilakukan proses meresinasi atau regenerasi (pelarutan dan rekristalisasi).

• Selulosa tipe III adalah selulosa tipe I atau II yang diberi perlakuan amonia (gas atau cair) atau berbagai amina.

• Selulosa tipe IV adalah modifikasi selulosa III dengan pemanasan hingga 260°C dalam gliserol (Moon et al., 2011).

C. Nanoselulosa

Nanoselulosa merupakan selulosa yang memiliki diameter berukuran nano dan mempunyai sifat berbeda dari selulosa alami (Biao et al., 2011). Nanoselulosa memiliki ukuran partikel yang beragam, dari Gambar 2.3 dapat dilihat distribusi partikel nanoselulosa berdasarkan fraksi volume memiliki ukuran berkisar antara 0,30 sampai 7,00 nm.

(28)

10

Gambar 2. 3. Distribusi ukuran partikel nanoselulosa (Ali et al., 2020).

Nanoselulosa berbeda dengan selulosa alami karena nanoselulosa memiliki sifat- sifat khas seperti lebih kuat, rasio permukaan terhadap volume lebih besar, kemampuan mengikat air yang tinggi dan kekuatan tarik yang tinggi (Ieolovich, 2012). Nanoselulosa memiliki struktur molekul seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2. 4. Struktur nanoselulosa (Taib et al., 2018).

Nanoselulosa terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

1. Nanofibrillated cellulose (NFC)

NFC atau yang biasa disebut nanofibril, selulosa nanofibrilasi disintesis dari plup kayu kemudian mengalami proses pre-treatment (enzimatik, kimia, atau mekanik) dan proses homogenisasi. NFC memiliki ukuran

(29)

11

diameter berkisar antara 5-60 nm dan panjangnya beberapa mikrometer (Klemm et al., 2011). NFC biasanya didapatkan dengan memberi perlakuan mekanis terhadap selulosa fibril, sehingga serat akan terkelupas dan ikatan interfibrilar antara molekul selulosa akan putus dan menghasilkan nanofibril dengan diameter dan panjang serat mulai dari nanometer hingga mikrometer. Perlakuan mekanis yang umum untuk CNF adalah pemurnian pulp, diikuti dengan homogenisasi, yang akan mengindividualisasikan nanofibril dan memberikan dispersi yang stabil ketika diencerkan dalam air (Turbak et al., 1983). Teknik lain untuk menghasilkan CNF adalah melalui regenerasi dan electrospinning dari lelehan polimer selulosa (Kamel, 2007).

2. Nanocrsytalline cellulose (NCC)

NCC atau yang biasa disebut nanokristal selulosa disintesis dengan metode hidrolisis asam. NCC memiliki ukuran diameter sekitar 5-70 nm dengan panjang sekitar 100-250nm jika selulosa bersumber dari tumbuhan dan.

100nm sampai beberapa mikrometer jika selulosa bersumber dari alga. NCC biasanya didapatkan dengan menggunakan metode kimia. NCC didapatkan dengan menghilangkan bagian amorf dari sumber selulosa yang dimurnikan dengan hidrolisis asam, jenis asam yang digunakan mempengaruhi permukaan NCC (Klemm et al., 2011).

3. Bacterial cellulose (BNC)

BNC adalah selulosa bakteri yang disintesis dari gula atau alkohol dengan bantuan sintesis bakteri. BNC memiliki ukurran diameter sekitar 20-100 nm (Klemm et al., 2011). BNC merupakan hasil sintesis dari bakteri aerobik seperti bakteri asam asetat yaitu Gluconacetobacter spp. yang berbentuk

(30)

12

selulosa murni dengan diameter berukuran nano. BNC memiliki karakteristik yang unik jika dibandingkan dengan selulosa tanaman yaitu selulosa dari bakteri merupakan selulosa murni (Gatenholm & Klemm, 2010) memiliki derajat polimerisasi yang tinggi yaitu mencapai 2000 sampai 6000 (Klemm et al., 2001), memiliki kapasitas menahan air yang tinggi dibandingkan dengan selulosa tanaman, karena memiliki ikatan hidrogen yang lebih kuat dan lebih banyak jika dibandingkan dengan selulosa tanaman (Watanabe et al., 1998). Beberapa kelemahan dengan BNC adalah ketersediaan selulosa bakteri yang rendah, proses yang tidak efisien dalam mensintesis selulosa bakteri serta biaya tinggi yang membuat sulit untuk membuat BNC (Czaja et al., 2006).

Nanoselulosa dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti:

1. Aplikasi pada bidang medis

Nanoselulosa dapat digunakan untuk pembuatan perban luka antimikroba karena memberikan efek lembab pada luka sehingga membantu penyembuhan luka menjadi lebih baik (Maneerung et al., 2008), dalam bidang medis juga nanoselulosa digunakan sebagai penghantar obat yang telah disesuaikan dengan menghitung laju pelepasan obat dan tingkat obat selanjutnya. Hidrogel berbasis nanoselulosa yang umunya digunakan untuk pengantar obat (Yadav et al., 2016).

2. Aplikasi pada bidang elektronik industri

(31)

13

Nanoselulosa juga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan elektroda untuk mendapatkan perangkat penyimpanan energi berbasis kertas dengan kinerja pada tingkat pengisian dan pengosongan yang tinggi serta ramah lingkungan (Razaq et al., 2012).

3. Aplikasi Pada bidang komposit

Nanoselulosa juga dapat digunakan sebagai bahan tambahan pembuatan film biokomposit, penambahan nanoselulosa sebagai penguat meningkatkan sifat mekanik film, dan meningkatkan kekuatan tarik film sehingga film biokomposit yang dihasilkan memiliki potensi tinggi untuk digunakan sebagai bahan pengemas berkekuatan tinggi (Sirviö et al., 2014).

4. Aplikasi pada bidang lainnya

Nanoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk percetakan 3 dimensi (Tenhunen et al., 2018).

D. Jagung

Tanaman jagung tersebar di seluruh Indonesia, di provinsi Lampung produksi jagung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tercatat pada tahun 2018 meningkat sebanyak 2,47% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 hasil panen jagung di provinsi Lampung 2.581.224 ton sedangkan pada tahun sebelumnya sebanyak hanya mencapai 2.518.895 ton (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2022). Tidak semua bagian jagung dapat dimanfaatkan. Buah jagung terdiri dari biji dan tongkol seperti pada Gambar 2.5.

(32)

14

Gambar 2. 5. Buah jagung.

Jagung umumnya hanya dimanfaatkan bagian bijinya, sisanya menjadi limbah termasuk tongkol jagung. Tanaman jagung sendiri memiliki kandungan lignoselulosa seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung (Mendes et al., 2015).

Lignoselulosa Tongkol jagung Hemiselulosa (%) 34-41

Selulosa (%) 31-39

Lignin (%) 2-14

Abu (%) 3-7

Semakin banyak produksi jagung maka semakin banyak juga limbah jagung yang dihasilkan. Karena tongkol jagung mengandung lignoselulosa serta memiliki kandungan selulosa yang tinggi serta banyaknya limbah tongkol jagung maka dapat dimanfaatkan untuk pembuatan nanoselulosa.

E. Metode Hidrolisis Asam

Ada beberapa metode untuk membuat nanoselulosa yaitu metode mekanik, kimia dan biologi, salah satunya yaitu metode kimia dengan hidrolisis asam. Hidrolisis asam pertama kali diperkenalkan oleh Nickerson dan Habrle (1947).

(33)

15

Mereka menemukan bahwa degradasi selulosa dalam keadaan asam dan suhu tinggi berhenti hingga kondisi seluruh fase amorf telah terdegradasi sempurna dan hanya menyisakan fase kristal selulosa.

Hidrolisis asam meliputi hidrolisis asam pekat dan hidrolisis asam encer. Asam yang biasanya digunakan dalam hidrolisis asam yaitu asam klorida, asam sulfat, asam format dan asam nitrat. Hidrolisis asam pekat dapat meyebabkan korosi pada peralatan dan pencemaran lingkungan yang sulit untuk didaur ulang. Hidrolisis asam encer biasanya menggunakan asam anorganik seperti asam sulfat atau asam klorida sebagai katalis. Hidrolisis asam encer memiliki keunggulan seperti konsentrasi asam yang rendah memiliki dampak yang rendah terhadap lingkungan, pengolahan limbah yang sederhana, dan biaya bahan baku yang rendah. Faktor- faktor yang mempengaruhi hidrolisis asam encer termasuk bahan baku selulosa, rasio cair-padat, suhu reaksi, waktu reaksi dan jenis serta konsentrasi asam (Cheng, 2015).

Perlakuan asam (hidrolisis asam) adalah proses utama yang digunakan untuk menghasilkan selulosa nanokristalin, yang merupakan blok bangunan lebih kecil yang dilepaskan dari serat selulosa asli. Selulosa asli terdiri dari daerah amorf dan kristal, dan daerah amorf memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah kristal, jadi ketika serat selulosa mengalami perlakuan asam yang keras, daerah amorf putus, melepaskan kristal individu seperti pada Gambar 2.6.

(34)

16

Gambar 2. 6. Diagram skematis selulosa nanokristalin yang dibuat dengan hidrolisis asam (Moon et al., 2011).

Sifat NCC tergantung pada berbagai faktor, seperti sumber selulosa, waktu dan suhu reaksi, dan jenis asam yang digunakan untuk hidrolisis (Peng et al., 2011).

Serat nanoselulosa yang dihidrolisis dengan asam format cenderung menggumpul bersama sedangkan yang dihidrolisis dengan asam sulfat jauh lebih menyebar dengan baik karena adanya gugus sulfat pada permukaan nanoselulosa yang dihidrolisis oleh asam sulfat (Liu et al., 2016). Kristal yang diisolasi dengan menggunakan HCL menunjukkan stabilitas koloid yang rendah dan tidak bermuatan, sedangkan hidrolisis yang dilakukan dengan asam sulfat akan mengalami sulfatasi pada beberapa permukaan dan menghasilkan nanoselulosa yang bermuatan negatif pada permukaannya (Klemm et al., 2011).

Asam sulfat paling sering digunakan untuk hidrolisis asam dikarenakan menghasilkan partikel yang permukaannya bermuatan negatif mengarah ke suspensi yang lebih stabil. Ion hidrogen dari asam dapat dengan mudah menyerang daerah amorf yang lepas dari selulosa untuk memecah ikatan glikosida sehingga daerah amorf terhidrolisis sedangkan daerah kristalin selulosa dapat dipertahankan (Xie et al., 2018).

Nanokristalin Selulosa

Daerah yang Terganggu

Daerah Kristal Rantai Selulosa

(35)

17

F. X-Ray Diffraction (XRD)

Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik berenergi tinggi. Sinar-X memiliki panjang gelombang antara 0,5 sampai 2,5 Å sehingga sinar-X berada di antara sinar gamma dan ultraviolet dalam spektrum elektromagnetik (Cullity, 1978).

Analisis difraksi sinar-X menggunakan radiasi monokromatik. Radiasi sinar-X yang intens dapat dihasilkan ketika suatu elektron melepaskan elektron dari kulit yang paling dalam, pergantian elektron yang seketika terlepas dari kulit elektron yang lebih rendah menghasilkan pelepasan kuantum yang sesuai dengan panjang gelombang tertentu dan disebut dengan radiasi karakteristik. Radiasi karakteristik yang sering digunakan pada XRD yaitu pada panjang gelombang Kα yang dihasilkan dari pergantian elektron kulit K dengan elekton kulit L. Panjang gelombang yang dipilih berdasarkan mana yang paling baik untuk bahan yang akan dianalisis oleh XRD (Ulery & Dress, 2008).

Sinar -X yang dihasilkan pada tabung sinar -X ditembakkan ke spesimen melewati rangkaian celah logam dengan nomor atom tinggi, seperti molibdenum atau tantalum. Celah logam ini digunakan sebagai penyejajar berkas sinar-X. Setelah terdifraksi oleh spesimen, berkas ini akan melewati rangkaian celah yang lain. Celah anti-hambur mengurangi radiasi latar dan meningkatkan rasio puncak dengan latar dengan cara memastikan bahwa detektor hanya dapat menerima sinar-X hanya dari area spesimen. Berkas yang telah melewati celah penerima akan menjadi konvergen.

Konvergensi berkas menentukan lebar berkas yang sampai ke detektor. Peningkatan lebar celah akan meningkatkan intensitas refleksi maksimum pada pola difraksi namun, sebaliknya, akan menurunkan resolusi. Puncak difraksi atau refleksi pada

(36)

18

pola difraksi sesuai dengan sinar-X yang didifraksikan dari bidang kristal tertentu.

Setiap puncak memiliki intensitas atau ketinggian yang berbeda, dimana intensitas ini sebanding dengan jumlah foton sinar-X atau energi tertentu yang terhitung oleh detektor pada setiap sudut 2θ. Posisi puncak difraksi tergantung pada struktur kristal, khususnya bentuk dan ukuran sel satuan, pada material spesimen. Posisi ini dapat pula dipengaruhi oleh panjang gelombang sinar-X yang digunakan. Jumlah puncak difraksi suatu material akan bertambah seiring dengan menurunnya tingkat simetri struktur kristal material tersebut (Suryanarayana & Norton, 2013).

Ketika berkas sinar-X berinteraksi dengan lapisan permukaan kristal, sebagian sinar-X ditransmisikan, diserap, direfleksikan, sebagian lagi dihamburkan dan didifraksikan oleh setiap kristal bersifat spesifik dan bergantung bagaimana atom menyusun kisi kristal tersebut serta bagaimana atom tersusun (West, 1984). Syarat terjadinya difraksi harus memenuhi hukum Bragg seperti ditunjukkan pada Persamaan 1.

nλ = 2d sin θ...(1) dengan d = jarak antar atom, λ = panjang gelombang, θ = sudut antara sinar datang dan garis mendatar dan n = orde difraksi (0,1,2,...) (Cullity, 1978).

Menurut hukum Bragg, ketika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang yang sama dengan jarak antara kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor, kemudian diterjemahkan sebagai puncak difraksi. Semakin banyak bidang kristal yang sama dalam sampel, semakin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkan. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD

(37)

19

mewakili satu puncak bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi (Chorkendrof & Niemantsverdriet, 2003).

Hasil dari difraksi sinar-X dapat digunakan utuk perhitungan ukuran partikel, hubungan antara ukuran kristalinitas dengan puncak difraksi sinar-X dapat dipoksimasi dengan menggunakan persamaan Scherrer. Persamaan Scherrer ditunjukkan pada persamaan 2.

D = 𝐾 𝜆

𝐵 cos 𝜃 ...(2) dimana D adalah ukuran kristal, K adalah faktor bentuk dari krital (0,9), λ = adalah panjang gelombang sinar-X (1,54056Å), B adalah nilai dari Full Width at Half Maximum (FWHM) atau puncak difraksi (rad), θ adalah sudut difraksi (Scherrer, 1918).

Sementara itu tingkat kristalinitas dapat dihitung dengan banyak metode salah satunya menggunakan persamaan segal. Segal mendapatkan bahwa area kristalin berada di kisi [002], dengan 2θ ≈ 21,5°. Sementara area amorfus berada di antara kisi [002] dengan [101], di mana kisi [101] berada di nilai 2θ ≈ 15°. Nilai indeks kristalinitas didapat dari rasio antara puncak kristalin (I002 – Iam) dengan total intensitas (I002) dari spektra XRD yang dihasilkan. Persamaan segal ditunjukkan pada Persamaan 3.

𝐶𝑟𝑙 =𝐼002− 𝐼𝑎𝑚

𝐼002 𝑥 100...(3)

Dimana Iam adalah intensitas hamburan amorfus dan 𝐼002 intensitas hamburan kristalin terletak pada kisi [002] dan memiliki sudut difraksi 2θ sekitar 22° (Segal et al., 1959).

(38)

20

Adapun salah satu contoh penggunaan difraksi sinar-x untuk karakterisasi seperti yang dilakukan oleh Silvério et al., (2013) yang mensitetis nanoselulosa dari tongkol jagung dengan metode hidrolisis asam ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2. 7. Pola XRD tongkol jagung (Silvério et al., 2013).

Dari Gambar 2.7 dapat diamati terdapat dominasi selulosa tipe I, dibuktikan dengan adanya puncak difraksi pada 2θ di sekitar 22°. CC merupakan tongkol jagung murni, TCC adalah tongkol jagung yang sudah diputihkan, CNC adalah nanoselulosa dari tongkol jagung. Berdasarkan perhitungan dengan persamaan segal didapatkan niali kristalinitas 61%, 73,3%, 79,8% untuk CC, TCC dan NCC.

Kristalinitas dari TCC sebesar 73,3% meningkat dari kristalinitas CC sebesar 61%

ini disebabkan karena hilangnya senyawa non selulosa seperti hemiselulosa dan lignin karena perlakuan pemutihan. Kristalinitas CNC sebesar 79,8%, meningkatnya

(39)

21

nilai kristalinitas CNC dari TCC disebabkan hilangnya selulosa non amorf setelah hidrolisis asam.

G. Sccanning Electron Microsopy (SEM)

SEM merupakan sebuah alat yang dirancang untuk analisis. Gambar yang dihasilkan didapat dengan memindai berkas saat menampilkan sinyal dari detektor elektron pada layar monitor. Gambar objek tiga dimensi biasanya dapat langsung diinterpretasikan secara intuitif oleh pengamat. Perbesaran gambar pada SEM sama dengan rasio ukuran yang dilihat oleh pengguna. Perbesaran minimum ditentukan oleh sudut maksimum saat sinar dibelokkan, dan tergantung pada jarak kerja.

Perbesaran minimum sekitar 10, dengan area pindaian sekitar 1 cm2. Perbesaran dapat ditingkatkan dengan mengurangi amplitudo gelombang pemindaian (Reed, 2005).

SEM merupakan teknik karakterisasi material yang banyak digunakan untuk melihat morfologi permukaan partikel sampai pada ukuran 1 nm. SEM digunakan untuk mengamati morfologi permukaan sampel dengan perbesaran 10 hingga 3.000.000 kali, kedalaman 0,4-4 mm dan resolusi sebesar 1 - 10 nm. Penembakan permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi akan menghasilkan berbagai sinyal yang berbeda, salah satunya adalah elektron sekunder yang dapat digunakan untuk karakterisasi material (Schweitzer, 2011).

SEM memiliki dua jenis detektor, yaitu Secondary Electron (SE) dan Backscattred Electron (BSE). Interaksi elektron dengan atom-atom di permukaan maupun di bawah permukaan sampel terjadi ketika berkas elektron dipindai pada permukaan sampel. Akibat interaksi tersebut sebagian besar berkas elektron berhasil keluar

(40)

22

kembali, elektron-elektron tersebut disebut sebagai Backscattered Electrons (BSE), sebagian kecil elektron masuk ke dalam bahan kemudian memindahkan sebagian besar energi pada elektron atom sehingga terpental ke luar permukaan bahan disebut Secondary Electrons (SE) (Bozzola and Lonnie, 1998). Skema interaksi antara elektron dan sampel di dalam SEM yang membentuk SE dan BSE dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2. 8. Skema interaksi antara elektron dan sampel dalam SEM (Bozolla & Lonnie, 1998).

Proses pembentukan BSE terjadi pada atom-atom di bagian permukaan sampel yang lebih dalam. Ini disebabkan tumbukan antara elektron dari sumber dengan inti atom. Karena masa proton yang membentuk inti hingga 2.000 kali lebih besar dari elektron maka setiap tumbukan akan menyebabkan terpentalnya sebagian besar elektron ke arah 180°. Artinya, sebagian akan dipantulkan kembali ke arah di mana mereka datang yaitu ke luar permukan bahan. Elektron-elektron BSE ini membawa informasi tentang atom-atom yang ditumbuknya beserta ikatannya dalam fasa.

Sehingga kontras pada gambar yang terbentuk dari elektron-elektron BSE dalam batas-batas tertentu dapat dipandang sebagai kontras fasa. Jika elektron sumber

(41)

23

dalam perjalanannya di dalam bahan hanya melewati awan elektron atau orbital sebuah atom maka elektron tersebut dapat saja memindahkan sebagian energi kinetiknya kepada satu atau lebih elektron pada orbit tersebut. Elektron itu akan menjadi tidak stabil dan dalam kondisi tereksitasi sehingga meninggalkan posisinya dan keluar dari permukaan bahan, maka elektron tersebut dikenal sebagai SE.

Karena elektron-elektron SE memiliki energi yang rendah, maka hanya elektron yang berada atau sangat dekat permukaan bahan saja yang dapat lolos ke luar.

Struktur permukaan berikut ciri-cirinya, seperti batas butir, edge, porositas, dan puncak atau lembah akan terlihat lebih detil dengan resolusi yang lebih tinggi dibanding BSE (Bozolla & Lonnie, 1998).

Berdasarkan Gambar 2.9 sebuah pistol elektron memproduksi berkas elektron dan dipercepat dianoda. Lensa magnetik kemudian memfokuskan elektron menuju sampel. Berkas elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh kumparan pemindai. Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel akan mengeluarkan elektron baru yang akan diterima oleh detektor.

Gambar yang dihasilkan SEM, dibentuk dari elektron sekunder yang dipantulkan sampel pada peristiwa penembakan berkas elektron dari alat. Permukaan yang lebih tinggi akan memberikan warna yang lebih cerah daripada permukaan yang lebih rendah, ini diakibatkan oleh lebih banyaknya elektron sekunder yang dibebaskan menuju detektor (Hanke, 2001).

(42)

24

Gambar 2. 9. Skema kerja SEM (Bradbury et al., 2019).

Gambar 2.10. menunjukkan hasil SEM dari selulosa dan nanoselulosa dari tongkol jagung. Gambar 2.10.B1 diamati mengandung ikatan selulosa yang tidak beraturan, dengan masing-masing ikatan berdiameter antara 260 hingga 160 nm. Sementara itu Gambar 2.10.B2 nanoselulosa memiliki ukuran diameter partikel mulai dari 93 hingga 65 nm berkurangnya diameter ini disebabkan hilangnya daerah amorf dari selulosa. (Harini & Mohan, 2020).

(43)

25

Gambar 2. 10. SEM dari selulosa (B1) dan nanoselulosa (B2) yang diekstraksi dari tongkol jagung (Harini & Mohan, 2020).

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada Juni 2022 sampai dengan Juli 2022 di Laboratorium Fisika Material Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah beberapa gelas kimia, gelas ukur, spatula, neraca, cawan petri, oven, hot plate, magnetic stirrer, mortal, water bath, centrifuge, alumunium foil, plastik wrap, labu erlenmeyer dan kertas lakmus

sebagai pengukur pH. Selain beberapa alat tersebut, dalam penelitian ini menggunakan beberapa bahan seperti serbuk tongkol jagung, NaOH dari Merck 10%, H2O2 dariMerck 10%, H2SO4 dari Merck KGaA dengan variasi konsentrasi 5, 10, 15, 20% dan aquades. Sedangkan untuk karakterisasi sampel menggunakan XRD dan SEM.

C. Prosedur Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan antara lain preparasi sampel, isolasi selulosa dan isolasi nanoselulosa.

(45)

27

1. Preparasi Sampel

Preparasi sampel bertujuan untuk mengecilkan ukuran tongkol jagung menjadi serbuk agar lebih mudah dalam proses isolasi selulosa. Tongkol jagung dijemur di bawah sinar matahari sampai kering. Selanjutnya dihaluskan dengan grinder sampai menjadi serbuk.

2. Isolasi Selulosa

Isolasi selulosa dari tongkol jagung terdiri dari dua tahapan yaitu delignifikasi dan bleaching. Tahapan-tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Delignifikasi

Proses delignifikasi bertujuan untuk memutuskan ikatan lignin pada selulosa di tongkol jagung. Sebanyak 5 gram serbuk tongkol jagung dimasukkan ke dalam gelas beaker, kemudian ditambahkan larutan NaOH 10% dengan perbandingan pelarutan (1:10), kemudian diaduk dengan menggunakan magnetik stirer lalu didiamkan selama 24 jam.

b. Bleaching

Hasil delignikasi yang telah didiamkan selama 24 jam disaring, residu yang dihasilkan dibleaching dengan 10 ml larutan H2O2 10% lalu didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar. Kemudian campuran tersebut disaring dan padatan yang dihasilkan dicuci menggunakan aquades beberapa kali sampai bau H2O2 hilang dan sampi pH menjadi netral. Hasil bleaching dikeringkan pada suhu 40°C dengan menggunakan oven lalu disimpan pada suhu kamar.

(46)

28

3. Isolasi Nanoselulosa

Proses isolasi nanoselulosa dari tongkol jagung dilakukan dengan metode hidrolisis asam. Serbuk selulosa hasil dari proses sebelumnya ditimbang menggunakan neraca analitik untuk mengetahui beratnya setelah diberi perlakuan, lalu 2 g serbuk selulosa ditambahkan larutan H2SO4 40 ml dengan variasi seperti pada Tabel 3.1.

Tabel 3. 1. Variasi konsentrasi asam

Sampel selulosa Massa sampel H2SO4

1 2 g 5%

2 2 g 10%

3 2 g 15%

4 2 g 20%

Proses hidrolisis dilakukan dengan menggunakan waterbath selama 3,5 jam pada suhu 50°C. Setelah itu residu di sentrifugasi sampai pH nya menjadi netral. Lalu sampel dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 40°C sampai kering. Setelah itu sampel dihaluskan menggunakan mortal sampai menjadi bubuk.

4. Karakterisasi

a) X-Ray Difrafraction (XRD)

Karakterisasi menggunakan XRD dilakukan untuk mengetahui indeks kristalin dan ukuran partikel nanoselulosa dari tongkol jagung.

b) Scanning Electron Microsopy (SEM)

Karakterisasi SEM dilakukan untuk mengetahui mikrostruktur nanoselulosa dari tongkol jagung.

(47)

29

D. Diagram Alir Penelitian

Diagram alir yang terdapat pada penelitian ini seperti ditujukkan pada Gambar 3.1.

Serbuk Tongkol Jagung

Dijemur hingga kering di bawah sinar matahari, dihaluskan menggunakan grinder sampai menjadi serbuk

-Delignifikasi dengan NaOH 10%, didiamkan selama 24 jam

-Bleaching menggunakan H2O2 10%, didiamkan selama 24 jam

-Padatan dicuci sampai netral

-Dikeringkan dengan oven pada suhu 40°C

Selulosa

- Hidrolisis asam mengunakan H2SO4 5%, 10% dan 15% di waterbath selama 3,5 jam dengan suhu 50°C

- Dicuci hingga netral

- Dikeringkan di oven dengan suhu 40°C lalu di haluskan.

Nanoselulosa

Dikarakterisasi dengan XRD dan SEM kemudian dilakukan analisis data Hasil

Tongkol Jagung Mulai

Selesai

Gambar 3. 1. Diagram alir penelitian.

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukan bahwa variasi konsentrasi asam sulfat mempengaruhi karakteristik nanoselulosa yang dihasilkan, didapatkan nilai indeks kristalinitas berkisar 57,76% sampai 61,40% dan ukuran kristalit 1,79 nm sampai 2,59 nm dengan sampel terbaik pada konsentrasi 10%.

2. Hasil pengamatan dari SEM didapatkan permukaan nanoselulosa yang menggumpal dan tidak berpori.

B. Saran

Untuk penelitian selanjutnya dapat meningkatkan perbesaran pada analisis SEM hingga 25.000x agar didapat gambar yang lebih baik sehingga nanoselulosa dapat dilihat dengan jelas..

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, J. B., Danladi, A., Bukhari, M. M., Nyakuma, B. B., Mamza, P., Mohamad, Z.

B., Musa, A. B., & Inuwa, I. M. (2020). Extraction and Characterization of Cellulose Nanofibres and Cellulose Nanocrystals from Sammaz-14 Maize Cobs. Journal of Natural Fibers, 00(00), 1–16.

https://doi.org/10.1080/15440478.2020.1856279

Alsaleh, N. B. (2021). Adverse cardiovascular responses of engineered nanomaterials: Current understanding of molecular mechanisms and future challenges. Nanomedicine: Nanotechnology, Biology, and Medicine, 37, 102421. https://doi.org/10.1016/j.nano.2021.102421

Biao, H., Li-rong, T., Da-song, D., Wen, O., Tao, L., & Xue-rong, C. (2011).

Preparation of Nanocellulose with Cation–Exchange Resin Catalysed Hydrolysis. Biomaterials Science and Engineering, 6, 139–152.

Bozolla, J. ., & Lonnie, D. R. (1998). Electron Microsopy: Principles and Techniques for Biologist. Jones and Brtlett Publisher.

Bradbury, S., David, C. joy, & Brian, J. F. (2019). scanning electrone microscope.

Encylcopedia Britannica.

Buzea, C., Pacheco, I. I., & Robbie, K. (2007). Nanomaterials and nanoparticles:

Sources and toxicity. Biointerphases, 2(4), MR17–MR71.

https://doi.org/10.1116/1.2815690

Cheng, H. (2015). Lignocellulose Biorefinery Engineering. Woodhead Publishing.

Pp 75-78.

Chorkendrof, I., & Niemantsverdriet, J. . (2003). Concept of Modern Catalysis and Kinetics. Willey-VCH GmbH and Co: Weinheim.

Clunan, A. (2014). Nanotechnology in a Globalized World Strategic Assessments of an Emerging Technology. University Circle Monterey.

Cullity, B. D. (1978). Elements of X-Ray Diffraction (02 ed.). Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Pp 3-4,83-84.

Czaja, W., Krystynowicz, A., Bielecki, S., & Brown, R. M. (2006). Microbial cellulose - The natural power to heal wounds. Biomaterials, 27(2), 145–151.

https://doi.org/10.1016/j.biomaterials.2005.07.035

(50)

Deepa, B., Abraham, E., Cordeiro, N., Mozetic, M., Mathew, A. P., Oksman, K., Faria, M., Thomas, S., & Pothan, L. A. (2015). Utilization of various lignocellulosic biomass for the production of nanocellulose: a comparative study. Cellulose, 22(2), 1075–1090. https://doi.org/10.1007/s10570-015- 0554-x

Ditzel, F. I., Prestes, E., Carvalho, B. M., Demiate, I. M., & Pinheiro, L. A. (2017).

Nanocrystalline cellulose extracted from pine wood and corncob.

Carbohydrate Polymers, 157, 1577–1585.

https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2016.11.036

Duncan, T. V. (2011). Applications of nanotechnology in food packaging and food safety: Barrier materials, antimicrobials and sensors. Journal of Colloid and Interface Science, 363(1), 1–24. https://doi.org/10.1016/j.jcis.2011.07.017 Fan, L., Gharpuray, M. M., & Lee, Y.-H. (1987). Cellulose Hydrolisis. Springer-

Verlag Berlin Heidelberg. Pp 14.

Gatenholm, P., & Klemm, D. (2010). Bacterial nanocellulose as a renewable material for biomedical applications. MRS Bulletin, 35(3), 208–213.

Habibi, Y., Lucia, L. A., & Rojas, O. J. (2010). Cellulose nanocrystals: Chemistry, self-assembly, and applications. Chemical Reviews, 110(6), 3479–3500.

https://doi.org/10.1021/cr900339w

Hanke, L. D. (2001). Hanbook of Analytical Methods of Materials Evaluation and Engineering. Inc: Plymouth.

Harini, K., & Mohan, C. C. (2020). Isolation and characterization of micro and nanocrystalline cellulose fibers from the walnut shell, corncob and sugarcane bagasse. International Journal of Biological Macromolecules, 163, 1375–

1383. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2020.07.239

Ieolovich, M. (2012). Optimal Conditions for Isolation of Nanocrystalline Cellulose Particles. Nanoscience and Nanotechnology, 2(2), 9–13.

Kamel, S. (2007). Nanotechnology and its applications in lignocellulosic composites, a mini review. Express Polymer Letters, 1(9), 546–575.

https://doi.org/10.3144/expresspolymlett.2007.78

Kementrian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Kementerian Pertanian - Data

Lima Tahun Terakhir.

https://www.pertanian.go.id/home/?show=page&act=view&id=61

Klemm, D., Heublein, B., Fink, H. P., & Bohn, A. (2005). Cellulose: Fascinating biopolymer and sustainable raw material. Angewandte Chemie - International Edition, 44(22), 3358–3393. https://doi.org/10.1002/anie.200460587

(51)

Klemm, D., Kramer, F., Moritz, S., Lindström, T., Ankerfors, M., Gray, D., &

Dorris, A. (2011). Nanocelluloses: A new family of nature-based materials.

Angewandte Chemie - International Edition, 50(24), 5438–5466.

https://doi.org/10.1002/anie.201001273

Klemm, D., Schumman, D., Udhradt, U., & Marsch, S. (2001). Bacterial synthesized cellulose - Artificial blood vessels for microsurgery. Progress in Polymer Science (Oxford), 26(9), 1561–1603.

Lee, H. V., Hamid, S. B. A., & Zain, S. K. (2014). Convertion of Lignocellulosic Biomass to Nanocellulose: Strutucre and Chemical Process. The Scientific World, 1–20. https://doi.org/10.1155/2014/631013

Li, W., Yue, J., & Liu, S. (2012). Preparation of nanocrystalline cellulose via ultrasound and its reinforcement capability for poly(vinyl alcohol) composites.

Ultrasonics Sonochemistry, 19(3), 479–485.

https://doi.org/10.1016/j.ultsonch.2011.11.007

Liu, C., Li, B., Du, H., Lv, D., Zhang, Y., Yu, G., Mu, X., & Peng, H. (2016).

Properties of nanocellulose isolated from corncob residue using sulfuric acid, formic acid, oxidative and mechanical methods. Carbohydrate Polymers, 151, 716–724. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2016.06.025

Maneerung, T., Tokura, S., & Rujiravanit, R. (2008). Impregnation of silver nanoparticles into bacterial cellulose for antimicrobial wound dressing.

Carbohydrate Polymers, 72(1), 43–51.

https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2007.07.025

Mendes, C. A. D. C., Adnet, F. A. O., Leite, M. C. A. M., Furtado, C. R. G., & De Sousa, A. M. F. (2015). Chemical, physical, mechanical, thermal and morphological characterization of corn husk residue. Cellulose Chemistry and Technology, 49(9–10), 727–735.

Moon, R. J., Martini, A., Nairn, J., Simonsen, J., & Youngblood, J. (2011).

Cellulose nanomaterials review: Structure, properties and nanocomposites.

Chemical Society Reviews, 40(7), 3941–3994.

https://doi.org/10.1039/c0cs00108b

Nickerson, R. F., & Habrle, J. A. (1947). Cellulose intercrsytalline structure: study by hydrolitic methods. Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 39(11), 1507–1512.

Nishiyama, Y., Sugiyama, J., Chanzy, H., & Langan, P. (2002). Crystal Structure and Hydrogen-Bonding System in Cellulose Iβ from Synchrotron X-ray and Neutron Fiber Diffraction. Journal of the American Chemical Society, 124(31), 9074–9082. https://doi.org/10.1021/ja0257319

Nishiyama, Y., Sugiyama, J., Chanzy, H., & Langan, P. (2003). Crystal Structure and Hydrogen Bonding System in Cellulose Iα from Synchrotron X-ray and Neutron Fiber Diffraction. Journal of the American Chemical Society, 125(47), 14300–14306. https://doi.org/10.1021/ja037055w

(52)

Peng, B. L., Dhar, N., Liu, H. L., & Tam, K. C. (2011). Chemistry and applications of nanocrystalline cellulose and its derivatives: A nanotechnology perspective.

Canadian Journal of Chemical Engineering, 89(5), 1191–1206.

https://doi.org/10.1002/cjce.20554

Razaq, A., Nyholm, L., Sjödin, M., Strømme, M., & Mihranyan, A. (2012). Paper- based energy-storage devices comprising carbon fiber-reinforced polypyrrole- cladophora nanocellulose Composite electrodes. Advanced Energy Materials, 2(4), 445–454. https://doi.org/10.1002/aenm.201100713

Reed, S. J. B. (2005). Electron Micropobe Analysis and Scanning Electron Miscrocopy in Geology. Cambridge University Press. Pp 2-3,35,41.

Scherrer, P. (1918). Bestimmung der Grosse und der inneren Struktur von Kolloidteilchen mittels Rontgenstrahlen. Ges. Wiss. Gottingen 26.

Schweitzer, E. . (2011). Scanning Electron Microsope A to Z. Geol.

Segal, L., J.J, C., A.E, M., & C.M, C. (1959). An Empirical method For Estimating The Degree of Crystallinity of Native Cellulose Using The X-Ray Diffractometer. Textile Research Journa, 29(10), 786–794.

Silvério, H. A., Flauzino Neto, W. P., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013).

Extraction and characterization of cellulose nanocrystals from corncob for application as reinforcing agent in nanocomposites. Industrial Crops and Products, 44, 427–436. https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2012.10.014

Sirviö, J. A., Kolehmainen, A., Liimatainen, H., Niinimäki, J., & Hormi, O. E. O.

(2014). Biocomposite cellulose-alginate films: Promising packaging

materials. Food Chemistry, 151, 343–351.

https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2013.11.037

Song, M., Jin, B., Xiao, R., Yang, L., Wu, Y., Zhong, Z., & Huang, Y. (2013). The comparison of two activation techniques to prepare activated carbon from corn

cob. Biomass and Bioenergy, 48, 250–256.

https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2012.11.007

Steven, S., Mardiyati, Y., Shoimah, S. M., Rizkiansyah, R. R., Samtosa, S. P., &

Suratman, R. (2021). Preparation and Characterization of Nanocrystalline Cellulose from Cladophora sp. Algae. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 11(3), 1035–1041.

https://doi.org/10.18517/ijaseit.11.3.10278

Suryanarayana, C., & Norton, M. G. (2013). X-Ray Difraction a Partical Approach.

Spring Science & Bussines. Pp4-6.

Taib, M. N. A. M., Yehye, W. A., Julkapli, N. M., & Hamid, S. B. O. A. A. (2018).

Influence of Hydrophobicity of Acetylated Nanocellulose on the Mechanical Performance of Nitrile Butadiene Rubber (NBR) Composites. Fibers and Polymers, 19(2), 383–392. https://doi.org/10.1007/s12221-018-7591-z

(53)

Talebian, S., Rodrigues, T., Das Neves, J., Sarmento, B., Langer, R., & Conde, J.

(2021). Facts and Figures on Materials Science and Nanotechnology Progress and Investment. ACS Nano, 15(10), 15940–15952.

https://doi.org/10.1021/acsnano.1c03992

Tang, Y., Yang, S., Zhang, N., & Zhang, J. (2014). Preparation and characterization of nanocrystalline cellulose via low-intensity ultrasonic-assisted sulfuric acid hydrolysis. Cellulose, 21(1), 335–346. https://doi.org/10.1007/s10570-013- 0158-2

Tenhunen, T. M., Moslemian, O., Kammiovirta, K., Harlin, A., Kääriäinen, P., Österberg, M., Tammelin, T., & Orelma, H. (2018). Surface tailoring and design-driven prototyping of fabrics with 3D-printing: An all-cellulose

approach. Materials and Design, 140, 409–419.

https://doi.org/10.1016/j.matdes.2017.12.012

Tsai, W. T., Chang, C. Y., Wang, S. Y., Chang, C. F., Chien, S. F., & Sun, H. F.

(2001). Utilization of agricultural waste corn cob for the preparation of carbon adsorbent. Journal of Environmental Science and Health - Part B Pesticides, Food Contaminants, and Agricultural Wastes, 36(5), 677–686.

https://doi.org/10.1081/PFC-100106194

Turbak, A. F., Snyder, F. W., & Sandberg, K. R. (1983). Microfibrilated Cellulose, A New Cellulose Product: Properties, Uses, and Commercial Potential.

Journal of Applied Polymer Science, 37, 815–827.

Ulery, A. L., & Dress, L. R. (2008). Methods of Soil Analysis. Soil Science Society of America. Pp 82.

Watanabe, K., Tabuchi, M., Yasushi, M., & Yoshinaga, F. (1998). Structural features and properties of bacterial cellulose produced in agitated culture.

Cellulose, 5, 187–200.

West, A. R. (1984). Solid State Chemistry and Its Application (Second). John Wiley.

Winarti, C., Kurniati, M., Arif, A. B., Sasmitaloka, K. S., & Nurfadila. (2018).

Cellulose-based nanohydrogel from corncob with chemical crosslinking methods. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 209(1).

https://doi.org/10.1088/1755-1315/209/1/012043

Xie, H., Du, H., Yang, X., & Si, C. (2018). Recent Strategies in Preparation of Cellulose Nanocrystals and Cellulose Nanofibrils Derived from Raw Cellulose Materials. International Journal of Polymer Science, 2018.

https://doi.org/10.1155/2018/7923068

Yadav, S., Illa, M. P., Rastogi, T., & Sharma, C. S. (2016). High absorbency cellulose acetate electrospun nanofibers for feminine hygiene application.

Applied Materials Today, 4, 62–70.

https://doi.org/10.1016/j.apmt.2016.07.002

(54)

Yah, C. S., Iyuke, S. E., Unuabonah, E. I., Pillay, O., Vishanta, C., & Tessa, S. M.

(2010). Temperature optimization for bioethanol production from corn cobs using mixed yeast strains. OnLine Journal of Biological Sciences, 10(2), 103–

108. https://doi.org/10.3844/ojbsci.2010.103.108

Yan, M., Li, S., Dong, F., Han, S., Li, J., & Xing, L. (2014). Preparation of nanocrystalline cellulose from corncob acid-hydrolysis residue and its reinforcement capabilities on polyvinyl alcohol membranes. Polymers and

Polymer Composites, 22(8), 675–682.

https://doi.org/10.1177/096739111402200804

Yu, H., Qin, Z., Liang, B., Liu, N., Zhou, Z., & Chen, L. (2013). Facile extraction of thermally stable cellulose nanocrystals with a high yield of 93% through hydrochloric acid hydrolysis under hydrothermal conditions. Journal of Materials Chemistry A, 1(12), 3938–3944. https://doi.org/10.1039/c3ta01150j Zhang, Y. H. P. (2008). Reviving the carbohydrate economy via multi-product lignocellulose biorefineries. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology, 35(5), 367–375. https://doi.org/10.1007/s10295-007-0293-6

Gambar

Gambar 2. 1. Struktur molekul selulosa (Klemm et al., 2005).
Gambar 2. 2. Proses pemisahan lignoselulosa (Lee et al., 2014).
Gambar 2. 3. Distribusi ukuran partikel nanoselulosa (Ali et al., 2020).
Gambar 2. 4. Struktur nanoselulosa (Taib et al., 2018).
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

ABSTRAK PREFERENSI DAN BIOLOGI Oryzaephilus surinamensis Linnaeus COLEOPTERA: SILVANIDAE PADA JAGUNG, BERAS PUTIH, BERAS MERAH, KEMIRI DAN KACANG TANAH Oleh AULIA KUSUMA DEWI

ABSTRAK SINTESIS, KARAKTERISASI DAN APLIKASI SENYAWA KOMPLEKS MnII-CONGO RED SEBAGAI DYE SENSITIZED SOLAR CELL DSSC Oleh AFRA NABILA SAPUTRI Telah dilakukan sintesis,

ABSTRAK SINTESIS, KARAKTERISASI DAN APLIKASI SENYAWA KOMPLEKS MnII-CONGO RED SEBAGAI DYE SENSITIZED SOLAR CELL DSSC Oleh AFRA NABILA SAPUTRI Telah dilakukan sintesis,

ABSTRAK SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS CoII-METIL ORANGE DAN APLIKASINYA SEBAGAI SENSITIZER PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL DSSC Oleh Atika Nisrina Telah

Pada contoh kalimat 17 apabila disampaikan oleh penutur dengan bermaksud mengagumi dan memuji gaun yang dipakai mitra tutur, merupakan tindak tutur literal, sementara pada contoh

Penelitian ini bertujuan untuk 1 mengetahui dosis pupuk kotoran ayam terbaik pada pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis, 2 mengetahui frekuensi pengaplikasian eco-enzyme terbaik

ABSTRAK ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ACTINOMYCETES SEDIMEN MANGROVE SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI TERHADAP Staphylococcus aureus Oleh INDRA PRASETYA Fenomena

ABSTRAK KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF MIKROBA ENDOFIT YANG BERASOSIASI PADA TUMBUHAN MANGROVE SEBAGAI ANTIBIOFILM TERHADAP BAKTERI Pseudomonas aeruginosa RESISTEN Oleh LANANG