• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHUN 2018 TENTANG PEMBERDAYAAN DESA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2025

Membagikan "TAHUN 2018 TENTANG PEMBERDAYAAN DESA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

Dr I Gusti Bagus Suryawan,SH,MHum Dr I Wayan Rideng,SH,MH Ida Ayu Putu Widiati,SH,MHum

I Ketut Sukadana,SH,MH

(2)

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR ... TAHUN 2018

TENTANG

PEMBERDAYAAN DESA ADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Menimbang : a. bahwa desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asal usul yang bersifat istimewa telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad serta telah memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan, dan pembangunan;

b. bahwa desa adat Kabupaten Badung sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup di Kabupaten Badung sangat besar peranannya dalam bidang agama, ekonomi, dan sosial budaya, sehingga perlu dilindungi, dilestarikan, dan diberdayakan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Desa Adat di Kabupaten Badung.

Mengingat : 1. Pasal 18B ayat (2) dan (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik

(3)

Indonesia Tahun 1958 Nomor 122,Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 1655);

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);

5.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737 );

7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539);

8.Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum Daerah. (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 32);

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2017 Tentang Penataan Desa ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 195);

(4)

10.Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276/KEP- 19.2/X/2017 Tentang Tentang Penunjukan Desa Pakraman di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak Kepemilikan Bersama (Komunal Atas tanah).

11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D Nomor 29, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BADUNG Dan

BUPATI BADUNG MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG TENTANG PEMBERDAYAAN DESA ADAT.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Kabupaten Badung.

2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(5)

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

4. Bupati adalah Bupati Badung.

5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

6. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Badung.

7. Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Badung yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

8. Banjar Adat adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian Desa Adat, serta merupakan suatu ikatan tradisi yang sangat kuat dalam satu kesatuan wilayah tertentu, dengan seorang atau lebih pimpinan, yang dapat bertindak ke dalam maupun keluar dalam rangka kepentingan warganya dan memiliki kekayaan baik berupa material maupun inmaterial;

9. Tri Hita Karana adalah tiga prinsip yang menjadi landasan filosofi desa adat dalam mensejahterakan krama desa adat yang didasarkan pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan penciptanya, alamnya dan sesamanya;

10. Krama desa adat adalah mereka yang menempati karang desa adat dan atau bertempat tinggal di wilayah desa adat atau di tempat lain yang menjadi warga/krama desa adat.

11. Krama pengempon/pengemong adalah krama desa adat yang mempunyai ikatan lahir dan batin terhadap kahyangan yang berada di wilayahnya serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan upacara di kahyangan tersebut.

12. Krama penyungsung adalah krama desa adat yang mempunyai ikatan batin terhadap suatu kahyangan dan atau ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan, perawatan, dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan upacara berupa dana punia.

13. Palemahan desa adat adalah wilayah yang dimiliki oleh desa adat yang terdiri atas satu atau lebih palemahan banjar adat yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

(6)

14. Tanah ayahan desa adat adalah tanah milik desa adat yang berada baik di dalam maupun di luar desa adat.

15. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa adat yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa adat masing-masing.

16. Prajuru desa adat adalah pengurus desa adat di Kabupaten Badung.

17. Bendesa adat adalah pimpinan tertinggi dalam wilayah desa adat yang mampu mengikat/membanda krama desa adat

18. Pecalang adalah satuan tugas keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah, baik ditingkat banjar adat dan atau di wilayah desa adat.

20. Pemberdayaan Desa Adat adalah rangkaian upaya aktif agar kondisi dan keberadaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat dapat lestari dan makin kokoh, sehingga hal itu berperan positif dalam pembangunan nasional dan berguna bagi masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan tingkat kemajuan dan perkembangan zaman.

BAB II

MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2

Maksud

Peraturan Daerah ini dibentuk dengan maksud untuk melindungi, memberdayakan dan melestarikan seluruh potensi desa adat di Kabupaten Badung.

Pasal 3 Tujuan

Mengoptimalkan segala potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia desa adat untuk kesejahteraan krama desa adat.

BAB III

PRINSIP TRI HITA KARANA Pasal 4

Parhyangan

(1) Hubungan antara krama desa adat dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebut Parhyangan;

(2) Parhyangan yang berstatus Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa yang berada di wilayah desa adat yang di empon oleh desa adat menjadi tanggung jawab, baik secara material maupun immaterial dari krama desa adat pengempon, yang pelaksanaannya diatur melalui awig-

(7)

awig desa adat masing-masing;

(3) Parhyangan yang berstatus sebagai Dang Kahyangan dan Sad Kahyangan merupakan sungsungan umat Hindu dan menjadi tanggung jawab pengempon;

(4).Parhyangan dan tempat suci umat lain yang ada dalam wilayah desa adat, dijaga bersama-sama oleh seluruh krama desa adat atas dasar toleransi dan kerukunan serta saling menghormati dalam rangka membina persatuan dan kesatuan.

Pasal 5 Pawongan

(1) Hubungan antar krama desa adat disebut pawongan;

(2) Krama desa adat terdiri dari; krama ngarep, krama tamiu dan tamiu;

(3) Tata cara dan syarat-syarat untuk menjadi karma desa adat diatur dalam Awig-awig desa adat masing-masing.

Pasal 6 Palemahan

(1) Hubungan krama desa adat dengan lingkungan/wilayah desa adat disebut palemahan;

(2) Palemahan desa adat terdiri dari; Tanah Pelaba Pura, Tanah Druwe

Desa meliputi Tanah Ayahan Desa dan Tanah Pekarangan Desa dalam ikatan Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa;

(3) Perubahan palemahan desa adat dilakukan berdasarkan kesepakatan prajuru desa adat dari desa adat yang berbatasan melalui keputusan paruman alit dan dicatatkan di Kabupaten Badung yang bersangkutan.

BAB IV

TUGAS, WEWENANG DAN HAK DESA ADAT Pasal 7

Desa adat mempunyai tugas sebagai berikut:

a. membuat Awig-awig;

b. mengatur krama desa;

c. mengatur pengelolaan harta kekayaan desa adat;

d. mengayomi krama desa adat.

Pasal 8

(8)

Desa Adat mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. mengatur dan pelaksanaan pemerintahan desa adat berdasarkan susunan asli;

b. mengatur dan mengurus ulayat atau wilayah desa adat;

c. mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah desa adat dalam rangka kesejahteraan krama desa adat;

d. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa adat sesuai dengan awig-awig atau perarem;

e. mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat dengan tetap memperhatikan nilai sosial budaya desa adat;

f. berpartisipasi aktif dalam menentukan arah kebijakan pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayah desa adat sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana.

Pasal 9

Desa adat mempunyai hak sebagai berikut :

a. berperan serta dalam perencanaan pembangunan bersama pemerintah Kabupaten Badung;

b. mendapatkan pembiayaan kegiatan adat sesuai kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten Badung;

c. menyertifikatkan tanah adat atas nama desa adat.

BAB V

PRAJURU DESA ADAT Pasal 10

(1) Prajuru Desa adat terdiri dari Bendesa Adat, Pangliman/Petajuh, Petengen, Penyarikan dan Baga;

(2) Desa adat dipimpin oleh Bendesa Adat.

(3) Bendesa Adat dipilih oleh krama desa adat menurut ketentuan awig-awig desa adat masing-masing;

(4) Struktur dan susunan prajuru desa adat diatur dalam awig-awig desa adat.

Pasal 11 Bendesa Adat mempunyai tugas-tugas :

(9)

a. melaksanakan awig-awig desa adat;

b. mengatur penyelenggaraan upacara keagamaan di desa adat, sesuai dengan sastra agama dan tradisi masing-masing;

c. mengusahakan perdamaian dan penyelesaian sengketa-sengketa adat;

d. mewakili desa adat dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas persetujuan paruman desa;

e. mengurus dan mengatur pengelolaan harta kekayaan desa adat;

f. membina kerukunan umat beragama dalam wilayah desa adat.

BAB VI

HARTA KEKAYAAN DESA ADAT Pasal 12

(1) Harta kekayaan desa adat adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religius magis yang menjadi milik desa adat;

(2) Pengelolaan harta kekayaan desa adat dilakukan oleh prajuru desa adat sesuai dengan awig-awig desa adat masing-masing;

(3) Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa adat harus mendapat persetujuan krama desa adat melalui paruman;

(4) Pengawasan harta kekayaan desa adat dilakukan oleh krama desa adat;

(5) Tanah desa adat dan atau tanah milik desa adat tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi.

BAB VII

PENDAPATAN DESA ADAT Pasal 13

(1) Pendapatan desa adat diperoleh dari : a. urunan krama desa adat;

b. hasil pengelolaan kekayaan desa adat;

c. hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD);

d. bantuan pemerintah, pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah Kabupaten Badung;

e. pendapatan lainnya yang sah;

f. sumbangan sukarela.

(10)

(2) Pendapatan desa adat sebagai dimaksud ayat (1) pasal ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan kegiatan di desa adat masing-masing.

(3) Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan desa adat dimaksud ayat (1) pasal ini diatur dalam awig-awig atau perarem.

BAB VIII

AWIG-AWIG DESA ADAT Pasal 14

(1) Setiap desa adat wajib memiliki awig-awig tertulis;

(2) Awig-awig desa adat disusun berdasarkan, Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia dan prinsip Tri Hita Karana.

Pasal 15

(1) Awig-awig desa adat dibuat dan disetujui oleh krama desa adat melalui paruman desa adat;

(2) Awig-awig desa adat disahkan oleh Bupati Badung.

BAB IX

PEMBERDAYAAN DESA ADAT Pasal 16

(1) Pemberdayaan desa adat diarahkan pada :

a. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia prajuru dan krama desa adat;

b. menggali dan pengelolaan potensi Sumber Daya Alam desa adat;

c. meningkatkan pengetahuan dan tata kelola keuangan desa adat;

d. melestarikan nilai-nilai sosial budaya desa adat secara dinamis.

(2).pemberdayaan desa adat sebagaimana dimaksud ayat (1), dilaksanakan secara demokratis, adil dan objektif.

BAB X

MAJELIS DESA ADAT DAN PECALANG Majelis Desa Adat

Pasal 17

Majelis Madya Desa Adat berkedudukan di Kabupaten Badung.

(11)

Pasal 18 Pecalang

(1) Keamanan dan ketertiban wilayah desa adat dilaksanakan oleh pecalang.

(2) Pecalang melaksanakan tugas-tugas pengamanan dalam wilayah desa adat dalam hubungan pelaksanaan tugas adat dan agama.

(3) Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa adat berdasarkan paruman desa adat.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19

Peraturan Daerah ini dilaksanakan secara efektif selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkan.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 20

(1) Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

(2) Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Badung.

Ditetapkan di : Mangupura Pada tanggal :

BUPATI BADUNG,

Cap ttd

________________________

Diundangkan di : Mangupura Pada tanggal :

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BADUNG,

Cap ttd.

(12)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BADUNG TAHUN …… NOMOR ...

SERI …... NOMOR ... .

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR ... TAHUN ...

TENTANG

PEMBERDAYAAN DESA ADAT

I. UMUM

Keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak–hak tradisionalnya telah mendapat pengakuan dan penghormatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan , bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang“.

Secara yuridis formal, keberadaan Desa Adat di Bali sudah diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986, selanjutnya diganti dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Lembaran daerah Provinsi Bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2003 Nomor 11), Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 3).

Kedua peraturan daerah tersebut, sekalipun menggunakan istilah yang berbeda (desa adat dan desa pakraman), akan tetapi memberikan batasan/pengertian yang sama yaitu “kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.

(13)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495), dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut telah menegaskan pengertian Desa adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain termasuk Desa Pakraman. Dengan demikian, istilah Desa Adat dan Desa Pakraman memiliki pengertian yang sama.

Dalam rangka sinkronisasi hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa terutama peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya wajib untuk menggunakan istilah maupun pengertian yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, khususnya istilah maupun pengertian Desa dan Desa Adat.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman (Lembaran daerah Provinsi bali Tahun 2001 Nomor 29 Seri D) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 (Lembaran Daerah Provinsi bali Tahun 2003 Nomor 11), Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 3), belum melakukan perubahan ataupun penyesuaian setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, sementara itu, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dijadikan sebagai "payung" yang patut dijadikan dasar bagi peraturan daerah kabupaten/kota di Bali.

Sebagai konsekwensi logis dari ketentuan tersebut maka Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pemberdayaan Desa Adat secara formal menggunakan istilah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yaitu istilah Desa Adat, sedangkan secara substansial tetap berpedoman pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman dengan berbagai penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, terutama Pasal 103 terkait dengan Kewenangan Desa Adat, dan Pasal 106 tentang Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat.

(14)

Desa Adat menurut peraturan daerah ini adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli, hak asal usul yang bersifat istimewa bersumber pada Agama Hindu, Kebudayaan Bali, berdasarkan Tri Hita Karana, mempunyai kahyangan tiga/kahyangan desa. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adat adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan krama desa.

Desa Adat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan krama-nya, prajuru desa bertanggung jawab kepada paruman desa. Desa adat dipimpinan adalah seorang Bendesa adat. Melalui pilihan dan atau ditetapkan oleh krama desa adat berdasrkan awig-awig desa adat masing-masing. Desa Adat berwenang mengatur dan melaksanakan pemerintahan berdasarkan susunan asli, mengatur dan mengurus ulayat atau wilayah adat, melestarikan nilai sosial budaya, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku, mengembangkan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat, melakukan perbuatan hukum, baik dalam mengatur dan menetapkan keputusan desa, memiliki kekayaan, harta dan bangunan serta dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Untuk itu bendesa atau yang dikenal dengan sebutan lain dengan persetujuan krama desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.

Desa Adat memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan pemerintah daerah baik Pemerintah Provinsi Bali dan Pemeritah Kabupaten Badung, pendapatan lain-lain yang sah, dan sumbangan sukare. Dikenal pula Majelis Madya Desa Adat yang berkedudukan di ibu kota Kabupaten Badung, berwenang sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa antar desa adat. Hal-hal yang mendasar dalam peraturan daerah ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia prajuru dan krama desa adat, menggali dan peningkatan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh desa adat, meningkatakan pengetahuan dalam tata kelola keuangan desa adat, dan melakukan peran aktif melestarikan nilai-nilai sosial budaya desa adat secara dinamis.

Dalam penguatan pemberdayaan desa adat, adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga prinsip yang terkandung dalam Tri Hita Karana. Dasar ini mengandung karakteristik filosofis yang membentuk nilai-nilai dasar keadilan,

(15)

demokratis, dan objektivitas. Asas yang menjadi pedoman adalah kebudayaan Bali yang mengandung karakteristik etis hukumiah yang menjadi dasar sumber material aturan yang ditetapkan.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

angka 1 : Cukup jelas angka 2 : Cukup jelas angka 3 : Cukup jelas angka 4 : Cukup jelas angka 5 : Cukup jelas angka 6 : Cukup jelas angka 7 : Cukup jelas angka 8 : Cukup jelas

angka 9 : Cuk u p jelas angka 10 : Cuk u p jelas

angka 11 : Desa adat sebagai desa dresta merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki warga/

krama desa tertentu, wilayah palemahan tertentu, dan pengurus yang dinamakan prajuru desa.

angka 12 : Cukup jelas angka 13 : Cukup jelas angka 14 : Cukup jelas

angka 15 : Awig-awig dibuat dan ditetapkan oleh krama desa berdasarkan kesepakatan bersama dan ditaati oleh krama desa itu sendiri dan yang terpenting dari Awig- awig ini merupakan pengikat persatuan dan kesatuan

krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam menyatukan tujuan bersama, mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera demi kedamaian desa.

angka 16 : Prajuru desa adat adalah unsur pimpinan tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun serta berkembang di tengah-tengah masyarakat desa. Unsur pengurus dan unsur pimpinan sekaligus pelaksana- pelaksana semua program dan permasalahan desa.

Pimpinan prajuru desa pakraman ini disebut bendesa dan atau kelihan desa atau istilah lainnya, yang dibantu oleh unsur pimpinan lainnya, seperti

(16)

penengen, penyarikan atau dengan sebutan lain yang sesuai dengan fungsinya.

angka 17 : Bendesa adat adalah pimpinan pucuk tertinggi dalam struktur pada prajuru desa adat yang dipilih dan disetujui melalui paruman desa adat.

angka 18 : Cukup jelas.

angka 19 : Cukup jelas.

angka 20 : Cukup jelas.

Pasal 2 : Cukup jelas Pasal 3 : Cukup jelas.

Pasal 4 : Cukup jelas.

Pasal 5 :

ayat (1) : Cukup jelas.

ayat (2) Yang menjadi krama desa adalah orang yang menjadi anggota desa adat yang terdiri dari:

krama ngarep adalah warga desa yang bertempat tinggal kompleks rumah tinggal warga desa yang didirikan diatas tanah desa. Tanah-tanah di luar tegak desa dalam batas tertentu disebut wewidangan desa, terdiri dari tanah pribadi (tanah gunakaya) dan tanah desa seperti laba pura dan sebagainya. Sedangkan krama tamiu adalah krama desa yang merupakan warga pendatang bertempat tinggal di atas tanah desa (tegak desa maupun tanah desa lainya diluar tegak desa), dan menjadi krama desa adat

setempat. Kemudian yang dimaksud

tamiu adalah warga pendatang dan bertempat tinggal di atas tanah desa ( tegak desa maupun tanah desa desa lainya di luar tegak desa).

ayat (3). tata cara dan syarat-syarat yang diatur dalam awig-awig desa adat. Untuk menjadi krama desa tidak hanya berdasarkan atas asas domisili, tetapi juga dianut stesel aktif yaitu adanya permohonan/ permintaan dari seseorang (yang sudah berkeluarga) untuk menjadi krama desa. Dengan demikian bisa terjadi bahwa krama tersebut berada di luar wilayah desa yang bersangkutan dan sebaliknya.

(17)

Pasal 6

ayat (1) : Cukup jelas

ayat (2) Palemahan desa adat terdiri dari ; Tanah Pelaba Pura dan Tanah Druwe Desa, yang meliputi; Tanah Ayahan Desa dan Tanah Pekarangan Desa. Tanah laba pura adalah tanah adat milik (duwe) pura, umumnya berupa tanah pertanian (tegalan atau sawah) yang dimanfaatkan untuk kepentingan pura. Pada saat ini desa adat telah menjadi subyek Hak Kepemilikan Bersama (Komunal) atas tanah. Maka tanah-tanah Pekarangan Desa dan Ayahan Desa maupun tanah- tanah milik desa adat dapat disetifikatkan/didaftarkan.

ayat (3) : Cukup jelas Pasal 8 : Cukup jelas.

Pasal 9 : Cukup jelas.

Pasal 10 : Cukup jelas.

Pasal 11 : Cukup jelas.

Pasal 12 : Cukup jelas.

Pasal 13 ayat (1)

huruf a : Cukup jelas, huruf b : Cukup jelas.

Huruf c : Cukup jelas.

huruf d : Bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

huruf e pendapatan yang dapat dikelola oleh desa adat, diantaranya; pengelolaan pasar tradisional, sharing pengelolaan parkir dan pariwisata, penyewaan balai banjar adat untuk usaha dagang dan parkir, dan lain- lain.

huruf f pemungutan sumbangan yang dilakukan secara sukarela.

ayat (2) Pendapatan desa adat digunakan untuk biaya-biaya;

a. Penyelenggaraan ketatausahaan dan sangkepan (rapat) prajuru desa serta paruman krama desa;

b. Pembangunan dibidang mental spiritual;

(18)

c. Pembinaan dalam rangka membantu pengembangan usaha-usaha masyarakat desa;

d. membantu pembangunan.

Ayat (3) Pengelolaan dan penggunaan terhadap seluruh pendapatan/pemasukan ke kas desa adat diatur melalui awig-awig atau perarem desa adat.

Pasal 14 : Cukup jelas., Pasal 15 : Cukup jelas.

Pasal 16

ayat (1) : Cukup jelas.

ayat (2) Dengan memberikan kesempatan kepada prajuru desa untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam penguatan organisasi desa adat. Untuk selanjutnya kepada krama desa, melalui kesepakatan yang dibuatnya. Memberikan kesempatan seluas-luas sesuai kebutuhan yang diperlukan serta tidak bersikap diskriminatif.

Pasal 17 : Cukup jelas.

Pasal 18 : Cukup jelas.

Pasal 19 : Cukup jelas Pasal 20 : Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR .. .

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang

Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa sebagai tindak lanjut dari Pasal 216 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hurup a dan hurup b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hurup a dan hurup b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah Desa

Disamping itu penetapan Desa dan Desa Adat merupakan amanat Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa khususnya dalam Pasal 116, maka Peraturan Daerah

bahwa dengan berlakunya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung Nomor 5 Tahun

bahwa berdasarkan Bab VIII pasal 24 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, perlu menetapkan Tata Kerja, Persyaratan, serta