PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
KAJIAN PUSTAKA
Kajian Pustaka
- Sejarah Rekonstruksi
- Falsafah dan Penggunaan Aksara Lontara
- Suku Makassar
- Suku Bugis
- Sejarah Singkat Kabupaten Barru
- Gambaran Umum Kabupaten Barru
- Visi Misi Kota Barru
- Bentuk Aksara Lontara Bugis Barru
Penulisan aksara Lontara sebenarnya bisa ditulis di wadah apa saja, baik itu batu, kayu, kulit binatang, atau daun. Jelas bahwa buku-buku yang ditulis dalam aksara Lontara sangat diminati oleh orang Barat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte.
Pada tahun 1538, Daeng Pamatte berhasil menyusun aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf dan juga aksara Makassar lama. Dalam cerita rakyat yang beredar di masyarakat yang bersumber dari aksara Lontaraq yang merupakan warisan leluhur di Kabupaten Barru saat ini, disebutkan bahwa pada zaman dahulu kala, di suatu daerah yang terletak di daerah pegunungan yang disebut Ajarangnge, ada seorang laki-laki yang memerintah. di sana. Sebelum terbentuk, Kabupaten Barru merupakan sebuah kerajaan kecil yang masing-masing dikepalai oleh seorang raja, yaitu: Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan Tanete, Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
29 Tahun 1959 tahun 1961, daerah ini terdiri dari 4 daerah pemerintahan sendiri dalam wilayah Kabupaten Pare-Pare Lama Barru, yaitu Barru Swapraj Taneta Swapraj, Soppeng Riaja Swapraj dan bekas Mallusetasi Swapraj, ibu kota Kabupaten Barru sekarang terletak di bekas ibukota Kewedanaan Barru. Kabupaten Barru yang dikenal dengan semboyan HIBRIDA (Hijau, Bersih, Asri dan Indah) adalah sebuah kabupaten yang terletak di pesisir barat Provinsi Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai kurang lebih 78 km, 72 km2 (117.472 ha) dan terbentang kurang lebih 102 km sebelah utara. ibu kota Provinsi Sulawesi. Selatan yang dapat ditempuh melalui jalan darat sekitar 2,5 jam Secara administratif Kabupaten Barru terbagi menjadi 7 kecamatan, 14 kecamatan dan 40 desa.
Terletak di jalan Trans Sulawesi, Kabupaten Barru merupakan kawasan wisata antara kota Pare-Pare dan kota Kabupaten Tana Toraja sebagai tujuan wisata wisatawan mancanegara. Kabupaten Barru memiliki ketinggian antara 0-1.700 mdpl dengan bentuk permukaan sebagian besar daerah lereng berbukit sampai bergunung dan sebagian lainnya datar sampai landai. Jumlah curah hujan selama setahun di Kabupaten Barru adalah 113 hari dengan jumlah curah hujan 5252 mm Curah hujan di Kabupaten Barru didasarkan pada hari terhujan pada bulan Desember – Januari dengan jumlah curah hujan 1335 mm dan 1138 mm sedangkan hari hujan masing-masing 2 hari dengan jumlah curah hujan masing-masing 104 mm dan 17 mm.
Dilihat dari kondisi geografis, bila dikaitkan dengan pengembangan wilayah, Kabupaten Barru memiliki potensi geografis yang strategis yaitu; (1) terletak di jalur ekonomi Utara-Selatan Sulawesi Selatan (2) merupakan kawasan Trans-Sulawesi (3) pintu gerbang ekonomi yang menghubungkan Sulawesi Selatan dengan Kalimantan Timur dan daerah lainnya. Kabupaten Barru memiliki ciri-ciri geologi berupa rangkaian endapan vulkanik seluas 32.411 Ha (27,59% dari luas wilayah Kabupaten), dengan jenis batuan penyusun yang berbeda-beda. Litologi geologi Kabupaten Barru dapat dibagi menjadi 11 kelompok; (1) Kompleks Ofiolit Barru; (2) Batuan malihan; (3) kompleks Melange; (4) Formasi Balangbaru; (5) Formasi Mallawa; (6) Formasi Tonasa; (7) Formasi Camba; (8) Anggota Batuan Vulkanik Camba; (9) batugamping anggota Formasi Camba; (10) batugamping Formasi Walanae dan (11) alluvium.
Berdasarkan tipe iklim dengan metode zona agroklimatologi, berdasarkan bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan), Kabupaten Barru meliputi wilayah seluas 71 0,79 persen (84.340 Ha) dengan tipe iklim C yang memiliki bulan basah 5 - 6 bulan berturut-turut (Oktober-Kabupaten Baru. semakin baik dari segi kualitas sumber daya manusia yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, tingkat melek huruf dan daya beli masyarakat.
KerangkaPikir
Wala suji berasal dari kata wala artinya pembatas/pagar/penjaga dan suji artinya putri. Sulapa eppa (empat sisi) adalah wujud mistik kepercayaan klasik Bugis-Makassar yang melambangkan susunan alam semesta, api-air-angin-bumi. Wawancara adalah suatu proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Emzir, 2010: 50).
Kuesioner adalah alat pengumpulan data teknis yang dilaksanakan dengan menawarkan kepada responden serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis untuk dijawab. Observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang paling umum dalam metode penelitian kualitatif. Dalam konteks ini, penulis mencoba menelusuri penyebab punahnya penggunaan aksara Lontara di kalangan pemuda Bugis Barru.
METODE PENELITIAN
- Desain Penelitian
- Batasan Istilah
- Data dan Sumber Data
- Instrument Penelitian
- Teknik Pengumpulan Data
- Teknik Analisis Data
Pada bab ini akan dipaparkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai rekonstruksi penggunaan aksara Lontara dalam bahasa Bugis Desa Ballewe Desa Binuang Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Bagian ini memaparkan dan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan dan diolah untuk melihat peningkatan rekonstruksi penggunaan aksara Lontara dalam bahasa Bugis Desa Ballewe Desa Binuang Kecamatan Balusu Kabupaten Barru. Berdasarkan data tersebut, ternyata anak usia 10-15 tahun adalah orang-orang yang concern terhadap rekonstruksi penggunaan aksara Lontara.
Berdasarkan data tersebut didominasi oleh mahasiswa yang memiliki kepedulian besar terhadap rekonstruksi penggunaan aksara Lontara. Berdasarkan hasil survei, ternyata dari 23 aksara Lontara, ternyata masyarakat hanya mengetahui beberapa aksara tersebut. Seperti terlihat pada Tabel 4.6 (Tanggapan Responden terhadap Aksara Lontara) terlihat bahwa Aksara Lontara tidak lagi dikenal secara utuh, artinya ada aksara yang terlupakan di mata masyarakat.
Selain itu, penggunaan aksara lontara dapat dilihat pada pertanyaan survey “bisakah kamu menulis 1 (satu) cerpen tentang kehidupanmu dengan menggunakan aksara lontara?” dari 30 responden hanya mampu menulis cerita pendek tentang kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat diketahui bahwa penggunaan aksara lontara semakin hari semakin menipis, salah satu penyebabnya adalah kurangnya motivasi dari dalam diri mereka bahwa aksara lontara merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. , selain itu penyebab kurangnya rekonstruksi masyarakat yaitu gencarnya pergaulan di lingkungan sekitar, sehingga membuat masyarakat lebih ingin mengetahui bahasa asing (gaul) dibandingkan dengan bahasa daerah. Selain itu, salah satu penyebab kurangnya rekonstruksi aksara Lontara antara lain adalah gencarnya perkembangan teknologi yang menggunakan bahasa asing, sehingga aksara Lontara tidak mungkin digunakan dalam pengembangan teknologi ini.
Selain itu, terbatasnya penggunaan aksara Lontara juga membuat semakin sedikit orang yang mengenal aksara ini, termasuk oleh masyarakat sendiri, sehingga semakin ditinggalkan hingga saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya naskah Lontara yang ditemukan di berbagai bangunan dan bangunan yang tercatat sebagai cagar budaya. Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan aksara Lontara masih melekat dalam kehidupan masyarakat, meskipun masih terdapat aksara di lingkungan tersebut yang perlu direkonstruksi.
Menurut hasil pengumpulan data dari angket, penyebab tidak lengkapnya rekonstruksi penggunaan aksara lontar adalah kurangnya motivasi mereka bahwa aksara lontar merupakan aset budaya yang harus dilestarikan. Selain itu, alasan kurangnya pembaharuan masyarakat yaitu terus menerus bersosialisasi di lingkungan menyebabkan masyarakat lebih mau mengenal bahasa asing (gaul) dibandingkan dengan bahasa daerah. Dari hasil kesimpulan tersebut diperoleh jawaban “Ya” berdasarkan 6 pertanyaan dari 30 responden tentang rekonstruksi penggunaan aksara Lontara yang tidak lengkap. Selain itu, kesimpulan tentang jenis naskah lontar yang akan direkonstruksi adalah jawaban “Ya” berdasarkan 6 pertanyaan dari 30 responden.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
- Hasil Penelitian Karakteristik Umum Responden
- Rekonstruksi Melalui Kuesioner
- Rekonstruksi Melalui Wawancara
Adapun beberapa hal yang dilakukan peneliti dalam merekonstruksi atau mengembalikan sesuatu berdasarkan kejadian semula (rekonstruksi), yaitu melalui angket yang terdiri dari 34 pertanyaan, dan erat kaitannya dengan penggunaan tulisan Lontara dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Berdasarkan tabel 4.4 (Tanggapan Responden Terhadap Bahasa Daerah) terlihat bahwa masyarakat tidak lagi memiliki rasa cinta terhadap bahasa daerah. Selain itu, hanya 8 orang dari 30 responden yang menghitung keinginan masyarakat untuk melestarikan bahasa daerah.
Selain itu, masih kurangnya profesional yang mengetahui bagaimana menerapkan dan menyampaikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah lontara kepada orang lain atau siswa. Oleh karena itu, masyarakat atau pemerintah setempat telah melakukan berbagai upaya untuk terus berupaya agar font Lontara ini tetap lestari dan dikenal masyarakat. Untuk melestarikan dan mengenalkan kembali Aksara Lontara, pemerintah daerah beserta jajarannya telah memasukkan mata pelajaran bahasa Bugis dimana Aksara Lontara dimasukkan ke dalam muatan lokal wajib di sekolah-sekolah dari SD hingga SMP.
Selain itu, salah satu cara untuk lebih melestarikan naskah lontar adalah dengan mengenalkan warisan budaya kepada anak usia dini dengan mengunjungi berbagai tempat. Budaya aksara lontara ini merupakan budaya yang harus kita pertahankan, kita tidak boleh terpengaruh oleh budaya luar hingga membuat budaya kita bergeser atau berubah dengan sendirinya karena kita melupakan nilai-nilai budaya kita sendiri. Tentunya menjadi saran dan harapan besar bagi para peneliti bahwa ke depan kita harus sadar akan budaya kita sendiri, khususnya budaya aksara Lontar.
Saran bagi pembaca tentunya dengan adanya skripsi atau karya tulis ilmiah ini dapat menjadi pengetahuan bagi para pembaca, dan yang pasti setelah membaca skripsi ini dapat dipahami dan mencegah kita dalam perkembangan zaman yang dapat mematikan tulisan Lontara. . Diperlukan peneliti tambahan yang secara khusus mempelajari rekonstruksi penggunaan aksara Lontara bahasa Bugis. teknik-pengumpulan-data-dan-instrumen-. https://afidburhanuddin.wordpress.com tech-collection-data-dan-instrumen-penelitian/diakses 24 September 2013).