• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sriwijaya Journal of Internasional ... - Universitas Sriwijaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Sriwijaya Journal of Internasional ... - Universitas Sriwijaya"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Internasional Relations

Halaman 23-50

23

UPAYA ASEAN FRAMEWORK TO MINIMISE THE HARMFUL EFFECTSOF FAKE NEWS DALAM MENANGANI BERITA PALSU PADA PRA-PEMILIHAN PRESIDEN DI INDONESIA TAHUN 2019

Istya Geubrina Rizky1, Adi Rio Arianto2, M. Chairil Akbar Setiawan3

1234Hubungan Internasional, FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, Indonesia

SUBMISION TRACK ABSTRACT Recieved: 27 January 2022

Final Revision: 26 April 2022 Available Online: 28 June 2022

The Southeast Asian region with a high level of internet users makes it easy for people to find Hoaks. ASEAN officials agreed to conduct regional collaboration to eradicate fake news, the impact that would be caused through the ASEAN Frameworks to Minimize the Harmful Effects of Fakenenews. Hoaxes are one of the main problems in elections in various countries, one of which is in Indonesia during the 2019 pre- election. This study aims to analyze the efforts made by the Indonesian government based on the ASEAN Frameworks to Minimize the Harmful Effects of Faknenews in dealing with the spread of fake news or hoaxes that increased in the pre-election in 2019. The author uses 3 frameworks of thought in this research, namely Regional Cooperation, The Role of The Government and Hoaxes. This research was conducted using a qualitative descriptive analysis method. Literature study, literature review and interviews were conducted as data collection techniques. The results of the study stated that the efforts of the ASEAN Frameworks to Minimize the Harmful Effects of Fake news in eradicating fake news in the 2019 pre-election in Indonesia through the Communications and Information Technology were carried out by blocking websites that spread hoaxes, using the ITE Law, Artificial Intelligence System (AIS), Official Fact Checker Website, Digital Literacy for Society, Community Engagement, and Engaging social media platforms.

KEYWORD

Hoax, ASEAN Framewrok to Minimise The Harmful Effects of Fakenews, The Role of The Government, Regional Cooperation

KATA KUNCI ABSTRAK

Hoaks, ASEAN Framework to Minimise The Harmful Effects of Fakenews, The Role of The Government, Kerjasama Regional

Kawasan Asia Tenggara dengan tingkat pengguna internet yang tinggi menjadikan masyarakat dengan mudah mendapati Hoaks. Para petinggi ASEAN sepakat untuk melakukan kolaborasi regional guna memberantas berita palsu dampak yang akan ditimbulkan melalui ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effects of Fakenenews. Hoaks menjadi salah satu permasalahan utama dalam pemilu di berbagai negara, salah satunya di Indonesia pada saat pra-pemilu tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan kerangka kerja ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effects of Faknenews dalam menangani persebaran berita palsu atau Hoaks yang meningkat pada pra-pemilihan umum tahun 2019.

Penulis menggunakan 3 kerangka pemikiran dalam penelitian ini, yaitu Kerjasama Regional, The Role of The Government dan Hoaks. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Kualitatif yang bersifat deskriptif analisis. Studi pustaka yaitu kajian literatur dan wawancara dilakukan sebagai teknik pengumpulan data. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa upaya ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effects of Fake news dalam memberantas berita palsu pada pra-pemilu tahun 2019 di Indonesia melalui Kominfo dilakukan dengan cara Pemblokiran Website yang menyebarkan Hoaks, Penggunaan UU ITE, Artificial Intelligence System (AIS), Situs Resmi Pemeriksa Fakta, Literasi digital untuk Masyarakat, Pelibatan Komunitas, dan Melibatkan platform media sosial.

CORRESPONDENCE Email :1 [email protected]

2 [email protected]

3 [email protected]

(2)

Sriwijaya Journal of International Relations Vol 2 No 1, Juni 2022 24 PENDAHULUAN

Pemilu yang merupakan bagian dari aktivitas politik telah menjadi fenomena tersendiri yang menarik perhatian masyarakat luas. Sejak era Reformasi, terhitung Indonesia sudah menggelar lima kali pemilu.

Pelaksanaan pra-pemilu hingga pemilu tentunya tidak luput dari permasalahan- permasalahan yang muncul. Pemilu presiden ke lima yang diselenggarakan pada tahun 2019 ini memiliki konstelasi politik yang lebih menyita perhatian publik, sebagaimana diketahui merupakan kedua kalinya calon presiden Joko Widodo atau yang biasa dipanggil Jokowi kembali berhadapan dengan calon presiden Prabowo Subianto untuk memperebutkan kursi presiden. Hal ini memunculkan dua kubu oposisi yang saling berseteru dalam upaya membela calon presiden pilihannya, salah satu permasalahan yang paling kompleks di era moderen pada pemilihan umum terakhir adalah maraknya berita palsu atau yang biasa disebut dengan Hoax di kalangan masyarakat. Hoax dan Pemilu, kedua kata ini menjadi penting dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia sebab keduanya memiliki tautan dalam hal partisipasi pemilih dalam menentukan pilihan terbaik mereka.

Dengan berkembangnya teknologi informasi ini tentu memberikan dampak positif dimana perkembangan teknologi informasi mempercepat arus informasi ke

seluruh penjuru di dunia, selain banyak dampak positif yang dihasilkan tentunya tidak luput dari dampak negatif yang ditimbulkan.

Perkembangan teknologi pada zaman milenial seperti sekarang ini terkadang banyak di salah gunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sehingga memberi dampak negatif terhadap ketertiban umum di dalam kehidupan masyarakat (Siregar, 2018).

Teknologi informasi dapat mengubah perilaku manusia, seperti kasus berita bohong hoaks yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Ketergantungan masyarakat pada Internet (contoh: Facebook, Twitter, dll.) dan platform media sosial lainnya untuk mengakses informasi telah menyebabkan peningkatan konsumsi konten buatan masyrakat yang belum terverifikasi di media sosial, dengan mengorbankan media tradisional yang berbasis fakta.

Dibalik kemudahan akses informasi dan komunikasi tersebut terselip ancaman adanya information disorder atau yang dikenal dengan hoaks dan juga ujaran kebencian, melalui teknologi informasi dan komunikasi diciptakan dan dipropagandakan suatu skema rekayasa ketakutan (fear engineering) secara masal yang menargetkan pada rekayasa konflik (conflict engineering) dengan salah satunya menciptakan informasi hoaks maupun ujaran kebencian. Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia melaporkan terdapat lebih dari 700 hoax terkait pemilu

(3)

pada Maret 2019. Penyebaran berita palsu meroket pada pekan terakhir menjelang pemilu presiden dan legislatif pada 17 April 2019. Berdasarkan data Masyarakat Anti- Fitnah Indonesia, berita palsu telah meningkat sebanyak 61% antara Desember tahun lalu dan Januari 2019. Sebagian besar hoax ditemukan di platform jejaring sosial Facebook. (MAFINDO, 2019). Hoaks politik antara lain berupa kabar bodong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu, maupun penyelenggara pemilu.

Pengedalian berita palsu menjadi tantangan bagi pengguna media khususnya pemerintah sebagai lembaga pembuat kebijakan dalam memperoleh informasi terpercaya. Dalam menghadapi permasalahan berita palsu diperlukan kolaborasi untuk memerangi berita palsu yang salah satunya dapat terdiri dari interaksi regional.

S.Iswaran, Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura mengatakan bahwa berita palsu menjadi tantangan bagi semua negara. Negara-negara anggota ASEAN tampaknya mendukung pemerintah yang kuat dalam memerangi berita palsu (Schuldt, 2021). Untuk itu perlu kolaborasi dari para anggota ASEAN untuk memerangi berita bohong dan efek buruk lanjutannya, selain kolaborasi setiap negara juga harus bisa memastikan bahwa warga negaranya mampu memilih dan memilah informasi yang setiap hari diterima ( (Suwiknyo, 2018)

Para Menteri ASEAN mendukung Kerangka dan Deklarasi Bersama untuk Meminimalkan Efek Berbahaya dari Berita Palsu yang akan memberikan kerangka acuan umum untuk Negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat kerja sama, berbagi ide, membangun diskusi agar anggota ASEAN dapat berbagi pengalaman dan praktik terhadap penanggulangan berita palsu, dampak sebagian, dan mengusulkan solusi yang langgeng untuk kepentingan masyarakat ASEAN. ASEAN menyepakati dokumen Core Values on Digital Literacy yang berisikan nilai-nilai utama yang perlu dimiliki masyarakat dalam era digital ini. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah rasa tanggung jawab, empati, keaslian informasi, ketegasan dalam mengevaluasi informasi serta integritas. Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membantu membimbing masyarakat ASEAN untuk lebih bijak dalam mengolah dan menyebarkan informasi.

KERANGKA TEORI

Kerangka Teori yang pertama adalah Kerjasama Regional . Kerjasama antar negara salah satunya dibedakan berdasarkan wilayah negara tersebut berasal dan salah satu jenisnya adalah kerjasama regional. Secara umum, pengertian kerjasama regional adalah yaitu kerjasama yang dilakukan oleh negara- negara yang berada di kawasan satu rumpun.

Kerjasama regional merupakan kerjasama yang dilakukan oleh dua negara atau lebih

(4)

yang berada di suatu kawasan tertentu atau wilayah yang berdekatan. Sehingga dapat kita ketahui bahwa kerjasama regional merupakan kerjasama yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara- negara tetangga. Kerjasama Regional menurut Plano & Olton (1982) adalah kerjasama antar negara yang berdekatan secara geografis, tetapi tidak hanya faktor itu saja yang memadai untuk memajukan kerjasama regional, kesamaan pandangan politik dan kebudayaan, serta perbedaan struktur produktivitas yang saling membutuhkan juga menentukan terwujudnya suatu kerjasama regional.

Adanya kerjasama regional ini menjadi wadah bagi negara dalam berinteraksi dengan negara-negara lainnya.

Negara merupakan bagian dari masyarakat sosial yang mana pada hakekatnya sebagai bagian dari masyarakat sosial, negara tidak dapat hidup sendiri. Diperlukan adanya interaksi antarnegara melalui organisasi regional dan global. Terbentuknya organisasi regional dan global didasari keinginan untuk bekerjasama antarnegara anggota organisasi regional dan global, keinginan untuk bekerjasama yang telah disepakati antar suatu anggota organisasi regional dan global membentuk suatu komitmen untuk saling bekerjasama, salah satunya kerjasama dalam menyelesaikan konflik-konflik yang ada.

Dalam pembagian ini, ASEAN termasuk kedalam kategori Multipurpose Regional Organizations. Organisasi

Internasional yang masuk dalam kategori ini merupakan organisasi dengan tujuan dan kegiatan yang luas, serta menangani isu yang beragam. Teori Kerjasama internasional ini berkontribusi dalam pebelitian penulis dengan menjelaskan bahwa kerangka kerja yang dibentuk oleh ASEAN merupakan bentuk Kerjasama Regional yang terjalin karena didasari oleh kesepakatan Bersama, namun tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai demi kepentingan masing-masing pihak. Program ASEAN Framework to Minimise the Harmful Effects of Fakenews ini merupakan program yang dibentuk ASEAN, khususnya Asean Ministers Responsible for Information (AMRI) sebagai kerangka kerja unutk negara anggotanya dalam memberantas berita palsu di negara masing-masing.

Teori kedua adalah The Role of Government, menurut Soerjono Soekanto (2002) peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Peranan merupakan aspek dinamis dari status, apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan peranan tidak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain, demikian pula sebaliknya.

Pada hakikatnya pemerintah merupakan Lembaga yang berfungsi untuk mengatur dan melayani masyarakat. Fungsi pengaturan biasanya dikaitkan dengan hakikat

(5)

negara modern sebagai suatu negara hukum (Legal State), sedangkan fungsi pelayanan dikaitkan dengan hakikat negara sebagai suatu negara kesejahteraan (Welfare State) (Siagian, 1922). Di sini terlihat jelas bahwa peran pemerintah dipahami sebagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatur maupun mengelola masyarakat di dalam suatu negara dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Konsep ini digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah sebagai pemegang peranan penting dalam pembuat kebijakan dan arah tujuan negara. Dalam upaya mencegah dan memberantas berita palsu, pemerintah Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menangani hal tersebut. The Role of Support Policies merujuk kepada pemerintahan yang berperan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan pendukung alam pembentukan lembaga- lembaga pemerintahan untuk mengatasi berita palsu. Teori peran pemerintah ini menjadi dasar dari peran pemerintah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengatur dan mengeluarkan kebijakan. Peran pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika RI diberi wewenang dalam mengeluarkan kebijakan dalam negeri yang berkaitan dengan penanganan berita palsu di Indonesia yang sesuai dengan ASEAN Frameworks to

Minimise the Harmful Effects of Fake News.

Teori ketiga adalah Hoaks, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Hoaks berarti berita bohong atau berita yang tidak memiliki sumber. Hoaks merupakan rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran.

Sedangkan menurut Werme (2016) dalam Ireton, C & Julie Posetti. 2018 , Fake news adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoax bertujuan membuat opini publik, menggiring opini, membentuk persepsi, juga untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media sosial.

Berikut jenis-jenis Hoaks menurut Rahadi (2017) :

1. Fake news: Berita bohong : Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita.

Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.

2. Clickbait : Tautan jebakan: Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya.

Konten di dalam tautan ini sesuai fakta

(6)

namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.

3. Bias konfirmasi : Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.

4. Misinformation : Informasi yang salah atau tidak akurat, terutama yang ditujukan untuk menipu.

5. Satire : Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar- besarkan untuk mengkomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.

6. Post-truth atau Pasca-kebenaran : Kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.

7. Propaganda : Aktifitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.

Konsep Hoaks ini menjelaskan akan berita palsu yang semakin berkeliaran di dunia mengikuti perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Hal ini menjadi permasalahan baru bagi negara-negara di dunia, khususnya ASEAN.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian Kualitatif.

penelitian deskriptif. Penelitian yang akan diteliti oleh penulis ini bersifat deskriptif analisis dalam menggambarkan dan menjelaskan bagaimana upaya ASEAN Framework to Minimise the Harmful effects of Fakenews melalui kebijakan-kebijakan yang diambil dalam menangani berita palsu di Indonesia khususnya saat pemilu tahun 2019.

Berfokus pada upaya-upaya dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga fakta-fakta yang telah didapatkan dapat dikatakan valid dan dapat dijadikan pendukung dalam pembahasan mengenai penelitian ini.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berupa wawancara yang dilakukan dengan Kasubbid Kelembagaan PPI, APTIKA dan IKP Regional – Pusat Kelembagaan Internasional KOMINFO, Dian Wulandari, S.Sos, M.A.

Kedua data sekunder yang akan memperkuat informasi-informasi yang sudah didapat melalui wawancara sebelumnya, sehingga informasi tersebut dapat lebih kredibel dan dapat menjawab penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti. Pada teknik ini, peneliti membaca dan mempelajari buku- buku, literasi dan sumber-sumber kepustakaan valid lain nya yang berhubungan dengan penelitian. Pengumpulan data, konsep serta keterkaitan teori pun dapat diperoleh melalui

(7)

sumber kepustakaan ini yang didapat melalui berbagai sumber yaitu literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan studi pustaka data-data yang didapat dari situs-situs yang kredibel dan terpercaya, website pemerintah yang terkait, beserta studi literatur seperti jurnal ilmiah, artikel ilmiah, maupun laporan berita yang berkaitan erat terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian penulis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki 3 tahapan yaitu dimulai dari reduksi data, dilanjutkan dengan penyajian data dan terakhir penarikan kesimpulan dan verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keterkaitan Berita Palsu di Media Sosial dengan Pemilu di Asia Tenggara

Salah satu cara paling mendasar bagi individu untuk menggunakan hak mereka atas pemerintahan partisipatif di negara demokrasi adalah melalui pemungutan suara dalam pemilihan umum. Di tingkat internasional, hak tersebut diakui melalui Pasal 25 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang berisikan “setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas” (Ahdiat, 2019), dan Pasal 21

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang berisikan :

1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.

3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara (United Nations Human Right, 1998).

Kedua Pasal tersebut mengakui peran mendasar pemilihan sebagai bagian dari demokrasi, termasuk bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar otoritas pemerintah, dan setiap orang berhak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan “secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.”

Untuk memilih wakil-wakil seperti itu secara bebas, Pasal-pasal tersebut kemudian menyerukan pemilihan berkala yang murni dengan hak pilih yang universal dan setara serta pemungutan suara rahasia (Arif, Bastaman, & Wensatama, 2019).

Keberadaan internet memiliki peran

(8)

sentral bagi pemilih dalam memperoleh informasi seputar pemilu. Selama ini media yamg dipahami mengacu pada media tradisional seperti pers cetak, radio, dan televisi, namun definisi media pada era ini semakin luas, termasuk media baru seperti jurnalisme online, maupun media sosial.

Kecanggihan media elektronik yang terus berinovasi dan didukung dengan adanya internet melahirkan banyak media sosial yang dapat digunakan oleh seorang individu untuk berbagai kepentingan. Selain sebagai sarana berkomunikasi di dunia maya, media sosial yang tergolong ke dalam media baru dapat digunakan sebagai upaya menampilkan citra diri seseorang termasuk para politisi (Munzir, Asmawi, & Zetra, 2019).

Asia Tenggara adalah pasar internet yang tumbuh paling cepat secara global, di mana sebagian besar orang mengakses internet melalui ponsel. Perkembangan yang dimungkinkan oleh kombinasi kebijakan yang menguntungkan dan kemajuan teknologi mendorong biaya smartphone ke tingkat yang terjangkau (AASYP, 2020).

Tingginya angka penggunaan media sosial di Asia Tenggara ini menjadikan mudahnya masyarakat Asia Tenggara dalam mengakses dan mendapatkan berita palsu, sehingga tersebarnya berita palsu semakin cepat dan mudah.

Negara anggota ASEAN tertentu yang baru-baru ini menyelenggarakan pemilu menunjukkan bahwa penyebaran berita palsu

semakin intensif selama periode pemilu.

Memang benar bahwa masa kampanye pemilihan presiden saat ini di Indonesia juga telah dinodai oleh hoaks dalam jumlah besar.

Cepat atau lambat, situasi seperti itu berpotensi membahayakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu, yang berujung pada polemik hasil pemilu mendatang. Pada 2019, pemilihan nasional di Indonesia, Thailand, dan Filipina melihat politisi, kelompok agama, dan aktor lain secara langsung menggunakan disinformasi digital untuk memobilisasi pendukung. Partai politik menggunakan spesialis kampanye digital dan menyewa troll untuk mengedarkan narasi manipulatif untuk mendiskreditkan lawan politik mereka (AASYP, 2020). Dikatakan bahwa berita palsu telah menjadi senjata politik utama di Thailand terutama sejak kudeta militer 2014 (Smith & Perry, 2020).

Dalam melawan berita palsu merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat, yang dibagi antara pemerintah negara dan rakyat. Upaya itu hanya dapat dilakukan dengan komitmen kuat yang didahului dari pemerintah untuk melakukannya. Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Quismundo (2018), Desmond Lee, Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura, menyatakan harapan bahwa anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara akan menyadari perlunya bertindak atas berita palsu dan menindaklanjuti kerangka kerja blok yang dibuat pada bulan Mei."Saya

(9)

berharap untuk melihat bahwa di ASEAN, pertama sebagai pengelompokan regional, bahwa kita semua secara kolektif mengakui beratnya tantangan, dan kita sebenarnya secara proaktif mengadakan pertemuan dan diskusi," kata Lee kepada wartawan.

Untuk itu dalam tingkat regional, para petinggi ASEAN telah mengambil langkah- langkah untuk mendorong negara anggotanya untuk secara aktif bekerjasama dalam mencegah dan melawan gelombang besar disinformasi. Para petinggi ASEAN menyatakan kesadaran bersama bahwa masalah berita palsu adalah tantangan nyata yang terus berlanjut dan berkembang pesat dalam skala global, terutama pada platform media sosial.

Pada Konferensi Ke-14 Penanggung Jawab Informasi ASEAN dan Konferensi Kel-5 Penanggung Jawab Informasi ASEAN Plus Tiga Menteri, para menteri negara anggota ASEAN menghasilkan kesepakatan antara para menteri bahwa ASEAN perlu berkolaborasi dan bertukar praktik terbaik dalam memerangi berita palsu dan mengurangi efek berbahayanya melalui Kerangka Kerja dan Deklarasi Bersama untuk Meminimalkan Efek Berbahaya dari Berita Palsu (ASEAN, 2018). Melalui ketentuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk berkerja sama meningkatkan kesadaran tentang potensi masalah yang ditimbulkan oleh berita palsu untuk mencegah penyebarannya serta untuk

memperkuat kapasitas nasional negara masing-masing dalam mendeteksi dan menanggapi berita palsu, termasuk melalui pemantauan media, pengecekan fakta, dan membangun komunikasi pemerintah yang kuat dan tepercaya. Sebagai bagian dari Pengurus tahun 2019, Departemen Hubungan Masyarakat Pemerintah Thailand menyelenggarakan “Mempertahankan Kredibilitas dan Kepercayaan dalam Jurnalisme: Lokakarya Kolaborasi untuk Mengatasi Berita Palsu di ASEAN”, dimana jurnalis dari ASEAN, anggota media massa, dan pihak-pihak jaringan online dari masing- masing negara bekerja sama dalam berbagi pengalaman mereka dalam menangani disinformasi dan mengeksplorasi pendekatan untuk memerangi berita palsu (Bondoc, 2019).

ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effect of Fakenews

The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) mengakui bahwa “berita palsu” adalah salah satu tantangan baru yang harus dihadapi oleh negara-negara anggotanya karena media digital merupakan sumber informasi utama warga (Pornwasin, 2018).

ASEAN menyatakan keprihatinannya atas misinformasi yang disebarkan melalui media sosial yang dapat “melemahkan kepercayaan pada institusi politik” dan “mengikis harmoni sosial suatu negara” (Asia Centre, 2018).

Menyadari bahwa revolusi digital akan membawa perkembangan pesat dan perubahan

(10)

lanskap informasi dan media, para Menteri menyepakati perlunya ASEAN mempersiapkan rakyatnya untuk menangkap peluang dan mengelola setiap tantangan yang ditimbulkan oleh revolusi digital (ASEAN, 2018). Dalam hal demikian, ASEAN sebagai organisasi regional dapat mengambil tindakan untuk mempersempit kesenjangan dan menjembatani kerjasama antar negara melalui forum dan mekanisme yang tersedia.

Pada waktu bersamaan, mereka menyadari bahwa tindakan pencegahan terhadap berita palsu harus menghormati nasional kedaulatan dan peran sentral pemerintah, serta dilaksanakan secara nasional sesuai dengan keadaan politik dan sosial masing-masing negara anggota ASEAN (ASEAN, 2018).

Dalam pertemuan ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) ke-14 ini, AMRI mendukung Kerangka Kerja dan Deklarasi Bersama untuk Meminimalkan Efek Berbahaya dari Berita Palsu yang akan memberikan kerangka acuan umum untuk Negara-negara anggota ASEAN dengan tujuan memperkuat kerja sama, berbagi ide, dan mengusulkan solusi yang layak untuk mengatasi penyebaran berita palsu dan dampak negatifnya, untuk manfaat bagi masyarakat ASEAN. Para Menteri ASEAN sepakat bahwa dibutuhkan regional blok untuk melakukan kolaborasi dan bertukar praktik terbaik dalam memerangi permasalahan berita palsu ini dan mengurangi efek berbahaya (ASEAN, 2018), dengan

dikeluarkannya Deklarasi tentang Kerangka Kerja untuk Meminimalkan Efek Berbahaya dari Berita Palsu. Sebagaimana diungkapkan dalam deklarasi tersebut, bahwa penyedia konten melalui media sosial tidak tunduk pada

“peraturan tradisional atau standar jurnalistik”

(Asia Centre, 2018).

Pada pertemuan yang mengusung tema

“Inclusive and Informed Digital Asean”, para menteri juga sepakat bahwa negara-negara anggota harus bekerja sama untuk meningkatkan literasi digital, mendorong lembaga terkait untuk mengembangkan pedoman untuk menanggapi berita palsu, dan berbagi “praktik terbaik” (ASEAN, 2018).

Negara-negara anggota telah sepakat untuk berbagi pengalaman kebijakan yang berkaitan dengan media sosial, mempromosikan literasi media dan kesadaran publik dan mengadopsi undang-undang dan peraturan untuk situasi nasional mereka untuk meminimalkan efek berbahaya dari berita palsu. Kerangka yang diusulkan juga untuk menggunakan kelompok masyarakat sipil untuk menjalankan kampanye literasi digital dan memobilisasi warga untuk secara proaktif melaporkan berita palsu sehingga pemerintah dapat mengklarifikasi posisi mereka (Asia Centre, 2018). Melalui ketentuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk "bekerja bersama untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi masalah yang ditimbulkan oleh berita palsu untuk mencegah penyebarannya" serta memperkuat kapasitas nasional untuk

(11)

mendeteksi dan menanggapi berita palsu, termasuk melalui pemantauan media, pengecekan fakta, dan membangun komunikasi pemerintah yang kuat dan tepercaya.

Gambaran Umum Peningkatan Persebaran Berita Palsu/Hoaks pada Pra- Pemilu di Indonesia tahun 2019

Seiring dengan kemajuan teknologi di dunia tentunya banyak dampak positif yang diberikan. Di samping dampak positif yang ditimbulkan, kemajuan teknologi justru dimanfaatkan oleh oknum tertentu sebagai instrumen untuk melakukan tindakan kejahatan dengan modus baru melalui teknologi komunikasi dan informasi tersebut.

Oleh karena media sosial merupakan wadah yang sering digunakan oleh pengguna internet, maka oknum-oknum tidak bertanggung jawab pembuat berita hoaks memanfaatkan saluran ini sebagai sarana untuk menyebarkan hoaks kepada pengguna internet lainnya. Munculnya 'berita palsu' adalah cerminan disfungsi sosial-politik jangka panjang di wilayah dengan warisan otoriter di mana warga telah belajar untuk tidak mempercayai media arus utama dan sumber resmi sebagai propaganda negara.

Selama pemerintahan otoriter Orde Baru Indonesia, contohnya, praktik menyebarkan informasi, rumor, dan gosip menjadi aspek yang lebih tinggi sebagai warga negara Indonesia, serta cara untuk memahami cerita

yang sebenarnya atau untuk mendapatkan informasi tambahan. Sumber non-pemerintah, terutama jika itu adalah seseorang yang dapat dipercaya, menjadi lebih dapat dipercaya.

Kelompok yang menyebarkan berita hoaks secara terorganisir ini dikenal dengan istilah

buzzer hoaks”. Mayoritas pelaku menggunakan akun palsu yang bukan miliknya (second account) ketika menyebarkan berita hoaks di media sosial (Rahadi, 2017).

Dalam pemilihan umum media memainkan peran sentral dimana pemilih dapat memperoleh informasi yang diperlukan seputar kandidat, partai politik, kebijakan mereka dan untuk terlibat dalam diskusi publik. Semua ini dilakukan untuk mencari tahu dan mendidik diri mereka sendiri agar membuat pilihan yang tepat. Miliaran informasi dalam bentuk teks, foto, dan video dibagikan setiap hari kepada setiap orang yang memiliki akses Internet tanpa mengetahui kebenaran dari berita tersebut. Hoaks atau berita palsu sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan, aktivitas penyebaran hoaks yang terorganisir semakin meningkat menjelang musim politik, baik itu pemilihan umum tingkat nasional maupun daerah. Hal inilah yang menjadikan Hoaks menjadi sangat berbahaya dalam periode pemilu dimana di saat seperti ini masyarakat menjadi lebih sensitif dan penuh perhatian akan berita-berita baru. Pemanfaatan politik berita palsu sedang meningkat di Indonesia, dan menonjol selama pemilu baru-baru ini.

(12)

Kisah-kisah ini tidak hanya memperburuk perpecahan, tetapi juga memicu kerusuhan pasca-pemilu di Jakarta (SIIA,2019).

Dalam penyelenggaraan pemilu, kampanye merupakan satu di antara cara calon dan pasangan calon untuk memperkenalkan diri dan visi misinya kepada masyarakat. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, seringkali ada tujuan negatif yang tersembunyi dari kegiatan kampanye tersebut. Misalnya ada kampanye yang dilakukan oleh calon/ pasangan calon untuk mendapatkan simpatisan atau dukungan dari masyarakat dengan cara membuka kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh pasangan calon lain (Elcaputera & Dinata, 2019). Di Indonesia, kampanye fitnah online telah mempengaruhi posisi kandidat dalam pemilu sejak 2012 (Haciyakupoglu & dkk, 2018).

Sepanjang masa kampanye sejak Agustus 2018, Kementerian Kominfo telah mengais konten hoaks yang ditujukan kepada Calon Presiden – Calon Wakil Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto.

Menteri Rudiantara memaparkan, jumlah hoaks setiap bulannya, khususnya yang berkaitan seputar pemilu 2019, mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

(Kompas, 2019). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bahkan telah memblokir sebanyak 800.000 situs yang memiliki unsur negatif (Kominfo, 2017).

Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan 1.645 konten hoaks

terkait Pemilu Serentak 2019 sejak bulan Agustus 2018 hingga 25 April 2019. Pada bulan Agustus 2018, Kementerian Kominfo mengidentifikasi 25 hoaks, sementara di bulan Desember meningkat tiga kali lipat menjadi 75 hoaks. Lalu, di bulan Januari 2019 naik 175, Febuari 353, serta bulan Maret ditemukan 453, dan per tanggal 25 April 2019, ditemukan hoaks sebanyak 421. (Kompas, 2019).

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau yang disingkat Mafindo, organisasi Indonesia yang fokus memerangi berita palsu dan meningkatkan literasi digital merilis laporan tentang hoaks yang tercatat dan terverifikasi dari awal 2018 hingga Januari 2019. Dari total 997 hoaks, terungkap bahwa berita palsu tentang politik mendominasi dengan jumlah 488 (49,94%), dengan target termasuk calon presiden serta lembaga pemerintah dan negara, khususnya komisi pemilihan (MAFINDO, 2019). Berangkat dari data ini menunjukkan bahwa hoaks merupakan masalah serius bagi pemerintah.

Macam-macam Hoaks yang ada pada saat pra pemilu tahun 2019 di dominasi oleh Hoaks mengenai calon presiden saat itu, yakni Joko Widodo dan Prabowo. Pertarungan online sangat sengit atas reputasi calon presiden Joko Widodo, yang mencalonkan diri untuk pemilihan kembali, dan penantangnya Prabowo Subianto. Salah satu hoaks utama yang umum di media sosial di Indonesia adalah bahwa beberapa kandidat pemilu, termasuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo,

(13)

memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang (Blundy, 2019). Secara online, para pembenci Widodo mengatakan dia menjual negara itu ke China dan kepentingan asing lainnya. Atau mereka mengklaim bahwa dia adalah seorang komunis, yang bermaksud melarang adzan setiap hari dan melegalkan pernikahan sesama jenis – tindakan tidak populer yang tidak pernah dianjurkan oleh Muslim yang taat tetapi Prabowo juga memiliki pencela online yang menyebarkan kebohongan seperti bahwa pensiunan jenderal itu mengenakan kacamata pintar untuk memberinya keunggulan yang tidak adil selama debat presiden yang disiarkan televisi (The Asean Post, 2021).

Kerjasama ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effect of Fakenews dalam memberantas berita palsu

Dalam memerangi berita palsu, kolaborasi termasuk upaya jangka panjang yang dapat dilakukan oleh suatu negara baik Kerjasama Regional, Transnasional, Extra- governmental, dan lainnya. Salah satu upaya pemerintah adalah melakukan kolaborasi preventif untuk mengurangi kemungkinan suatu peristiwa yang dapat memicu longsoran berita palsu. Upaya dari berbagai tingkatan yang ditujukan adalah mengurangi kemungkinan penyebaran informasi yang salah sebelum pemilihan umum dijadwalkan (Arwendria, 2019). Menurut Haciyakupoglu

dkk (2018) bahwa kegiatan kolaborasi memiliki tujuan: (1) memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan keterampilan; (2) mempersempit kesenjangan antara lokal dan global; (3) membantu mengidentifikasi masalah yang tumpang tindih antara berbagai masalah dan konteks; dan (4) memungkinkan pengiriman pesan yang konsisten. Langkah- langkah kolaboratif yang berfokus pada masalah yang bertujuan untuk mencegah penyebaran berita palsu akan memfasilitasi tanggapan yang cepat dan tahan lama, dan akan memberikan hasil yang lebih baik daripada upaya terisolasi yang kurang fokus.

Kerjasama deklarasi Kerangka Kerja ini dijadikan sebagai landasan bagi negara anggota ASEAN dalam memerangi berita palsu di negara masing-masing. Kerjasama ini ada sebagai wadah agar negara anggota dapat bertukar informasi dan membagi praktik terbaik dalam pemberantasan berita palsu di negara masing-masing. Dikutip dari ANNEX 5 Framework and Joint Declaration to Minimise the Harmful Effects of Fake News, berikut merupkan kerangka kerja bagi ASEAN untuk meminimalkan efek berbahaya dari berita palsu yang mencakup empat strategi luas yang dapat dirujuk oleh AMS dalam upaya mereka untuk mengatasi berita palsu sehingga AMS dapat menyesuaikan strategi sesuai dengan keadaan unik masing-masing negara.

Oleh karena itu, ini menyediakan cara untuk menyusun program kerja masa depan bagi ASEAN untuk berdiskusi, berbagi

(14)

pengalaman, dan terlibat dengan pemangku kepentingan lainnya

1. Pendidikan dan Kesadaran

Garis pertahanan pertama harus menjadi publik yang cerdas dan berpengetahuan luas yang mampu mendeteksi berita palsu ketika disajikan kepada mereka. Selain itu harus ada kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh berita palsu, dan khususnya kesadaran akan penciptaan dan penyebaran informasi yang bertanggung jawab. Nilai Inti pada Literasi Digital, yang bertujuan untuk menciptakan Internet yang aman dan kondusif untuk interaksi online juga mendukung tujuan ini, dan merupakan pelengkap utama dari strategi ini. Juga harus ada upaya mendidik masyarakat untuk bertanggung jawab dalam membuat dan menyebarkan informasi.

2. Deteksi dan Respon

Deteksi dan tanggapan terhadap berita palsu adalah tanggung jawab semua orang, termasuk pemerintah, organisasi dan swasta individu. Pemerintah harus melakukan pemantauan berkala terhadap berita dan isu dan bertindak cepat atas informasi yang memerlukan klarifikasi. Ini membutuhkan komunikasi pemerintah yang kuat dan tepercaya. Organisasi dan media dapat berkontribusi dengan memeriksa fakta konten dan mematuhi kode etik yang ketat.

3. Norma dan Pedoman

Penciptaan norma dan pedoman akan

memberdayakan dan melindungi warga negara dalam konsumsi informasi mereka di media baru dan juga akan mempromosikan generasi yang bertanggung jawab dan berbagi informasi online. Selain itu, masyarakat sipil, telekomunikasi dan organisasi media serta perusahaan swasta lainnya dapat berkontribusi dalam mengembangkan norma dan pedoman industri melawan berita palsu. Sementara beberapa negara (terutama Jerman) telah memilih untuk mengembangkan tanggapan legislatif terhadap berita palsu, setiap negara didorong untuk mempertimbangkan keadaan mereka sendiri untuk pembuatan undang- undang, norma dan/atau pedoman.

4. Komunitas dan Partisipasi Awal

Adanya kerjasama antara pemerintah dan warga negara penting dalam deteksi tepat waktu berita palsu. Warga negara yang secara aktif melaporkan berita palsu memungkinkan pemerintah untuk mengeluarkan klarifikasi secara efisien. Selain itu, kelompok masyarakat sipil juga menjadi kunci dalam menyebarkan literasi digital dan kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan oleh berita palsu kepada masyarakat luas, serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meminimalkan penyebaran berita palsu.

Mereka juga dapat menjadi pendukung yang berguna untuk norma dan pedoman yang berpusat pada komunitas ketika berhadapan dengan berita palsu.

Untuk mengimplementasikan ASEAN Framework to Minimize the Harmful Effects

(15)

of Fakenews, ASEAN Sub-Committee on Information membentuk ASEAN Task Force on Fake News (TFFN) yang terdiri dari perwakilan 10 negara anggota ASEAN yang memiliki tugas dan tujuan sebagai berikut :

1. Bekerja sama dalam menanggapi kebohongan online secara tepat waktu. - Untuk mengembangkan seperangkat pedoman untuk reaksi di antara Negara Anggota ASEAN (AMS) terkait pelaporan, penanganan, dan verifikasi terhadap berita palsu dan kebohongan online terkait (seperti:

misinformasi, disinformasi, ujaran kebencian, dll.

- Membuat platform untuk memberdayakan kegiatan pengecekan fakta lintas batas dalam bentuk pertukaran informasi, mempromosikan platform tepercaya lintas batas ke setiap negara anggota.

2. Untuk mengembangkan dan mengusulkan langkah-langkah untuk ASEAN dalam rangka menciptakan lingkungan Internet yang dapat dipercaya dan andal bagi warga ASEAN - Untuk mengembangkan seperangkat definisi istilah untuk media sosial dan masalah online (misalnya cyber bullying, berita palsu, disinformasi, misinformasi, kebencian pidato dll)

- Melaporkan rekomendasi kepada SOMRI/ WG-IMT setiap tahun terkait isu

disinformasi dan pendekatan/solusi umum untuk meminimalkannya.

- Untuk mengembangkan serangkaian tindakan umum yang harus diikuti oleh penyedia layanan media sosial dalam menangani kebohongan di media sosial dan Internet

3. Untuk memberikan peningkatan kapasitas AMS dalam menangani berita palsu dan disinformasi – Untuk bertukar pengalaman, kebijakan, praktik terbaik atau kasus kegagalan di antara AMS;

- Untuk mengusulkan dan melaksanakan kegiatan peningkatan kapasitas terkait untuk AMSI (Wulandari, 2021).

Salah satu langkah dalam Kerangka Kerja yaitu Deteksi dan Respon yang telah dilakukan oleh beberapa negara di ASEAN yaitu dengan memiliki situs/web pengecekan fakta di negaranya untuk menyaring berita palsu. Di Asia Tenggara, mereka telah mendanai organisasi 'cek fakta' yang berperan untuk melawan materi berita palsu – pertama dengan mengekspos materi tersebut sebagai 'hoax' di situs web mereka sendiri, dan kedua dengan membuat lebih banyak tautan langsung ke platform seperti Facebook secara berurutan agar konten berita palsu dihapus (Ong dkk, 2019). Beberapa negara anggota ASEAN sudah memiliki situs web pengecekan fakta yang dioperasikan sepenuhnya oleh negara seperti Malaysia (Sebenarnya.my) sejak 2017 dan di Singapura (Faktual) sejak 2012. Selain

(16)

itu, layanan cek fakta yang didukung negara telah beroperasi di Indonesia (StopHoax.id) sejak 2018 dan di Thailand (Sure And Share) sejak 2015. Meskipun semakin banyak layanan pengecekan fakta independen swasta dapat ditemukan di beberapa bagian Asia Tenggara (Schuldt, 2021).

Beberapa negara anggota mulai melakukan kerjasama dengan media sosial yang paling sering digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara, seperti Facebook, Twitter, Line dan Whatsapp. Salah satunya di Thailand, media sosial Facebook mengoperasikan tim dengan penutur bahasa Thailand untuk memantau postingan dan membatasi iklan pemilu dari luar negeri, karena perusahaan mempertimbangkan untuk memerangi berita palsu 'penting bagi integritas dan keamanan pemilu Thailand' ( The Straits Times, 2019). Pemerintah Thailand juga menjalin kerja sama dengan untuk melakukan bagiannya dengan hanya menampilkan artikel dari apa yang perusahaan anggap 'penerbit tepercaya' di fitur beritanya ( The Straits Times, 2019) .

Upaya ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effect of Fakenews yang diwakili oleh Kominfo RI Setelah Indonsia Melakukan Adaptasi dalam menangani berita palsu pada Pra- Pemilihan Presiden tahun 2019

Berdasarkan wawancara dengan informan, Wulandari (2021) menyatakan, bagi Indonesia sendiri, tujuan dari dibuatnya

framework-framework tersebut adalah agar para pemimpin 10 negara anggota ASEAN dapat berkomitmen untuk memerangi fake news dan meningkatkan literasi digital di negaranya masing-masing dengan cara masing-masing. Framework gunanya sebagai rujukan bersama yang telah disepakati 10 negara anggota ASEAN atas poin-poin panduan dan best practice untuk menangani fake news dan meningkatkan literasi digital.

Peran pemerintah sangatlah penting dalam melaksanakan kerangka kerja yang sudah ASEAN bentuk agar upaya-upaya dapat terealisasikan. Pemerintah memiliki peran untuk memerangi berita palsu dengan mempromosikan pendidikan, tetapi pertama- tama harus memperbaiki citranya sebagai

“utusan” yang dapat dipercaya. (SIIA, 2019).

Sejauh ini pemerintah juga telah melakukan berbagai macam cara untuk mencegah dan mengatasi penyebaran hoaks sejalan dengan prinsip-prinsip ASEAN Frameworks to Minimise the Harmful Effect of Fakenews, seperti :

1. Berdasarkan strategi Pendidikan dan Kesadaran

a. Literasi digital untuk masyarakat Literasi digital adalah kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, berkomunikasi, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital. Ini mencakup pengetahuan dan keterampilan praktis. Warga yang melek digital tidak hanya dapat menemukan informasi tetapi juga

(17)

memeriksa fakta konten sebelum membagikannya kepada orang lain. Secara umum edukasi literasi digital bagi masyarakat pengguna media sosial yang dilakukan oleh Kominfo sudah sesuai dan sejalan dengan prinsip ASEAN Framework tersebut, meskipun tidak persis sama. Kominfo fokus mengedukasi masyarakat agar bertanggung jawab apabila memplublikasikan sesuati di media sosial dan selalu melakukan cek and ricek ketika menerima berita atau informasi apapun agar mengetahui kebenaran dari berita tersebut (Wulandari, 2021).

Pemerintah menciptakan Siberkreasi yang merupakan gerakan literasi digital berbasis komunitas yang didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk memberdayakan setiap individu sehingga mereka dapat menemukan dan memeriksa informasi di berbagai platform digital (The Conversation, 2019). Untuk mewujudkan Pemilu di Indonesia yang nyaman, berkualitas serta mencerdaskan masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan kampanye literasi digital dalam beragam ajang sosialisasi maupun dialog.

Salah satunya event Siberkreasi Netizen Fair (SNF) 2018 yang dilaksanakan pada pada tanggal 22 – 24 November 2018.

b. Gambar 1.1 Siberkreasi Netizen Fair 2018 di Gelora Bung Karno, Jakarta

Sumber : aptika.kominfo.go.id, 2018.

Acara SNF diselenggarakan sebagai upaya literasi terhadap pengguna internet terutama media sosial agar bertanggungjawab dan terhindar dari konten-konten negatif di dunia maya. Perhelatan SNF 2018 menampilkan 8 Digitalk Session oleh para pegiat literasi digital serta para content creator, 11 pertunjukan musik , 63 digital tenant, serta 21 creative workshop. Turut hadir Menteri Kominfo Rudiantara pada acara awarding night sekaligus menutup acara SNF 2018 ini (Rizkinaswara, 2018).

Kementerian Komunikasi dan Informatika ikut berpartisipasi dalam Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi melalui FIRAL (Festifval Literasi Digital) bersama 93 Pemangku Kepentingan termasuk Mitra dari berbagai kalangan, komunitas peduli, swasta, akademisi, masyarakat sipil, pemerintah dan media. Dalam pelaksanaan Literasi Digital, telah dihasilkan 10 buku dan 2 video dari Kominfo, dengan total terdapat 63 Buku dan 38 Video yang bisa diunduh dan dilihat di website literasidigital.id (Rizkinaswara, 2019).

(18)

2. Berdasarkan strategi Deteksi dan Respon

A. Pemblokiran Website yang menyebarkan Hoaks

Pemerintah Indonesia menggunakan mekanisme pemblokiran sebagai cara untuk mengendalikan internet, terutama penyebaran hoaks. Semakin berkembangnya hoaks di media sosial membuat pemerintah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi hal tersebut, baik dengan meningkatkan kemampuan dan keamanan dari dalam pemerintah seperti pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), maupun dengan melakukan kerjasama dengan beberapa instansi ahli. Pada Januari 2018, Presiden Jokowi mendirikan Badan Siber dan Sandi Negara, untuk mengawasi disinformasi di media sosial. Pihak berwenang telah bekerja dengan platform media sosial untuk menghapus dan memblokir konten yang mereka anggap berbahaya, seperti ujaran kebencian dan konten memfitnah yang merendahkan presiden (Blundy, 2019).

Pembentukan BSSN memiliki tujuan untuk memayungi segenap aktivitas Siber Nasional dalam upaya meminimalisir penyebaran berita bohong melalui penertiban perdagangan elektronik dan peningkatan pertahanan keamanan (Kompas, 2017).

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, pihaknya sudah menutup sekitar 1600 akun yang menyebarkan dan memviralkan konten

hoax jelang Pemilu 2019 (Rico, 2019).

B. Situs Resmi Pemeriksa Fakta

Sebuah situs baru bernama Stophoax.id diluncurkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memberantas hoaks dan memberikan jalan bagi masyarakat untuk melaporkan dugaan sumber berita palsu.

Terlepas dari upaya ini, setidaknya 700 hoax terkait pemilu dilaporkan oleh kementerian pada bulan Maret saja, menyoroti skala masalah. Salah satu inisiatif penting di Indonesia adalah CekFakta – koalisi verifikasi digital dari 24 organisasi media terkemuka, termasuk Google News Initiative, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) – yang secara independen bertujuan untuk melengkapi program pemerintah yang sedang berjalan dengan memperkuat jurnalisme yang bertanggung jawab dan memastikan bahwa outlet berita menjunjung standar akurasi yang tinggi (Sundari, 2019).

Kementerian membentuk tim pemeriksa fakta yang terdiri dari 80 orang sepanjang waktu untuk menghilangkan prasangka hoaks dan berita palsu lainnya, dengan para pejabat mengumumkan hasilnya pada konferensi pers reguler. Bergabung dengan serangan adalah ratusan sukarelawan dari Mafindo, yang termasuk di antara dua lusin organisasi yang termasuk dalam koalisi verifikasi digital unik yang disebut CekFakta – yang terhubung dengan outlet berita top

(19)

Indonesia (Khidhir, 2019).

C. Artificial Intelligence System (AIS) Pada 2017, pemerintah mulai menggunakan Artificial Intelligence System (AIS) untuk mengendalikan hoax. Mesin AIS yang disebut Cyber Drone 9 ini merupakan sebuah alat pengais konten negatif di internet dari Kominfo yang digunakan untuk melacak dan melaporkan situs-situs yang menyebarkan berita palsu. Nilai pagu paket mesin sensor internet ini mencapai Rp 211.872.500, sementara untuk nilai Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tercatat sebesar Rp 211.870.060.792. Sedangkan, PT Inti menang lelang dengan memberikan harga penawaran Rp 198.611.683.606 dan harga terkoreksi Rp 194.059.863.536 (Haryanto, 2019). Cyber Drone 9 adalah sistem baru milik Kementrian Komunikasi dan Informatika sebagai pengganti sistem pemblokiran konten negative yang telah ada sebelumnya yakni Trust+ yang secara de facto di bubarkan.

Sistem yang memiliki ruangan khusus di lantai 8 Gedung Kominfo itu membantu tim yang berjumlah 58 orang ini untuk mempercepat proses pencarian atau crawling konten negative. Cyber Drone 9 terdiri dari dua ruang utama, Security Operation Center (SOC Room) dan War Room. Untuk SOC Room adalah dapur dari segala aktivitas pemantauan dan pengendalian terhadap konten negative (Yuliani, 2018).

Tim AIS dibentuk oleh Menteri

Kominfo Rudiantara pada Januari 2018 untuk melakukan pengaisan, identifikasi verifikasi dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di cyber space Indonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian, maupun konten negatif lainnya. Saat ini Tim AIS berjumlah 100 personil didukung oleh mesin AIS yang bekerja 24 jam, 7 hari seminggu tanpa henti (Kominfo, 2019). Pada bulan Oktober, Bloomberg melaporkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki tim yang terdiri dari 70 insinyur yang memantau lalu lintas media sosial 24 jam sehari dalam upaya mendeteksi kesalahan informasi online. Apa yang disebut

“ruang perang”, yang ditempatkan di dalam Kementerian Komunikasi, bertujuan untuk membatasi penyebaran berita bohong menjelang pemilihan umum pada bulan April dan memiliki wewenang untuk menghapus postingan yang menyebarkan berita palsu di bawah undang-undang tahun 2008 (Funke, 2018).

Dari penelusuran mesin AIS milik kominfo, ditemukan jumlah hoax, dan ujaran kebencian terus meningkat menjelang hari pemiliu. Berdasarkan Siaran Pers No.

95/HM/KOMINFO/05/2019, Peningkatan jumlah konten hoaks sangat signifikan terjadi pada bulan Januari dan Februari 2019.

Sebanyak 175 konten hoaks yang berhasil diverifikasi oleh Tim AIS Kominfo. Angka ini naik dua kali lipat di Februari 2019 menjadi 353 konten hoaks. Angka tersebut terus

(20)

menanjak menjadi 453 hoaks selama Maret 2019. Hingga sekarang, Kominfo terus mengandalkan mesin ini salah satunya dalam mendeteksi peredaran hoax yang kian merajalela.

3. Berdasarkan stratgei Norma dan Pedoman

A. Penggunaan UU ITE

Pemerintah juga memaksimalkan penggunaan UU ITE untuk menghukum orang-orang yang menyebarkan hoax terhadap calon presiden dan pemerintah.

Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pemerintah menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa MUI dalam rangka membantu pemerintah melaksanakan tugas sosialisasi literasi sesuai amanat dalam Undang-undang tentang Informasi dan Elektronik (UU ITE). Kemudian, MUI mengeluarkan fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa tersebut diharapkan dapat membantu pemerintah memberantas informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial (Bayu, 2017).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Bab 25 tentang Perbuatan Curang Pasal 378, dan lain sebagainya

(Rasidin dkk, 2019). Selain itu, pemerintah juga membentuk lembaga khusus yang bertugas mengawasi peredaran berita di internet dan menguji kebenarannya. Hal tersebut dapat dilihat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 133 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yaitu lembaga pemerintah berada di bawah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Namun, kini BSSN berada langsung di bawah Presiden (Arwendria, 2019). Menteri Rudiantara menekankan bahwa pengaisan konten hoax di masa tenang khusus menggunakan Undang-Undang Pemilu.

Sementara penanganan hoax berjalan mengacu pada UU ITE. "Yang lainnya, yang hoax berjalan, itu penanganannya menggunakan UU ITE yang selama ini memang sudah berjalan.

Jadi hal khususnya adalah penambahan dengan menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2017,"

papar Menteri Rudiantara (Haryanto, 2019).

4. Berdasarkan strategi Komunitas dan Partisipasi Awal

A. Pelibatan Komunitas

Dalam kerangka kerja ini, ASEAN juga mengajak Indonesia agar berkerjasama dengan NGO dalam upaya memberantas berita palsu di negaranya. Menurut Sundari (2019) karena sifat Internet dan penggunanya yang serba cepat, penanganan berita palsu tidak hanya melibatkan upaya pemerintah, tetapi juga jurnalis, media, dan masyarakat sipil.

(21)

Salah satu inisiatif penting di Indonesia adalah CekFakta – koalisi verifikasi digital dari 24 organisasi media terkemuka, termasuk Google News Initiative, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), dan Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) – yang secara independen bertujuan untuk melengkapi program pemerintah yang sedang berjalan dengan memperkuat jurnalisme yang bertanggung jawab dan memastikan bahwa outlet berita menjunjung standar akurasi yang tinggi.

Pemerintah juga bekerja sama dengan masyarakat lokal dan LSM untuk menyebarkan kampanye literasi digital agar penyuluhan ini dapat diterima seluruh lapisan masyarakat. Dengan bantuan masyarakat setempat, pemerintah dapat berbagi langkah- langkah untuk mencegah dan mengurangi penyebaran disinformasi. Dikutip dari The Conversation (2019), Contoh inisiatif yang dipimpin warga adalah Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau singkatnya Mafindo.

Ini berfokus pada memerangi penyebaran berita palsu. Ini telah memulai pengecekan fakta kolaboratif dengan 25 media lokal.

Kolaborasi ini membantu publik menghilangkan hoaks dan berita palsu selama pemilihan presiden Indonesia pada bulan April tahun ini. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan platform media sosial sangat penting untuk membangun gerakan literasi digital nasional yang sukses.

Setiap aktor harus memainkan perannya

dengan tepat untuk memerangi penyebaran hoaks dan disinformasi.

Mafindo juga bermitra dengan media sosial WhatsApp, dalam layanan ini WhatsApp menyediakan saluran telepon khusus untuk melaporkan hoaks khususnya yang berkaitan dengan konten misinformasi.

Nomor yang disiapkan adalah +62 855-7467- 6701, masyarakat dapat melaporkan teks, video atau audio ke nomor tersebut. Laporan tersebut akan membantu membangun arsip data Mafindo tentang penyebaran misinformasi selama periode pemilihan umum dan juga membantu jurnalis, sehingga mereka dapat mempublikasikan informasi faktual untuk masyarakat Indonesia (Franedya, 2019).

B. Melibatkan platform media sosial Dalam melakukan literasi digital secara nasional yang menyasar semua pengguna internet, pemerintah membutuhkan kolaborasi dengan platform media sosial yang sering digunakan oleh masyarakat serta publik karena dalam pelaksanaan nya merupakan pekerjaan besar.

Dari data diatas menunjukkan bahwa hoaks dan disinformasi di Indonesia paling banyak ditemukan di Facebook (82,5%), WhatsApp (56,55%), Line (11,37%), dan Twitter (10,38%). Angka-angka tersebut menunjukkan peran penting platform media sosial dalam memfasilitasi penyebaran disinformasi di kalangan warga.

Kerjasama lain yang dijalin oleh pemerintah yaitu dengan Facebook.

(22)

Dilatarbelakangi oleh banyaknya masyarakat Indonesia pengguna media sosial Facebook di Indonesia dan termasuk media sosial yang menjadi platform oknum-oknum dalam menyebarkan hoax. Pada tahun 2018 Indonesia memegang jumlah pengguna Facebook terbesar urutan keempat di dunia.

Di Indonesia, jumlah pengguna Facebook pada Januari 2018 mencapai 130 juta akun atau sama dengan 6% dari keseluruhan pengguna Facebook di dunia. Dari angka tersebut, Indonesia menjadi negara dengan pengguna Facebook terbanyak di Asia Tenggara (Kompas, 2018).

Dalam pertemuan Kominfo bersama Tim Facebook yang dipimpin Monica Bickert (Global Head and Content Policy) serta Alvin Tan (Head of Public Policy, SouthEast Asia) dan tiga staf Media Partnership, Communications and Content ada dua hal yang dibahas bersama Menteri Kominfo.

Pertama, meningkatkan service level agreement antara Pemerintah Indonesia dengan Facebook. Adapun hal yang ingin ditingkatkan adalah mereview bisnis proses yang telah dijalankan serta mereview proses pengajuan konten-konten yang benar-benar dianggap berbahaya baik untuk keselamatan orang dan negara. Selain itu pengadaan program-program bagi masyarakat, edukasi dan literasi antara lain Facebook Jurnalistics yaitu program pendidikn jurnalistik melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan organisasi di Indonesia (Kominfo, 2017).

Selain itu, sejak tahun 2016, Facebook telah menciptakan fitur yang dapat memberikan tanda dispute (ditentang) terhadap artikel yang mengandung informasi yang tidak jelas kebenarannya (Rahadi, 2017). Facebook juga melatih badan penyelenggara pemilu cara menandai berita palsu ke perusahaan, yang kemudian dievaluasi oleh moderator dan dihapus jika melanggar standar komunitasnya (Costa, 2019).

Selain Facebook juga ada media sosial lain, yaitu Twitter yang turut berkerjasama dengan menghapus akun palsu di Indonesia secara teratur. Secara khusus, Twitter bekerja untuk menghapus jaringan akun yang terlibat dalam misinformasi dan disinformasi (Costa, 2019). Deteksi otomatis Twitter terus mengidentifikasi dan 'menangkap' jutaan potensi spam dan otomatis akun per minggu.

Pada paruh pertama September 2018, kami menemukan rata-rata 9,4 juta akun masing- masing minggu secara global (Savithri, 2019).

Dikutip dari Siaran Pers No.

16/HM/KOMINFO/01/2019, Pertemuan Menteri Kominfo Rudiantara dengan Vice President Public Policy and Communications WhatsApp, Victoria Grand di Kantor Kominfo membahas langkah nyata untuk mengurangi penyebaran hoaks yang sangat cepat viral melalui aplikasi pesan instan WhatsApp dengan dibuatnya fitur pembatasan forward pesan. Fitur pembatasan forward pesan melaui WhatsApp mulai berlaku efektif pada tanggal 21 Januari 2019 waktu Los Angeles atau

(23)

tanggal 22 Januari 2019 Pukul 12.00 Waktu Indonesia Bagian Barat. WhatsApp juga bekerja sama dengan media arus utama seperti stasiun radio untuk menyiarkan iklan layanan masyarakat tentang bagaimana mengidentifikasi potensi berita palsu dan bagaimana tidak menyebarkan pesan tersebut lebih jauh. Praktik baik seperti ini ditunjukkan oleh perusahaan media sosial ini, dimana perusahaan media perlu menjadi kewajiban eksplisit yang diamanatkan oleh pemerintah, untuk memastikan partisipasi aktif perusahaan swasta di sektor terkait dalam menghentikan disinformasi (Arif, Bastaman, & Wensatama, 2019).

Pencapaian ASEAN Framework to Minimise the Harmful effects of Fakenews dalam menangani Hoaks saat pra-pemilu di Indonesia tahun 2019

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Subbid Kelembagaan Penyelenggaraan Pos dan Informatika, dan Informasi dan Komunikasi Publik Regional, Wulandari (2021) menyatakan, pencapaian dari Framework ini dikatakan belum cukup efektif di Indonesia dalam menangani Hoaks pada pra-pemilu di Indonesia tahun 2019. Hal utama karena hanya berupa framework, belum sampai diturunkan menjadi strategic plan. Hingga saat ini belum ada upaya ASEAN untuk menurunkan Framework Fake News menjadi lebih mendetail kedalam strategic plan dan action plan atau inisiatif.

Tetapi, upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh Indonesia melalui Kominfo dalam memberantas Hoax sudah sejalan dengan prinsip-prinsip dari kerangka kerja tersebut.

Hanya beberapa negara anggota ASEAN – yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, dan Singapura – telah meratifikasi atau mengaksesi ICCPR menunjukkan betapa sebagian besar negara anggota ASEAN tidak namun bersedia untuk berkomitmen penuh pada aturan yang diakui secara internasional.

Upaya memerangi disinformasi mungkin telah menjadi bagian dari agenda negara-negara anggota ASEAN; namun dalam realisasinya, prioritas berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing negara bagian. Ketika didekati sebagai masalah keamanan, perbedaan pemahaman, kompetensi, dan bahkan kesediaan negara-negara anggota untuk melawan disinformasi dapat menghambat kolaborasi regional dalam masalah ini (Arif, Bastaman, & Wensatama, 2019).

Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi keefektifan dari framework ini dimana ASEAN merupakan kerjasama regional yang bersifat tidak mengikat dan fleksibel terhadap negara anggota nya, bukan termasuk Organisasi Supranasional dan Organisasi Antar Pemerintah. Keputusan yang diambil negara anggota masih berdasarkan pemerintahan negara itu sendiri, karena ASEAN merupakan Inter-Governmental Organization, yang artinya kedaulatan masih dipegang oleh negara-negara ASEAN, tidak

(24)

ada hukum yang berlaku khusus bagi negara anggota ASEAN. Semua perjanjian internasional hanya bisa berlaku di negara anggota ASEAN apabila negara tersebut meratifikasi perjanjian tersebut. Hal inilah yang menjadikan ASEAN merupakan Kerjasama regional yang spesial. ASEAN Framework to Minimise the Harmful Effects of Fakenews yang dibentuk oleh AMRI akan terus seperti ini pelaksanaan nya, yaitu berdasarkan upaya yang dilakukan oleh negara masing-masing dalam menjalankan nya dikarenakan tidak ada aturan yang mengatur dan mengikat akan kerangka kerja tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah peneliti lakukan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan berita palsu atau Hoax yang dialami oleh hampir seluruh negara di dunia ini tidak dapat dianggap sepele, jika tidak maka dampak dan kerugian yang akan dihasilkan sangat banyak. Dari data-data yang didapat menunjukkan tingginya penggunaan media sosial di kawasan Asia Tenggara, dengan itu tingkat penyebaran Hoax akan tinggi dimana mudahnya diakses berita palsu oleh semua kalangan masyarakat. Oleh karena itu ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara mengajak negara- negara anggotanya membentuk kerangka kerja yang disebut ASEAN Framework to Minimise the Harmful Effects of Fakenews

ini guna dijadikan sebgaai wadah untuk berkerja sama dalam memeberantas permasalahan berita palsu di negara masing- masing anggota. Dari kerangka kerja tersebut negara-negara anggota semakin kiat membasmi Hoaks di negaranya dengan berbagai cara termasuk Indonesia.

Upaya yang dilakukan ASEAN Framework tersebut melalui empat strategi sebagai kerangka kerja ASEAN, yaitu dalam Pendidikan dan Kesadaran, Deteksi dan Respon, Norma dan Pedoman, & Komunitas dan Partisipasi Ground Up yang dijadikan Indonesia melalui Kominfo sebagai kerangka acuan atau pedoman dalam membuat kebijakan untuk memberantas Hoaks atau berita palsu saat pra-pemilu tahun 2019.

Dalam hal ini, peran pemerintah sangatlah penting mengingat dampak yang akan terjadi yang disebabkan Hoaks ini beredar di seluruh masyarakat. Upaya-upaya yang telah dilakukan Kominfo berdasarkan kerangka kerja tersebut yaitu pemblokiran website yang menyebarkan Hoaks, Penggunaan UU ITE, Artificial Intelligence Syestem (AIS), pembuatan situs resmi cek fakta, literasi digital untuk masyarakat, terlibat dengan komunitas dan melibatkan platform media sosial.

Sejauh ini dengan adanya keraangka kerja tersebut dapat dikatakan belum memberikan dampak perubahan yang banyak dalam menangani Hoax di Indoensia, khususnya pada saat pra-pemilu di Indonesia tahun 2019. Dikarenakan kerangka kerja ini

Referensi

Dokumen terkait