• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selamat Datang - Digital Library

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Selamat Datang - Digital Library"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGGUNA MOTOR MODIFIKASI YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG

(Studi pada Polresta Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2021

FIKRI HADYAN LUTHFI

(2)

ii ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGGUNA MOTOR MODIFIKASI YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG

(Studi pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh

FIKRI HADYAN LUTHFI

Pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar undang- undang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sehubungan dengan adanya pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar undang-undang maka pihak Kepolisian sebagai pembina lalu lintas dan angkutan jalan dapat melaksanakan penegakan hukum. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang? Apakah faktor penghambat penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, data dianalisis secara kualitatif guna memperoleh kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang dilaksanakan sebagai perwujudan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Tahapan preventif yang dilakukan adalah sosialisasi mengenai keselamatan dan ketertiban lalu lintas kepada pelajar dan masyarakat, melaksanakan patroli dan pengawasan lalu lintas dan penyidikan terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang, terutama terhadap perkara lalu lintas yang mengakibatkan timbulnya kerugian baik fisik maupun non fisik kepada korbannya.

(2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang di Polresta Bandar Lampung terdiri dari faktor penegak hukum, yaitu terbatasnya jumlah personil Satuan Lalu Lintas pada Polresta Bandar

(3)

iii

Fikri Hadyan Luthfi

Lampung, faktor sarana dan prasarana yaitu masih terbatasnya sarana sosialisasi ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada pelajar, faktor masyarakat yaitu adanya orang tua/wali murid yang bersikap permisif kepada anak untuk mengendarai sepeda motor dan faktor budaya yaitu berkembangnya budaya individualisme pada masyarakat yang bersikap tidak peduli terhadap anak pengendara sepeda motor.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Agar jumlah personil Unit Dikyasa Lantas Polresta Bandar Lampung ditambah guna mengoptimalkan penyuluhan/sosialisasi mengenai ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada masyarakat dan pelajar (2) Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung hendaknya meningkatkan razia kepada pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang.

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Motor Modifikasi, Melanggar Undang-Undang

(4)

iv

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGGUNA MOTOR MODIFIKASI YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG

(Studi pada Polresta Bandar Lampung)

Oleh

Fikri Hadyan Luthfi

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2021

(5)

v

Judul Skripsi : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGGUNA MOTOR MODIFIKASI YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG

(Studi pada Polresta Bandar Lampung) Nama Mahasiswa :

Fikri Hadyan Luthfi

No. Pokok Mahasiswa : 1412011153 Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Eko Raharjo, S.H., M.H.

NIP. 19610406 198903 1 003

Tri Andrisman, S.H., M.Hum.

NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Tri Andrisman, S.H., M.Hum.

NIP 19611231 198903 1 023

(6)

vi

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Eko Raharjo, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.Hum. ...

Penguji Utama : Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

Dr. M. Fakih, S.H., M.S.

NIP 19641218 198803 1 002

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 4 November 2021

(7)

vii

(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Fikri Hadyan Luthfi, dilahirkan di Bandung pada tanggal 10 Februari 1997, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putra dari pasangan Bapak Firdaus Wadjdi dan Ibu Yanti Nurhayati.

Jenjang pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan adalah pada Sekolah Dasar (SDPN) Sabang Bandung lulus pada Tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 7 Bandung lulus pada Tahun 2011, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 11 Bandung lulus pada Tahun 2014. Selanjutnya pada Tahun 2014 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada bulan Januari – Februari 2018, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Tunas Asri Kabupaten Tulang Bawang Barat.

(9)

ix MOTO

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran

dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran"

(Q.S. An-Nahl: 90)

(10)

x

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Kedua Orang Tua Penulis

Bapak Firdaus Wadjdi dan Ibu Yanti Nurhayati yang telah memberikan cinta dan kasih sayang,

serta doa dan perjuangan demi keberhasilanku

Kakakku tersayang Khairina Hafsa Firdanti

yang selalu memberikan semangat dan motivasi demi keberhasilanku

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung

(11)

xi

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Penegakan Hukum terhadap Pelaku Pengguna Motor Modifikasi yang Melanggar Undang-Undang (Studi pada Polresta Bandar Lampung)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penyusunan sampai selesainya skripsi ini mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing II, atas bimbingan, masukan dan saran yang diberikan dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini.

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan, masukan dan saran yang diberikan dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini.

(12)

xii

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, atas masukan dan saran yang diberikan dalam perbaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Maya Shafira, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas, atas masukan dan saran yang diberikan dalam perbaikan skripsi ini.

6. Para narasumber penelitian, yang telah memberikan bantuan dan informasi serta kebaikan yang diberikan demi keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.

7. Bapak/ibu dosen bagian Hukum Pidana yang telah memberikan ilmu dan motivasi kepada penulis selama menempuh studi.

8. Teman-teman mahasiwa Fakultas Hukum atas persahabatan dan kebersamaannya dalam menempuh perkuliahan selama ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 4 November 2021 Penulis

Fikri Hadyan Luthfi

(13)

xiii DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Penegakan Hukum ... 15

B. Penanggulangan Tindak Pidana atau Kejahatan ... 21

C. Kepolisian Negara Republik Indonesia... 23

D. Tindak Pidana ... 26

III METODE PENELITIAN ... 30

A. Pendekatan Masalah ... 30

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Narasumber ... 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 33

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Penegakan Hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap Pengguna Motor Modifikasi yang Melanggar Undang-Undang... 34

B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap Pengguna Motor Modifikasi yang Melanggar Undang-Undang ... 54

(14)

xiv

V PENUTUP ... 74 A. Simpulan ... 74 B. Saran ... 75 DAFTAR PUSTAKA

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lalu Lintas dan angkutan jalan pada hakikatnya mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan.

Upaya untuk mencapai penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib dan lancar tersebut ditempuh pemerintah dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pemberlakukan undang-undang ini juga dimaksudkan untuk untuk mewujudkan etika berlalu lintas dan budaya bangsa dan mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu institusi pembina lalu lintas dan angkutan jalan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan

(16)

2

pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas menurut Pasal 7 Ayat (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Upaya Kepolisian dalam penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf e meliputi:

a. Pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor b. Pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;

c. Pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. Pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. Pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;

f. Penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. Pendidikan berlalu lintas

h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Fenomena yang melatar belakangi penelitian ini adalah adanya pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi kendaraan yang melanggar undang-undang, yaitu melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:

(17)

3

(1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.

(2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.

(3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.

(4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.

Pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar undang- undang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: setiap orang yang memasukkan Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Para pelaku modifikasi sepeda motor pada umumnya adalah dari kalangan remaja atau termasuk dalam kategori anak (belum berusia 18 tahun). Para pengendara sepeda motor dari kalangan remaja ini belum memahami dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas diantaranya tidak memiliki kemampuan mengemudikan kendaraannya dengan wajar, tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki, tidak mampu menunjukkan STNK, SIM. Para pelajar juga umumnya tidak mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerak lalu lintas berhenti

(18)

4

dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor dan tidak mengindahkan kecepatan minimum dan kecepatan maksimum dalam berkendara.

Pengaturan mengenai persyaratan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) terdapat di dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menyatakan bahwa persyaratan pemohon SIM perseorangan berdasarkan usia adalah minimal berusia 17 tahun untuk memperolah SIM C dan D. Selain itu ketentuan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, bahwa batas usia minimal untuk memperoleh SIM A adalah 18 tahun. Dengan demikian maka seseorang yang belum berusia 17 tahun (untuk pengendara kendaraan roda dua) dan belum berusia 18 tahun (untuk pengendara kendaraan roda empat), dapat dikategorikan sebagai anak.

Hal yang terjadi dari adanya anak sebagai pengendara sepeda motor adalah terjadinya kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan berbagai dampak seperti kerugian fisik seperti luka-luka atau meninggal dunia, kerugian materi akibat kecelakaan maupun terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat, khususnya pengguna jalan raya.

Kecelakaan lalu lintas berdasarkan ketentuan Pasal 229 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, meliputi:

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(19)

5

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Sehubungan dengan adanya pengguna sepeda motor yang melakukan modifikasi dengan melanggar undang-undang maka pihak Kepolisian sebagai pembina lalu lintas dan angkutan jalan dapat melaksanakan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 208 Ayat (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan bahwa upaya membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan melalui penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.

Pihak Kepolisian menindaklanjuti adanya pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang, melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok kepolisian menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Fungsi kepolisian menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah melaksanakan fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

(20)

6

ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Wewenang kepolisian menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Adapun satuan khusus yang menangani masalah lalu lintas adalah Satuan Lalu Lintas. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Angka (20) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor merupakan unsur pelaksana tugas pokok fungsi lalu lintas pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres. Tugas pokok Satuan Lalu Lintas berdasarkan Pasal 59 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli (turjawali) lalu lintas, pendidikan masyarakat lalu lintas (Dikmaslantas), pelayanan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum di bidang lalu lintas.

Fungsi Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung menurut Pasal 59 Ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah:

a. Pembinaan lalu lintas kepolisian

b. Pembinaan partisipasi masyarakat melalui kerja sama lintas sektoral, Dikmaslantas, dan pengkajian masalah di bidang lalu lintas

c. Pelaksanaan operasi kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas)

(21)

7

d. Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi;

e. Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin Kamseltibcarlantas di jalan raya;

f. Pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan;

g. Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul: “Penegakan Hukum terhadap Pelaku Pengguna Motor Modifikasi yang Melanggar Undang-Undang” (Studi pada Polresta Bandar Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang?

b. Apakah faktor penghambat penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang dan faktor-faktor penghambat penegakan hukum tersebut. Lokasi penelitian ini adalah di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung dan ruang lingkup waktu penelitian adalah Tahun 2019.

(22)

8

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang

b. Untuk mengetahui faktor penghambat penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang- undang

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Pidana, dalam rangka memberikan penjelasan mengenai penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang- undang.

b. Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi pihak kepolisian dalam melaksanakan perannya sebagai aparat penegak hukum menghadapi perkembangan kehidupan masyarakat dan terjadinya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang semakin kompleks dewasa ini.

(23)

9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitiaan atau penulisan.

a. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah sistem bekerja atau berfungsinya aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum (integralitas fungsional). Dengan demikian, secara struktural, penegakan hukum merupakan sistem operasional dari berbagai profesi aparat penegak hukum yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.1

Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana jika berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai- nilai aktual dalam masyarakat. Sebagai suatu kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana. 2

1 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.

2Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hlm. 1.

(24)

10

Penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti. Tahap pertama, penegakan hukum pidana in abstracto merupakan tahap pembuatan/perumusan undang- undang oleh badan legislatif. Tahap ini dapat disebut tahap formulasi/legislasi.

Penegakan hukum pidana in abstracto adalah pembuatan undang-undang (law making) atau perubahan undang-undang (law reform). Tahap kedua, penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement). Kedua penegakan hukum pidana itu dilaksanakan dalam kerangka menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional serta menunjang terwujudnya sistem penegakan hukum pidana secara nasional.

b. Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang menghambat antara lain:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement saja, akan tetapi juga peace maintenance, karena penyelengaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan

(25)

11

kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan

(26)

12

penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai- nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut.3

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.4 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.5

3 Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.

Jakarta. 1986. hlm.8-11

4 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.63

5 Barda Nawawi Arief. Op.Cit, hlm. 23.

(27)

13

b. Kepolisian menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari kejahatan6

d. Modifikasi adalah kegiatan merubah sesuatu dari bentuk aslinya tanpa merubah fungsi utamanya. Modifikasi umumnya dilakukan dengan tujuan untuk menyaluran minat atau hobi pada bidang tertentu7

e. Sepeda motor menurut Pasal 1 Angka (20) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.

f. Motor modifikasi adalah sepeda motor standar pabrikan yang telah dirubah bentuknya menjadi bentuk baru dengan melakukan inovasi pada bagian tertentu sesuai dengan desain perancanganya atau pemodifnya8

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima yang saling berkaitan satu sama lain. Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

6 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23

7 Aditia Suherman, Membangun Kreativitas. Penerbit Andi. Yogyakarta. 2015, hlm. 66

8 Ibid, hlm. 68

(28)

14

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi berbagai pengertian atau definisi dari berbagai kajian teoritis mengenai penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi yaitu langkah-langkah ataun cara yang dipakai dalam penelitian memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan mengenai penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang dan faktor-faktor penghambat penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung terhadap pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari materi yang telah didapat serta berbagai saran untuk dapat diajukan dan dipergunakan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(29)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan upaya untuk dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, harus melihat penegakan hukum sebagai sistem peradilan pidana. 9

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks

9 Barda Nawawi Arief. Op.Cit, hlm. 23.

(30)

16

sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaraan tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan- tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 10

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, menurut Muladi yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari

10 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.

(31)

17

proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.11

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam tiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.12

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam mekanisme sistem peradilan pidana. 13

Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang- undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab. Semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum

11 Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hlm.62.

12 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm. 153

13 Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta 2004. hlm. 22.

(32)

18

dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan yang saling interrelasi dan mempengaruhi.

Artinya penegakan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena saling berkaitan dan mempengaruhi.

Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah “satu atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap dibawah koordinasi sendiri-sendiri yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat dari fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. Keterpaduan antara subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan.

Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua unsur saling mendukung dan melengkapi. Berkaitan dengan hal tersebut, ada anggapan yang menyatakan bahwa kesadaran hukum merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin pula tidak timbul. Oleh karena itu, semakin tinggi taraf kesadaran hukum seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan kepatuhannya kepada hukum, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum seseorang maka ia akan banyak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum, sehingga tidak mengherankan kalau ada yang merumuskan kesadaran hukum itu sebagai suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, dan ketaatan kepada hukum. 14

14 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 2005, hlm. 32.

(33)

19

Penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. 15

Penegakan hukum sebagai upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi

15 P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung, 2005.

hlm. 21.

(34)

20

tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang- undang. Dalam praktek dapat dilihat bahwa ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.16

Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang, akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistim hukum yang berlaku. 17

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum

16 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, Cetakan Pertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002. hlm.12-13

17 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 19.

(35)

21

tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.18 Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. Keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau manfaat bagi masyarakat.

B. Penanggulangan Tindak Pidana atau Kejahatan

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechts politiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.19

18 Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 2.

19 Arifin Yanuar. Perkembangan Kejahatan (Suatu Tinjauan Kitab Undang Undang Hukum Pidana), Pustaka Ilmu, Bandung, 2012. hlm.23.

(36)

22

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya dengan kata lain sanksi hukum pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekedar pengobatan simptomatik.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penaggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

(37)

23

2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan 20

Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa pidana.21

C. Kepolisian Negera Republik Indonesia

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

20 Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti.Bandung.

2002. hlm. 77-78

21 Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 81.

(38)

24

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:

a. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

b. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan wewenang Kepolisian adalah:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat

(39)

25

dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; Aliran yang dimaksud adalah semua atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.

e. Mengeluarkan peraturan dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. Mencari keterangan dan barang bukti;

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Eksistensi polisi dalam suatu negara perlu legitimasi yang jelas sebab setiap lembaga negara perlu diberi derajat monopoli kekuasaan untuk menjalankan tugasnya. Hal ini penting bagi polisi karena dalam menjalankan tugasnya mendapatkan mandat untuk menggunakan kekuatan fisik yang terorganisir. Selain itu dalam negara demokratis seluruh lembaga negara harus memiliki akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya. Ini berarti bahwa, mandat yang diperoleh polisi untuk menggunakan kekuatan paksa fisik harus disertai pertanggungjawaban dan bila terjadi kegagalan dalam memberikan pertanggungjawaban harus disertai pula hukuman. Titik rawan kekuasaan polisi itu terletak pada fungsi pokoknya, di mana fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban lebih menonjol daripada fungsi penegakan hukum dan pelayanan masyarakat. Kinerja kepolisian dalam penegakan hukum mencakup dua aspek, yakni kinerja dalam menekan kriminalitas dan kinerja dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.

(40)

26

D. Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. 22

Pengertian lain mengenai tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan untuk terjaminnya kepentingan umum dalam kehidupan bermasyarakat.23

Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi yang berwenang seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak pidana.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

22 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

2001. hlm. 19.

23 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Adityta Bakti, Bandung, 1996, hlm. 16

(41)

27

laku yang melanggar undang-undang pidana. Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. 24

Moeljatno menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, lebih lanjut Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan:

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. 25

Pengertian tindak pidana oleh A. Ridwan Halim menggunakan istilah delik untuk menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 26 Hazewinkel-Suringga memberikan suatu rumusan yang bersifat umum mengenai strafbaarfeit yaitu suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah

24 Moch Anwar. Beberapa Ketentuan Umum dalam Buku Pertama KUHP, Alumni, Bandung.

2005. hlm. 21.

25 Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 34.

26 Ridwan A, Halim, Hukum Pidana dan Tanya Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 31.

(42)

28

ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 27

Pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar- dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.

Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf”

yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”. 28

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe. 29

27 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta. 2002 hlm. 27

28 Ibid, hlm. 28

29 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1990. hlm. 56.

(43)

29

Unsur-unsur (strafbaarfeit) atau unsur-unsur tindak pidana menurut Simons ialah:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

c. Melawan hukum (onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). 30

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

30 Ibid, hlm. 40.

(44)

30

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.31

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.32 Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

31 Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm. 32.

32 Ibid, hlm.54.

(45)

31

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder bersumber dari bahan hukum yang melengkapi hukum primer, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/

pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk melakukan kajian dan menganalisis data sesuai dengan permasalahan, yaitu:

1. Anggota Satlantas Polresta Bandar Lampung : 2 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

(46)

32

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara kepada narasumber penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok- kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

(47)

33

c. Sistematisasi data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum dan disampaikan saran kepada pihak-pihak terkait.

(48)

74

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang dilaksanakan sebagai perwujudan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tahapan penegakan hukum yang dilakukan adalah sosialisasi mengenai keselamatan dan ketertiban lalu lintas kepada pelajar dan masyarakat, melaksanakan patroli dan pengawasan lalu lintas dan penyidikan terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang, terutama terhadap perkara lalu lintas yang mengakibatkan timbulnya kerugian baik fisik maupun non fisik kepada korbannya.

2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum oleh Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung terhadap pelaku pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang di Polresta Bandar Lampung terdiri dari faktor penegak hukum, yaitu terbatasnya jumlah personil Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung, faktor sarana dan prasarana yaitu masih terbatasnya sarana

(49)

75

sosialisasi ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada pelajar, faktor masyarakat yaitu adanya orang tua/wali murid yang bersikap permisif kepada anak untuk mengendarai sepeda motor dan faktor budaya yaitu berkembangnya budaya individualisme pada masyarakat yang bersikap tidak peduli terhadap anak pengendara sepeda motor.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Agar jumlah personil Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung ditambah, khususnya pada Unit Dikyasa Lantas yang saat ini ada, sehingga dengan penambahan tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan pelaksanaan tugas Unit Dikyasa Lantas dalam memberikan penyuluhan/sosialisasi mengenai ketertiban dan keselamatan lalu lintas kepada masyarakat dan pelajar di seluruh wilayah hukum Polresta Bandar Lampung.

2. Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar Lampung hendaknya meningkatkan razia kepada pengguna motor modifikasi yang melanggar undang-undang, khususnya pada lokasi-lokasi berkumpulnya para komunitas motor modifikasi, sehingga diharapkan dengan peningkatan razia akan dapat menurunkan pelanggaran dan tindak pidana yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang sudah di paparkan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Strategi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam

ABSTRAK SISTEM PENDETEKSI POLUSI UDARA DI KOTA BANDAR LAMPUNG BERBASIS INTERNET OF THINGS IOT Oleh MUHAMMAD RIDHO Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota yang berada di

Ikan hias cupang dan maskoki didapat- kan dari tiga lokasi penjualan ikan hias di Kampung Baru dan Tanjung Karang, Bandar Lampung dan Natar, Lampung Selatan.. Isolasi ektoparasit

Hasil penelitian menunjukan bahwa : Berdasarkan hasil anlisis menggunakan Teknik Analisis Tetangga Terdekat, pola persebaran wisata kuliner khas Lampung di Kota Bandar Lampung memiliki

ABSTRAK ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBERIKAN KETERANGAN YANG MENYESATKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999

ii ABSTRAK PEMANFAATAN UAV UNMANNED AERIAL VEHICLE UNTUK IDENTIFIKASI LAHAN TERBANGUN DI KAMPUS UNIVERISTAS LAMPUNG Studi Kasus: Kampus Universitas Lampung, Kota Bandar Lampung,

Setelah data dikumpulkan, hasil penelitian direduksi dan selanjutnya dianalisis, hingga hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1 Manajemen Pengkot Taekwondo Indonesia Bandar Lampung

Berbeda dengan penelitian Maghfiroh 2018 mengenai analisis pengambilan keputusan pembelian konsumen dan kinerja atribut produk Cake Lampung Banana Foster di Bandar Lampung, penelitian