• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Politik Masyarakat Ternate

N/A
N/A
Ge W.

Academic year: 2024

Membagikan "Sistem Politik Masyarakat Ternate"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1. Kesultanan Ternate - Sistem politik

Masyarakat Ternate telah terorganisasi secara geneologis ke dalam kelompok- kelompok sosial dengan ciri khas masing-masing. Kesatuan kelompok sosial tersebut disebut soa (marga) oleh masyarakat Ternate. Tiap-tiap kampung terdiri dari beberapa soa dan setiap soa dikepalai oleh seorang kimalaha atau fanyira (kepala kampung).

Masyarakat Ternate, seperti halnya masyarakat di kerajaan Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) yang mengenal pelapisan sosial yang tersusun secara hirarki.

Meski penggolongan masyarakat tidak setajam pembagian kasta-kasta dalam struktur sosial feodal, namun ada penggolongan yang bertolak atas dasar keturunan (geneologis). Tingkatan tertinggi adalah golongan kolano (sultan) yang terdiri dari sultan dan keluarganya sampai tiga lapis atau tingkatan turunannya.

Kelompok bangsawan (elite) merupakan lapisan teratas yang mempunyai kedudukan politik, sosial, dan ekonomi yang lebih tinggi. Mereka inilah yang mendominasi kepemimpinan dalam masyarakat. Puncak hierarki ditempati sultan yang memiliki otoritas tradisional yang telah diterimannya sebagai hak turuntemurun. Hal itu tercermin pada nama atau gelar yang disandangnya. Di bawah sultan terdapat golongan bangsawan, yang dalam Kesultanan Ternate dibedakan atas bangsawan pusat dan bangsawan daerah.

Bangsawan pusat adalah kelompok bangsawan yang berasal dari marga SoaSio, (SoaMarasaoli, Limatahu, Tomagola, dan Tomaito). Sementara bangsawanan daerah adalah kelompok bangsawan keturunan marga Sangaji dan Salahakan. gan kepangkatan kekuasaan. Dalam usaha untuk memperluas pengaruh, mempertinggi kewibawaan, mempertahankan kekuasaan, kaum bangsawan senantiasa mengandalkan selain kekuasaan dan kepintaran perluasan jaringan hubungan kekeluargaan. Suatu hal yang oleh Chabot disebut perkawinan politik antar-bangsawan.

- Struktur pemerintahan

Pada akhir abad ke lima belas, Kesultanan Ternate didirikan. Dari tahun 1486 hingga 1500, Zainal Abidin menjadi Sultan pertama. Pemerintahan Zainal Abidin (1486–1501) menandai perubahan bentuk kolano (kerajaan) menjadi kesultanan.

Sejak pemerintahan Zainal Abidin (1486–1510), Islam diakui sebagai agama resmi negara. Zainal Abidin pun memberikan gelar sultan kepada setiap raja Ternate berikutnya. Peralihan dari kolano (kerajaan) ke kesultanan menyiratkan terbentuknya beberapa lembaga baru dalam kerangka pemerintahan. Lembaga akhirat bobato (yang mengurusi urusan keagamaan) ditambahkan ke dalam struktur pemerintahan kerajaan Ternate guna mengakomodasi unsur-unsur Islam dalam politik Ternate.

Ketika abad kesembilan belas dimulai, Sultan menjabat sebagai kepala negara, dibantu oleh Jogugu yang berkuasa, panglima perang Kapitan Laut, hakim Hukum, kepala urusan agama Kadhil Kali, sekretaris, dan sekelompok pejabat yang mencalonkan diri. Istana. Dewan kerajaan, atau Bobatu, juga hadir.

(2)

Elit Kesultanan Ternate terbagi menjadi dua kelompok dalam struktur pemerintahannya: mereka yang menguasai urusan pemerintahan (bobato dunia) dan mereka yang menguasai urusan agama (bobato akhirat). Kedua strata sosial dan politik ini mewakili eselon atas masyarakat. Kedua faksi ini mempunyai kepentingan strategis sebagai elit penguasa antara rakyat dan sultan.

Menurut Mudaffar Syah, susunan organisasi kenegaraan Kerajaan Ternate terdiri atas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Lembaga eksekutif merupakan lembaga yang menjalangkan pemerintahan yang disebut kolano (sultan/raja). Fungsi kolano yaitu; pertama, pemimpin pemerintahan. Kedua, melaksanakan keputusan dewan 18. Disamping itu, kolano memiliki 2 macam hak prerogatif (hak veto) yaitu Idhin kolano dan Jaib kolano.

Dalam menjalangkan roda pemerintahan sultan dibantu para menteri- menterinya yang disebut Bobato Madopolo, terdiri dari:pertama, Jogugu. Kedua, Kapita perang atau Menteri Pertahanan dan Keamanan. r.Ketiga, Kapita Lau, yaitu Laksamana Angkatan Laut Kesultanan. Keempat, hukum Soa-sio, atau Menteri Dalam Negeri. Kelima, hukum Sangaji, atau Menteri Luar Negeri, dan keenam, Tulilamo atau Menteri Sekretaris Negara.

Berikut adalah penjelasan tentang struktur pemerintahan Kesultanan Ternate:

- Diplomasi

Keterlibatan Ternate dalam perdagangan internasional sudah lama bahkan sebelum kedatangan bangsabangsa Егора. Jaringan pelayaran perdagangan antara Ternate dengan para pedagang di nusantara menjadikan pelabuhan Ternate tempat mengekspor rempah-rempah dari daerah Maluku.

Ternate sebagai pusat rempah-rempah telah menjadi incaran negaranegara Eropa. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama Portugis dan Spanyol pada abad 16 berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah tersebut.

Kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama Portugis dan Spanyol pada abad 16 berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah tersebut. Di bidang ekonomi dalam rangka mememonopoli perdagangan cengkeh di Maluku, orang Belanda

(3)

membuat perjanjian dengan Sultan Ternate ke-28 Mudaffar (1606-1628) pada tahun 1607 di Benteng Melayu Fort Oranye.

Perkembangan perdagangan mengalami peningkatan ketika memasuki abad ke-17. Dengan melalui kongsi dagangnya VOC, Belanda berusaha menguasai jalur pelayaran dan perdagangan untuk mengetatkan monopolinya, maka pengawasan produksi di perketat. Untuk memperkuat dan memperbesar kekuasaan Belanda, maka pada tahun 1609 VOC memperbaharui perjanjian dengan Kesultanan Ternate.

Sementara dalam bidang politik sejak pertama kali di Ternate 1599, mereka berusaha mengukuhan kekuasaanya melalui perjanjian politik. dengan para sultan Ternate. Misalnya pada tanggal 26 Juni 1607 perjanjian antara Cornelis Matelief de Jonge dengan Sultan Mudafar menetapkan bahwa Belanda bertindak sebagai pelindung Ternate terhadap Spanyol.

2. Kesultanan Cirebon - Sistem politik

Masa kejayaan Kesultanan Cirebon pada akhirnya lambat laun menjadi surut, apalagi dengan dikuasainya wilayah Cirebon oleh VOC. Hubungan ini berawal ketika Kesultanan Cirebon terbagi menjadi dua kesultanan dengan tiga penguasa dan masing-masing sultan merebutkan daerah kekuasaan.

Sultan Sepuh I meminta bantuan VOC untuk menyelesaikan konflik tersebut dan meminta perlindungan kepadanya. Sultan Sepuh I menganggap bahwa sangat tepat jika meminta bantuan VOC karena VOC dianggap sudah membantu Cirebon untuk melawan serangan Banten pada tahu 1680. Pada saat itu Kesultanan Banten menyerang Cirebon dengan dipimpin oleh Pangeran Kidul ketika sultan-sultan Cirebon tidak ada ditempat.

Pada isi perjanjian 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi daerah protektorat VOC sehingga Sultan tidak lagi mendapatkan hak penuh dalam memimpin Cirebon. istem pemerintahan tetap dijalankan oleh sultan akan tetapi secara politik dan ekonomi VOC lah yang mengatur Cirebon.

Kekuasaan sultan-sultan Cirebon menjadi melemah, meskipun VOC masih mengakui akan kedudukan sultan. Gelar sultan hanya dijadikan simbol serta kepentingan VOC untuk menerapkan kebijakan politiknya di Cirebon dengan mengatas namakan sultan. Pada akhirnya sultan-sultan Cirebon kehilangan kekuasaan politiknya karena ketika perjanjian 18 Januari 1752 VOC mengeluarkan peraturan mengenai pergantian sultan. Secara garis besar perjanjian tersebut mencakup dua hal, pertama pergantian tahta kesultanan harus berdasarkan warisan dari ayah kepada anak. Kedua, apabila sultan meninggal dan tidak mempunyai keturunan langsung maka kekayaan dan peranan dalam pemerintahan harus dibagi kepada sultan-sultan yang lain.

- Struktur pemerintahan

Cirebon pada awalnya merupakan pemukiman kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pangeran Cakrabuana atau Pangeran Walangsungsang sebagai kuwu. Cirebon membangun Keraton Pakungwati

(4)

sekitar tahun 1452. Pembangunan keraton ini mengandung arti bahwa di Cirebon berlangsung pemerintahan lokal yang bercorak Islam. Hal ini dikarenakan Pangeran Cakrabuana telah memeluk agama Islam sehingga pangeran ingin lepas dari kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran.

Pada tahun 1479 Nyi Mas Pakungwati menikah dengan Sunan Gunung Jati yang merupakan saudaranya sendiri. Sunan Gunung Jati adalah keponakan dari Pangeran Cakrabuana atau anak dari adiknya yaitu Ratu Mas Rara Santang. Nyi Mas Pakungwati merupakan istri ketiga karena sebelumnya Sunan Gunung Jati telah menikah dengan Nyai Babadan dan Nyai Lara Bagdad alias Syarifah Bagdad. Pangeran Cakrabuana menyerahkan kedudukannya sebagai kuwu Cirebon kepada Sunan Gunung Jati pada tahun 1479 dan Sunan Gunung Jati mendapatkan gelar Susuhunan Jati atau Susuhunan Cirebon.

Berikut STRUKTUR PEMERINTAHAN KESULTANAN CIREBON MASA SUNAN GUNUNG JATI (NASKAH):

- Diplomasi

Cheng Ho dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh Ki Gedeng Tapa, Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan Cirebon).Cheng Ho dan anak buahnya kemudian berbaur dengan warga sekitar dan berbagi ilmu pembuatan keramik, penangkapan ikan dan manajemen pelabuhan. Kung Wu Ping (Panglima angkatan bersenjata pada armada Cheng Ho) kemudian menginisiasi pendirian sebuah mercusuar (bahasa Cirebon: Prasada Tunggang Prawata) untuk pelabuhan Muara Jati pembangunannya kemudian mengambil tempat di bukit Amparan Jati.

Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah Rijckloff van Goens (Gubernur

(5)

Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke Cirebon, iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.

Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa Cirebon menjadi sekutu setia dari Vereenigde Oostindische Compagnie. Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon

3. Kerajaan Demak - System politik

Proses berdirinya Kerajaan Demak juga tidak dapat dipisahkan dari peran besar Wali Songo, yang dikenal sebagai penyebar Islam di Jawa. Sesaat berdirinya kerajaan, dibangun Masjid Agung Demak yang juga dibantu oleh Wali Songo.

Selain mendukung pendirian kerajaan dan membantu membangun Masjid Agung Demak, Wali Songo juga menjadi penasihat kerajaan. Bahkan, peran Sunan Kudus pada masa Kesultanan Demak, selain sebagai penasihat kerajaan, juga menduduki posisi panglima perang dan hakim kerajaan. Sunan Kalijaga juga berperan dalam memberikan corak kepemimpinan dan pengaturan hidup bernegara. Dengan dukungan penuh Wali Songo yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam masyarakat Jawa, dalam waktu singkat Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar. Munculnya Kerajaan Demak bukan hanya merupakan revolusi dalam sistem kepemimpinan di Jawa, tetapi juga merupakan kelanjutan dari pola kepemimpinan tradisional.

- Struktur pemerintah

Demak mulai berdiri di tangan Raden Fatah pada pertengahan abad ke-15 Masehi atau sekitar 1478, tidak lama dari runtuhnya Majapahit, sebelumnya Demak Bernama Gelagah Wangi dan berstatus sebagai kadipaten.

Pada tahun 1518, Raden Fatah wafat. Selama Raden Fatah menjabat sebagai Sultan Demak, ia memiliki tiga istri. Mereka adalah Putri Sunan Ampel yang melahirkan Pangeran Sabrang Lor dan Raden Trengono, dan Putri dari Randu Sanga yang melahirkan Raden Kanduruwun, serta putri Bupati Jipang yang melahirkan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen dan Ratu Mas Nyawa. Menurut kronik Cina, Raden Fatah meninggal pada tahun 1518 pada usia 63 tahun. Setelah Raden fatah meninggal, tahta kesultanan Demak diduduki oleh Pangeran Sebrang Lor.

Pati Unus, sebagai Raja Demak kedua, meninggal pada tahun 1521. Pati Unus ini

(6)

tidak mempunyai keturunan, maka adiknya yang bernama Sultan Trenggono menggantikannya sebagai sultan Demak.

Berikut adalah penjelasan tentang struktur pemerintahan Kerajaan Demak

- Diplomasi

Berkat peran besar Wali Songo, Kerajaan Demak tampil sebagai pusat penyebaran agama Islam yang pengaruhnya melampaui Pulau Jawa, misalnya di Palembang, Kalimantan, dan Maluku. Selama berdiri, Kerajaan Demak juga cenderung menjalankan diplomasi perkawinan untuk menyelesaikan pergolakan politik atau untuk meluaskan wilayah. Diplomasi perkawinan misalnya dilakukan oleh Sultan Trenggono terhadap putri-putrinya. Ratu Mas dikawinkan dengan Pangeran Langgar dari Madura, Ratu Mas Pemantingan dijodohkan dengan Panembahan Tejowulan, Ratu Mas Gorobang dengan Sultan Hasanudin dari Cirebon, Ratu Kalinyamat mendapatkan Pangeran Hadiri dari Aceh, dan sebagainya. Kemudian, kerabat keraton atau putra mahkota diserahi tugas sebagai penguasa kadipaten. Misalnya Ratu Kalinyamat sebagai penguasa Jepara, Pangeran Timur menjadi panembahan di Madiun, dan Jipang diserahkan kepada Arya Penangsang.

4. kerajaan gowa tallo - system politik

Kerajaan Gowa-Tallo diperintah oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak atas pemerintahan dan wilayahnya. Raja memegang kendali atas segala aspek kehidupan politik, militer, dan agama dalam kerajaan. Raja dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang terdiri dari para bangsawan, cadiak pandai (intelektual), dan tetua adat. Dewan ini memberikan nasihat kepada raja dalam pengambilan keputusan penting terkait pemerintahan, hukum, dan tradisi.

Agama Islam memainkan peran penting dalam kehidupan politik dan sosial Kerajaan Gowa-Tallo. Raja dianggap sebagai pemimpin spiritual dan politik yang ditugaskan oleh Allah. Ulama dan imam memiliki pengaruh besar dalam membentuk kebijakan dan memberikan legitimasi atas kekuasaan raja.

Strategi politik islamisasi yang dilancarkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo terhadap ketiga Kerajaan Tellumpoccoe pada abad XVII, dilakukan dengan dua cara yaitu:

(7)

1) Cara damai, yang dimaksud dengan cara damai yitu Sultan Alauddin mengirim utusan-utusan ke Kerajaan-Kerajaan yang ada disekitar Kerajaan Gowa-Tallo.

2) Cara peperangan, cara peperangan yang ditempuh oleh Sultan Alauddin untuk menyebarkan Islam di Kerajaan-Kerajaan Bugis terpaksa dilakukan.

- struktur pemerintahan

Kerajaan Gowa-Tallo memiliki sejumlah raja yang terkenal dan berpengaruh selama masa pemerintahannya.

1) Raja Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) 2) 2) Sultan Alauddin (1593-1639)

3) Sultan Alauddin (1593-1639) 4) Sultan Alauddin (1593-1639)

Kerajaan Gowa-Tallo, yang terletak di Sulawesi Selatan, Indonesia, memiliki struktur pemerintahan yang khas dan kompleks, mencerminkan budaya dan tradisi masyarakat Bugis-Makassar. Berikut adalah penjelasan tentang struktur pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo:

1) Raja (Sombayya): Raja merupakan pemimpin tertinggi dalam kerajaan. Di Gowa, raja disebut dengan gelar "Sombayya" yang berarti "orang yang dihormati". Raja memiliki wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan, baik dalam hal politik, militer, maupun agama.

2) Permaisuri (Bissu): Permaisuri atau Bissu memiliki peran penting sebagai pendamping raja dan sering kali terlibat dalam urusan ritual dan spiritual kerajaan. Bissu juga dianggap sebagai tokoh yang memiliki kekuatan mistis dan dihormati dalam masyarakat.

3) Karaeng: Karaeng adalah gelar bangsawan di bawah raja. Mereka berperan sebagai penguasa lokal atau pemimpin wilayah tertentu dalam kerajaan.

Tugas utama Karaeng adalah mengatur dan mengelola wilayahnya serta memimpin pasukan dalam peperangan.

4) Adat Council (Hadat): Majelis adat atau Hadat terdiri dari para bangsawan dan tetua adat yang memiliki fungsi sebagai penasihat raja. Mereka bertugas memberikan nasihat dan masukan dalam pengambilan keputusan penting, serta menjaga dan melestarikan adat-istiadat kerajaan.

5) Gallarang: Gallarang adalah kepala distrik atau desa. Mereka bertanggung jawab atas administrasi dan pemerintahan di tingkat lokal, memastikan pelaksanaan kebijakan raja, serta memelihara ketertiban dan kesejahteraan masyarakat setempat.

6) Panglima Perang: Panglima perang bertanggung jawab atas urusan militer kerajaan. Mereka mengatur strategi dan taktik dalam peperangan, melatih pasukan, dan memastikan kesiapan militer kerajaan.

7) Cadiak Pandai: Cadiak pandai adalah kelompok intelektual dan ahli dalam berbagai bidang seperti hukum, sejarah, dan agama. Mereka sering kali bertindak sebagai penasihat dalam urusan hukum dan pendidikan di kerajaan.

8) Imam dan Ulama: Sebagai kerajaan Islam, imam dan ulama memiliki peran penting dalam aspek spiritual dan keagamaan. Mereka mengurus urusan

(8)

keagamaan, memimpin upacara keagamaan, dan memberikan pendidikan agama kepada masyarakat.

9) Pembantu Raja (Pabbicara Butta): Pabbicara Butta adalah pejabat yang membantu raja dalam administrasi sehari-hari, termasuk dalam hal diplomasi dan pengelolaan pemerintahan.

- Diplomasi

Kerajaan Gowa-Tallo menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan tetangga di wilayah Nusantara, seperti Kesultanan Ternate, Kesultanan Banten, dan Kesultanan Mataram. Hubungan ini bisa berbentuk aliansi, perdagangan, atau pertukaran budaya. Kerajaan Gowa-Tallo mungkin menjalin aliansi dengan negara-negara lain untuk melindungi diri dari ancaman bersama, terutama dari kekuatan-kekuatan asing yang ingin menguasai wilayah mereka. Perlindungan semacam ini bisa melibatkan pertukaran bantuan militer atau politik.

Saat berhadapan dengan konflik atau perang, Kerajaan Gowa-Tallo dapat menggunakan diplomasi perdamaian untuk menyelesaikan perselisihan dengan negara-negara tetangga atau kekuatan asing. Upaya diplomasi semacam itu mungkin termasuk perjanjian damai, mediasi, atau negosiasi.

Perkawinan antara anggota kerajaan dengan keluarga kerajaan atau bangsawan dari negara-negara lain dapat menjadi bagian dari diplomasi pernikahan. Perkawinan semacam itu bisa digunakan untuk memperkuat aliansi, memperluas pengaruh, atau menjaga perdamaian.

5. Kerajaan Aceh - System politik

Kesultanan Aceh diperintah oleh seorang sultan yang memiliki kekuasaan mutlak atas pemerintahan dan wilayahnya. Sultan dianggap sebagai pemimpin politik dan spiritual yang ditugaskan oleh Allah untuk memimpin umat Islam.

Kerajaan Aceh tersebut menggunakan sistem politik Islam dalam mengayomi perpolitikan dan sosial kemasyarakatan sehingga Aceh disegani oleh bangsa- bangsa luar terutama bangsa Eropa yang sangat anti terhadap Islam. Sistem sosial dan politik di Aceh didasarkan pada struktur feodal yang terdiri dari hierarki yang ketat. Sultan membagi wilayah kekuasaan kepada bangsawan dan elit militer yang disebut uleëbalang. Uleëbalang ini memegang kendali atas wilayah-wilayah tertentu dan bertanggung jawab atas administrasi, perpajakan, dan pertahanan di wilayah mereka. Sultan dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang terdiri dari para pejabat senior, ulama, dan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.

Dewan ini memberikan nasihat kepada sultan dalam pengambilan keputusan politik, agama, dan budaya. Aceh memiliki pasukan militer yang kuat dan terorganisir dengan baik yang dikenal sebagai "Prajurit Hulubalang". Prajurit ini berperan penting dalam menjaga keamanan dan melindungi wilayah Aceh dari invasi asing atau pemberontakan dalam negeri.

- Struktur pemerintahan

1) Sultan: Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar

(9)

pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan).

2) Perangkat kesultanan: Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

a) Balai Rong Sari

b) Balai Majlis Mahkamah Rakyat, c) Balai Gading

d) Balai Furdhah e) Balai Laksamana f) Balai Majlis Mahkamah g) Balai Baitul Mal

Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya:

a) Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di Pelabuhan b) Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.

c) Wazir Seri Maharaja Mangkubumi d) Wazir Seri Maharaja Gurah, e) Teuku Keurukon Katibul Muluk

3) Uleebalang dan pembagian wilayah: Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain- lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678 – 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

a) Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).

b) Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul ‘Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.

c) Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).

- Diplomasi

(10)

Untuk meningkatkan kemampuan militernya, Kerajaan Aceh membangun hubungan diplomatik dengan beberapa kerajaan dari dalam maupun luar Nusantara. Dalam diplomasi dengan berbagai kekuatan besar di dunia, Kerajaan Aceh termasuk kerajaan modern yang paling maju dalam berdiplomasi. Hal ini dibuktikan dengan usaha Aceh menjalin kerja sama dan diplomasi dengan Kekaisaran Turki Usmani.

Usaha Aceh menjalin kerja sama dan diplomasi dengan Kekaisaran Turki Usmani merupakan salah satu cara Kesultanan Aceh Darussalam mengusir bangsa Portugis dari Malaka. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 berimbas pada aspek politik, ekonomi, dan militer di kawasan tersebut. Ketika Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar naik takhta pada 1537, ia meneruskan perjuangan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528), sultan pertama Aceh, untuk melawan Portugis di Malaka. Untuk memudahkan perjuangannya, Sultan Alauddin membangun hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Turki Usmani, yang kala itu merupakan imperium Islam terkuat di dunia. Hubungan Kerajaan Aceh dan Kekaisaran Turki Utsmani pun dimulai sejak masa Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al- Kahar dan Sultan Sulaiman I atau Sultan Sulaiman al-Qanuni.

6. Kerajaan Mataram Islam - System politik

Dalam sistem politik di kerajaan Mataram periode Senopati hingga Susuhunan Amangkurat I mengalami turun-naik secara drastis. Periode Raden Mas Jolang kemudian dengan anaknya Raden Mas Rangsang. Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.

Untuk sistem politik yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah, kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan amangkurat 1 martabat mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.

Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan.

Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki, maka.paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.

Mengenai sistem politik eksternalnya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat. Ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada masa panembahan senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsolidasi dan

(11)

penguasaan kerajaan-kerajaan disekitarnya. Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Beda hal dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipatis pada kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusik keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara.

Dua kali sesudah ekspansinya, pasukan militer, ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC, masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan.

- Struktur pemerintahan

Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan.

Seorang sultan atau raja sering digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali seminggu di alun-alun istana. Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.

Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus- menerus memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 – 1613). Peran mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannya lah Mataram menarik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan kebudayaan.

Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar “Panembahan”.

Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi “Susuhunan” atau

“Sunan”. Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelarselengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga Ngabdurrahman.

- Diplomasi

Mataram Islam melakukan diplomasi dengan negara-negara Eropa lainnya, seperti Inggris, Prancis, dan Portugal. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dalam menghadapi VOC, serta untuk memperluas perdagangan dan hubungan internasional. Salah satu contoh diplomasi Mataram Islam adalah pengiriman utusan ke Inggris pada tahun 1641 oleh Sultan Agung.

Utusan tersebut bernama Raden Rangsang atau John Caesar. Ia membawa surat

(12)

dari Sultan Agung yang meminta bantuan Inggris untuk menyerang Batavia bersama-sama. Ia juga membawa hadiah-hadiah berupa kain sutra, permata, gading, dan rempah-rempah. Sayangnya, misi diplomasi ini tidak berhasil karena Inggris tidak mau terlibat dalam konflik antara Mataram dan VOC. Inggris lebih memilih untuk menjaga hubungan baik dengan VOC demi kepentingan dagangnya sendiri.

7. Kerajaan Banjar - sistem politik

Kerajaan Banjar pada awalnya memiliki sokongan politik dari Demak pada awal berdirinya. Dengan sokongan politik tersebut, Banjar dapat berdiri menjadi sebuah kerajaan. Demak memberikan sokongan politik dengan persyaratan jika Pangeran Samudera beserta rakyat Banjar mau masuk islam. Persyaratan itu disetujui. Hal ini mempengaruhi sistem politiknya yang kebanyakan berlandaskan dari Islam.

Dalam sistem politik Banjar, sultan menduduki tingkat tertinggi. Dibawahnya terdapat Putra Mahkota dan Dewan Mahkota. Dewan Mahkota ini terdiri atas Mangkubumi dan Bangsawan. Mangkubumi membawahi tiap-tiap menteri yang diberi tugas sesuai dengan fungsinya.

- struktur pemerintahan

Sistem birokrasi pemerintahan sebagian besar masih mewarnai system di masa Kerajaan Banjar Pra Islam, kecuali hanya ada beberapa tambahan jabatan baru yaitu Mufti dan Qadhi. Susunan pemerintahan Banjar menurut Halidi (1982), diurutkan sebagai berikut:

1) Raja, yaitu Sultan atau Panembahan

2) Mangkubumi, pelaksana pemerintahan atau semacam perdana menteri.

Di bawah Mangkubumi, ada Pangeran, Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap

3) Mufti, hakim tertinggi yang mengawasi peradilan

4) Qadhi, pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan

5) Lalawangan, kepala distrik, kedudukannya seperti kepala distrik (wilayah/daerah) di masa penjajahan

6) Lurah, pejabat langsung pembantu lalawangan. Tugasnya mengawasi pekerjaan pembakal.

7) Sarawarsa, kuasa di seluruh keratin/pedalaman 8) Mandung, kepala balai rongsari dan bangsal 9) Nanagar sari, pengapit raja duduk di stiluhur

10) Pariwala, kuasa dalam urusan dagang dan pakan (pasar) 11) Sarageni, kuasa dalam urusan alat senjata

12) Puspawana, kuasa dalam urusan tanaman, pengawas hutan, perikanan, peternakan dan perburuan

13) Kadang aji, ketua balai petani

14) Wargasari, pengurus besar persediaan bahan pangan/logistik 15) Anggamarta, juru Bandar/urusan pelabuhan

16) Astaprana, juru tetabuhan kesenian dan kesusastraan

(13)

17) Kaum Mangumbara, kepala pengurus upacara 18) Wiramarta, menteri dagang

19) Bujangga, kepala urusan bangunan rumah

Corak organisasi pemerintahan Banjar banyak dipengaruhi oleh Jawa, meskipun bukan dari Majapahit tapi mungkin dari Demak atau Mataram. Hal ini sesuai dengan contoh organisasi dari kerajaan kota Waringin yang merupakan bagian dari kerajaan Banjarmasin, yang jelas dipengaruhi oleh Jawa. Sultan dalam struktur kerajaan Banjar adalah penguasa tertinggi, yang mempunyai kekuasaan dalam masalah politik dan persoalan-persoalan agama. Dalam kerajaan ini di bawah sultan adalah Putra Mahkota yang dikenal dengan sebutan Sultan Muta.

Dia tidak mempunyai jabatan tertentu tetapi pembantu sultan. Di samping sultan, terdapat sebuah lembaga Dewan Mahkota yang terdiri dari kaum Bangsawan dan Mangkubum

- diplomasi

Dalam sejarahnya, Kerajaan Banjar menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara seperti Kesultanan Melayu, Kesultanan Aceh, dan Kesultanan Demak. Hubungan ini mencakup perdagangan, pertukaran budaya, dan kadang- kadang juga hubungan politik, seperti persekutuan atau aliansi. Kerajaan Banjar juga memiliki hubungan perdagangan dan diplomasi dengan berbagai negara, termasuk Belanda, Inggris, Siam, Jawa, dan Makassar. Namun, hubungan antara Kerajaan Banjar dan Belanda tidak selalu harmonis.

References

ADAN, H. Y. (2013). ISLAM DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI ACEH MASA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM. Naskah Aceh (NASA) & Ar-Raniry Press.

Ahmad. (2023, November 1). Kerajaan Demak. Retrieved from Tuliskan:

https://www.tuliskan.id/kerajaan-demak/

Asmiah. (2023). ISLAM DAN STRUKTUR PEMERINTAHAN KESULTANAN TERNATE. JURNAL ILMU BUDAYA , 231-244.

(14)

Hakim, L. (2022). Berebut Hegemoni di Selat Malaka: Peran Usmani dalam Konflik Militer Aceh-Portugis Tahun 1562-1640 M. Serang: A-Empat.

Hasim, R. (2022). Sultan Dalam Sejarah Politik Ternate 1945-2002. Ternate Selatan: Lembaga Penerbitan Universitas Khairun (LepKhair).

Hasim, R., Abdullah, J., & Muhammad, S. (2022). PERDAGANGAN DAN POLITIK DI KESULTANAN TERNATE PADA ERA PEMERINTAHAN BELANDA. JURNAL ILMU BUDAYA, 26-39.

Homecare. (2023, November 14). SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN CIREBON. Retrieved from homecare: https://homecare24.id/sistem-pemerintahan-kerajaan-cirebon/

Irawan, A. (2019). PERKEMBANGAN SEJARAH POLITIK KERAJAAN MATARAM ISLAM.

Karim, T. Z. (2010, September 14). Struktur Pemerintahan Kesultanan Ternate. Retrieved

from FORUM BUDAYA TERNATE:

https://forumbudaya.wordpress.com/2010/09/13/struktur-pemerintahan- kesultanan-ternate/

Khoirul, A. (2023 , Maret 26). Kehebatan Mataram Islam yang Jarang Diketahui Orang: Dari Perang Hingga Diplomasi dengan Eropa. Retrieved from Intisari:

https://intisari.grid.id/read/033740700/kehebatan-mataram-islam-yang-jarang- diketahui-orang-dari-perang-hingga-diplomasi-dengan-eropa?page=all

Khoirul, A. (2024, Mei 8). Inilah Struktur Birokrasi Kerajaan Gowa-Tallo Raja Dibantu 4

Jabatan Penting Ini. Retrieved from intisari:

https://intisari.grid.id/read/034082328/inilah-struktur-birokrasi-kerajaan-gowa-tallo- raja-dibantu-4-jabatan-penting-ini?page=all

Malli, R., & Yahya, M. (2021). STUDI KOMPARATIF SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN GOWA DAN BONE DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH. Al Urwatul Wutsqa: Kajian Pendidikan Islam, 1-13.

Ningsih, W. L. (2022, Agustus 4). Kehidupan Politik Kerajaan Demak. Retrieved from Kompas:

https://www.kompas.com/stori/read/2022/08/04/140000579/kehidupan-politik- kerajaan-demak?page=all#google_vignette

Putri, Z., & Hudaidah. (2021). Sejarah Kesultanan Demak: Dari Raden Fatah Sampai . Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam Arya Penangsang, 185-196.

Rasjid, A., Gunawan, R., & Hisyam , M. (2000). MAKASSAR SEBAGAI KOTA MARITIM. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Rozi, B., & Misbah, A. (2022). SEJARAH KESULTANAN CIREBONDAN PROBLEMATIKANYA TAHUN 1677-1752. Jurnal Sejarah Peradaban Islam, 21-39.

SISWADI, P. (2016). POLITIK ISLAMISASI KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP TIGA KERAJAAN TELLUMPOCCOE/ᨈ᨜ᨒᨇᨛᨌᨛᨚᨕ PADA ABAD XVII. MAKASSAR: UIN ALAUDDIN MAKASSAR.

(15)

Wikipedia. (2024, Februari 5). Kesultanan Aceh. Retrieved from wikipedia:

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

Wikipedia. (2024, Mei 14). Kesultanan Cirebon. Retrieved from wikipedia:

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon

Zahara, T. A., & Norhabibah. (2023). Penerapan Syariat Islam di Kerajaan Banjar. Jurnal Kewarganegaraan, 2317-2331.

Referensi

Dokumen terkait

Secara sosial politik komunitas pesantren Hidayatullah merupakan kelompok yang bertindak in concerto sebagai bagian dari “masyarakat sipil terorganisir” yang menekankan pada

Disamping itu faktor keterlibatan Kyai Sampang dalam politik praktis selain dipengaruhi oleh perubahan sistem politik nasional juga secara sosial-politik masyarakat Sampang

Pola hubungan pertukaran sosial saling mendapatkan keuntungan bagi partai politik dengan masyarakat, ada dua kelompok yang berkepentingan dalam konteks ini, (1) elit partai

54.Suatu kelompok terorganisir yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pandangan, nilai- nilai, orientasi, dan cita-cita yang sama disebut…. A.Partai politik

Uraian diatas menunjukkan bahwa kelompok tani maupun anggota kelompok tani memiliki strategi dalam mempengaruhi masyarakat maupun anggotanya untuk ikut dalam kegiatan politik

Dan menurut analisis kelompok kami serta data yang kami peroleh Indonesia memiliki sistem politik yang tidak stabil atau inkonsisten karena belakangan ini terjadi

Dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi,

Memahami pentingnya cara mengalisa sistem sosial politik dengan pendekatan sistem serta mampu membedakan sistem politik dengan sistem sosial