• Tidak ada hasil yang ditemukan

The tembang macapat convention system is found in the form of wawacan texts that developed in Sunda

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "The tembang macapat convention system is found in the form of wawacan texts that developed in Sunda"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

JAVANESE TEXT TRANSMISSION

IN THE MANUSCRIPT BABAD AWAK SALIRA

Isep Bayu Arisandi; Titin Nurhayati Ma’mun; Undang Ahmad Darsa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Jalan Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor, Indonesia 45363 isepbayu@gmail.com

(Naskah diterima tanggal 5 Juli 2021, direvisi terakhir tanggal 16 Desember 2021 dan disetujui tanggal 16 Juni 2022)

DOI: https://doi.org/10.26499/wdprw.v50i1.871 Abstract

This paper aims to reveal the transmission of the text structure and the form of translation in the text of Babad Awak Salira (later referred to as AS). The issue that will be examined in this paper is the transmission of structures and forms of translation that exist in AS manuscript texts. Old poetry is bound by a system of conventions in building structure. The tembang macapat convention system is found in the form of wawacan texts that developed in Sunda. These findings were analyzed by structural theory of the ancient poetry and translation. The application of this theory can be reveal the transmission of structure in the text. The method of research is the philological method and the translation method. Each data in this study was collected using a literature study for analysis. The results of this study include; (1) transmission of structure from macapat tembang to wawacan form in AS script texts; and (2) the form of translation in the use of diction used in the AS manuscript text. The use of the tembang macapat convention in the AS text is balanced with the practice of "translation" and adaptation of several terms as an effort to adjust and understand from Javanese (source) to Sundanese (target).

Keywords: old poetry; structure; translation; philology Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap transmisi struktur teks dan bentuk penerjemahan dalam teks naskah Babad Awak Salira (selanjutnya disebut AS). Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah transmisi struktur dan bentuk terjemahan yang ada dalam teks naskah AS. Puisi lama terikat dengan sistem konvensi dalam membangun struktur. Sistem konvensi tembang macapat ditemukan dalam bentuk teks wawacan yang berkembang di Sunda. Temuan ini, dianalisis dengan menggunakan teori struktur puisi lama dan terjemahan. Penggunaan teori tersebut dapat mengungkap transmisi struktur dalam teks. Metode yang digunakan adalah metode filologi dan metode terjemahan. Setiap data dalam tulisan ini dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka untuk dianalisis. Hasil tulisan ini meliputi; (1) transmisi struktur dari tembang macapat menuju bentuk wawacan dalam teks naskah AS; dan (2) bentuk terjemahan dalam penggunaan diksi yang digunakan dalam teks naskah AS. Penggunaan konvensi tembang macapat dalam teks AS diimbangi dengan praktik “terjemahan” dan adaptasi beberapa istilah sebagai upaya penyesuaian dan pemahaman dari bahasa Jawa (sumber) menuju bahasa Sunda (sasaran).

Kata Kunci: puisi lama; struktur teks; konsep terjemahan; filologi

(2)

1. Pendahuluan

Pengaruh masuknya ajaran Islam di Nusantara berdampak pada tradisi tulis yang ada lebih dahulu. Naskah Babad Awak Salira (selanjutnya disebut AS) merupakan naskah Sunda dan tergolong dalam periode Islamisasi dan Islam1. Sejauh ini, salah satu naskah yang ditemukan di Tatar Sunda yang termasuk dalam periode Islamisasi awal ditunjukkan dalam Naskah Awal Tasawuf Islamisasi yang sarat akan makna simbolik ajaran tasawuf (Kalsum, 2012:

149). Tradisi tulis menjadi salah satu gerbang masuk ajaran Islam di Sunda.

Penyebaran Islam di Sunda tidak lepas dari pengaruh Mataramisasi yang dilakukan oleh Mataram Islam2. Saat itu, Panembahan Senapati menganjurkan agama resmi kerajaan adalah Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan pengangkatan wali-wali Kadilangu sebagai penasehat dan pembimbing kerajaan (Zamzami, 2018:

163). Maka, tidak heran terdapat corak Jawa dalam naskah Sunda karena kedekatan wilayah.

Selain dari Jawa, banyak karya yang dihasilkan berupa tafsir dari bahasa Arab.

Manuskrip Kiai Mustojo merupakan tafsir sufistik-kejawen terhadap surat Alfatihah untuk menunjukkan latar belakang sosio- kultural hubungan yang intens antara ajaran Islam dan ajaran mistik Jawa (Maulana, 2020: 148-149). Selain tafsir, terdapat tradisi logat gantung dalam kitab kuning untuk memudahkan pemahaman nilai kandungan yang disampaikan dari

1 Sampai saat ini, batas antara produk naskah Islamisasi dan Islam masih bias (Darsa, 2016: 84- 102). Barangkali, tulisan ini dapat memberikan sumbangan pandangan atas naskah Islamisasi dan Islam.

2 Sultan Agung mengembangkan Kerajaan Mataram Islam dengan cara mengadakan perluasan wilayah (ekspansi) juga Islamisasi melalui dakwah islamiah, lihat (Dalminto, 2014).

bahasa Arab menjadi bahasa Jawa sebagai bahasa sasaran (Nugrahaeni, 2019: 154).

Kedua upaya tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman nilai kandungan dengan mempertahankan nilai estetika (Dewi, 2019: 180).

Penafsiran terhadap syair-syair salawat Burdah merupakan sebuah penafsiran ulang dengan tujuan untuk menyampaikan nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari (aplikatif), upaya memahamkan dan memahami Islam (Hakim, 2020: 62). Bentuk terjemahan dan penafsiran memiliki peran penting dalam upaya penyebaran ajaran Islam, sehingga dapat memudahkan pemahaman terhadap masyarakat.

Secara eksplisit, praktik terjemahan dalam tradisi tulis tidak hanya berpijak pada teks Arab saja, tetapi terhadap teks dari Jawa ke Sunda. Hal itu dapat ditelusuri melalui analisis struktur untuk menjabarkan transmisi yang terjadi dari teks Jawa menuju Sunda.

Analisis struktur dapat mengungkap pengaruh yang diidentifikasi dalam teks, misalkan pola rima yang muncul dan merujuk pada kaidah syiiran dengan pola qafiyah syair Arab, melalui pengulangan kesesuaian pola bunyi akhir (Ma’mun, 2011: 149-150). Tradisi syiiran memiliki pola khas yang berbeda dari pola puisi yang selama ini dikenal (Ma’mum, 2014: 212).

Meskipun ada perbedaan, tetapi melalui analisis struktur didapati perubahan yang terjadi.

Dengan demikian, analisis struktur memegang peran penting untuk meng- ungkap transmisi teks yang terjadi. Selain itu, praktik terjemahan dapat ditelusuri melalui penggunaan diksi dan kosakata yang digunakan. Hal tersebut sudah dilakukan dan berdampak besar terhadap pengetahuan bahasa Melayu dari penggunaan diksi dalam naskah kuna Melayu (Hidayatullah, 2011: 62-73).

(3)

Naskah Dhikir Maulud Nabi merupakan salah satu naskah yang digubah ke dalam bahasa Jawa dari bahasa Arab untuk memudahkan pemahaman masyarakat di Jawa (Prasetyo, 2018: 100-101). Melihat hal itu, erat kaitannya antara praktik mener- jemahkan dan menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam dalam tradisi tulis. Analisis struktur teks dan terjemahan merupakan dua elemen penting yang dapat meng- ungkapkan pengaruh-pengaruh dalam teks naskah kuna.

Tulisan ini menjabarkan transmisi struktur teks Jawa ke Sunda yang ada dalam teks naskah AS. Analisis dalam tulisan ini menawarkan kebaruan bahwa terdapat pengaruh struktur dari teks Jawa dalam teks Sunda secara gamblang.

Analisis struktur memiliki peran penting dalam mengungkap transmisi struktur tembang macapat dalam pupuh teks AS. Akan tetapi, minimnya publikasi analisis berbanding dengan pentingnya analisis, sehingga analisis dalam tulisan ini memberikan kebaruan dan tidak menimbulkan tumpang tindih analisis.

Dengan demikian, berdasar pada minimnya analisis transmisi struktur teks yang terjadi dalam tradisi tulis, maka tulisan ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan berikut. (1) Bagaimana transmisi struktur teks Jawa dalam teks naskah AS? (2) Bagaimana bentuk terjemahan yang terdapat dalam teks AS?

Tujuan tulisan ini untuk mengungkap transmisi struktur tembang macapat di Jawa menuju teks wawacan3 di Sunda yang terdapat dalam teks naskah AS. Selain itu, tulisan ini bertujuan untuk mengungkap

3 Metrum adalah syarat terikat yang muncul dalam puisi lama, konvensi metrum bergantung pada jenis sekar. Wawacan berkembang di Sunda sekitar abad ke-19 dan memiliki sistem konvensi (Brata, 1952).

bentuk terjemahan yang ditemukan dalam penggunaan diksi. Perlu diketahui, sastra Jawa sudah menjadi kebutuhan di istana, dengan menggubahnya menggunakan tembang macapat (Rochkyatmo, 2010: 7). Hal tersebut berdampak pada proses perubahan yang terjadi dalam teks, seiring dengan Mataramisasi yang dilakukan, khususnya ke Tatar Sunda.

2. Metode Penelitian

Metode deskriptif analisis yang digunakan sangat menunjang untuk memberikan pemahaman berdasar pada fakta dan analisis sesuai dengan rumusan masalah dalam tulisan ini (Nyoman, 2004: 53). Selain itu, digunakan kajian filologis untuk mendapatkan edisi teks karena teks naskah AS sebagai data primer beraksara Pegon.

Pemanfaatan kajian filologis digunakan untuk memudahkan penyajian teks yang dibutuhkan dalam analisis.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode pustaka. Teknik pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk memperoleh data dalam teks naskah AS. Interpretasi data dilakukan dengan menampilkan bagian-bagian teks yang relevan dengan pembahasan. Hasil analisis yang dilakukan dapat disimpulkan untuk memperoleh pemahaman dan jawaban fokus permasalahan. Dengan demikian, melalui tahapan metode analisis yang komprehensif, dapat menjawab rumusan masalah yang sudah dijabarkan dalam tulisan ini.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil

Struktur tembang macapat di Jawa dengan pupuh di Sunda memiliki pengaruh dan saling berkaitan, tetapi memiliki perbedaan. Transmisi struktur ditemukan dalam teks naskah AS. Istilah dhong-dhing yang menjadi keterikatan bunyi vokal di

(4)

bagian akhir baris dalam tembang macapat, di Sunda dikenal dhangdhing yang memiliki arti nyanyian. Sistem konvensi tembang pocung diterapkan dalam pupuh pucung teks AS secara konsisten.

Terdapat penggunaan istilah-istilah yang familiar di Jawa dalam teks AS sebagai hasil praktik penyalinan dan bentuk terjemahan. Hal tersebut terjadi karena sulitnya menemukan padanan kata, sedangkan puisi lama terikat dengan sistem konvensi. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi estetika penyampaian nilai dalam teks. Pembahasan diawali dengan transmisi struktur teks, dilanjutkan dengan bentuk terjemahan dalam teks naskah AS untuk memudahkan penjabaran dan pemahaman analisis.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Transmisi Struktur Tembang Macapat ke Wawacan dalam Teks Naskah AS

Keterkaitan budaya Jawa dengan Sunda dapat dilihat melalui tradisi tulis dan penggunaan tembang dalam naskah yang bernapas Islam. Masuknya ajaran Islam memberikan pengaruh terhadap pola

metrum dan isi yang ingin disampaikan (Mulyono & Sahlan, 2012: 112-113).

Penggunaan tembang macapat di Jawa dalam setiap metrum-nya mempertimbangkan guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu (Saputra, 2011: 6-7). Secara keseluruhan, tembang macapat berjumlah lima belas jenis tembang, ada yang mengatakan sebelas, dan sembilan, yang menunjukkan perkembang- an hidup seorang manusia, yang dimulai dari lahir (direpresentasikan dengan nama tembang) mijil sampai pocung (yang menandakan batas akhir manusia di dunia dengan dikafani).

Bagian teks AS menggunakan konvensi pupuh pucung XIII. Aturan konvensi pupuh pucung seharunya berjumlah 4 larik/padalisan, dengan guru wilangan dan guru lagu; 12-u, 6-a, 8-e/o, dan 12-a. Akan tetapi, ditemukan guru lagu yang tidak sesuai dalam padalisan/larik ketiga. Hal itu muncul dalam pupuh pucung XIII, konsisten semua guru lagu vokal /i/dalam padalisan/larik ketiga bukan vokal /e/ atau /o/ yang dianjurkan dalam membangun pupuh pucung.

Tabel 1

Konvensi guru lagu dalam AS

No. Pupuh Bait/Pada Larik/Padalisan Keterangan 1. Pucung XIII (XIII/01/328-

XIII/29/356) Larik ketiga /e/ atau /o/

menjadi /i/

Secara struktur, keterkaitan antara tembang macapat dengan wawacan masih perlu diperhatikan dan digali, merujuk pada temuan-temuan yang masih bisa ditelusuri. Hal itu akan membuka cakrawala struktur puisi lama yang sudah mapan. Melalui temuan ini, menegaskan bahwa struktur tembang macapat sangat berpengaruh terhadap struktur wawacan.

Konvensi di Sunda diberlakukan aturan

putjung; 4 padalisan: 12-u, 6-a, 8-e/o (kadang diganti oleh i, tetapi tidak bagus), 12-a (Brata, 1952: 7-9). Perbedaannya, terletak pada penerapan guru lagu 8-i, yang digunakan dalam konvensi AS.

Penerapan konvensi pupuh pucung dalam teks AS, diangap sebuah

“kesalahan” konvensi. Harus dicermati, konvensi yang digunakan dalam pucung teks AS, sama dengan konvensi dalam

(5)

pocung tembang macapat. Penggunaan konvensi tidak hanya sebagai kekhasan, tetapi sebuah bentuk transmisi. Oleh karena itu, melalui temuan konvensi yang digunakan ini, besar kemungkinan terpengaruh atas penyalinan yang dilakukan terhadap naskah-naskah yang diproduksi di Jawa.

Untuk mengetahui bentuk transmisi struktur, konvensi yang digunakan macapat menjadi wawacan dalam pupuh pucung teks AS dapat dilihat berikut ini.

XIII/01/328

//Sekar pucung wonde ning anu dicatur/

/marét ngararapat/

/malar mayah répéh rapih/

/reujeung dulur reujeung warga [hen]teu pabéntar//.

XIII/02/329

//Sok disebut kerna ngora kénéh picung/

/deukeut dedenggatan/

/tunggal tempat jadi hiji/

/yén geus kolot kelewekna pisah2//.

Dua pada/bait di atas merupakan pembuka dari pupuh pucung teks AS.

Terdapat penggunaan konvensi yang

“keluar” dari konvensi di Sunda ditandai dengan cetak tebal. Hal tersebut untuk memahami bahwa temuan terhadap konvensi yang biasanya dianggap sebuah

“kesalahan” dapat dipandang sebagai corak dan nilai estetika.

Kemunculan “bentuk kesalahan” kon- vensi pupuh pucung muncul konsisten dalam padalisan/larik ketiga menggunakan guru lagu /i/. Oleh karena itu, melihat kondisi yang berbeda dan “menyimpang”

dari konvensi, akhiran vokal atau guru lagu e/o (kadang diganti oleh i, tetapi tidak bagus) tidak semerta-merta dimasukkan ke dalam sebuah kesalahan tulis. Sampai saat ini, penjelasan istilah “tidak bagus” masih belum ditemukan dan tulisan ini hanya mengulas transmisi estetika dalam teks AS saja.

Penggunaan konvensi yang identik, sebagai sebuah transmisi dari konvensi tembang macapat, dapat dilihat dalam cuplikan beberapa teks yang lahir di Jawa dengan menggunakan konvensi tembang macapat Serat Wulang Reh pocung pada/bait 13 dan 19 berikut ini.

pada/bait 13

//Pan sadulur tuwa kang wajib pitutur/

/marang kang taruna/

/kang anom wajibe wedi/

/sarta manut wuruke marang sadulur tuwa//.

pada/bait 19

//Ingkang ala kawruhana alanipun/

/dadine tyasira/

/weruh ala lawan becik/

/ingkang becik wiwitana sira wruha//.

Cuplikan teks di atas menunjukkan konvensi tembang macapat pocung yang disinyalir menjadi bagian dari praktik penyalinan ke Sunda. Melihat kembali bahwa perbedaan-perbedaan yang muncul dalam konvensi tembang macapat dengan wawacan begitu bias. Melalui temuan ini, terdapat pengaruh struktur dari teks yang diproduksi di Jawa terhadap teks di Sunda dalam naskah periode Islamisasi dan Islam.

Konsistensi yang muncul dalam satu pupuh tersebut dapat dilihat juga dalam cuplikan beberapa pada/bait pucung teks AS berikut ini.

XIII/27/354

//Jadi kudu katingal sabarang laku/

/wiwitan wekasan/

/sing terang bener jeung lain/

/asal hadé sok jadi goréng rekasan//.

XIII/28/355

//Tapi kudu sing kaharti jalan kitu/

/tangtu aya sebab/

/kudu kapeleng kalingling/

/asal goréng sok jadi alus wekasan//.

Melihat gejala dan konsistensi yang terjadi, serta biasnya batasan struktur teks antara Jawa dengan Sunda dalam periode Islamisasi dan Islam, maka pandangan

(6)

dilakukan terhadap nilai kandungan.

Melalui niai-nilai kandungan ajaran Islam, mendapatkan “kelonggaran” karena fokus terhadap penyampaian pesan. Dengan demikian, dapat dipandang bahwa konvensi yang “menyimpang” dari pakem yang sudah ada tidak terlalu diperhatikan dengan pertimbangan keluhuran nilai kandungan teks. Melalui teks-teks yang mengandung ajaran Islam bukan berarti konvensi “ditabrak” begitu saja, tetapi penyesuaian dan peralihan terhadap nilai dalam teks menjadi tujuan utama. Melalui transmisi yang ditemukan dalam teks AS, keterkaitan antara teks Jawa dengan Sunda saling terikat dalam bentuk peralihan teks yang mengandung ajaran Islam.

Konvensi dalam puisi lama tidak sekadar itu saja, melainkan sasmita sastra.

Sebelum memasuki pergantian pupuh sebagai petanda dilanjutkan dengan jenis pupuh yang berbeda. Hal tersebut terdapat dalam teks AS, pergantian dari pupuh asmaran menuju pucung sebagai berikut.

XII/36/327

….

/sugan matak wuwuh ilmu/

/ulah pucung pipikiran//.

Bagian akhir pada/bait di atas yang dicetak tebal menunjukkan pupuh selanjutnya. Selain itu, sasmita sastra sebagai peralihan konvensi pupuh juga ditemukan dalam pergantian pupuh lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam cuplikan teks berikut ini.

I/12/012

….

/henteu kongan disorang/

/cegah ing Gusti Yang Widi/

/Sinom salin sekar Pangkur anu nama//.

II/35/047

….

/ulah pisan ngantep teuhing napsu rampus/

/yén kuwat(an) nyegah dahar/

/Kinanti puji jeung dikira//.

V/21/161

….

/tur bakti ka ibu rama /hl.30/

/Asmarandana gumati//.

VI/25/186

….

/ku deungeun ku baraya/

/sanajan ku dulur2/

/kapungkur lén teu percaya//.

IX/20/247

….

/reujeung ulah nyaturkeun rasiyah Ratu/

/sing buni rékép rawatan/

/sekar Magatru gumati//.

XI/18/291

….

/henteu karuwan/

/kasmaran taya pamrih//.

XIII/29/356

….

/dikira-(kira) kupikir/

/apan arang Mijil bangsa kahadéyan//.

Beberapa cuplikan pada/bait di atas menunjukkan sebuah sasmita (petanda) pergantian pupuh dalam teks AS. Merujuk pada hasil identifikasi, tidak seluruh pergantian pupuh memiliki petanda sebagai pengantar pupuh selanjutnya. Sampai sejauh ini, keberadaan sasmita sastra sebagai petanda untuk perubahan pupuh menjadi salah satu faktor transmisi teks yang ada di Jawa terhadap Sunda dalam teks AS. Selain sistem konvensi yang digunakan secara konsisten, dapat disebut bukan sebuah kesalahan dalam tradisi penyalinan.

Melihat kembali setiap temuan konvensi struktur yang sudah dijabarkan di atas, dapat dikatakan bahwa konvensi struktur wawacan, terpengaruhi oleh tembang macapat dalam pupuh pucung teks AS. Kemudian, hal tersebut tidak muncul tiba-tiba, tetapi dengan hadirnya wacana nilai ajaran Islam yang hendak disampaikan, sehingga sistem konvensi menjadi longgar. Dengan demikian, transmisi struktur sistem konvensi dalam

(7)

pupuh pucung teks AS mendapatkan pengaruh dari sistem konvensi Pocung.

3.2.2 Bentuk Terjemahan dalam Teks Naskah AS

Tradisi tulis dan penyalinan di Nusantara sudah berlangsung lama dan menghasilkan beragam bentuk karya. Dalam praktik penyalinan, teknik terjemahan berpengaruh besar terhadap munculnya teks “baru”

seperti AS. Melaui tradisi tulis dan penyalinan, Jawa dengan Sunda berkaitan erat. Hal tersebut tidak lepas dari keberadaan Mataramisasi dan penyebaran Islam yang dilakukan secara masif. Tidak heran, ditemukan teks naskah di Sunda yang berkaitan erat dengan teks di Jawa pada periode tersebut. Pengaruh yang dibawa oleh Mataram Islam di era Sultan Agung yang memperluas wilayah ke Jawa bagian Barat pada paruh pertama abad XVII berdampak pada adanya membaca wawacan (Hendrayana et al., 2020: 418).

Keterkaitan teks naskah Jawa dengan Sunda begitu lekat sebagai sebuah gam- baran praktik penyalinan dan terjemahan.

Teks-teks sumber sebagai rujukan dalam penyalinan terkadang menguji pembaca atas perubahan yang terjadi. Merujuk pada salah satu pada/bait yang terdapat di dalam AS, menunjukkan bahwa terjadi penyalinan dari naskah Jawa.

III/81/128

//Balipur anu dicatur /hl.23/

/piwulangna Kangjeng Gusti/

/sinuhun di Surakarta/

/keuna pisan lahir batin/

/rasakeun mangka karasa/

/rahosan lir padugendis//.

Cuplikan teks di atas menunjukkan proses terjemahan dalam teks AS. Hanya saja, melalui nilai kandungan ajaran Islam, tradisi penyalinan membuka jalan sebagai sarana untuk menyampaikan nilai ajaran dan kebaikan. Konsep terjemahan yang dipraktikan pada teks AS berpijak pada budaya, bahasa, dan istilah yang ada di Jawa. Tradisi penyalinan sebagian besar di periode Islamisasi dan Islam sangat berkaitan dengan istilah penafsiran, adaptasi, terjemahan, atau saduran.

Melaui penggunaan diksi4 terungkap perubahan-perubahan yang hadir sebagai sebuah bentuk adaptasi budaya untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman atas nilai yang terkandung di dalam teks.

Kaitan yang erat antara penggunaan diksi dengan gaya bahasa adalah cara bertutur secara tertentu untuk mendapatkan efek estetis atau efek kepuisian (Pradopo, 1999:

95). Dengan demikian, melalui identifikasi terhadap penggunaan diksi, menunjukkan unsur estetis dari sebuah puisi.

Penggunaan diksi dalam teks AS diidentifikasi sebagai upaya “peminjaman”

dan penyesuaian5 dari Jawa. Diksi yang digunakan menjadi sebuah ciri atas keterkaitan dan persinggungan budaya secara implisit. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam praktik terjemahan berkaitan dengan penyesuaian teks sumber terhadap teks sasaran dalam diksi yang dituliskan.

Beberapa diksi yang diindikasikan berkaitan dengan budaya, ditampilkan melalui dua tabel kategorisasi diksi konkret dan diksi abstrak berikut ini.

4 Diksi memegang peran penting dalam puisi, terlebih sering ditemukan penyimpangan arti akibat ambiguitas, lihat (Pradopo, 1995:78).

5 Sebagai sebuah konsep terjemahan, peralihan bahasa, terdapat beberapa bentuk dan model (Hoed, 2017: 77).

(8)

Tabel 2

Kategori Diksi Konkret dalam Teks AS

No. Diksi Konkret Arti

1. Raja Gelar pemimpin di dalam sebuah sistem

pemerintahan.

2. Ratu Gelar pemimpin di dalam sebuah sistem

pemerintahan.

3. Patih Seorang wakil dari kepala pemerintahan.

4. Santana Keturunan.

5. Tumenggung Gelar bagi kepala distrik.

6. Mentri Di bawah seorang Raja atau Ratu.

7. Bopati Pemimpin dari pribumi di bawah kepala wilayah.

Keberadaan diksi konkret dalam teks berpengaruh terhadap penyampaian sebuah pesan dan cara penerimaan yang lugas. Selayaknya puisi, istilah-istilah yang muncul sebagai diksi dalam AS sering ditemui penggunaan istilah arkaik (meskipun saat itu tidak arkaik, karena masih digunakan sebagai alat komunikasi biasa).

Pengelompokkan diksi selanjutnya adalah kategori diksi abstrak. Pengelom- pokkan didasari atas pemilihan terhadap

penggunaan istilah-istilah yang kurang familiar di Sunda, serta memiliki indikasi Jawa yang kuat, dapat dipandang sebagai pengaruh budaya dalam penggunaan diksi.

Kemunculan diksi abstrak dalam teks AS tidak semerta-merta tanpa fungsi, tanpa makna, dan tidak memiliki arti. Diksi abstrak akan menghadirkan sebuah arti yang condong konotatif. Beberapa diksi abstrak yang digunakan dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 3

Kategori Diksi Abstrak dalam Teks AS

No. Diksi Abstrak Arti

1. Durge Ngerik Berbunyi siang dan malam yang memelihara jauh dari rezeki, keluarga selalu bertengkar, sampai menderita kematian.

2. Murmatarum Bersifat baik, berbakti, taat.

3. Intersari Pekerja keras, menarik, tetapi bermuka dua.

4. Murmanagara Egois dan tidak mengukur batas keinginan.

5. Lunyu Licin.

6. Lémér Banyak keinginan.

7. Ganjah Mudah tergoda.

Diksi /Raja/ dan /Ratu/ bergantian muncul merepresentasikan jabatan yang ada di pemerintahan (saat itu) dan menjadi wakil dari “Nyang Agung”, “Gusti”,

Pangéran”, dan “Allah” di dunia.

Penyebutan /Pangéran/ dan /Gusti/ juga sering muncul di dalam teks, selaras dengan penyebutan /Raja/ disinyalir erat kaitannya dengan konsep feodal yang hadir

dalam bentuk sistem pemerintahan kerajaan.

Dapat diketahui dalam /tangtu ngajadi parnyai/ /jadi ménak maréntah sasama Raja/.

Sedangkan, di Sunda mengenal konsep /Ratu/ menjadi penamaan kedudukan seorang pemimpin Kerajaan. Ditemukan penggunaan diksi /Raja/ dan /Ratu/

secara konsisten, dimulai dari /pakéeun

(9)

ngabdi ka Ratu/. Melalui satu penggunaan diksi tersebut, dapat mengindikasikan bahwa praktik terjemahan dalam konteks penyalinan dilakukan dengan beberapa adaptasi salah satunya perubahan /Raja/

menjadi /Ratu/ dalam beberapa kali kemunculan.

Kemudian kemunculan diksi /Pangéran/ dalam /jenengan Pangéran Ujub/ /Pangéran Riya Sumhah/ /jeung Pangéran Kibir/, diketahui bahwa yang menjadi makna dari /Pangéran/ adalah seorang keturunan secara simbolik dan denotatif. Ditemukan juga /Pangéran/

dengan makna yang berbeda, dalam /sarta bakti ka Pangéran/, /mayeng manteng éling ka Pangéran/, dan /jeung asih ka Pangéran/.

Munculnya diksi /Pangéran/ memiliki makna berbeda, dua makna yang yang muncul berkaitan dengan nama atau sebutan terhadap keturunan Raja dan Sang Khalik. Perubahan makna seperti ini, sepintas tidak akan dirasakan, tetapi melalui pembacaan yang mendalam akan muncul perubahan makna dari dua diksi tersebut.

Selanjutnya penggunaan diksi /Gusti/

terdapat dalam /henteu rasa yén dijungjung ku Gusti/, /[ka] Gusti nu ngaraton/, /ka Ratuna Ratu [anu] jeneng Gusti/, /ulah mangmang ka paréntah Gusti/, serta /yén milampah paréntah ing Gusti/. Melalui kemunculannya, menjadi sebuah bentuk penyelipan ajaran dan penegasan ajaran Islam. Jika dilihat dari sisi kontekstual, /Gusti/ merujuk pada Allah Swt., dan hal itu dibuktikan juga dengan temuan /Allah/

dalam teks secara konsisten. Misalkan dalam /[yén] geus aya kersa Allah/, /ti kersa Allah Nu Agung/, dan /[ngan] Allah nu sifat murah/. Hal tersebut meunjukkan unsur ajaran Islam yang muncul dalam teks AS.

Dikuatkan dengan penyebutan /Nyang Agung/ di dalam teks /Ratu éta minangka wakil Nyang Agung/, /Ratu éta nu kaselir ku

Nyang Agung/, /isin siyeun ku Yang Agung/, /lima nyembah ka Yang Agung/, dan /sumawon(a) ka Yang Agung/.

Kemunculan diksi /Raja/ bergantian dengan /Ratu/, dalam konteks lain tidak merujuk pada pemimpin di kerajaan, tetapi memiliki makna merujuk pada Sang Pencipta terdapat dalam salah satu pada/bait berikut ini.

IX/19/246 //Karanana Ratu éta/ /teu kagungan sadérék ais [pa]ngampih/ /reujeung deui ari Ratu/

/henteu kagungan putra/ /teu kagungan mitra kakasih ing kalbu/ /ku Ratu anu diasta/ /ngan leres jeung hukum adil//.

Kutipan pada di atas menunjukkan bahwa diksi /Ratu/ yang muncul memiliki makna Sang Pencipta, bukan seorang pemimpin pemerintahan di dunia.

Kebiasan makna yang didapatkan oleh pembaca karena penggunaan diksi tersebut. Akan tetapi, ditemukan makna yang lebih jelas merujuk pada Sang Pencipta. seperti yang tertulis dalam cuplikan teks berikut ini.

IX/15/242 //Mun Mantri ngedirkeunana/ /duméh putra atawa sadérék Gusti/ /éta tékad kitu luput/

/mungguh anu ngawula/ /lamun aya dawuhan nu jadi Ratu/ /geuwat2 dipilampah/ /sarta ati nu sayakti//.

Pemilihan diksi dalam penyalinan dan upaya adaptasi berpengaruh terhadap sosial dan budaya yang melekat dalam diksi. Hal itu terwujud dalam kutipan di atas, pembaca “dipaksa” untuk memilah definisi dan membedakan makna yang terdapat di dalam diksi. Oleh karena itu, klasifikasi diksi denotatif dan konotatif penting untuk menunjukkan makna yang terkandung dan konteks dalam setiap diksi.

Salah satu diksi yang sering muncul dan menjadi corak gaya bahasa Antonomasia6,

6 Bentuk lain dari gaya bahasa kiasan sinekdoke, hanya saja perbedaannya terletak pada penggunaan apiteta (epitet) untuk menggantikan

(10)

/Raja/, /Ratu/, /Déwi/ lihat dalam pada/bait berikut ini.

II/03/015 //Sahiji Raja Amarah/ /dua deui nyaéta Ratu istri/ /jenenganana disebut/ /[nu] hiji Rétna Sawiyah/ /hiji deui jenengannana disebut/ /sang Ratu istri utama/ /Déwi Mutmainah geulis//.

II/29/041 //Sigeg Sang Raja Amarah/ /anu kantun nyaéta hiji deui/ /Raja Lawamah dicatur/

/kalangkung digjayana/ /henteu pati loba wadyana sang Perbu/ /Santana amung tiluwan/ /sadaya parjurit sakti//.

Kemunculan diksi dalam dua pada/bait di atas menunjukkan gaya bahasa Antonomasia berhubungan dengan penggu- naan epiteta untuk menggantikan nama atau gelar. Penggunaan diksi tersebut bertujuan untuk menguatkan bahwa nilai- nilai moral dan ajaran yang terdapat di dalam teks sangat penting untuk disampaikan kepada pembaca dan masyarakat luas. Sesuai dengan konteks budaya yang ada dan dipahami oleh masyarakat umum, berkaitan dengan ketersebaran teks-teks untuk dapat dikonsumsi secara terbuka.

Unsur-unsur peran dan kedudukan dalam diksi dapat menggambarkan masa (sistem) kerajaan atau kesultanan. Misalkan diksi Mentri, Patih, Pangéran, Santana, Prabu, Prajurit, Dipati, Tumenggung, Bopati, dan Pamuk yang lumrah didengar pada masa lalu. Beberapa bagian yang menunjukkan itu /nu jadi patihna tangtu/, /Radén Dipati Sobar/, /Papatih kagungan réncang/, /nu jenengan Tumenggung Anteng Cicing/, /Sadaya Santana Raja/, /Dipati Barangasan/, /Santana deui dicatur/, /Radén Panji

nama atau gelar. Bandingkan dengan gaya bahasa kiasan sinekdoke, adalah gaya bahasa figuratif menggunakan sebagian dari sesuatu untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto), dan menggunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (pars totum parte), lihat (Keraf, 2010).

Beberapa bagian ditemukan juga sinekdoke dalam teks AS.

Angkuhan/, /Dén Panji Sura Dursila/, /Réden Iren jeung Mas Jaali/, /[Pa]ra Santana Bopati para Tumenggung/, /(Dén) Rangga Demang ngabihi/, serta /para mantri para pamuk/. Melalui penggunaan diksi yang dapat dikonsumsi secara luas, dapat memberikan dampak praktis terhadap pemahaman kedudukan yang ada dalam sistem pemerintahan.

Beberapa temuan tersebut menunjuk- kan bahwa dalam upaya penyalinan, tidak ada yang diubah berkaitan dengan diksi- diksi yang merujuk pada kedudukan di sistem pemerintahan, selain diksi /Raja/

menjadi /Ratu/. Perubahan yang terjadi didasari atas sistem pemerintahan dan kedudukan yang digunakan dalam diksi di atas cukup familiar di kalangan masyarakat sasaran. Dengan demikian, dalam proses penyalinan, tidak diubah dan tidak me- lakukan adaptasi. Perubahan yang terjadi adalah bahasa yang digunakan dari bahasa Jawa (sumber) menjadi bahasa Sunda (sasaran) dan beraksara Arab (Pegon).

Perubahan tersebut menjadi titik tolak bahwa teks naskah AS untuk pembaca di wilayah Sunda, sehingga terjadi perubahan bahasa.

II/23/035 //Sadaya Santana Raja/ /angger cangker taya anu jejerih/ /nu jadi patihna tangtu/

/Dipati Barangasan/….

II/24/036 //Panganggo Raja Amarah/ /nu diagemlaken beureum téh teuhing/ /santana deui dicatur/ /Radén Panji Angkuhan/....

Diksi yang merujuk pada kedudukan dan peran dalam sistem pemerintahan, digunakan dalam beberapa diksi yang membangun teks AS. Diksi yang terjabarkan di atas menunjukkan zaman dan budaya yang hadir di dalam teks, serta masih dapat diterima dan dipahami sampai kini. Penjelasan tersebut secara “terbuka”

dapat dibaca karena sifat denotatif dalam diksi merepresentasikan kedudukan dan

(11)

peran dari sistem pemerintahan. Selain itu, fungsi lain untuk pengenalan identitas pemerintahan yang diterapkan pada saat itu.

Penggunaan beberapa diksi dan istilah tidak ditemukan dalam bahasa Sunda, karena lebih familiar dan berkembang di Jawa. Beberapa istilah yang muncul dapat dipandang bahwa tidak ditemukannya istilah yang “sepadan” dalam bahasa Sunda. Melalui diksi yang dipertahankan, memiliki pengaruh terhadap proses penyalinan dan “sepintas” menghasilkan teks baru. Maka dari itu, pengaruh yang muncul dalam penggunaan bahasa atau istilah lain merupakan sebuah kekhasan dalam praktik terjemahan.

Istilah-isitlah yang terekam dalam teks adalah /Durge Ngerik/, /Murmatarum/, /Intersari/, dan /Murmanagara/. Satu pada/bait yang menunjukkan istilah ter- sebut dapat dilihat melalui teks berikut ini.

III/16/063

//Mimiti anu disebut/

/ngaran canda Durge Ngerik/

/Murmatarum nu kaduwa/

/katiluna Intersari/

/kaopat Murmanagara/

/éta cacanda ning istri//.

Beberapa istilah di atas sedikit “asing”

didengar di Sunda, berkaitan dengan empat istilah yang disebutkan sebagai klasifikasi watak wanita dalam teks AS.

Akan tetapi, selayaknya puisi lama yang bersifat naratif7 dijelaskan secara rinci setiap istilah “asing”, dengan menggunakan bahasa Sunda. Hal tersebut yang membedakan antara puisi lama dengan puisi modern, melalui deskripsi

7 Inilah salah satu alasan kenapa bentuk puisi lama disebut juga puisi naratif. Terlihat seperti bertele- tele, tetapi tidak melepaskan nilai estetik dalam pengunaan diksi. Mungkin, pandangan bertele- tele berkaitan dengan sistem konvensi.

yang jelas dapat memberikan gambaran sekaligus batasan. Penjabaran ditulis tetap mempertimbangkan sistem konvensi yang berlaku sebagai nilai estetika dalam puisi.

III/17/064 //Canda Durge Ngerik tangtu/ /nu merap di badan istri/ /nyaéta lonyod beungeutna/

/lamun henteu lonyod miring/ /sarta ringkus peupeuteuyan/ /tegesna nyingkeng saeutik//.

III/18/065 //Beuheungna bebeng kalangkung/

/tak-tak malang sarta ipis/ /rada cinetik bo[bo]kongan/ /dedeg gilig bebeng bitis/ /panangan semu hareuras/ /halis lempeng henteu ngelik//.

Adaptasi dalam penyalinan yang dilakukan di atas, menunjukkan bahwa tidak ada yang dilanggar dalam penggu- naan sistem konvensi. Selain itu, melalui deskriptif yang muncul, dapat memberikan gambaran secara jelas definisi istilah-istilah yang digunakan. Hal itu tidak bisa didapat- kan hanya mengandalkan penggunaan diksi saja, karena pemahaman tidak sepenuhnya merata. Melihat fenomena yang terjadi dalam teks AS, dapat menjadi pertimbangan atas temuan keterkaitan diksi Jawa dengan Sunda dalam naskah.

Harus diketahui bahwa tidak semua teks mengalami perubahan atau penyesuai- an terhadap bahasa sasaran. Salah satu temuan yang tidak mengalami perubahan, yaitu istilah adigang, adigung, dan adiguna.

Ketiga istilah memiliki definisi satu kesatuan, peribahasa yang berhubungan dengan perilaku manusia. Perilaku tidak baik tercermin dengan mengandalkan kekuatan, ketinggian derajat, dan kepandaiannya (Arifin et al, 2015: 90-91).

Ditemukan penggunaan istilah lain, /lunyu/, /lémér/, /ganjah/, /angrong sanak/, /sumur gumuling/, dan /ngabuntut arit/. Istilah-istilah tersebut muncul dengan kandungan makna yang berkaitan dengan watak manusia. Dapat dilihat dalam cuplikan teks berikut ini.

(12)

VII/21/207 //Aya satengah carita/ /babasaan watek genep perkawis/ /mimitina basa lunyu/

/lémér anu kaduwa/ /basa ganjah nyaéta anu katilu/ /kaopatna angrong sanak/ /kalima sumur gumuling/.

VII/22/208 //Ari basa kagenepna/ /aya éta basa ngabuntut arit/….

Istilah lunyu dikenal di Jawa berarti licin merujuk pada perilku tidak teguh pendirian atau tidak menentu, dan tidak memiliki prinsip. Lebih tepatnya tidak memiliki pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lémér memiliki arti mudah tergoda dengan segala keinginan, di Jawa sering dikaitkan dengan wanita yang mudah tergoda dan selingkuh. Kemudian istilah ganjah berarti serba ingin cepat dan tidak sabaran, lebih relevan disebut instan.

Padanan istilah ganjah di Sunda sering disebut istilah gurung gusuh dalam berpikir dan berperilaku, tetapi tidak dipilih sebagai upaya adaptasi dan terjemahan karena tidak sesuai dengan konteks yang ada di Sunda.

Istiah angrong sanak di Jawa disebut angrong pasanakan, yaitu perilaku yang suka mengamati istri saudara, atau tetangga, bahkan teman dekat. Perilaku ini meru- pakan sebuah perilaku yang akan menghancurkan hubungan dengan orang lain, serta hubungan dengan saudara.

Secara mudah dan kontekstual, angrong pasanakan adalah orang yang suka (memerhatikan) wanita, tidak peduli istri saudara. Terdapat di Sunda dikenal dengan istilah pajauh huma, berkaitan dengan hubungan buruk terhadap saudara dan hasil dari perilaku buruk, tidak merujuk pada proses. Akan tetapi, istilah ini tidak tepat jika disandingkan dengan angrong pasanakan, karena makna yang diterima akan berbeda antara kedua istilah tersebut.

Oleh karena itu, dalam upaya penerjemahan tetap mempertahankan diksi awal oleh penyalin dari teks sumber

daripada mencari diksi yang sepadan dalam teks sasaran.

Istilah sumur gumuling berarti melim- pahkan atau membicarakan semua hal di lingkungannya dan tidak ada rahasia, ter- masuk masalah pribadi. Secara makna, penyalin mungkin lebih memilih memper- tahankan istilah dibanding untuk mencari padanan istilah yang ada di Sunda.

Kemudian istilah ngabuntut arit atau mbuntut arit di Jawa diartikan sebagai orang yang sering “menikung” dengan perilaku tajam seperti mata arit. Orang yang memiliki watak ngabuntut arit di depan terlihat tumpul dan biasa saja, tetapi di belakang sangat tajam dan dapat menikam. Dijelaskan secara arti, ambuntut arit berarti segala sesuatu yang awalnya mudah, tetapi akhirnya menjadi susah dan banyak hambatan. Makna yang muncul dalam penggunaan istilah ini di dalam teks adalah bermuka dua, baik di depan dan saat di belakang berubah menjadi tidak baik. Dapat diartikan juga menjadi mengekor sabit, seperti ekor sabit (Arifin et al., 2015: 174).

VII/26/212 //Ari éta parcékana/ /watek jalma anu ngabuntut arit/ /upama nganjang ka batur/

/pahareup [pa]hareup sila/ /ngomong bener lemes lamis manis mulut/ /samangsa enggeus papisah/

/ngomongkeun ngupat ngejewis//.

Penggunaan keenam istilah untuk mengungkapkan watak manusia, menun- jukkan kekayaan istilah “lokal” yang terekam dalam teks AS. Upaya pener- jemahan dan “perubahan” bertujuan untuk memudahkan pemahaman di Sunda.

Melalui penggunaan diksi tersebut dapat ditelusuri budaya sumber sebagai identitas.

Kekhasan yang adadalamteks AS adalah penggunaan istilah sebagai bentuk adaptasi dalam upaya penerjemahan yang dilakukan dari teks sumber (Jawa) menuju

(13)

teks sasaran (Sunda). Keenam istilah dikelompokkan ke dalam diksi konotatif karena mengandung makna yang implisit, sebuah kiasan. Hal itu terjadi karena diksi dan istilah yang hidup dan digunakan di Jawa, secara arti dan makna tidak berubah, hanya dilakukan adaptasi sebagai upaya

penyundaan”.

Penyalinan dan upaya terjemahan yang dilakukan dengan tetap mempertahankan penggunaan diksi yang familiar di Jawa dalam teks AS, turut membawa pandangan lain dalam tradisi tulis dan penyalinan.

Corak budaya Jawa melalui penggunaan diksi dalam teks AS begitu kental, menunjukkan bahwa penyalin secara sadar atau tidak dalam melakukan penyalinan dan pemilihan diksi. Jika dengan sadar, indikasi ingin mempertahankan nilai-nilai kesakralan ajaran dalam teks yang disalin.

Jika tidak dengan sadar, penyalin lebih diindikasikan hanya merubah beberapa istilah saja dengan tujuan untuk memu- dahkan pemahaman oleh pembaca.

Muncunya istilah-istilah yang memiliki makna sifat dan watak dalam teks AS, dimaknai sebagai sebuah peringatan.

Secara bentuk, istilah tersebut termasuk ke dalam makna konotatif karena berdasar pada satu frasa, dan memiliki arti yang bercabang dan ambigu. Keambiguitasan tersebut akan “jelas” ketika pembaca dapat memahami gaya bahasa retorik dalam penjelasan, sebagai kekhasan puisi naratif.

Kemunculan gaya bahasa retorik yang dominan dapat dikatakan sebagai dampak dari pakem sistem konvensi dalam puisi lama. Dengan kata lain, untuk memenuhi metrum yang tersedia, kreativitas penyalin diuji, tetap berpijak pada nilai kandungan yang terbangun sejak awal. Jadi, seorang penyalin dibutuhkan daya kreativitas dan improvisasi yang tinggi, meskipun sudah tersedia teks sumber.

Penggunaan istiah sebagai diksi menjadi kekhasan dalam puisi lama,

bertujuan untuk memadatkan makna yang terkandung. Penggunaan istilah itu cukup kompleks, dengan gaya bahasa kiasan yang berulang dalam bentuk metafora, simile, personifikasi, sinekdote, dan metonomia.

Meskipun terdapat bentuk naratif dalam puisi lama, tetap memiliki estetika kiasan atau gaya bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa puisi memiliki nilai estetika, perbedaannya dengan puisi modern terletak pada penggunaan sistem konvensi yang sudah jarang (bahkan tidak?) digunakan. Secara struktur, ini yang dinamakan “kebosanan” atau “bertele-tele”

dari bentuk puisi lama, penjelasan mengenai istilah yang muncul secara deskriptif. Bagai dua sisi, pandangan terhadap penggunaan diksi yang padat dengan bentuk deskriptif dengan tujuan untuk menjelaskan setiap istilah yang muncul dalam teks AS. Hal tersebut menjadi kekhasan dari bentuk puisi lama dalam teks naskah AS.

Pemilihan diksi dan penggunaan istilah tidak merubah atau “meminggirkan” setiap nilai kadungan dalam teks. Keragaman gaya bahasa yang muncul dapat dipandang sebagai sebuah nilai estetika yang ada dan menjadi corak sebuah bentuk puisi. Tingkat pemahaman penyalin dalam upaya mengadaptasi dan memilah diksi, serta mencari kesepadanan diksi yang sesuai dengan konteks budaya di Sunda dalam teks AS, patut dipandang sebagai sebuah kreativitas. Melihat kuatnya nilai kandung- an, serta sering ditemukan sebuah deskripsi atas istilah yang digunakan, bertujuan untuk memenuhi konvensi metrum. Praktik penyalinan dan penyesuaian istilah tidak berpengaruh terhadap estetika yang ada dalam sebuah puisi, bahkan menjadi ciri khas puisi lama yang terikat dengan sistem konvensi, tetapi tidak mengesampingkan nilai estetika.

(14)

4. Simpulan

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan jawaban fokus permasalahan berikut ini. Pertama, sistem konvensi yang digunakan dalam pupuh pucung teks naskah AS erat kaitannya dengan sistem konvensi tembang macapat pocung. Hal tersebut ditenggarai sebagai sebuah transmisi struktur teks; (1) dilakukan secara konsisten dalam satu pupuh penuh; dan (2) sistem konvensi sama dengan pocung, tetapi dalam konvensi (pupuh) lain teks AS tidak ditemukan.

Kedua, praktik terjemahan muncul dalam teks naskah AS dengan membawa corak Jawa melalui diksi yang “tertinggal”.

Hal itu dilakukan karena sulitnya menemukan istilah “sepadan” dalam bahasa Sunda. Akan tetapi, hal itu dapat dipahami melalui deskripsi sebagai bentuk naratif. Pertimbangan tersebut tidak merubah dan mempengaruhi terhadap; (1) nilai estetika; (2) gaya bahasa yang kompleks; serta (3) sistem konvensi struktur.

Daftar Pustaka

Arifin, Syamsul; Triyono, Adi; Wedhawati;

Widati, Sri; Indriani, R. (2015).

Peribahasa dalam Bahasa Jawa.

Brata, R. S. (1952). Rusiah Tembang Sunda.

Balai Pustaka.

Dalminto, D. (2014). Strategi Sultan Agung dalam Ekspansi Serta Islamisasi pada Kerajaan Mataram Islam. UIN RADEN FATAH PALEMBANG.

Darsa, U. A. (2016). Kodikologi. Sumedang:

FIB Unpad.

Dewi, T. U. (2019). Naskah Mushaf Al-Qur′

An Surat Ali ‘Imran Berbahan Lontar Kajian Nilai dan Unsur Estetika.

Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 8(2), 163–181.

Hakim, T. (2020). Tafsir Jawa Qashidah Burdah Al-Bushiri: Ajaran Kiai Sholeh Darat Tentang Nilai dan Kesadaran Etis-Eskatologis. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 11(1), 61–78.

Hendrayana, D., Dienaputra, R., Muhtadin, T., & Nugrahanto, W. (2020). Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran. Panggung, 30(3), 411–424.

Hidayatullah, M. S. (2011). Bustān al- Kātibīn: Pengaruh Tata Bahasa Arab dalam Tata Bahasa Melayu.

Manuskripta, 2(1), 53–77.

Hoed, B. H. (2017). Penerjemah, Penerjemahan, Terjemahan, dan Dinamika Budaya: Menatap Peran Penerjemahan Pada Masa Lalu di Nusantara. Masyarakat Indonesia, 37(1), 57–80.

Kalsum, K. (2012). Simbol-simbol Ungkapan Pemikiran Dalam Naskah Tasawuf Awal Islamisasi. Jumantara:

Jurnal Manuskrip Nusantara, 3(2), 130–

153.

Keraf, G. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa Cetakan Keduapuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ma’mum, T. N. (2014). Pengaruh Syair Arab terhadap Pola Syi’iran di Jawa Barat. Panggung, 24(3).

Ma’mun, T. N. (2011). Pola Rima Syi’iran dalam Naskah di Tatar Sunda dan Hubungannya dengan Pola Rima Syair Arab. Manuskripta, 1(1), 147–159.

(15)

Maulana, M. M. (2020). Penafsiran Sufistik- Kejawen atas Surah Al-Fatihah: Studi Analisis atas Manuskrip Kiai Mustojo.

Manuskripta, 10(1), 147–167.

Mulyono, M., & Sahlan, A. (2012).

Pengaruh Islam Terhadap Perkembangan Budaya Jawa: Tembang Macapat. El-Harakah, 12(1), 101–114.

Nugrahaeni, I. (2019). Tradisi Logat Gantung Dalam Terjemahan Pada Naskah Safinatu ‘N-Naja. Jumantara:

Jurnal Manuskrip Nusantara, 7(1), 151–

166.

Nyoman, K. R. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Pradopo, R. D. (1995). Interpretasi Puisi.

Humaniora, I, 77–86.

Pradopo, R. D. (1999). Penelitian Stilistika Genetik: Kasus Gaya Bahasa W.S.

Rendra dalam Ballada Orang-Orang

Tercinta dan Blues Untuk Bonnie.

Humaniora, 12, 94–101.

Prasetyo, D. A. A. (2018). Dhikir Maulud Nabi Cara Jawi: Sebuah Genre Teks Prosa Gubahan dari Arab ke Jawa.

Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 9(1), 99–125.

Rochkyatmo, A. (2010). Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra lain Sejaman.

Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 1(1), 6–26.

Saputra, K. H. (2011). Sastra Lama Tulis sebagai Kelanjutan Tradisi Lisan dalam Ranah Sastra Jawa. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara, 2(1), 80–98.

Zamzami, R. (2018). Sejarah Agama Islam di Kerajaan Mataram pada Masa Penembahan Senapati (1584-1601).

JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 2(2), 153–165.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kaitan ini tingginya minat masyarakat disektor pariwisata dan pendidikan dikota Malang dan Bandung berdampak pada tingginya tinggkat mobilitas transportasi antar kedua

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi bagi pegawai khususnya di Daerah Kabupaten Deli serdang sebagai bahan masukan dalam memperbaiki dan meningkatkan kerjanya