PROYEK SIX SIGMA
ANALISIS PENGENDALIAN KUALITAS MENGGUNAKAN METODE SIX SIGMA PADA PRODUK TENUN
(Studi Kasus : UMKM Tenun Ulos Tarutung )
DISUSUN OLEH KELOMPOK 1
Otto Manalu 21S19001 Natasya Silitonga 21S19007 Chindi Pasaribu 21S19014 Amos Tambunan 21S19027 Naomi Lumbanbatu 21S19035
PROGRAM STUDI MANAJEMEN REKAYASA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI DEL
2023
i SUMMARY
Kualitas adalah kunci untuk meraih keberhasilan bagi sebuah industri supaya mampu bersaing serta menguasai pasar. UMKM Tenun Ulos Tarutung merupakan industri yang bergerak di bidang tekstil yang memproduksi ulos. Setelah melakukan observasi dan wawancara dengan pihak UMKM bahwa masih banyak ditemukan produk cacat pada proses penenunan ulos. Salah satu metode yang dapat mengatasi cacat produk yaitu Metode Six Sigma. Dalam penelitian ini terdapat 4 (empat tahapan), yaitu Define, Measure, Analyze dan Improve. Dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai DPMO sebesar 57.276. Pada penelitian ini juga menggunakan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) yang digunakan untuk mengetahui nilai Risk Priority Number (RPN) pada setiap potensi penyebab kegagalan. Potensi penyebab kegagalan dengan nilai RPN tertinggi yaitu pekerja kurang teliti dengan nilai RPN tertinggi sebesar 245. Maka usulan perbaikan yang dapat disarankan dari hasil penelitian untuk mengurangi jumlah cacat pada proses pembuatan ulos yaitu memberikan pelatihan ke operator cara yang benar serta meningkatkan pengawasan saat proses produksi berlangsung, memberikan ventilasi yang cukup agar operator bisa berkonsentrasi dengan baik
Kata Kunci : Pengendalian Kualitas, Six Sigma, FMEA, RPN
ii DAFTAR ISI
SUMMARY ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
GAMBAR TABEL ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
BAB II PERSIAPAN SIX SIGMA ... 4
2.1 Six Sigma Readiness Checklist ... 4
2.2 Six Sigma Key Players ... 5
BAB III DEFINE PHASE ... 7
3.1 Menyatakan Masalah dan Tujuan Proyek Six Sigma ... 7
3.2 Identifikasi Produk Cacat ... 7
3.3 Diagram SIPOC ... 8
3.4 Critical To Quality ... 10
BAB IV MEASUREMENT PHASE ... 11
4.1 Mengidentifikasi CTQ Berdasarkan Karakteristik Kualitas Kebutuhan Customer ... 11
4.2 Menentukan CTQ Potensial dan Diagram Pareto ... 11
4.3 Menghitung Nilai DPMO dan Nilai Sigma ... 12
4.4 Penentuan Peta Kendali ... 15
BAB V ANALYZE PHASE ... 18
5.1 Fishbone Diagram ... 18
5.2 Analisis Menggunakan tabel FMEA ... 21
BAB VI IMPROVE PHASE ... 30
6.1 Usulan Perbaikan ... 30
BAB VII CONTROL PHASE ... 32
7.1 Hal yang perlu dikontrol ... 32
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 33
8.1 Kesimpulan ... 33
8.2 Saran ... 33
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik produksi dan jumlah produk cacat ... 2
Gambar 2. Checklist Readines Six sigma pada UMKM Tenun Ulos Tarutung ... 4
Gambar 3. Struktur organisasi Tenun Ulos Tarutung ... 6
Gambar 4. Pareto produk ulos cacat ... 12
Gambar 5. Grafik nilai DPMO dan rata-rata DPMO ... 14
Gambar 6. Grafik nilai Sigma dan Rata-rata nilai Sigma ... 14
Gambar 7. Grafik peta kendalo produk Ulos cacat ... 17
Gambar 8. Fishbone diagram pakan renggang ... 18
Gambar 9. Fishbone diagram Cacat sobek ... 20
iv
GAMBAR TABEL
Tabel 1. Data jumlah usaha tenun ulos di Tarutung tahaun 2020 ... 1
Tabel 2. Jenis cacat pada produk UMKM Tenun Ulos Tarutung ... 8
Tabel 3. SIPOC Diagram proses produksi UMKM Tenun Ulos Tarutung ... 9
Tabel 4. Keterangan SIPOC ... 9
Tabel 5. Identifikasi CTQ Terhadap Kualitas Kebutuhan Customer ... 10
Tabel 6. Hubungan atribut-atribut Critical to Quality (CTQ) ... 11
Tabel 7. Data produk ulos cacat dan persentase cacat ... 11
Tabel 8. Perhitungan nilai DPMO dan nilai Sigma... 12
Tabel 9. Data peta kendali produk Ulos cacat ... 15
Tabel 10. Kriteria Severity ... 21
Tabel 11. Kriteria Occurrence ... 22
Tabel 12. Kriteria Detection ... 23
Tabel 13. FMEA jenis cacat Pakan Renggang ... 24
Tabel 14. FMEA jenis cacat Kain Sobek ... 27
Tabel 15. Rencana Tindakan Perbaikan Pemilik UMKM ... 30
Tabel 16. Rencana Tindakan Perbaikan Pekerja Gulungan ... 31
Tabel 17. Rencana Tindakan Perbaikan Pekerja Tenun ... 31
1 BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Persaingan sektor industri di Indonesia semakin ketat seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Perusahaan dituntut untuk dapat mengoptimalkan setiap kegiatan produksi agar menghasilkan keuntungan. UMKM sebagai salah satu program pemerintah yang memiliki peranan dalam perekonomian nasional. Dilihat dari peran usaha mikro, kecil dan menengah telah terbukti dapat menyelamatkan perekonomian dari sektor usaha pada saat terjadi krisis ekonomi. Usaha Tenun Ulos merupakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di industri fashion berbasis tradisi dan budaya. Tarutung merupakan salah satu kawasan home industri, karena penghasilan masyarakat Tarutung banyak yang dari tenunan batik tenun tumtuman dan ulos. Dahulu Ulos adalah sesuatu yang sangat sakral dan memiliki nilai yang tinggi dalam adat Batak (Firmando 2020). Ulos terbuat dari tenunan yang berbahan baku dari benang yang terbuat dari kulit tumbuh-tumbuhan dan pewarna alami.
Tabel 1. Data jumlah usaha tenun ulos di Tarutung tahaun 2020
Tahun Jumlah
2018 2512
2019 2560
2020 2418
Sumber: Dinas Koperasi dan UKM Tapanuli Utara
Dilihat dari data pada tabel jumlah UMKM tenun ulos di Kecamatan Tarutung mengalami penurunan jumlah pelaku usaha dari tahun 2018-2020 sebanyak 142 pelaku usaha.
Hal tersebut menandakan kinerja usaha tenun ulos mengalami penurunan yang drastis ini merupakan masalah bagi keberlanjutan usaha tenun ulos.
Adanya permintaan akan suatu produk mengharuskan UMKM untuk selalu memprioritaskan kepuasan konsumen dengan terus menjaga kualitas produk. Kualitas pada produk menjadi nilai penting bagi masyarakat untuk membeli suatu produk. Kualitas merupakan salah satu jaminan yang harus diberikan oleh suatu perusahaan dan memuaskan pelanggannya (Samudro, et al., 2020). Produk dikatakan berkualitas jika produk tersebut memenuhi standar yang ditetapkan oleh perusahaan dan sesuai dengan kebutuhan atau keinginan pelanggan. Oleh karena itu perusahaan harus terus melakukan perbaikan terhadap sumber daya yang dimiliki, baik berdasarkan faktor tenaga kerja, mesin, maupun faktor-faktor lain yang menunjang proses produksi dan kualitas produk.
Salah satu aktivitas untuk meningkatkan kualitas agar sesuai standar yang telah ditetapkan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian kualitas yang tepat, mempunyai tujuan dan tahapan yang jelas, serta memberikan inovasi dalam melakukan 2 pencegahan dan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi perusahaan (Gaspersz, 2005). Pengendalian kualitas menjadi sangat penting dan perlu untuk direalisasikan agar perusahaan mengetahui terjadinya penyimpangan dalam proses produksi yang akan menimbulkan kecacatan sehingga dapat diminimalkan dan mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan sekecil mungkin. Salah
2 satu metode untuk pengendalian kualitas adalah dengan menggunakan metode Six Sigma dan FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) dimana dengan pendekatan tersebut mampu melihat penyimpangan yang terjadi sehingga pada akhirnya diharapkan mampu untuk meminimalkan produk defect.
Six sigma salah satu metode alternatif yang paling populer dalam prinsip-prinsip pengendalian kualitas yang merupakan terobosan dalam bidang manajemen kualitas (Gaspersz, 2005). Six sigma merupakan implementasi dari prinsip dan teknik mutu yang terstruktur, fokus, dan efektif yang ditujukan untuk mencapai performansi bisnis yang bebas dari kesalahan dimana performansi bisnis diukur dari level sigma (Pyzdek & Keller, 2014). Pengendalian kualitas dengan Six sigma menggunakan tahapan DMAIC atau Define, Measure, Analyze, Improve, and Control dapat menghasilkan peningkatan kualitas secara terus menerus dengan harapan mampu meminimalkan produk cacat. Menurut (Kaushik, et al., 2012). Penggunaan metode Six Sigma pada penelitian ini bertujuan untuk membantu perusahaan dalam mengurangi cacat produk (defect) yang ada dalam produksi. Metode Six Sigma dipilih dikarenakan memiliki beberapa keunggulan diantaranya pengurangan biaya, perbaikan produktivitas, pertumbuhan pangsa pasar, retensi pelanggan, pengurangan waktu siklus, pengurangan cacat, dan pengembangan produk/jasa (Hekmatpanah, et al., 2008).
Dibawah ini merupakan grafik produksi tenun selama periode 25 minggu:
Gambar 1. Grafik produksi dan jumlah produk cacat
Berdasarkan grafik diatas, diketahui produk cacat masih fluktuatif. Dari total jumlah produksi selama 25 minggu sebesar 5.721 pcs terdapat 1.320 pcs produk cacat atau jika dipersentasekan terdapat 23% jumlah produk cacat. Sehingga perlu adanya perbaikan yang dilakukan oleh tenun untuk meningkatkan kualitas produknya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fandi Ahmad (2019) dapat menyimpulkan penyebab utama dari adanya fluktuasi kualitas produk. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui kemampuan proses berdasarkan produk cacat dengan pendekatan metode Six Sigma dengan tahapan DMAIC untuk mengetahui usulan penerapan pengendalian kualitas dengan menganalisis penyebab cacat pada proses produksi kursi kemudian mengupayakan perbaikan berkesinambungan. Berdasarkan penelitian tersebut, permasalahan fluktuasi kualitas produksi dapat diatasi dengan baik melalui pengetahuan terhadap permasalahan produksi yang sistematis.
3 1.2 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengidentifikasi serta menganalisis kecacatan dalam pengawasan atau pengendalian kualitas tenun ulos di Tarutung
2. Untuk menentukan faktor penyebab terjadinya kecacatan yang terjadi pada proses produksi tenun ulos dan upaya pengendalian kualitas di Samosir.
3. Untuk mengetahui besar nilai DPMO dan nilai sigma pada produk tenun ulos di 4. Untuk mengetahui faktor cacat berdasarkan RPN tertinggi pada produk tenun ulos 5. Untuk memberikan rekomendasi untuk peningkatan kualitas melalui pengendalian
kualitas produk tenun ulos dengan analisis menggunakan metode Six Sigma.
6. Untuk menganalisis pengaruh pengendalian kualitas yang dilakukan terhadap kepuasan pelanggan pada industri tenun ulos di Tarutung
4 BAB II
PERSIAPAN SIX SIGMA 2.1 Six Sigma Readiness Checklist
Readiness dalam analisis six sigma bertujuan untuk mengamati bagaimana UMKM Tenun Ulos di Tarutung sudah melakukan metode six sigma dalam usahanya. Hal ini dapat dilihat dari segi tenaga kerja (man), bahan baku (material), mesin (machine), metode (method), dan lingkungan (environment). Dari segi tenaga kerja, masih banyak ditemukan tenaga kerja yang belum mengerti bagaimana cara kerja pembuatan tenun ulos. Kemudian dari segi metodenya, dari pengamatan metode kerjanya yang kurang terstruktur, dimana masih belum adanya SOP yang khusus mengatur tentang sistem kerja yang pembuatan tenun ulos tersebut.
Dan dari segi lingkungan, pemilik usaha maupun tenaga kerja yang kurang menjaga kebersihan, baik lingkungan produksi, mesin, alat pencetak dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan analisis six sigma pada usaha produksi tenun ulos di Tarutung untuk meningkatkan kualitas tenun ulos serta menarik pelanggan yang lebih banyak. Berikut checklist daripada Readines Six sigma pada UMKM pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Checklist Readines Six sigma pada UMKM Tenun Ulos Tarutung
5 2.2 Six Sigma Key Players
Dalam menggunakan metodologi six sigma terdapat tingkatan posisi dalam sebuah struktur organisasi, yaitu:
1. Executive Leaders dimana peran ini diisi oleh pimpinan tingkat atas yang bertanggung jawab untuk mengatur visi, tujuan dari implementasi Lean Six Sigma. Mereka memfasilitasi pemegang peran lain dengan kebebasan dan dukungan sumber daya untuk mengeksplorasi ide baru sehingga dapat menciptakan perbaikan yang berkelanjutan.
2. Champions, executive leaders akan memilih champion dari jajaran manajemen tingkat atas. Nantinya, mereka akan bertanggung jawab terhadap implementasi Lean Six Sigma di organisasi secara keseluruhan dan juga menjadi mentor para Black Belts
3. Black Belts, adalah profesional yang dapat menjelaskan filosofi dan prinsip-prinsip Lean Six Sigma dengan baik, termasuk semua tool pendukung di dalamnya. Mereka berkontribusi penuh dalam penerapan Lean Six Sigma. Black Belt memiliki tanggung jawab utama pada eksekusi proyek. Untuk itu, seorang Black Belt harus memiliki kemampuan tinggi untuk memimpin tim, memahami dinamika tim, dan mendelegasikan peran dan tanggung jawab kepada seluruh anggota tim. Memiliki pemahaman prinsip kerja Lean Six Sigma dan DMAIC.
4. Green Belts, karyawan yang melakukan implementasi Lean Six Sigma bersamaan dengan tanggung jawab pekerjaannya. Mereka menjalankan proyek di bawah bimbingan Black Belt. Adapun tugas utama seorang Green Belt adalah terlibat aktif dalam proyek perbaikan dan bertanggung jawab penuh untuk menganalisa masalah dan mengatasinya. Dalam menjalankan tugasnya mereka akan dibantu oleh Yellow Belt atau White Belt. Mereka adalah karyawan yang telah menyelesaikan pelatihan dasar mengenai tool Six Sigma.
5. Master Black Belt, Six Sigma Master Black Belt (MBB) – MBB adalah peringkat Belt Six Sigma tertinggi, dan memiliki persyaratan sertifikasi yang paling menuntut. Sertifikasi Master Black Belt membutuhkan pengalaman selama lima tahun sebagai Black Belt dan berhasil menyelesaikan setidaknya 10 proyek Six Sigma
6. Black Belt, Black Belt adalah seseorang yang secara full-time mendedikasikan waktunya untuk memanajemeni improvement (Six Sigma Project) di perusahaan. Black Belt bertanggung jawab untuk menjalankan proyek Six Sigma di dalam perusahaan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan produktifitas perusahaan
7. Green Belt, Green Belt adalah orang mengumpulkan dan menganalisa data untuk memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan benar dan digunakan dengan cara yang efektif.
8. Team Members (Anggota Team) Yang berpartisipasi dalam proyek dan terus mendukung kemajuan proyek dan selalu menerapkan 6 sigma dalam pekerjaan hariannya
9. Proses Owner (Pemilik atau orang yang mengerjakan proses), Seluruh Pihak karyawan.
Untuk setiap tingkatan pada penelitian six sigma ini tidak memiliki jabatan dikarenakan proses penelitian berlangsung bukan pada suatu industri manufaktur melainkan pada sebuah UMKM sederhana.
6 Gambar 3. Struktur organisasi Tenun Ulos Tarutung
7 BAB III
DEFINE PHASE
Tahapan Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas six sigma. Sebelum mendefinisikan proses kunci beserta pelanggan dalam proyek six sigma, disini kita perlu mengetahui model proses SIPOC (Supplier, Input, Process, Output, Customer). Tahapan Define adalah tahapan untuk mengidentifikasi permasalahan yang akan diselesaikan. Define merupakan tahap penetapan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas Six Sigma yang merupakan langkah operasional dalam peningkatan kualitas Six Sigma (Khoirunnisa, 2019). Tools yang digunakan pada tahap define dilakukan dengan cara pembuatan deskripsi proses produksi dengan pembuatan diagram SIPOC dan penentuan critical to quality (CTQ) (Somadi, 2020).
Pada tahap ini didefinisikan masalah yang terjadi di perusahaan. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan produk atau proses yang akan menjadi kriteria penelitian dengan menggunakan metode Six Sigma. Tahap define ini bertujuan untuk mengidentifikasi produk atau proses yang yang akan diperbaiki dan menentukan sumber yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek. Untuk dapat memperoleh suatu tingkat kualitas dari hasil yang diinginkan perusahaan bisa mengukur, mengkaji dan mengendalikan faktor-faktor yang akan mempengaruhi terhadap hasilnya tersebut
3.1 Menyatakan Masalah dan Tujuan Proyek Six Sigma a. Pernyataan Masalah
UMKM tenun ulos Tarutung merupakan industri tekstil rumahan yang memproduksi kain tenun berupa ulos Batak. Dalam menjalankan produksinya, UMKM Tenun ulos Tarutung masih menggunakan Alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat-alat tradisional lainnya. Dalam proses produksinya masih ditemukan beberapa kendala yang mengakibatkan produk mengalami kecacatan. Produk cacat yang muncul pada proses produksi tentu saja merugikan perusahaan dan dapat mengurangi kepercayaan customer.
b. Pernyataan Tujuan
Tujuan dilakukan proyek six sigma ini adalah untuk meningkatkan pencapaian target- target kualitas produk Tenun ulos Tarutung dengan menurunkan nilai DPMO dan peningkatan kapabilitas proses. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memberikan usulan perbaikan dan usulan kondisi optimal pada faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan.
c. Ruang Lingkup
Lingkup pada proyek ini adalah pada perbaikan kualitas produk Tenun ulos Tarutung.
Proyek peningkatan kualitas ini dilakukan sampai pada tahap improve sedangkan control dilakukan oleh pihak perusahaan.
3.2 Identifikasi Produk Cacat
Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara langsung dengan pemilik UMKM yaitu dengan Bapak Lamhot Lumban Tobing, maka diperoleh beberapa jenis cacat produk tenun ulos yang ada di UMKM tenun ulos Tarutung maka didapat beberapa
8 karakteristik kecacatan yang menyebabkan produk tidak sesuai dengan harapan pihak perusahaan maupun konsumen. adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Jenis cacat pada produk UMKM Tenun Ulos Tarutung
No Jenis cacat Keterangan cacat
1 Pakan renggang Cacat pakan renggang adalah benang yang mudah putus dan kusut. Benang yang mudah putus dapat disebabkan karena kualitas benang yang kurang baik sehingga saat proses penggulungan benang tidak kuat dengan tarikan alat gulung yang menyebabkan benang putus
2 Sobek Penyebab dari benang putus ini biasanya karena benang terkena pisau saat proses melepas tali rafia. Selain itu, kualitas benang yang kurang bagus dan tarikan benang yang terlalu kuat saat proses tenun juga dapat menyebabkan benang putus.
3 Corak kurang rapi
Cacat ini biasanya terjadi karena pekerja yang kurang terampil atau kurang teliti saat proses menggambar corak dan pewarnaan motif. Kualitas obat pewarna juga mempengaruhi hasil corak pada ulos.
4 Warna pudar Cacat ini biasanya terjadi karena obat pewarna kurang masuk pada benang dan pekerja yang kurang kencang mengikat tali rafia pada proses pengikatan. Pemilihan jenis cat dan benang sangat mempengaruhi hasil akhir warna pada ulos, benang yang berkualitas akan menyerap pewarna secara maksimal.
3.3 Diagram SIPOC
Diagram SIPOC digunakan untuk memetakan keseluruhan proses produksi dan proses bisnis di UMKM Tenun Ulos di Tarutung hingga pendistribusian produk sampai kepada konsumen. Pemetaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dalam proses produksi ulos UMKM Tenun Ulos di Tarutung Tekstil serta untuk menentukan Critical To Quality (CTQ) produk ulos. Diagram SIPOC merupakan aliran kerja sebagai alat/tools yang tepat bagi perusahaan untuk mengetahui bisnis dari perspektif proses. yang berasal dari lima elemen yang ada pada diagram yaitu Supplier, Inputs, Processes, Outputs, Customers.
Diagram SIPOC (Suppliers, Input, Process, Output, Customer) adalah memetakan proses manufaktur dari tahapan mengidentifikasi pemasok yang menyediakan material atau bahan baku yang dipakai dalam proses produksi, mengidentifikasi input yang terdiri dari material, mesin ataupun sumber daya manusia yang digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan luaran yang berkualitas, kemudian mengidentifikasi tahapan atau proses yang akan dilakukan dalam produksi, mengidentifikasi output yaitu sebuah produk yang dihasilkan, kemudian mengidentifikasi konsumen yang selanjutnya menjadi pengguna dari produk yang dihasilkan. Berikut merupakan diagram SIPOC dari UMKM Tenun Ulos Tarutung.
9 Tabel 3. SIPOC Diagram proses produksi UMKM Tenun Ulos Tarutung
Suppliers Inputs Process Outputs Customers
- Penjual benang tenun
- Benan - SDM - Mesin
Proses tenun ulos Proses Penganian
Proses Pemaletan
Proses Pencucukan
Proses Penyetelan
Proses Penenunan
Proses Pemotongan
Proses Pengkanjian
Penyimpanan
- Susunan benang - Benang kelos atau
benang pakan - Benang disusun di
matagun
- Penyetelan mesin, teropong,kartu di setel
- Benang lusi siap untuk ditenun - Lembaran ulos
sesuai motif dan ukuran
- Pengepresan ulos - Produk yang telah
sesuai spesifikasi telah ditentukan
Agen besar (toko besar) ke wilayah Kab.Tapanuli Utara,
Kab.Toba, Daerah Medan hingga ke Pulau Jawa.
Keterangan sipoc:
Tabel 4. Keterangan SIPOC
Komponen Sipoc Keterangan
Supplier Pemasok bahan baku ulos berasal dari supplier yang berada di daerah Tarutung
Input Bahan baku yang digunakan dalam produksi ulos adalah benang dengan jenis cotton 7S
Process Dalam proses produksi ulos terdiri dari 8 tahapan yang meliputi tahap yaitu: penganian, pemaletan, pencucukan, penyetelan, penenunan, pemotongan, engkanjian, hingga pendistribusian.
10 Output Hasil keluaran yang dihasilkan adalah ulos
Customer Agen besar (toko besar) ke wilayah Kab.Tapanuli Utara, Kab.Toba, Daerah Medan hingga ke Pulau Jawa.
3.4 Critical To Quality
Critical to Quality (CTQ) adalah suatu karakteristik kualitas suatu produk yang ditentukan berdasarkan jenis cacat yang terdapat dalam produksi di suatu perusahaan. CTQ adalah atribut-atribut dari proses yang sangat penting dan berpengaruh langsung terhadap pencapaian mutu yang diinginkan konsumen (Gaspersz, 2002). CTQ merupakan standar ukuran suatu produk/proses untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Adapun langkah-langkah dalam CTQ menurut Somadi (2020). ini adalah:
a. Menghitung CTQ Pada tahap ini yaitu menentukan kriteria yang menimbulkan atau memiliki potensial untuk menimbulkan kegagalan atau kecacatan.
b. Menetapkan CTQ Pada tahap CTQ ini menetapkan permasalahan yang paling sering terjadi.
Dalam menentukan CTQ dapat diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi lapangan di objek penelitian kepada pihak yang terkait di UMKM Tenun Ulos di Tarutung.
Adapun karakteristik kualitas atau Critical to Quality (CTQ) dari produk ulos UMKM Tenun Ulos Tarutung adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Identifikasi CTQ Terhadap Kualitas Kebutuhan Customer
No Karakteristik Kualitas Keterangan
1 Kesempurnaan Bahan Pakan renggang Sobek
2 Kesempurnaan Warna dan Motif Corak kurang rapi, warna pudar.
Penentuan Critical to Quality (CTQ) pada produk ulos didasarkan pada jenis kecacatan produk ulos yang terdapat pada UD. John Tekstil. Adapun jenis cacat yang ditemukan dalam produk ulos adalah jenis cacat pada motif, ukuran, dan tampilan benang (benang renggang).
CTQ tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kesempurnaan Bahan Pakan Renggang
Tampilan benang ulos meliputi kondisi benang yang tidak renggang atau memiliki benang yang berambu/putus yang diperoleh apabila sisir pada mesin tidak mengalami aus dan hamran pada mesin bekerja dengan baik sehingga benang rata atau tidak renggang.
b. Kesempurnaan Warna dan Motif
Tampilan pada ulos terdiri dari motif dan tampilan susunan benang pada ulos. Motif merupakan suatu simbol atau corak untuk mengetahui makna dan nilai – nilai yang terkandung dalam ulos tersebut. Setiap jenis ulos memiliki makna dan fungsi tersendiri.
Motif pada ulos yang sesuai dengan standar sesuai dengan desain atau corak yang telah ditetapkan UMKM Tenun Ulos di Tarutung yang juga sama dengan ulos pada umumnya.
11 BAB IV
MEASUREMENT PHASE
Tahap measure merupakan langkah kedua dalam pengendalian kualitas menggunakan metode Six Sigma DMAIC. Pada tahap ini menentukan CTQ yang berpengaruh terhadap kebutuhan pelanggan dan menentukan karakteristik kualitas (CTQ) potensial terkait dengan proses tersebut dibuat dalam diagram pareto terhadap jenis cacat yang mempengaruhi kualitas. Kemudian melakukan perhitungan untuk mengetahui nilai DPMO dan tingkat sigma.
4.1 Mengidentifikasi CTQ Berdasarkan Karakteristik Kualitas Kebutuhan Customer Setiap karakteristik kualitas memiliki hubungan terhadap jenis cacat yang berbeda- beda. Berikut merupakan hubungan atribut-atribut Critical to Quality (CTQ) yang dapat mempengaruhi karakteristik kualitas kebutuhan pelanggan.
Tabel 6. Hubungan atribut-atribut Critical to Quality (CTQ)
No Karakteristik Kualitas Keterangan
1 Kesempurnaan Bahan Pakan Renggang, sobek
2 Kesempurnaan Warna dan Motif Corak kurang rapi, warna pudar 4.2 Menentukan CTQ Potensial dan Diagram Pareto
Untuk penentuan karakteristik CTQ potensial adalah dengan menghitung persentase data kecacatan produk yang diperoleh dengan menggunakan alat bantu diagram pareto untuk mengetahui tingkat cacat tertinggi dari jenis kecacatan produk. Berikut penjelasan data cacat dan persentase cacat terhadap setiap jenis cacat.
Tabel 7. Data produk ulos cacat dan persentase cacat No Jenis Cacat Frekuen
si Cacat
Frekuensi Cacat Kumulatif
Persentase Frekuensi Cacat
Persentase Frekuensi Cacat Kumulatif
1 Pakan Renggang 564 564 42,73 % 42,73 %
2 Sobek 427 991 32,35 % 75,08 %
3 Corak Kurang rapi
204 1195 15,45 % 90,53 %
4 Warna Pudar 125 1320 9,47 % 100 %
12 Gambar 4. Pareto produk ulos cacat
Dari diagram pareto dan tabel diatas dapat diketahui jenis cacat apa yang paling dominan terhadap kualitas produk. Jenis cacat yang paling dominan dengan persentase tertinggi adalah pakan renggang sebesar 42,73%, kemudian jenis cacat sobek dengan persentase kumulatif sebesar 75,08%, jenis cacat corak kurang rapi dengan persentase kumulatif sebesar 90,53% dan jenis cacat warna pudar persentase kumulatif sebesar 100%.
4.3 Menghitung Nilai DPMO dan Nilai Sigma
DPMO merupakan ukuran kegagalan dalam Six Sigma yang memperlihatkan kegagalan per satu juta kesempatan. Nilai DPMO dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
Tabel 8. Perhitungan nilai DPMO dan nilai Sigma Periode Jumlah Produksi
(pcs)
Jumlah Produk Cacat (pcs)
CTQ DPMO Tingkat
Sigma
1 245 83 4 84693,88 2,87
2 229 69 4 75327,51 2,94
3 230 42 4 45652,17 3,19
4 203 30 4 36945,81 3,29
5 229 66 4 72052,4 2,96
13 Periode Jumlah Produksi
(pcs)
Jumlah Produk Cacat (pcs)
CTQ DPMO Tingkat
Sigma
6 207 37 4 44685,99 3,2
7 219 54 4 61643,84 3,04
8 242 62 4 64049,59 3,02
9 231 45 4 48701,3 3,16
10 213 37 4 43427,23 3,21
11 217 55 4 63364,06 3,03
12 266 78 4 73308,27 2,95
13 236 47 4 49788,14 3,15
14 223 29 4 32511,21 3,35
15 231 56 4 60606,06 3,05
16 257 77 4 74902,72 2,94
17 244 60 4 61475,41 3,04
18 223 35 4 39237,67 3,26
19 226 46 4 50884,96 3,14
20 239 24 4 25104,6 3,46
21 212 58 4 68396,23 2,99
22 260 69 4 66346,15 3
23 219 66 4 75342,47 2,94
24 214 40 4 46728,97 3,18
25 206 55 4 66747,57 3
Total 5.721 1.320
Rata-rata 57.276,97 3,09
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat terdapat 4 CTQ potensial yaitu pakan renggang, sobek, corak kurang rapi dan warna pudar dengan jumlah produk sebanyak 5.721 pcs produk.
Adapun sebaran DPMO dan nilai sigma untuk data atribut ditunjukkan pada gambar 5 dan gambar 6 sebagai berikut:
14 Gambar 5. Grafik nilai DPMO dan rata-rata DPMO
Berdasarkan grafik nilai DPMO di atas, pola DPMO masih belum konsisten. Pola DPMO masih bervariasi naik turun selama periode 25 minggu yang menunjukkan bahwa proses belum dikelola dengan baik. DPMO dengan nilai tertinggi berada pada minggu ke-1 sebesar 84.693,88. Kemudian nilai terendah berada pada minggu ke-20 dengan nilai DPMO sebesar 25.104,60 dengan rata-rata DPMO sebesar 57.276,97. Rata-rata DPMO yang diperoleh digunakan sebagai baseline kinerja untuk digunakan sebagai acuan peningkatan dalam periode selanjutnya. Suatu proses yang dikendalikan dan ditingkatkan secara berkala akan menunjukkan pola DPMO yang menurun sepanjang waktu.
Gambar 6. Grafik nilai Sigma dan Rata-rata nilai Sigma
Berdasarkan grafik tingkat sigma di atas, dapat dilihat bahwa pola nilai sigma belum konsisten. Pola nilai sigma masih bervariasi naik turun selama periode 25 minggu yang menunjukkan bahwa proses produksi belum dikelola dengan baik. Rata-rata nilai sigma yang diperoleh digunakan sebagai baseline kinerja untuk digunakan sebagai acuan peningkatan
15 dalam periode selanjutnya. Suatu proses yang dikendalikan dan ditingkatkan secara berkala akan menunjukkan pola nilai sigma yang terus naik sepanjang waktu.
Dari kedua grafik di atas dapat diketahui bahwa nilai DPMO dan nilai sigma berbanding terbalik. Ketika nilai DPMO berada di atas rata-rata, nilai sigma akan berada di bawah rata-rata, dan sebaliknya.
4.4 Penentuan Peta Kendali
Peta kendali merupakan alat analisis yang dibuat mengikuti metode statistik, dimana data yang terkait dengan kualitas produk akan diuraikan dalam sebuah peta kendali. Peta kendali yang digunakan ialah peta kendali P (P-chart) karena data yang digunakan adalah jenis cacat dan jumlah produk cacat yang dihasilkan bervariasi. Langkah- langkah pembuatan peta kontrol p adalah sebagai berikut:
1. Sampel yang digunakan bervariasi untuk setiap pemeriksaan
2. Menghitung proporsi produk cacat (p)
P = Jumlah Produk Cacat/Jumlah Produk yang diperiksa
3. Menentukan garis pusat (CL)
p topi = Keseluruhan Produk Cacat/Keseluruhan Jumlah Produk yang Diperiksa / Keseluruhan Jumlah Produk yang diperiksa p topi = 1370/5721 = 0,231
4. Menentukan batas kendali untuk peta kontrol p
a) Penentuan Upper Control Limit (UCL)
b) Penentuan Lower Control Limit (LCL)
Tabel 9. Data peta kendali produk Ulos cacat Periode Jumlah Produksi
(pcs)
Jumlah Produk Cacat (pcs)
Proporsi Produk Cacat
UCL CL LCL
1 245 83 0,339 0,311 0,231 0,15
16 Periode Jumlah Produksi
(pcs)
Jumlah Produk Cacat (pcs)
Proporsi Produk Cacat
UCL CL LCL
2 229 69 0,301 0,314 0,231 0,147
3 230 42 0,183 0,314 0,231 0,147
4 203 30 0,148 0,319 0,231 0,142
5 229 66 0,288 0,314 0,231 0,147
6 207 37 0,179 0,319 0,231 0,143
7 219 54 0,247 0,316 0,231 0,145
8 242 62 0,256 0,312 0,231 0,149
9 231 45 0,195 0,314 0,231 0,148
10 213 37 0,174 0,317 0,231 0,144
11 217 55 0,253 0,317 0,231 0,145
12 266 78 0,293 0,308 0,231 0,153
13 236 47 0,199 0,313 0,231 0,148
14 223 29 0,13 0,315 0,231 0,146
15 231 56 0,242 0,314 0,231 0,148
16 257 77 0,3 0,31 0,231 0,152
17 244 60 0,246 0,312 0,231 0,15
18 223 35 0,157 0,315 0,231 0,146
19 226 46 0,204 0,315 0,231 0,147
20 239 24 0,1 0,312 0,231 0,149
21 212 58 0,274 0,318 0,231 0,144
22 260 69 0,265 0,309 0,231 0,152
23 219 66 0,301 0,316 0,231 0,145
24 214 40 0,187 0,317 0,231 0,144
25 206 55 0,267 0,319 0,231 0,143
Total 5721 1320
17 Gambar 7. Grafik peta kendalo produk Ulos cacat
Dari diagram diatas, dapat diketahui bahwa proses produksi masih bersifat fluktuatif atau tidak stabil, namun bukan berarti itu buruk. Perhitungan peta kendali p untuk mengetahui tingkat konsistensi dari suatu data. Seperti pada data diatas yaitu pada periode minggu ke-14 dan 20, tingkat proporsi cacat pada periode tersebut diluar batas kendali namun data periode tersebut memiliki tingkat proporsi cacat lebih kecil dibanding periode lain. Namun tidak konsistennya grafik menunjukkan bahwa proses produksi produk belum dilakukan secara tepat. Perusahaan harus melakukan pengendalian kualitas yang lebih baik untuk mengurangi jumlah cacat produk setiap periode.
18 BAB V
ANALYZE PHASE 5.1 Fishbone Diagram
Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengamatan yang telah dilakukan, diagram fishbone dibuat untuk mengetahui sebab akibat penyebab dari kecacatan produk.
a. Cacat Pakan Renggang
Gambar 8. Fishbone diagram pakan renggang
19 Berdasarkan diagram dari sebab-akibat fishbone yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pemilik UMKM tenun Ulos Tarutung, disimpulkan bahwa banyak faktor penyebab terjadinya cacat pakan pada produk tenun ulos adalah karena faktor manusia, mesin, metode, material dan lingkungan. Adapun penjelasan dari tiap faktor penyebab cacat pakan renggang sebagai berikut.
1) Faktor Manusia
Dari segi faktor manusia, cacat pakan renggang disebabkan oleh pekerja yang kurang rajin, kurangnya keterampilan dan konsentrasi pekerja, yang berkurang dalam menenun dan menggulung, yang dapat menyebabkan lilitan benang dan sulit menenun.
2) Faktor Mesin
Untuk faktor mesin, sedikitnya kesalahan input dikarenakan pengaturan ATBM yang berubah dan susunan ATBM yang kurang akurat. Set ATBM yang tidak akurat menyebabkan benang menjadi kusut, sehingga benang melar dan meregang saat menenun, sehingga terjadi kesalahan.
3) Faktor Metode
Dalam metode tersebut, faktor penyebab terjadinya cacat pakan kain adalah proses penggulungan yang tidak tepat, pegangan kain yang tidak memadai, kurangnya SOP. Ketegangan benang yang tidak tepat akan mengakibatkan bom benang retak atau kusut dan membuat proses penggulungan menjadi berantakan.
4) Faktor Material
Karena bahannya, cacat kain renggang yang mudah putus dan kusut. Benang yang mudah putus dapat disebabkan oleh kualitas benang yang kurang baik, sehingga pada saat proses penggulungan benang tidak berhubungan kuat dengan gaya tarik alat penggulungan sehingga menyebabkan putusnya benang.
5) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan kegagalan yaitu cacat kain renggang adalah kurangnya sirkulasi udara. Penyebab kesalahan tersebut adalah faktor lingkungan tersebut yang mempengaruhi kenyamanan pekerja, sehingga kinerja pekerja menurun.
20 b. Cacat Sobek
Gambar 9. Fishbone diagram Cacat sobek
21 Berdasarkan diagram dari sebab-akibat fishbone yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pemilik UMKM tenun Ulos Tarutung, disimpulkan bahwa banyak faktor penyebab terjadinya cacat pakan pada produk tenun ulos adalah karena faktor manusia, mesin, metode, material dan lingkungan. Adapun penjelasan dari tiap faktor penyebab cacat pakan renggang sebagai berikut.
1) Faktor Manusia
Dari segi faktor manusia, cacat sobek disebabkan oleh pekerja yang kurang rajin, kurangnya keterampilan dan konsentrasi pekerja, yang berkurang dalam menenun dan menggulung, yang dapat menyebabkan lilitan benang dan sulit menenun.
2) Faktor Mesin
Untuk faktor mesin, sedikitnya kesalahan input dikarenakan pengaturan ATBM yang berubah dan susunan ATBM yang kurang akurat.
3) Faktor Metode
Faktor penyebab kegagalan sobek pada metode adalah winding yang kotor, sapuan kain yang tidak tepat, dan tidak adanya SOP. Menarik benang terlalu keras dapat menyebabkan benang putus atau kusut sehingga membuat penggulungan menjadi berantakan.
4) Faktor Material
Karena bahannya, cacat kain renggang yang mudah putus dan kusut. Benang yang mudah putus dapat disebabkan oleh kualitas benang yang kurang baik, sehingga pada saat proses penggulungan benang tidak berhubungan kuat dengan gaya tarik alat penggulungan sehingga menyebabkan putusnya benang.
5) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan kegagalan yaitu cacat kain renggang adalah kurangnya sirkulasi udara. Penyebab kesalahan tersebut adalah faktor lingkungan tersebut yang mempengaruhi kenyamanan pekerja, sehingga kinerja pekerja menurun.
5.2 Analisis Menggunakan tabel FMEA
Setelah diketahui penyebab kegagalan menggunakan fishbone diagram, dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode FMEA (Failure Mode & Effect Analysis). Metode FMEA melibatkan perhitungan RPN (Risk Priority Number) dengan mewawancarai pemilik UMKM untuk menentukan skor keparahan, kejadian dan deteksi sebagai langkah untuk menentukan nilai RPN untuk memprioritaskan penyebab kegagalan. Setelah menentukan penyebab utama munculnya kecacatan, peneliti dapat memberikan saran perbaikan yang bertujuan untuk mengurangi produk cacat yang dominan. Berikut ini adalah kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai dari severity, occurance, dan detection:
Tabel 10. Kriteria Severity
Ranking Akibat Kriteria
22 1 Tidak ada akibat Tidak ada efek terhadap kualitas
2 Sangat sedikit akibatnya Karakteristik kualitas produk tidak terganggu
3 Sedikit akibatnya Akibatnya sedikit ke kualitas produk 4 Akibatnya kecil Kualitas produk mengalami gangguan kecil 5 Cukup berakibat Kegagalan mengakibatkan beberapa
ketidakpuasan pada kualitas produk
6 Cukup berakibat Kegagalan mengakibatkan
ketidaknyamanan
7 Akibatnya besar Kualitas produk tidak memuaskan
8 Ekstrim Kualitas produk sangat tidak memuaskan
9 Serius Potensi menimbulkan akibat buruk pada
produk
10 Beresiko Efek dari model kegagalan berakibat fatal
terhadap kualitas produk.
Tabel 11. Kriteria Occurrence
Ranking Akibat Kriteria
1 Tidak pernah Sejarah menunjukkan tidak ada kegagalan
2 Jarang Kemungkinan kegagalan sangat langka
3 Sangat kecil Kemungkinan kegagalan sangat sedikit 4 Sedikit sekali Kualitas produk mengalami gangguan kecil
5 Rendah Beberapa kemungkinan kegagalan
6 Sedang Kemungkinan kegagalan sedang
7 Cukup tinggi Kemungkinan kegagalan cukup tinggi
8 Tinggi Tingginya jumlah kegagalan
9 Sangat tinggi Jumlah yang sangat tinggi dari kemungkinan kegagalan
10 Pasti Kegagalan hampir pasti ada
23 Tabel 12. Kriteria Detection
Rangking Kriteria Kemungkinan Deteksi
1 Metode pengontrolan sangat efektif. Penyebab tidak memiliki kesempatan untuk muncul kembali
Hampir pasti 2 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan
sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya kembali penyebab bersifat rendah
Sangat tinggi
3 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan tinggi dan memungkinkan terjadinya kembali penyebab bersifat rendah
Tinggi
4 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan tinggi dan memungkinkan untuk penyebab kembali terjadi kadang-kadang
Cukup tinggi
5 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan bersifat sedang dan masih memungkinkan untuk penyebab kembali terjadi kadang-kadang
Sedang
6 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan bersifat rendah dan memungkinkan terjadinya kembali penyebab tinggi karena penyebab masih terulang
Rendah
7 Metode pengontrolan untuk mendeteksi kegagalan bersifat sangat rendah dan kemungkinan terjadinya kembali penyebab bersifat tinggi karena penyebab masih terulang
Sangat rendah
8 Kecil kemungkinan untuk mendeteksi kegagalan Kecil 9 Sangat kecil kemungkinan untuk mendeteksi
kegagalan
Sangat kecil
10 Tidak ada metode pengontrolan untuk mendeteksi Hampir tidak mungkin
Berdasarkan kriteria kriteria dari indikator severity, occurrence, dan detection maka dapat dilakukan analisis terhadap FMEA. Untuk itu berikut merupakan analisis FMEA cacat pakan renggang dan cacat sobek dalam menentukan nilai RPN tersebut.
24 a. FMEA Pakan Renggang
Tabel 13. FMEA jenis cacat Pakan Renggang Potential
Failure Mode
Potential Effects of Failure
S Potential Cause of Failure
Root Cause O Current Control D RPN
Pakan Renggang
Benang pakan pada tenun renggang sehingga menyebabka n bahan ulos menjadi kasar, dan menurunkan grade produk bahkan menjadi reject
8 Pekerja kurang teliti
Pekerja terburu- buru mengejar target
7 Mengingatkan dan menegur pekerja agar lebih teliti dan tidak terburu-buru dalam melakukan pekerjaanya, memberikan waktu istirahat dan memberi target produksi sesuai kemampuan pekerja
5 280
Kurang keahlian
Kurang pelatihan dan pengetahuan
3 Mengadakan training atau pelatihan untuk meningkatkan keahlian pekerja
4 96
Konsentrasi menurun
Pekerja terburu- buru
6 Mengingatkan dan menegur pekerja agar tidak terburu-buru dalam melakukan pekerjaannya, memberikan waktu istirahat yang cukup
5 240
Kelelahan
Settingan ATBM berubah
Tidak ada jadwal maintenance
5 Melakukan pengecekan dan pemeriksaan mesin sebelum memulai proses tenun, melakukan reparasi ketika ada kerusakan, dan melakukan perawatan mesin secara berkala
3 120
25 Serit ATBM
tidak presisi
Terbentur sekoci
6 Melakukan pengecekan dan pemeriksaan mesin sebelum memulai proses tenun, melakukan reparasi ketika ada kerusakan, meletakkan sekoci pada tempatnya
2 96
Meletakkan sekoci tidak sesuai tempatnya Penggulungan
berantakan
Bom putus 4 Meningkatkan pengawasan, melakukan pengecekan alat sebelum memulai proses gulungan, menyesuaikan tarikan benang dan berhati-hati dalam bekerja.
5 160
Tarikan benang terlalu kuat
Benang terkena mata pisau
Tarikan
benang kurang sesuai
Pengetahuan terhadap metode kurang
5 Menyesuaikan tarikan benang agar tidak terlalu kuat dan melakukan pengawasan
3 120
Tidak ada SOP
6 Melakukan pengawasan dan membuat SOP 2 96
26 Benang mudah
putus
Kualitas benang kurang bagus
5 Menyesuaikan tarikan benang agar tidak terlalu kuat, memilih benang dengan kualitas yang bagus agar tidak mudah putus, mencari supplier cadangan
3 120
Benang terkena mata pisau
Ketersediaan benang pada supplier terbatas
Benang kusut 5 Memilih benang dengan kualitas yang bagus agar tidak mudah kusut
4 160
Sirkulasi udara kurang
4 Penggunaan exhaust pada area kerja 4 128
Berdasarkan hasil penilaian diatas, didapatkan prioritas penyebab terjadinya cacat terjadi yaitu pekerja kurang teliti dengan nilai RPN tertinggi yaitu sebesar 280. Pekerja kurang teliti dalam menjalankan produksi, yang nantinya akan berdampak pada hasil produksi.
b. FMEA Sobek
27 Tabel 14. FMEA jenis cacat Kain Sobek
Potential Failure Mode
Potential Effects of Failure
S Potential Cause of Failure
Root Cause O Current Control D RPN
Sobek Benang
mudah putus dan kusut karena tarikan alat
penggulungan dan tenun terlalu kuat, sehingga menyebabkan kain menjadi sobek dan mengurang keindahan produk
7 Pekerja kurang teliti
Pekerja terburu- buru mengejar target
7 Mengingatkan dan menegur pekerja agar lebih teliti dan tidak terburu-buru dalam melakukan pekerjaanya, memberikan waktu istirahat dan memberi target produksi sesuai kemampuan pekerja
5 245
Konsentras i menurun
Pekerja terburu- buru
6 Mengingatkan dan menegur pekerja agar tidak terburu-buru dalam melakukan pekerjaannya, memberikan waktu istirahat yang cukup
5 210
Kelelahan
Settingan ATBM berubah
Tidak ada jadwal maintenance
6 Melakukan pengecekan dan pemeriksaan mesin sebelum memulai proses tenun, melakukan reparasi ketika ada kerusakan, dan melakukan perawatan mesin secara berkala
3 126
Penggulun gan
berantakan
Bom putus 5 Meningkatkan pengawasan, melakukan pengecekan alat sebelum memulai proses gulungan, menyesuaikan tarikan benang dan
4 140
28 Tarikan benang
terlalu kuat
berhati-hati dalam bekerja.
Benang terkena mata pisau
Tarikan benang kurang sesuai
Pengetahuan terhadap metode kurang
5 Menyesuaikan tarikan benang agar tidak terlalu kuat dan melakukan pengawasan
3 105
Tidak ada SOP
7 Melakukan pengawasan dan membuat SOP 2 98
Benang mudah putus
Kualitas benang kurang bagus
5 Menyesuaikan tarikan benang agar tidak terlalu kuat, memilih benang dengan kualitas yang bagus agar tidak mudah putus, mencari supplier cadangan
3 105
Benang terkena mata pisau
Ketersediaan benang pada supplier terbatas
29 Benang
kusut
5 Memilih benang dengan kualitas yang bagus agar tidak mudah kusut
4 140
Sirkulasi udara kurang
4 Penggunaan exhaust pada area kerja 4 112
Berdasarkan hasil penilaian diatas, didapatkan prioritas penyebab terjadinya cacat yang terjadi yaitu pekerja kurang teliti dengan nilai RPN tertinggi sebesar 245. Pekerja yang kurang teliti dalam menjalankan produksi, nantinya akan berdampak pada hasil produksi.
30 BAB VI
IMPROVEMENT PHASE 6.1 Usulan Perbaikan
Setelah sumber dan akar penyebab masalah kualitas diidentifikasi, fase perbaikan ini menentukan rencana tindakan korektif untuk menerapkan peningkatan kualitas Six Sigma.
Faktor kegagalan diperbaiki dengan 5W-1H berdasarkan diagram fishbone dengan RPN tertinggi yang ditentukan sebelumnya dengan metode FMEA. Mengembangkan rencana tindakan korektif merupakan langkah penting dalam terminologi Six Sigma. Hal yang akan dilakukan sebagai perbaikan sebagai berikut.
Tabel 15. Rencana Tindakan Perbaikan Pemilik UMKM
Jenis 5W+1H Deskripsi/Tindakan
Tujuan Utama What 1. Meningkatkan ketelitian pekerja 2. Memilih bahan baku terbaik
3. Memberikan pemahaman terhadap pekerja Alasan
kegunaan
Why 1. Agar proses produksi berjalan sesuai standar 2. Untuk mengurangi terjadinya produk defect Lokasi Where Tempat produksi UMKM Tenun Tarutung Urutan When Sebelum melakukan proses produksi
Orang Who Pemilik UMKM
Mode How 1. Menegur dan menyadarkan pekerja akan pentingnya ketelitian dan konsentrasi saat melakukan tugasnya, karena akan sangat berdampak pada hasil produksi
2. Memberikan target produksi sesuai kemampuan pekerja 3. Meningkatkan pengawasan terhadap pekerja
4. Memberikan waktu istirahat yang cukup 5. Mengadakan pelatihan ataupun training untuk
meningkatkan keahlian kerja
6. Memberi punishment dan reward bagi pekerja.
7. Memilih benang dan cat sesuai standar kualitas UMKM yaitu benang sutra yang memiliki grade premium dan cat yang warnanya tetap stain untuk menjaga warna pada kain ulos agar tidak cepat pudar meskipun digunakan berkali- kali
8. Membuat daftar list cadangan supplier untuk memastikan stock raw material tetap tercukupi saat proses pembuatan tenun.
9. Memberikan pemahaman terhadap pekerja pentingnya kualitas bahan baku karena mempengaruhi hasil akhir produk
10. Membuat SOP
31 11. Menambahkan fasilitas seperti ventilasi dan exhaust fan
yang dapat mengurangi suhu panas dalam ruangan.
Tabel 16. Rencana Tindakan Perbaikan Pekerja Gulungan
Jenis 5W+1H Deskripsi/Tindakan
Tujuan Utama
What Agar bom benang tidak putus karena dapat menyebabkan hasil penggulungan kusut.
Alasan kegunaan
Why 1. Agar proses produksi berjalan sesuai standar 2. Untuk mengurangi terjadinya produk defect Lokasi Where Tempat produksi UMKM Tenun Tarutung Urutan When Sebelum dan saat proses produksi
Orang Who Pekerja pada proses penggulungan benang
Mode How 1. Saat proses penggulungan benang dasar, tarikan benang disesuaikan agar benang tidak putus dan kusut.
2. Memastikan bom benang tidak terkena mata pisau agar benang tidak putus
3. Melakukan pengecekan mesin sebelum digunakan
Tabel 17. Rencana Tindakan Perbaikan Pekerja Tenun
Jenis 5W+1H Deskripsi/Tindakan
Tujuan Utama
What Untuk menghindari hasil tenun yang rapat-renggang yang
disebabkan serit ATBM karena dapat mempengaruhi hasil produk Alasan
kegunaan
Why 1. Agar proses produksi berjalan sesuai standar 2. Untuk mengurangi terjadinya produk defect Lokasi Where Tempat produksi UMKM Tenun Tarutung Urutan When Sebelum dan saat proses produksi
Orang Who Pekerja pada proses penggulungan benang
Mode How 1. Menaruh sekoci pada tempatnya agar tidak terbentur serit ATBM
2. Melakukan pengecekan apakah serit ATBM presisi 3. Melakukan pengecekan mesin sebelum digunakan
Rencana tindakan perbaikan ini bertujuan untuk mengatasi cacat pada produk tenun yang disebabkan oleh beberapa faktor.
32 BAB VII
CONTROL PHASE
Setelah dilakukan tahap improve dengan memberikan beberapa saran dan rekomendasi untuk mengurangi penyebab kegagalan atau faktor penyebab kecacatan pada produk tenun. Langkah selanjutnya pada pendekatan DMAIC dilakukan tahap control yang merupakan tahapan terakhir pada tahapan six sigma. Pada tahap ini akan dijelaskan terkait pengendalian yang dilakukan terhadap rekomendasi yang ada pada tahap selanjutnya yaitu improve. proses pengendalian yang dilakukan merupakan saran perbaikan yang disesuaikan dengan hal yang dilakukan pada perusahaan tersebut sesuai dengan persetujuan pemilik industri tersebut dan berdasarkan waktu yang ada.
7.1 Hal yang perlu dikontrol
Adapun proses control atau pengendalian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pada proses menyusun benang pakan harus disusun secara teratur dari arah kiri ke kanan. Kemudian dalam menyusun streng disesuaikan dengan lebar dan panjang kain yang akan dibuat, dan memperhatikan kerapatan sisir. Untuk itu diperlukan pembuatan langkah cara proses operasional dan sisir yang digunakan harus diperhatikan benar benar bersih dan tidak berkarat karena ketika sisir yang digunakan berkarat akan berpotensi membuat noda dan robek.
2. Sebaiknya pihak perusahaan harus lebih rutin melakukan pengontrolan dan pemeriksaan kualitas peralatan yang digunakan seperti alat pencampuran warna, ketika ingin melakukan pencampuran warna harus dipastikan warna sebelumnya benar benar bersih agar tidak bercampur dengan warna yang ingin dibuat.
3. Membuat jadwal kebersihan dan merapikan tempat produksi setelah melakukan produksi pada hari terakhir melakukan produksi. Dimana pihak industri membuat suatu aturan kepada seluruh pihak yang berkaitan pada proses produksi tenun untuk melakukan kebersihan setelah dan pada saat akan melakukan proses produksi tenun.
Adapun tujuan dilakukannya jadwal kebersihan tersebut agar pada saat melakukan proses produksi tidak terdapat kotoran pada bahan baku maupun peralatan yang digunakan sehingga produk tenun yang akan dihasilkan tidak terdapat kecacatan tampilan adanya kotoran yang diakibatkan kontaminasi dengan kotoran tersebut 4. Melakukan briefing kepada pekerja agar dalam melakukan proses produksi diperlukan
keterampilan para pekerja. Briefing diperlukan untuk memberitahukan kepada pekerja hal apa yang akan dilakukan dan target apa yang harus dicapai pada saat melakukan proses produksi. dan memberikan pemahaman kepada para pekerja bahwa pekerja harus teliti dalam melakukan pemilihan bahan baku. Pekerja harus fokus pada saat melakukan proses serta memperhatikan alat yang digunakan pada saat proses penyaringan.
33 BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan
Berdasarkan Pengolahan data analis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan penyebab kecacatan dalam produk adalah:
1. Pola DPMO masih bervariasi naik turun selama periode 25 minggu yang menunjukkan bahwa proses belum dikelola dengan baik. DPMO dengan nilai tertinggi berada pada minggu ke-1 sebesar 84.693,88. Kemudian nilai terendah berada pada minggu ke-20 dengan nilai DPMO sebesar 25.104,60 dengan rata-rata DPMO sebesar 57.276,97. Yang artinya 1 (satu) unit produk memiliki rata-rata 57.27% dalam 20 minggu proses produksi atau perusahaan dapat menginginkan sebesar 42.63% apa yang diinginkan konsumen akan ada dalam produk tersebut
2. Terdapat 5 faktor penyebab kegagalan pada proses produksi minibus divisi pengecatan yaitu faktor Manusia, Material, Mesin, Metode dan Lingkungan. Faktor manusia yang menyebabkan kegagalan seperti operator mengabaikan pentingnya SOP, operator kurang berkonsentrasi dan kurang teliti serta operator kurang peduli dengan kebersihan. Faktor material yang menyebabkan kegagalan seperti cacat kain renggang yang mudah putus dan kusut. Benang yang mudah putus dapat disebabkan oleh kualitas benang yang kurang baik, sehingga pada saat proses penggulungan benang tidak berhubungan kuat dengan gaya tarik alat penggulungan sehingga menyebabkan putusnya benang. Faktor mesin yang menyebabkan kegagalan pengaturan ATBM yang berubah dan susunan ATBM yang kurang akurat. Faktor metode yang menyebabkan kegagalan seperti winding yang kotor, sapuan kain yang tidak tepat, dan tidak adanya SOP. Faktor lingkungan yang menyebabkan kegagalan seperti kurangnya sirkulasi udara.
3. Prioritas penyebab terjadinya cacat yang terjadi yaitu pekerja kurang teliti dengan nilai RPN tertinggi sebesar 245. Pekerja yang kurang teliti dalam menjalankan produksi, nantinya akan berdampak pada hasil produksi. Faktor kegagalan tersebut diperbaiki dengan 5W-1H berdasarkan diagram fishbone dengan RPN tertinggi yang ditentukan dengan metode FMEA.
8.2 Saran
Beberapa saran yang dapat peneliti berikan terkait dengan hasil penelitian antara lain 1. Bagi peneliti hasil penelitian dengan sistem pengendalian kualitas produk dengan
metode Six Sigma tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran pada UMKM Tenun ulos Tarutung, dengan melakukan pengendalian kualitas produk secara terus-menerus dan berkesinambungan (continuous improvement) dan kesadaran mengenai pengendalian kualitas ini harus dimulai dari top manajemennya sendiri, disertai dengan usaha-usaha yang nyata dari seluruh karyawan untuk mencegah terjadinya kegagalan produk di masa yang akan datang.
2. Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis yang menggunakan subjek usaha kecil, mikro dan menengah, khususnya dalam industri manufaktur. Penelitian
34 selanjutnya diharapkan lebih komprehensif, karena metode yang digunakan dalam penelitian pengendalian kualitas ini tergolong masih sangat baru bagi dunia perindustrian di indonesia, sehingga diperlukannya pembelajaran dan pelatihan yang lebih mendalam dari sumber yang telah menjalani program pengendalian kualitas dengan menggunakan metode ini dan ada beberapa disiplin Ilmu yang dapat diaplikasikan dan ada pula yang tidak dibutuhkan
v
Daftar Pustaka
Firmando, H. B. (2020). Strategi Adaptasi Pemasaran Kerajinan Tenun Ulos Pada Pasar Tradisional, Modern dan Online di Tapanuli Utara (Studi di Kota Tarutung). AT- TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, Vol V(No. 1).
Gaspersz, V. 2002. Pedoman Implementasi Program Six Sigma Terintegrasi dengan ISO 9001:
2000, MBNQA, dan HACCP. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gaspersz, V. 2005. Total Quality Management. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hekmatpanah, M., Sadroddin, M., Shahbaz, S., Mokhtari, F., & Fadavinia, F. 2008. Six Sigma process and its impact on organizational productivity. World Academy of Science, Engineering and Technology, 43, 365-369.
Kaushik, P., Khanduja, D., Mittal, K., & Jaglan, P. 2012. A case study: Application of Six Sigma methodology in a small and medium‐sized manufacturing enterprise. The TQM Journal.
Khoirunnisa, A. A. (2019). Analisis Pengendalian Kualitas Dalam Upaya Meminimalkan Cacat Produk Menggunakan Metode Six Sigma Di Perusahaan Percetakan Dan Sablon UD. Raja Advertising Kabupaten Ponorogo. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Samudro, A., Sumarwan, U., Simanjuntak, M., & Yusuf, E. 2020. Assessing the effects of perceived quality and perceived value on customer satisfaction. Management Science Letters, 10(5), 1077-1084
Somadi, S. (2020). Evaluasi Keterlambatan Pengiriman Barang dengan Menggunakan Metode Six Sigma. Jurnal Logistik Indonesia, 4(2), 81-93.