Hubungan Antara Tingkat Depresi Dengan Kualitas Hidup Pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
PROPOSAL SKRIPSI
Fania Aulia 6020210132
Fakultas Psikologi Universitas Pancasila
2024
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit mematikan yang kemudian menjadi sebuah wabah Internasional atau bencana sejak pertama kali penyakit itu muncul yaitu HIV/AIDS. Sejak kasus pertama infeksi virus yang menyerang kekebalan tubuh ini ditemukan di New York pada tahun 1981, epidemi HIV/AIDS telah melanda seluruh negara di seluruh dunia dan diperkirakan telah membunuh lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia (Srivani, dkk, 2024). Di Indonesia sendiri kasus penyakit HIV/AIDS ini sedang melonjak sangat banyak. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupan sekumpulan gejela penyakit yang muncul dikarenakan rusaknya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi firus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menular dan mematikan. Dampaknya pada individu yang terinfeksi HIV akan mengalami penurunan daya tahan tubuh yang drastic sehingga dapat dengan mudah terkena penyakit- penyakit infeksi dan ganas yang menyebabkan kematian.
Di Indonesia, infeksi HIV dan AIDS telah dilaporkan secara resmi sejak 19 tahun yang lalu. Kasus HIV/AIDS telah menyebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia sejak pertama kali ditemukan. Selama periode tersebut, kecenderungannya tidak pernah turun atau berhenti (Irwanto & Laurike). Menurut data yang dikeluarkan oleh UNAIDS pada tahun 2008, Indonesia termasuk negara Asia dengan kasus HIV tertinggi (Mardia, dkk, 2017). Berdasarkan hasil data statistik HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Kemenkes Tahun 2022 menunjukan Jumlah Orang Dengan HIV (ODHIV) yang ditemukan periode Januari – Maret 2022 sebanyak 10.525 orang dari 941.973 orang yang dites HIV. Sebagian besar terdapat pada kelompok umur 25 - 49 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Faktor terjadinya HIV di Indonesia berdasarkan data kemenkes antara lain homoseksual 30,2%; heteroseksual 12,8%; penggunaan jarum suntik bergantian 0,7%; dan sisanya tidak diketahui. Sedangkan persentase kasus AIDS tertinggi ditemukan dalam kelompok umur 20-29 tahun (31,8%), diikuti oleh kelompok umur 30-39 tahun (31,4%) dan kelompok umur 40-49 tahun (14,4%). Dari data tersebut Provinsi Jawa Tengah berada pada urutan pertama dengan kasus HIV/AIDS terbanyak di Indonesia (Kemenkes.go.id). Terus menigkatnya jumlah pengidap AIDS banyak diantara mereka yang kemudian meninggal. karena virus HIV menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan reduksi kekebalan tubuh pengidapnya. Infeksi oportunistik disebabkan oleh
virus yang memanfaatkan peluang yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh yang rusak (Arizza dkk, 2009).
Stigma masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat dilihat dari perilaku masyarakat, seperti sikap sinis, rasa takut yang berlebihan, dan pengalaman negatif yang berkaitan dengan ODHA. Banyak orang percaya bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS harus dihukum atas tindakan mereka sendiri. Masyarakat juga percaya bahwa ODHA bertanggung jawab atas penularan HIV/AIDS. Dengan demikian, individu yang terinfeksi HIV menderita perlakuan tidak adil, diskriminasi, dan stigma karena penyakit mereka (Marbun, 2024). Penyakit HIV/AIDS dapat menimbulkan masalah yang cukup luas bagi mereka yang terinfeksi, yaitu meliputi masalah fisik, sosial, dan emosional. Salah satu masalah emosional yang dihadapi ODHA adalah depresi. Kondisi Kesehatan mental seperti depresi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat menghambat akses dan hasil pencegahan, tes serta pengobatan HIV, sehingga mengurangi retensi terhadap perawatan dan pengobatan HIV (Marbun, 2024). Depresi adalah masalah emosional terbesar yang dihadapi ODHA (Nasution dkk, 2024). Penurunan kesehatan fisik dan mental akibat depresi dapat menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas self-care sehari-hari.
Dalam kasus pasien HIV/AIDS, ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap protokol terapi antiretroviral dan obat pencegahan, juga dikenal sebagai obat pencegahan. Ini juga dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien terhadap tindakan lain yang diperlukan untuk menjaga kesehatan mereka. Antiretroviral. Hingga saat ini, pengobatan terbaik untuk pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah kombinasi pengobatan Antiretroviral (ARV). Tujuan Penting Pemberian ARV adalah untuk mengurangi jumlah virus, meningkatkan status kekebalan pasien HIV dan mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik (Karyadi, 2017).
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa depresi akan memperburuk kondisi kesehatan pasien. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shaohang, dkk (2020) menggunakan analisis multivariat menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat depresi pada pasien HIV maka semakin buru tingkat kulitas hidup terkait kesehatannya. Hasil analisis penelitian tersebut juga menunjukan bahwa pasien dengan HIV dan depresi memiliki gejala yang lebih jelas terkait dengan kelainan psikologis dibandingkan pasien dengan inveksi HIV tanpa depresi. Hail penelitian lainnya yang dilakukan oleh Douaihy (2001) dan Cichocki (2009) menyatakan bahwa pasien HIV/AIDS sangat rentan mengalami depresi, dan depresi adalah masalah psikososial terbesar yang dihadapi ODHA. Pasien HIV/AIDS menghadapi banyak stressor, termasuk penurunan kondisi fisik selama penyakit, tekanan sosial karena
stigma, ketakutan akan kematian akibat penyakit, dan masalah keluarga dan ekonomi. Semua faktor kompleks ini menyebabkan pasien mengalami depresi (dalam Widyarsono, 2013).
Penderita HIV/AIDS dapat mengalami depresi karena pengobatan seumur hidup, yang menyebabkan rasa bosan untuk meminum obat ARV. Pengobatan yang lama juga dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi masyarakat (Karkashadze, dkk, 2017). Dukungan keluarga dapat membantu penderita HIV/AIDS mengatasi depresi mereka, mendorong mereka untuk menerima pengobatan, bersosialisasi dengan orang lain, melakukan aktivitas dan bekerja yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari dengan harapan dapat meningkatkan kualitas hidup (Marni, dkk, 2020).
ODHA yang telah terinfeksi HIV positif dapat mengalami depresi karena kondisi fisik yang tidak stabil dan cenderung menurun selama penyakit, serta tekanan sosial yang signifikan dari lingkungan mereka. Pada ODHA yang telah memasuki tahap AIDS, kondisi kesehatan mereka semakin memburuk, yang mengancam kualitas hidup mereka, mengganggu aktivitas sehari-hari, dan seringkali mengharuskan mereka menjalani perawatan khusus di rumah sakit, yang mengurangi kualitas hidup mereka dalam berbagai aspek. (Gunung, dkk, 2005 dalam Widyarsono, 2013). Kompleksnya masalah yang mesti dihadapi oleh ODHA ini tentunya dapat berimbas pada penurunan kualitas hidup (Diatmi & Fridari 2014).
Kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai persepsi atau perasaan seseorang terhadap kemampuan fungsionalnya sebagai akibat dari penyakitnya (Fayers & Machin, 2007). Akibat HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuhnya, ODHA semakin rentan terserang penyakit lain dan pada akhirnya akan kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan tidak dapat bekerja lagi. Ketidakmampuan ODHA untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan bahkan bekerja ini telah mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan kualitas hidup. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nojomi dkk (2008) menyatakan bahwa mayoritas dari pasien dengan HIV baik yang simptomatik maupun yang non-simptomatik serta pasien AIDS masih memiliki nilai kualitas hidup yang rendah.
Kualitas hidup menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi oleh ODHA. Fakta bahwa keluarga dan masyarakat tidak memahami HIV/AIDS meningkatkan kondisi penderita. HIV/AIDS masih dianggap sebagai bahaya yang mengerikan, karena ketika seseorang dinyatakan sebagai ODHA, mereka dihadapkan pada bahaya kematian. ODHA mengalami diskriminasi yang membuat mereka menarik diri dari lingkungan sekitar. Selain itu, stigmatisasi HIV/AIDS yang berkembang di masyarakat menjadi vonis mati bagi mereka, sehingga membatasi mereka untuk melanjutkan aktivitas mereka sebelumnya. ODHA sangat membutuhkan dukungan sosial. Dukungan ini dapat berasal dari ODHA sendiri, keluarga,
anak, dan teman dekat mereka, serta dari sumber luar yang dapat diperoleh melalui kegiatan komunitas sosial.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lubis dkk, (2016) menemukan bahwa ODHA mengalami depresi rata-rata 19,59 (3–45), dengan kategori depresi sebesar 55,1% dan kategori tidak depresi sebesar 44,9%. Hasil uji statistik dengan uji Pearson menunjukkan hubungan yang signifikan antara depresi dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Yaunin dkk, (2014) menemukan bahwa penderita HIV/AIDS tidak mengalami depresi sebanyak 44,2%, sedangkan mereka mengalami depresi sebanyak 55,8%, dengan pembagian depresi ringan hanya 25,6%, depresi sedang 11,6%, depresi berat 4,7%, dan depresi sangat berat hanya 14%. Tingkat depresi tertinggi adalah pada usia 20 hingga 39 tahun (83,3%). Hapsari dkk. (2016) melakukan penelitian yang menunjukkan hubungan antara depresi dan kualitas hidup pada domain lingkungan dan juga ditemukan adanya hubungaan lama menderita dengankuaitas hidup pada domain psikologis.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Widayati dan Murtaqib (2016) menemukan bahwa 72,7% responden memiliki depresi minimal atau normal, sedangkan 18,2%
mengalami depresi ringan, dan 9,1% mengalami depresi sedang, dan Kualitas hidup rata-rata adalah 61,3. Penelitian Mardika dan Darliana (2016) menemukan bahwa ada hubungan antara depresi dan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Poliklinik VCT Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Studi yang dilakukan Sari dkk. (2018) menemukan bahwa ada hubungan antara kualitas hidup pasien HIV/AIDS dan tingkat depresi mereka di Rumah Sakit Santa Elisabeth Batam pada tahun 2018.
Berdasarkan survey yang pertama kali dilakukan oleh Harkomah dan Dasuki pada tanggal 11 Mei 2019 di Yayasan Kanti Sehati Sejati di Kota Jambi, hasil wawancara yang didapat 3 dari 6 responden menunjukkan bahwa mereka tidak merasa lelah saat beraktivitas, kekurangan energi, sakit yang tidak nyaman, kurang tidur atau istirahat, dan perasaan negatif seperti putus asa, kesepian, cemas, ingin bunuh diri, perasaan bersalah, dan tidak menerima status mereka. Selain itu, 4 responden lainnya sudah terbiasa dengan kondisi mereka karena penyakit infeksi HIV/AIDS, sehingga mereka tidak merasa kelelahan saat melakukan aktivitas sehari-hari (Harkomah & Dasuki, 2020). Beberapa penderita depresi mungkin mengalami gejala tersebut, seperti yang ditunjukkan oleh gejala di atas. Gejala ini juga dapat menyebabkan masalah kualitas hidup seperti kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa masalahnya adalah mengetahui hubungan antara tingkat depresi dan kualitas hidup penderita HIV/AIDS.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan
tingkat depresi dengan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS khususnya di Kota Jakarta yang berada pada Komunitas AIDS Indonesia
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yaitu :
1. Apakah Terdapat Hubungan yang signifikan Anatara Tingkat Depresi Dengan Kualitas Hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)?”
2. Bagaimana gambaran tingkat depresi pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) HIVIA yang berada di Komunitas AIDS Indonesa?
3. 2. Bagaimana gambaran kualitas hidup khususnya aspek social pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang berada di Komunitas AIDS Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Anatara Tingkat Depresi Dengan Kualitas Hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini akan meningkatkan pengetahuan khususnya di bidang psikologi klinis dengan mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara depresi dan kualitas hidup, khususnya pada individu yang hidup dengan HIV/AIDS di Indonesia AIDS Coalition. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai sumber referensi untuk penelitian lanjutan, khususnya bagi mereka yang ingin meneliti hubungan antara depresi dan kualitas hidup pada individu yang hidup dengan HIV/AIDS.
1.4.2 Mnfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Penderita HIV/AIDS
Bagi penderita HIV/AIDS diharapkan Hasil penelitian ini memungkinkan penderita HIV/AIDS untuk mengetahui dan memahami tingkat depresi dan kualitas hidup mereka, sehingga mereka dapat bekerja sama dengan pihak luar yang dapat membantu ODHA dalam penanganannya.
1.4.2.2 Bagi Lembaga Masyarakat
Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu masalah depresi penderita HIV/AIDS dan aspek kualitas hidup mereka, seperti interaksi sosial dan dukungan sosial.
1.4.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti berikutnya sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih dalam lagi terkait topik permasalahan yang sama dengan tujuan yang berbeda untuk kebutuhan peneliti.
1.4.2.4 Bagi Para Professional dan Pihak Terkait
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menangani masalah yang dihadapi penderita HIV/AIDS, termasuk penanganan masalah psikososial dan fisik, terutama depresi, yang dapat mengurangi kualitas hidup.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika isi dan penulisan skripsi antara lain :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini peneliti memberikan pembahasan terkait Latar Belakang, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan
BAB II TINJUAN PUSTAKA
Pada bab ini peneliti memberikan penjelasan terkait ODHA, teori variabel depresi dan kualitas hidup. Tidak lupa pada akhir dicantumkan Hipotesis Penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini peneliti memberikan penjelasan mencakup metode yang digunakan dalam penelitian, seperti Pendekatan Penelitian, Variabel Penelitian beserta definisi operasionalnya, Responden Penelitian, Prosedur Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Uji Validitas dan Reabilitas, dan Teknik Pengumpulan Data.
BAB IV HAIL PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan memberikan uraian dari hasil pengolahan data yang sudah didapatkan sebelumnya. Bab ini juga berisi mengenai uraian gambaran umum subjek penelitian
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi empat sub bab yang ditulis secara terpisah, yaitu
sub bab kesimpulan, sub bab diskusi, sub bab implikasi dan keterbatasan, dan sub bab saran.