BAGIAN ILMU KEGAWATDARURATAN MEDIS REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN MEI 2024 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
SYOK ANAFILAKTIK
Oleh : ALVIANA, S.Ked
105501110821
PEMBIMBING :
dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An-TI
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Kegawatdaruratan Medis
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2024
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Alviana
NIM : 105501110821
Judul Referat : Syok Anafilaktik
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kegawatdaruratan Medis Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, Mei 2024
Pembimbing Mahasiswa
dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An-TI Alviana
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul “Syok Anafilaktik” ini dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr. Zulfikar Tahir, M.Kes, Sp.An-TI, yang telah memberikan arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan referat ini.
Demikian, semoga referat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis secara khususnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, Mei 2024
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2
A. Definisi Syok Anafilaktik ... 2
B. Prevalensi Syok Anafilaktik ... 2
C. Etiologi Syok Anafilaktik ... 3
D. Patofisiologi Syok Anafilaktik ... 3
E. Manifestasi Klinis ... 5
F. Diagnosis Syok Anafilaktik ... 8
G. Diagnosis Banding ... 10
H. Tatalaksana ... 11
I. Prognosis ... 13
J. Komplikasi ... 13
BAB III KESIMPULAN... 14
DAFTAR PUSTAKA ... 15
BAB I PENDAHULUAN
Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsimultipel organ.1
Tubuh dapat merespon keadaan syok dengan beberapa mekanisme kompensasi. Bila mekanisme kompensasi gagal, maka keadaan syok akan semakin parah dan bila tidak diperbaiki maka akan menjadi ireversibel sehingga dapat menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian.2,3
Syok ditandai dengan penurunan pengiriman oksigen dan/atau peningkatan konsumsi oksigen atau pemanfaatan oksigen yang tidak memadai sehingga menyebabkan hipoksia seluler dan jaringan dan paling sering bermanifestasi sebagai hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau MAP kurang dari 65 mmHg). Syok adalah manifestasi akhir dari daftar etiologi yang kompleks dan bisa berakibat fatal jika tidak ditangani tepat waktu. Pada dasarnya ada empat kategori syok: distributif, hipovolemik, kardiogenik, dan obstruktif.3
Syok distributif merupakan jenis syok yang paling sering terjadi, diikuti syok hipovolemik dan syok kardiogenik. Syok obstruktif relatif lebih jarang terjadi. Jenis syok distributif yang paling umum adalah syok septik dan memiliki angka kematian (mortaliti) antara 40 hingga 50%.3
Syok Distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen disebabkan oleh menurunnya tonus vaskuler mengakibatkan vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan redistribusi aliran darah. Penyebab dari kondisi tersebut terutama komponen vasoaktif pada syok anafilaksis; bakteria dan toksinnya pada septik syok; hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogeni.1
Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras radiografi, dan 10– 20% akibat pemberian obat penisilin. Data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat kurang.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Syok Anafilaktik
Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah.4
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-antibodi (antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi endogen, seperti histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial vaskuler disertai bronkospasme.5
Syok anafilaksis merupakan sindrom klinis berupa reaksi hipersensitivitas berat yang dimediasi oleh imunoglobulin E (Ig-E), yang mengakibatkan kolaps kardiovaskular dan gangguan pernapasan akibat bronkospasme.3
B. Prevalensi Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik relatif jarang terjadi dengan perkiraan prevalensi 0.05-2%
dan berdasarkan data epidemiologi didapatkan 2 sampai 20% kasus mengalami fatal anafilaktik.6 Insidens syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20– 40% akibat zat kontras radiografi, dan 10– 20% akibat pemberian obatpenisilin. Data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat kurang. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penisilin dan bahan zat radiologis. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.1
Pada penelitian (di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah) melibatkan seluruh pasien selama tahun 2018-2021, didapatkan 115 pasien dengan reaksi anafilaksis.. Pasien yang mengalami kondisi reaksi anafilaksis yang fatal
hingga terjadi syok sebanyak 51 pasien (44,3%).7 C. Etiologi Syok Anafilaktik
Makanan, obat-obatan, dan racun Hymenoptera adalah penyebab paling umum dari reaksi anafilaksis. Prevalensi berbagai penyebab anafilaksis bergantung pada usia dan bervariasi di berbagai wilayah geografis. Di Eropa, penyebab umum anafilaksis akibat makanan pada anak-anak adalah kacang tanah, kemiri, susu, dan telur, sedangkan pada orang dewasa adalah gandum, seledri, dan kerang. Anafilaksis yang disebabkan oleh racun biasanya disebabkan oleh racun tawon dan lebah. Anafilaksis akibat obat biasanya disebabkan oleh antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid. Di antara antibiotik, antibiotik beta-laktam merupakan penyebab utama timbulnya alergen. Kadang-kadang, ada penyebab akibat pekerjaan. Ko-faktor mungkin merupakan faktor yang memperparah anafilaksis, contohnya adalah olahraga, stres, infeksi, obat antiinflamasi nonsteroid, dan alkohol. Dalam beberapa kasus, penyebabnya tidak jelas ( anafilaksis idiopatik).8
Jenis serangga dari ordo hymenoptera antara lain bees, vespid (tawon, yellowjackets, hornets) dan semut penyengat. Selain racun hymenoptera, gigitan ular derik (rattlesnakes), hamster, dan ticks telah diduga sebagai penyebab anafilaksis. Obat yang paling umum menyebabkan anafilaksis adalah antibiotik beta-laktam, NSAID, agen penghambat neuromuskular, dan kemoterapi. Namun, hampir semua obat berpotensi menyebabkan anafilaksis, beberapa obat yang terlibat termasuk zat besi intravena (intravenous iron), gelatin yang ditemukan dalam vaksin, dekstran, dan albumin serum manusia (human serum albumin).9 Alergen penyebab reaksi anafilaksis lainnya seperti zat kontras, produk darah, lateks.7
D. Patofisiologi Syok Anafilaktik
Anafilaksis disebabkan oleh pelepasan mediator biokimia secara besar- besaran dari sel mast dan basofil. Aktivasi sel mast terjadi terutama melalui pengikatan silang antigen IgE yang terikat pada reseptor FcεRI pada membran sel. Namun, reseptor membran lain juga dapat mengaktifkan sel mast atau
mempotensiasi aktivasi IgE. Jalur aktivasi multipel memungkinkan terjadinya aktivasi imunologis (misalnya yang diperantarai IgE) dan/atau nonimunologis (misalnya obat berinteraksi langsung dengan reseptor).9
Setelah diaktifkan, sel mast dan basofil melepaskan serangkaian mediator yang menyebabkan perubahan fisiologis, mengaktifkan jalur imunologi lain, dan menarik sel imun lainnya. Mediator yang telah terbentuk sebelumnya dilepaskan segera setelah aktivasi termasuk histamin, triptase, heparin, dan chymase. Selama beberapa menit, mediator tambahan dihasilkan termasuk faktor pengaktif trombosit, leukotrien, dan prostaglandin. Berbagai sitokin dan kemokin yang dihasilkan selama beberapa jam selanjutnya menyebarkan respon inflamasi. Histamin telah lama dianggap sebagai mediator utama anafilaksis, dan konsentrasi histamin berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala.9
Histamin merupakan mediator utama pada syok anafilaktik. Histamin disintesis oleh fosfat piridoxal (vitamin B6) yang mengandung decarboxilase L-histidin yang berasal dari asam amino histidin. Histamin bekerja pada reseptor menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas, bronkokonstriksi, dan peningkatan sekresi mukus. Histamin memiliki 4 reseptor yang tersebar pada organ target yaitu H1R, H2R, H3R dan H4R, masing-masing reseptor memberikan efek yang berbeda-beda. Efek yang dapat terjadi bila suatu alergen berikatan dengan reseptor H1 adalah dapat menyebabkan kontraksi pada otot polos seperti pada sistem gastrointestinal sehingga timbul keluhan kram perut. Efek pada sistem respirasi adalah peningkatan sekresi mucus sehingga keluhan yang muncul berupa sesak. Pada sistem cardiovaskuler efek reseptor H1 bersama dengan H2 adalah menimbulkan hipotensi dan takikardi oleh karena pelepasan katekolamin yang menimbulkan terjadinya aritmia dan blok konduksi atrioventrikular. Histamin dapat menyebabkan penurunan aliran darah arteri koroner dan menyebabkan spasme yang berat pada arteri koroner.7,9
Faktor pengaktif trombosit (PAF) semakin diakui penting dalam patofisiologi anafilaksis. Selain mengaktifkan trombosit, PAF menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, penurunan kontraktilitas miokard, bronkokonstriksi, dan memulai respon alergi melalui stimulasi mediator lain.9
Gambar 2.1: Mekanisme degranulasi sel mast. RCM, radiocontrast media; TLR. Toll- like receptor; SCF, stem cell factor; FcεRI, high affinity IgE receptor; FcγR, IgG receptor; TCR, T-cell receptor; NMBA, neuromuscular blocking agent; PAF, platelet activating factor; MHC, major histocompatibility complex.9
E. Manifestasi Klinis
Anafilaksis menyebabkan reaksi sistemik umum yang mempengaruhi banyak sistem organ, gejala yang melibatkan kulit terjadi pada 80-90% kasus, saluran pernafasan pada 70%, GI pada 45%, CV pada 45%, dan keterlibatan SSP pada 15%. Sistem kardiovaskuler dan pernapasan merupakan organ kejutan utama pada anafilaksis yang fatal. Kematian paling sering terjadi karena syok atau gangguan pernapasan akut.9
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil menyebabkan manifestasi anafilaksis dalam tubuh. Gejala biasanya terjadi dalam 20 hingga 30 menit. Histamin dan zat lain menyebabkan vasodilatasi sistemik, yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan edema perifer dan visceral yang kemudian terjadi hipovolemia dan syok. Karena vasodilatasi dan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan darah menurun drastis dalam rentang waktu yang sangat singkat. Seiring dengan komplikasi vaskular akibat anafilaksis, komplikasi pernapasan juga dapat terjadi. Karena edema
jalan napas, penyempitan saluran napas, bronkospasme, dan angioedema dapat terjadi. Obstruksi jalan nafas atas bisa akibat angioedema pada faring, laring, dan trakea. Selain itu, bronkospasme dan edema mukosa menyebabkan obstruksi jalan napas bagian bawah. Kematian sering terjadi karena sesak napas dan/atau kadang-kadang karena syok peredaran darah.10
Gambar 2.2: Efek dari mediator-mediator.9
Manifestasi penting dari reaksi anafilaksis ada pada saluran pernapasan, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan pada kulit. Gejalanya dapat dimulai dan berkembang dengan sangat cepat, dan kondisinya dapat memburuk secara drastis hingga menyebabkan kematian dalam beberapa menit. Gejalanya bisa muncul secara bersamaan atau berurutan. Kadang-kadang, reaksi peredaran darah mungkin muncul sebelum tanda-tanda kulit atau pernafasan.
Umumnya, tanda atau gejala prodromal minor akan muncul terlebih dahulu seperti rasa gatal pada telapak tangan dan telapak kaki atau terkadang pada area genital. Gejala lain yang kurang umum adalah sakit kepala, rasa logam, rasa takut, atau disorientasi. Pada anak kecil, perasaan ini tidak dapat diungkapkan tetapi gejala kegelisahan atau perilaku menarik diri dapat diamati sebelum timbulnya tanda-tanda objektif.10
Manifestasi anafilaksis pada kulit dan selaput lendir dapat muncul dengan pruritus, eritema, urtikaria, dan angioedema (edema Quincke). Pada saluran pernafasan bagian atas, pasien sering mengalami rasa terbakar dan gatal pada lidah atau langit-langit mulut sebagai gejala utama dan lidah juga bisa bengkak.
Tanda-tanda klinisnya adalah suara teredam, kemungkinan disfagia dan terkadang stridor. Komplikasi edema laring yang diperkirakan mengancam jiwa dapat berupa obstruksi jalan napas disertai hipoksia. Sayangnya, mereka dapat berkembang dalam waktu singkat.Bronkokonstriksi dan dispnea dapat
terjadi terutama pada pasien asma. Tanda klinisnya adalah peningkatan frekuensi pernapasan dan mengi. Vasokonstriksi yang luas juga dapat terjadi, yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah paru serta henti napas dan kebutuhan akan resusitasi.10
Gejala mukokutaneus (misalnya kemerahan, pruritus, angioedema, dan urtikaria) umum terjadi pada anafilaksis, namun pada kasus syok, gejala kulit seringkali tidak ada. Perubahan neurologis sebagian besar disebabkan oleh hipotensi dan penurunan perfusi dan dapat bermanifestasi sebagai pusing, kebingungan, sinkop/presinkop, atau sakit kepala.9
Perut juga bisa mengalami komplikasi, seperti sakit perut, kram, mual, muntah, dan diare. Kadang-kadang dapat disertai dengan peningkatan motilitas usus yang menyebabkan keinginan untuk buang air besar dan dapat menyebabkan buang air besar yang tidak disengaja. Hipotensi dapat dialami pada pasien anafilaksis akibat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Demikian pula, terjadi kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular yang mengakibatkan hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hal ini akan diikuti oleh takikardia dan hipotensi arteri.10
Selain itu, gejala jantung langsung pada akhirnya dapat terjadi seperti aritmia, bradikardia, atau infark miokard. Gejala sistem saraf pusat termasuk sakit kepala, kegelisahan, kejang, dan perubahan tingkat atau kehilangan kesadaran. Pada anak-anak, perubahan perilaku sering terlihat, diekspresikan dengan kecemasan atau terkadang agresi.10
Gambar 2.3: Mediator yang terlibat dalam anafilaksis. Warna merah menunjukkan bukti
kuat akan pentingnya mediator tersebut pada subjek manusia. Warna biru menunjukkan bahwa elemen-elemen ini penting pada model anafilaksis pada tikus, namun kepentingannya pada anafilaksis manusia masih belum jelas. Warna abu-abu menunjukkan unsur-unsur yang berpotensi mempengaruhi anafilaksis, namun pengaruhnya terhadap anafilaksis pada manusia atau tikus masih belum jelas.
Perhatikan bahwa beberapa mediator (yang digarisbawahi) kemungkinan besar berkontribusi terhadap perkembangan konsekuensi akhir anafilaksis.11
F. Diagnosis Syok Anafilaktik
Diagnosis anafilaksis biasanya bersifat klinis. Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang.1,12
• Anamnesis
Pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.1
Umumnya riwayat adalah karakteristik. Tanda dan gejala yang timbul secara tiba-tiba, seperti gatal-gatal, angioedema, eritema difus, pruritus, kesulitan bernapas, mual, muntah, kolik perut, hipotensi, bronkospasme, pusing, atau sinkop harus mengarah pada kecurigaan reaksi anafilaksis.12
• Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.1
• Pemeriksaan penunjang
Setelah fase akut anafilaksis, triptase serum dan histamin harus diukur untuk membantu ahli imunologi dalam memastikan diagnosis anafilaksis selama perawatan lanjutan. Triptase plasma tetap meningkat selama 6 jam setelah timbulnya gejala, namun kadar histamin tetap meningkat hanya
dalam 1 jam. Metabolit histamin urin tetap meningkat dalam jangka waktu yang lebih lama dan oleh karena itu mungkin lebih berguna dibandingkan histamin plasma untuk memastikan anafilaksis.9
Identifikasi antibodi IgE spesifik alergen dapat dilakukan dengan tes tusuk kulit (skin prick testing) untuk pembacaan segera dan dengan serum.12
Pemeriksaan lain yang lebih sensitif yaitu mengukur IgE spesifik terhadap allergen secara in vitro dengan cara RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA.6
• Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
• Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor, penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia).
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
• Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
• Gangguan respirasi
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target
• Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)
3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam)
setelah terpapar alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:
• Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula.
• Dewasa: Tekanan darah sistolik 30% dari tekanan darah sistolik semula
G. Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemia, reaksi histerik, angioedema herediter, sindroma karsinoid atau dengan syok jenis lainnya.4
• Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.
Pasien tampak mau pingsan, pucat dan berkeringan. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaksis.4
• Infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeiri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit.
Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard.4
• Reaksi hipoglikemia dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik.4
• Reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadnag pingsan meskipun hanya sementara.
Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia.4
• Sindrom angioedema neurotik herediter merupaka salah satu keadaan yang menyerupai anafilaksis. Sindrom ini diatandai dengan angioedema saluran napas bagian atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan kulit atau kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindrom ini disertai penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom angioedama neurotik herediter.4
• Sindrom karsinoid menyerupai anafilkasis ideopatik. Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotinin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hiroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.4
H. Tatalaksana
• Pendekatan primary survey dilakukan setiap masalah yang mengancam jiwa harus ditangani segera setelah masalah tersebut muncul.
• Hentikan pemberian obat atau hindari kontak alergen penyebab.
• Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi). Posisi trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
• Pemberian oksigen 6-8 liter/menit.
• Adrenalin adalah pengobatan lini pertama untuk anafilaksis. Berikan adrenalin intramuskular (IM) lebih awal (di paha anterolateral) untuk masalah Saluran Nafas/Pernafasan/Sirkulasi. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml (epinefrin dengan dosis 0,01 mg/kgbb yaitu 0,3-0,5 mg) dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler. Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi vaskuler, meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi
• Ulangi pemberian adrenalin IM setelah 5-10 menit jika masalah Saluran Nafas/Pernafasan/Sirkulasi terus berlanjut. Dosis ulangan umumnya
diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat.
• Jika terjadi hipotensi/syok, atau respons buruk terhadap dosis awal adrenalin, bolus cairan IV cepat sebanyak 500-1000ml kristaloid harus diberikan. Normal saline adalah cairan pilihan dan harus diberikan bolus 20 ml/kg.
• Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
• Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menitintravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infusbila dianggap perlu.
• Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya padatingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5–
20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5–10 mg IV atau hidrokortison 100–250 mg IV.1,5,10,13
Gambar 2.4: Algoritma Anafilaksis (Resuscitation Council UK).13
I. Prognosis
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.1 Dengan pengobatan dan pemantauan yang cepat dan memadai, risiko morbiditas dan mortalitas menjadi rendah. Akses cepat terhadap perawatan medis dan pengenalan cepat terhadap proses penyakit sangat penting untuk prognosis pasien.
Seperti disebutkan di atas, satu jam pertama setelah paparan gejala menyebabkan setengah dari kematian terkait.14
J. Komplikasi
Komplikasi utama yang dapat terjadi setelah anafilaksis adalah:
Disfungsi organ dan Kematian.14
BAB III KESIMPULAN
Syok anafilaksis merupakan sindrom klinis berupa reaksi hipersensitivitas berat yang mengakibatkan kolaps kardiovaskular dan gangguan pernapasan akibat bronkospasme. Syok anafilaktik relatif jarang terjadi dengan perkiraan prevalensi 0.05-2%. Makanan, obat-obatan, dan racun hymenoptera adalah penyebab paling umum dari reaksi anafilaksis. Anafilaksis akibat obat biasanya disebabkan oleh antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid. Alergen penyebab reaksi anafilaksis lainnya seperti zat kontras, produk darah, lateks, gelatin yang ditemukan dalam vaksin, dekstran, dan albumin serum manusia (human serum albumin).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil menyebabkan manifestasi anafilaksis dalam tubuh. Gejala biasanya terjadi dalam 20 hingga 30 menit. Manifestasi penting dari reaksi anafilaksis ada pada saluran pernapasan, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan pada kulit. Gejalanya dapat dimulai dan berkembang dengan sangat cepat, dan kondisinya dapat memburuk secara drastis hingga menyebabkan kematian dalam beberapa menit. Gejalanya bisa muncul secara bersamaan atau berurutan. Kadang-kadang, reaksi peredaran darah mungkin muncul sebelum tanda-tanda kulit atau pernafasan.
Pendekatan primary survey dilakukan setiap masalah yang mengancam jiwa harus ditangani segera setelah masalah tersebut muncul. Hentikan pemberian obat atau hindari kontak alergen penyebab. Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi). Berikan oksigen dan obat line pertama berupa adrenalin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia. SYOK: Panduan Praktik Klinis (PPK) Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Kementrian Kesehatan Indonesia;
2022.
2. dr. Hardisman, MHID D. Gawat Darurat Medis Praktis. Gosyen Publishing; 2014.
3. Haseer Koya H PM. Shock. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531492/
4. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keen. Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2014.
5. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. Cermin Dunia Kedokt. 2015;42(5):391-394.
6. Pemayun TPD, Suryana K. Seorang penderita syok anafilaktik dengan manifestasi takikardi supraventrikular. J Penyakit Dalam Udayana. 2019;3(2):41-45. doi:10.36216/jpd.v3i2.71 7. I Gede Aswin Arinata, Suardamana IK. Profil deskriptif pasien reaksi anafilaksis Di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah periode 2018-2021. Intisari Sains Medis. 2022;13(1):297-300.
doi:10.15562/ism.v13i1.1294
8. Muraro A, Worm M, Alviani C, et al. EAACI guidelines: Anaphylaxis (2021 update). Allergy Eur J Allergy Clin Immunol. 2022;77(2):357-377. doi:10.1111/all.15032
9. DeTurk S, Reddy S, Ng Pellegrino A, Wilson, John. Anaphylactic Shock. In: Clinical Management of Shock - The Science and Art of Physiological Restoration. The Science and Art of Physiological Restoration; 2020. http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.88284
10. Nasser AA, Hamed Alanazy S, Saud Aljameel OH, et al. Evaluation of Diagnosis and Management of Anaphylactic shock in Emergency Room: A Literature Review. Available online www.ijpras.com Int J Pharm Res Allied Sci. 2020;9(1):93-98. www.ijpras.com
11. Reber LL, Hernandez JD, Galli SJ. The pathophysiology of anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2017;140(2):335-348. doi:10.1016/j.jaci.2017.06.003
12. Pastorino AC, Cândida M, Varanda F, et al. Anaphylaxis: diagnosis. Rev da Assoc Médica Bras (English Ed. 2013;59(1):7-13. doi:10.1016/s2255-4823(13)70422-3
13. Philbin D. IAEM Clinical Guideline Emergency Management of Anaphylaxis in Adult Patients 3 IAEM CG: Emergency Management of Anaphylaxis in Adult Patients. Irish Assoc Emerg Med. 2022;(November):1-21.
14. McLendon K, Sternard B. Anaphylaxis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls; 2024. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482124/?report=reader#_article- 17514_s2_