ASAS TANGGUNG JAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
KEPERDATAAN PERSPEKTIF BUDAYA
Tinjauan Teoritis :
Dosen MKPD : Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA
OLEH :
NAMA : I KETUT TJUKUP NIM : 1290971001
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2015
RINGKASAN
Dalam perspektif budaya, dilihat dari otonomi daerah sumber daya alam lingkungan (Ringkasan : Noer Fauzi dkk).
1. Otonomi daerah lebih demokratis dan lebih menjamin fluralistik atau bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia daerah dengan kebijakannya mengangkat budaya yang ada antara lain :
a. Pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan ekosistem setempat b. Menghormati kearifan lokal
c. Berdasarkan batas ekologi
d. Meningkatkan daya dukung lingkungan setempat
e. Melibatkan secara aktif masyarakat adat/masyarakat setempat
Otonomi daerah dengan lebih demokratis atau lebih memberdayakan masyarakat local yang penuh kearifan dan kekayaan budaya yang dimiliki dan perlu terus dilakukan penggalian. Daerah otonomi juga harus menghormati hukum internasional yang telah disepakati misal : keanekaragaman hayati, tentang perdagangan B3 dllnya.
Menurut William Crown (1995) dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan tidak selalu berakibat buruk, manusia mempunyai investasi pada alam. Manusia mempunyai kewajiban terhadap lingkungan karena antara manusia dan lingkungan saling terikat. Bagaimana seharusnya manusia untuk melindungi lingkungan hidup, tanggung jawab moral kepada setiap manusia yang selalu dituntut sebagai pemakai lingkungan sehingga tidak terjadi tindakan eksploitasi yang merusak, seperti timbulnya pencemaran dan perusakan atas lingkungan hidup.
Pengetahuan local yang dimiliki oleh petani dan merupakan aset akan lebih mengetahui tentang alam dan bagaimana seharusnya mengelola sumber daya alam dan bagaimana mengelola lingkungan hidup dengan baik. Perjuangan masyarakat menentang pencemaran bahan-bahan berbahaya, lewat apropriasi, masyarakat berhak atas kebersihan air. Jelasnya hak atas lingkungan bersih dan sehat ialah hak yang dikuatkan oleh Undang-undang banyak Negara
pendapatan dari konpensasi yang diberikan oleh pencemar yang dilindungi oleh Undang-undang ialah aplikasi dari Polluter Pays Principle.
2. Oleh Hendro : Pengurusan Daerah Dalam Pembaharuan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ecologis (ecologi)
Kenapa dan bagaimana rakyat harus terlibat dalam persoalan pengurusannya sendiri :
Ada 3 wilayah keselamatan
(1) Keselamatan dan kesejahteraan rakyat (2) Produktivitas rakyat
(3) Kelangsungan pelayanan alam
Khusus No. (3) hilangnya kelangsungan pelayanan alam, hilangnya sumber daya alam, penggundulan hutan, pendangkalan sungai, hilangnya penghasilan para nelayan, dll.
Contoh-contoh kerusakan ekologis ialah terancam punahnya air sumber di perbukitan, mengeringnya sungai, peracunan tanah karena perluasan pasar industri, dengan otonomi daerah terbuka ruang politik bagi masyarakat multikultural untuk memperjuangkan hak-hak budayanya.
3. Yunita : Pengetahuan Lokal dalam Wacana Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Menurut Bentley, himbauan pada pelaku pembangunan untuk mengevaluasi pembangunan, untuk mengevaluasi pendekatan yang diterapkan dalam upaya peningkatan pengetahuan penduduk setempat. Menurutnya ialah merupakan solusi untuk masalah-masalah yang timbul karena diabaikannya pengetahuan penduduk setempat dalam pengelolaan atas lingkungan hidup.
Supaya lebih tepat dengan menemukan terlebih dahulu apa yang diketahui oleh penduduk setempat. Perubahan-perubahan yang diperlukan dalam pendekatan wacana, metodologi, pranata, kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Bagaimana mengkonstruksikan pengetahuan lokal dalam wacana kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Bagaimana membantu penduduk setempat dalam meningkatkan pengetahuan lokalnya dengan sarana teknologi dan metode bagi penduduk untuk memahami hal-hal diluar kemampuan emfirisnya. Cara penelusuran melalui pengetahuan lokalnya, untuk strategi pengelolaan sumber daya alam dan kondisi lingkungan hidup. Beberapa kriteria dari pengetahuan lokal yang dapat diungkap ialah : aspek produktivitas, stabilitas, dan sustainabilitas atau ketangguhan dan strategi yang dikembangkan oleh penduduk setempat.
Pengetahuan lokal dalam wacana kebijakan pengelolaan sumber daya alam, sependapat dengan Garner dan Lewis (1966), antropolog dan ilmuan dapat berperan positif dalam kontek pembangunan dalam era pasca – modernisme saat-saat pembangunan tersebut menimbulkan masalah dan kritik.
Dalam hal ini ilmuan dapat berperan aktif, baik sebagai peneliti, penasehat, konsultan, pemberi jasa advocasi.
Dan diluar lingkungan pembangunan sebagai analisis dan kritik terhadap wacana dan pelaksanaan pembangunan sebagai contoh : penelitian tentang implikasi penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak bijaksana bagi produktivitas, stabilitas dan ketangguhan produksi pertanian padi merupakan jalan masuk bagi ilmuan di badan internasional seperti FAO yang bekerjasama dengan ilmuan Indonesia, tentang pentingnya peninjauan menyeluruh terhadap kebijakan penggunaan pestisida.
Ringkasan : Refleksi Etika Ekosentrisme, Amdal dan Pembangunan Berkelanjutan
A. Makna nilai dalam pembangunan berkelanjutan
Melalui argumen oleh karena alam memiliki nilai instrumental, sehingga manusia terdorong untuk melestarikan alam. Penganut nilai yang melakukan bisnis dan usaha maka keberadaan lingkungan atau sumber daya
diperhatikan ialah penyebab dari perusakan lingkungan oleh manusia oleh karena penekanan pentingnya nilai ekonomi, dalam kaitan dengan itu diperlukan perubahan paradigma yaitu : sikap manusia yang menghargai alam sebagai bagian dari kehidupan manusia. Hewan, tumbuh-tumbuhan dan segala sesuatu ialah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, sehingga apabila manusia merusak, membunuh tanpa perhitungan ini berarti menghancurkan manusia sendiri. Permasalahan dibidang lingkungan tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan manusia yang disebut tehnik. Tehnik dipelajari dan untuk tujuan tertentu disebut dengan tehnologi. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia ada 2 hal yaitu : ekploitatif dan konstruktif.
Menurut Soejadi (2008 : 124) mengatakan tentang perlunya kesalahan atas lingkungan. Manusia sebagai Khalifah Allah berkewajiban mengelola sebaik-baiknya, menjaga dari kerusakan dan kepunahan dan paling penting harus berusaha melestarikannya. Etika lingkungan ialah sebagai pembatas atas ketidak sadaran terhadap lingkungan hidup. Pada pola berpikir yang antroposentrisme, telah menjebak manusia untuk mengembangkan tehnologi yang mengarah pada otoritas otonom manusia. Manusia dalam hal ini mengenyampingkan etika ekosentrisme. Akibat yang timbul yaitu : pertumbuhan ekonomi harus dibayar dengan mahal atas kerusakan lingkungan, dan membutuhkan biaya konservasi yang dapat melebihi hasil pertumbuhan ekonomi yang diperoleh. Dalam pembangunan berkelanjutan menurut (Sony Keraf, 2002: 173), pertimbangan kemiskinan memiliki dimensi yang luas yaitu : (1) dimensi sosial budaya, (2) spiritual, (3) kualitas dari lingkungan hidup. Menurut Azhari, 1997, h : 26). Esensi dari pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan adalah adanya komitmen terhadap kelestarian mutu dan fungsi dari lingkungan. Menurut Sjar Kowi, 1995 : 59, pembangunan dalam bingkai koprehensif dengan kelestarian lingkungan.
Menurut Purba, 2002 : 18, dalam konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan sudah sepantasnyalah kesejahteraan sosial dibangun secara terintegrasi dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup.
B. Etika Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Pada kenyataannya pembangunan di Indonesia dapat dikatakan tidak memperhatikan kaedah-kaedah konsep pembangunan berkelanjutan baik dari sesi ekonomi, ekologi, maupun sosial sebagai bukti yaitu meningkatnya jumlah penduduk dunia dan meningkatnya pola hidup manusia yang mendorong manusia bersifat ekploitatif terhadap lingkungan hidup, sehingga kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan ekologi mengglobal. Menurut Magnis Suseno (1993 :152), inti etika lingkungan hidup yang baru ialah sikap tanggung jawab. Menurut Magnis Suseno, tanggung jawab ini memiliki acuan yaitu :
Pertama, keutuhan biosfir yang berarti campur tangan manusia dengan alam yang berjalan terus, tanggung jawab kelestarian semua proses kehidupan yang sedang berlangsung.
Kedua, generasi yang akan datang yang disadari keberadaannya dan hak- haknya sebagai tanggung jawab manusia. Setiap orang tua yang baik berusaha menjaga rumah, perabot dan tanah yang dimiliki sebagai warisan anak cucu mereka. Manusia diberi beban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam keadaan baik dan utuh bagi anak cucu nanti. Sikap tanggung jawab ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“dalam segala hal usaha bertindaklah dalam segala hal sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakannya tidak merusak, bahkan tidak dapat membahayakan / mengurangi kemungkinan-kemungkinan kehidupan manusia dalam lingkungannya baik hidup masa sekarang maupun generasi yang akan datang.”
Manusia yang memiliki cipta, rasa, karsa dan karya, manusia mempunyai tanggung jawab moral terhadap lingkungannya. Manusia harus mampu
tetap memberikan manfaat bagi kehidupan, memerlukan sebuah perspektif etika lingkungan.
C. Pendidikan Etika Ekosentris untuk Pembangunan Berkelanjutan
Dalam pendidikan harus mananamkan nilai-nilai, termasuk penanaman nilai lingkungan kepada anak didik. Pendidikan lingkungan sebagai jalan untuk memberikan pengenalan dan kesadaran terhadap lingkungan. Upaya pengelolaan atas lingkungan hidup dengan upaya pembangunan etika lingkungan masyarakat melalui pendidikan lingkungan dengan pemberian pendidikan agama, etika dan moral lingkungan agar mampu mewarnai pola pikir dan pola tindak para peserta didik. Masalah pendidikan lingkungan ialah bagaimana memulai pendidikan lingkungan. Pendidikan lingkungan harus dimulai dari kesadaran imperatif didalam lapisan – tindakan manusia.