TINJAUAN KRITIS KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK DENGAN AUTISTIC SPECTRUM DISORDERS
DARI SUDUT KONSEP PENDIDIKAN KRISTEN
SKRIPSI INI DISERAHKAN KEPADA DEWAN PENGAJAR SEMINARI ALKITAB ASIA TENGGARA UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN GELAR
MAGISTER DIVINITAS
OLEH
ESTHER STEPFANIE HERMAWAN
MALANG, JAWA TIMUR MARET 2014
iii ABSTRAK
Hermawan, Esther Stepfanie 2014. Tinjauan Kritis Konsep Pendidikan Inklusif bagi Anak dengan Autistic Spectrum Disorders dari Sudut Konsep Pendidikan Kristen.
Skripsi, Jurusan: Teologi. Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Pembimbing:
Heman Elia, M.Psi. dan Winny Soenaryo, M.A. OTR/L.
Kata kunci: Autistic Spectrum Disorders, konsep pendidikan, inklusif, Kristen, Alkitab, manusia, sekolah minggu.
Konsep pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep yang lahir dari ketidakpuasan orang tua dan tenaga pendidik terhadap konsep-konsep pendidikan anak berkebutuhan khusus yang pernah diterapkan. Konsep pendidikan inklusif dibangun untuk merangkul anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat belajar bersama dengan teman-teman sebaya mereka di kelas reguler. Pendidikan inklusif memiliki keunggulan dari sisi materi dan metode pengajaran yang dirancang hati-hati untuk memenuhi kebutuhan setiap peserta didik. Penerapan pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan Autistic Spectrum Disorders (ASD).
Pendidikan inklusif memfokuskan konsepnya pada manusia (human-centered), karena konsep ini sangat menjunjung tinggi hak anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengenyam pendidikan dan tidak didiskriminatif. Tujuan akhir dari pendidikan inklusif ini adalah semua pihak diuntungkan, terutama anak-anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut berbeda dengan konsep Alkitab yang mengatakan bahwa pendidikan haruslah berpusat pada Allah, agar setiap peserta didik memiliki pengenalan yang benar tentang Allah, sehingga mereka dapat membawa perubahan bagi dunia.
Dengan demikian, konsep pendidikan inklusif bagi anak dengan ASD tidak dapat digunakan begitu saja dalam pendidikan Kristen dan sekolah minggu. Konsep pendidikan inklusif baru dapat diterapkan apabila konsep tersebut telah diolah kembali dan tunduk kepada otoritas Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran yang absolut.
Pendidikan inklusif yang sudah tunduk di bawah otoritas firman Tuhan akan membawa peserta didik untuk mengenal Allah dan memuliakan-Nya.
vi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBARAN SERTIFIKASI ... ii
ABSTRAK ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
RUMUSAN MASALAH ... 10
BATASAN MASALAH ... 11
TUJUAN PENELITIAN ... 11
METODOLOGI PENULISAN ... 12
SISTEMATIKA PENULISAN ... 12
BAB II AUTISTIC SPECTRUM DISORDERS DAN KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF ... 14
AUTISTIC SPECTRUM DISORDERS (ASD) ... 14
Sejarah ... 15
vii
Pengertian Autistic Spectrum Disorders (ASD) ... 16
Ciri Khas Memersepsikan Dunia ... 20
Identifikasi Gangguan ASD ... 21
Kesimpulan ... 23
KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF ... 23
Pengertian Pendidikan Inklusif ... 24
Karakteristik Pendidikan Inklusif ... 25
Sejarah Pendidikan Inklusif ... 27
Pendidikan Inklusif bagi Anak dengan ASD ... 33
Tujuan Pendidikan Inklusif ... 34
Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif ... 35
Pandangan Humanisme dalam Dunia Pendidikan ... 36
Implementasi Pendidikan Inklusif ... 40
Tantangan Pendidikan Inklusif ... 43
Kesimpulan ... 45
KESIMPULAN ... 46
BAB III KONSEP PENDIDIKAN KRISTEN ... 48
ALKITAB SEBAGAI LANDASAN KEBENARAN ABSOLUT UNTUK MEMBANGUN KONSEP PENDIDIKAN ... 48
Perjanjian Lama ... 51
Perjanjian Baru ... 53
PRINSIP “GOD-CENTERED” DALAM PENDIDIKAN KRISTEN ... 54
KONSEP MANUSIA MENURUT ALKITAB ... 58
viii
Keberadaan Manusia ... 58
Kejatuhan Manusia dalam Dosa ... 61
TUJUAN PENDIDIKAN KRISTEN ... 64
METODE PENDIDIKAN KRISTEN ... 66
PENDIDIKAN KRISTEN DALAM PELAYANAN SEKOLAH MINGGU ... 71
Pelayanan Sekolah Minggu bagi Anak dengan ASD ... 76
KESIMPULAN ... 78
BAB IV PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK DENGAN ASD DENGAN PENDIDIKAN KRISTEN . 81 PERSAMAAN KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN PENDIDIKAN KRISTEN ... 81
PERBEDAAN KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN PENDIDIKAN KRISTEN ... 86
Perbedaan Tujuan Pendidikan ... 87
Perbedaan Cara Pandang terhadap Anak dengan ASD ... 91
KESIMPULAN ... 93
BAB V PENUTUP ... 95
KESIMPULAN ... 95
IMPLIKASI BAGI PELAYANAN SEKOLAH MINGGU ... 98
SARAN ... 100
ix
DAFTAR PUSTAKA ... 101 Apendiks 1 ... 106 Apendiks 2 ... 109
x
DAFTAR SINGKATAN
ed. (editor) : penyunting
ay. : ayat
bdk. : bandingkan
ibid. (ibidem) : di tempat yang sama
lih. : lihat
vol. : volume (jilid)
et al. (et alii) : dengan orang lain tr./terj. : terjemahan
t.n. : tanpa nama
Kej. : Kejadian
Mzm. : Mazmur
Yes. : Yesaya
Mat. : Matius
Mrk. : Markus
Luk. : Lukas
Yoh. : Yohanes
Kis. : Kisah Para Rasul
Rm. : Roma
1Kor. : 1 Korintus
Gal. : Galatia
Ef. : Efesus
Kol. : Kolose
1Tim. : 1 Timotius
2Tim. : 2 Timotius
Tit. : Titus
2Ptr. : 2 Petrus
1 BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Dari waktu ke waktu, gereja di segala abad dan tempat terus menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan jemaat. Salah satunya adalah memenuhi kebutuhan firman bagi anak-anak dengan Autistic Spectrum Disorders (ASD), yang lebih dikenal dengan sebutan autisme. ASD adalah sebuah kebutuhan khusus seseorang yang mengakibatkan hambatan komunikasi verbal dan nonverbal, serta hambatan dalam interaksi sosial. Biasanya gejala ini terjadi pada anak-anak sebelum usia tiga tahun.
Karakteristik yang ditampilkan adalah perilaku repetitif, kaku terhadap rutinitas, dan respons pancaindra yang tidak sewajarnya.1 Itu berarti bahwa anak-anak dengan ASD berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Data terakhir yang diambil oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2008 menunjukkan bahwa satu dari 88 bayi yang dilahirkan di Amerika Serikat mengidap ASD.2 ASD diidentifikasi lebih sering dialami oleh anak
1Dan P. Hallahan, James M. Kauffman, Exceptional Learners: Introduction to Special Education (10th ed.; USA: Allyn & Bacon, 2005) 399.
2Data terbaru ini diperoleh dari jaringan Autism and Developmental Disabilities Monitoring (ADDM) yang diperoleh dari empat belas daerah bagian Amerika Serikat pada tahun 2008. Empat belas daerah ini terdiri dari lebih dari 8% populasi Amerika Serikat yang berumur delapan tahun pada tahun 2008 (“New Data on Autism Spectrum Disorders,” http://www.cdc.gov/Features/ CountingAutism/;
[diakses pada tanggal 19 September 2013]).
2
laki-laki, yaitu 1:54 anak laki-laki, dibanding anak perempuan, yaitu 1:252 anak perempuan.3
Mengacu kepada catatan CDC pada tahun 2008 yang telah tercantum di atas, jumlah anak-anak dengan ASD pada dasarnya mengalami kenaikan sebesar 78%
dibandingkan dengan data pada tahun 2007.4 Sedangkan di Indonesia, dari data yang ada di Poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja RSCM pada tahun 1989 hanya ditemukan dua pasien yang mengidap ASD, dan pada tahun 2000, tercatat 103 pasien baru.
Dengan demikian terjadi peningkatan sekitar 50 kali.5 Kenaikan yang sangat besar menandakan jumlah anak dengan ASD terus mengalami peningkatan. Maka dari itu, penulis memperhitungkan bahwa pada satu dekade ke depan akan ada semakin banyak anak dengan ASD di seluruh dunia.
Dengan banyaknya anak dengan ASD, maka tentulah pelayanan firman kepada mereka sama sekali tidak boleh diabaikan. Firman Tuhan dalam Markus 16:15 mengenai Amanat Agung yang diberikan Yesus kepada murid-murid-Nya mengatakan,
“Lalu Ia berkata kepada mereka, ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’” Kata “segala makhluk” (pasei tei ktisei) berarti setiap manusia ciptaan Tuhan6 tanpa peduli bagaimanapun kondisi manusia itu.7 Jelaslah termaktub dalam ayat tersebut bahwa firman Tuhan harus diberitakan kepada semua orang, terlepas
3Jumlah anak-anak yang diidentifikasi ASD dengan variasi yang berbeda dalam empat belas jaringan ADDM ini adalah: 1:47 anak (21,2 per 1000 anak) sampai 1:210 anak (4,8 per 1000 anak).
Keterangan lebih lanjut lih. ibid.
4Ibid.
5Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (2 vols.; Depok:
LPSP3 UI, 2009) 1:167.
6Kata “ktisei” (makhluk) pengertiannya terbatas pada manusia (human kind). Penjelasan lebih lanjut lih. (Frederick W. Danker, et al., A Greek-Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature [Chicago: The University of Chicago, 2000] 573).
7Kata “pasei” (semua) berarti semua dalam pengertian benar-benar semua; tanpa terkecuali (ibid.
787).
3
dari sempurna atau tidaknya fisik orang tersebut. Demikian pula, hal ini juga berarti bahwa orang tersebut mungkin berada di usia anak-anak, dapat pula di usia dewasa.
Dengan demikian, anak-anak dengan ASD adalah termasuk di dalam payung penerima berita Injil.
South Carolina Autism Society pada tahun 2012 melakukan survei mengenai pelayanan anak dengan ASD di komunitas iman, dan 80% respondennya menganut agama Kristen. Beberapa pertanyaan yang diajukan dan respons yang didapat dari survei tersebut antara lain: pertama, apa penghalang terbesar yang Anda pikirkan bagi inklusif anak-anak berkebutuhan khusus dalam komunitas? Hasil survei menyatakan bahwa jemaat hanya menyapa, namun tidak menginvestasikan waktu untuk berinteraksi lebih jauh. Mereka juga mengabaikan anak-anak dengan ASD. Demikian pula guru- guru tidak mengerti cara berinteraksi dengan anak dengan ASD. Hal lain adalah perilaku anak dengan ASD mengganggu suasana ibadah dan orang tua anak dengan ASD ingin meninggalkan komunitas karena anak-anak mereka yang memiliki ASD tidak dilayani dengan baik.8
Kedua, jika Anda tidak berpartisipasi dalam komunitas orang percaya, apa penyebabnya? Hasil survei menyatakan bahwa komunitas orang percaya tidak memiliki pelayanan anak yang mengakomodasi dan tidak memiliki sarana pelayanan bagi anak mereka yang memiliki ASD. Kemudian, orang tua juga tidak nyaman meninggalkan
8Sebagian lagi menjawab bahwa anak dengan ASD cukup diterima dan dimengerti dalam komunitas gereja, bahkan gereja menggalang dana untuk menolong mereka (“2012 All are Welcome Survey Response,” http://www.scautism.org/AllAreWelcome/ 2012%20All%20Are%20Welcome%20Survey
%20 Responses.pdf. [Diakses pada 15 Januari 2014] 14).
4
anak mereka dijaga oleh guru yang tidak memiliki kemampuan khusus menangani anak dengan ASD. Lalu, anak dengan ASD tidak mau beribadah karena merasa bosan.9
Dalam bukunya, Joni Eareckson Tada menulis sebuah kebingungan mengenai pelayanan anak dengan ASD ketika pendeta-pendeta gereja yang ia temui berkata, “Para orang tua membawa anak-anak dengan autisme [ASD] ke gereja kami, dan kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka!” Sedangkan orangtua yang memiliki anak ASD pun mengeluh, “Dalam masyarakat, kami menghadapi ketakutan dan keterasingan karena anak-anak kami menderita autisme [ASD]. Tetapi ketika kami pergi ke gereja dan merasa ditolak, itu lebih menyakitkan lagi.”10
Melihat fenomena tersebut, maka penulis terdorong mengumpulkan data mengenai pelayanan anak dengan ASD di sekolah minggu (SM) di Indonesia.11 Sampel data diambil dari sepuluh gereja injili yang terdapat di Malang dan Surabaya dengan mewawancarai sepuluh pembina SM gereja-gereja tersebut. Setelah dikelompokkan, maka ada beberapa data yang penting dan berharga untuk penulis kaji lebih jauh.
Pertama, sembilan dari sepuluh pembimbing SM yang disurvei berkata bahwa gereja yang mereka layani memiliki 1-3 anak dengan ASD di dalam pelayanan sekolah minggunya. Anak-anak tersebut diberi label “anak dengan ASD” sebagian besar karena orang tua mereka sendiri yang mengatakannya kepada guru-guru SM dan sebagian lagi melalui pengamatan perilaku ketika mereka menghadiri ibadah Minggu. Kedua, anak- anak tersebut berada secara inklusif dalam kelas-kelas SM. Para pembina SM yang disurvei mengakui bahwa mereka memberikan satu guru pendamping bagi setiap anak dengan ASD agar tidak mengganggu kelas dan teman-temannya, serta menenangkan
9Ibid. 3.
10Hidup yang Terancam (Surabaya: Momentum, 2010) 45.
11Sampel data selengkapnya dapat dilihat dalam Apendiks 1.
5
anak tersebut karena seringnya anak dengan ASD membuat kekacauan di kelas. Ketiga, semua pembina yang disurvei menyatakan bahwa komisi SM yang mereka layani belum terpikir dan belum memiliki pelayanan khusus bagi anak-anak dengan ASD di gereja mereka. Kendala yang dihadapi sehubungan dengan belum dimulainya pelayanan ini karena beberapa hal, yaitu: (1) persentase anak dengan ASD dalam gereja mereka masih sedikit; (2) tidak pernah terpikir dan bingung bagaimana cara memulainya; dan (3) kurangnya jumlah guru-guru SM untuk membuka pelayanan ini. Keempat, sembilan dari sepuluh pembina SM mengatakan bahwa gereja yang mereka layani sama sekali belum pernah mengadakan seminar mengenai ASD.
Dari latar belakang di atas, maka penulis membangun beberapa kesimpulan.
Pertama, hampir setiap gereja memiliki anak-anak dengan ASD di dalam lingkungan SM. Kedua, sebagian besar orang tua sudah mulai terbuka kepada gereja mengenai ASD yang dialami oleh anak-anak mereka. Ketiga, gereja belum terlalu memikirkan pelayanan ini kemungkinan akibat beberapa kendala, yaitu: (1) kurangnya pengetahuan, (2) pelayanan ini tidak mendesak karena melihat jumlah anak-anak dengan ASD dinilai masih sedikit, (3) gereja mengalami kebingungan bagaimana memulai pelayanan ini, dan (4) keterbatasan jumlah guru karena setiap anak harus memperoleh pendampingan guru, apalagi jika harus dibuka kelas khusus untuk anak dengan ASD.
Dengan realita tersebut, maka penulis menemukan bahwa pintu untuk melayani anak dengan ASD sebenarnya semakin terbuka, terlihat dengan semakin terbukanya orang tua perihal kondisi anak-anak mereka. Demikian pula, sebenarnya gereja-gereja tidak menutup diri untuk melayani anak dengan ASD, namun gereja-gereja menghadapi beberapa kendala yang menghalangi mereka untuk memulai pelayanan tersebut. Maka
6
dari itu, melalui tulisan ilmiah ini, penulis akan menelaah secara kritis metode pendidikan bagi anak dengan ASD yang dipakai dalam dunia pendidikan. Dengan meninjau secara kritis metode tersebut, maka diharapkan penulis akan menemukan sesuatu yang baru sehubungan dengan metode pendidikan bagi anak dengan ASD, sehingga dapat diterapkan dalam pelayanan SM.
Strategi pengajaran yang efektif bagi anak-anak berkebutuhan khusus menjadi perdebatan. Pada tahun 1975, sebuah mandat diberikan dari pemerintah pusat Amerika Serikat untuk membentuk kelas khusus atau segregasi bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk bagi anak dengan ASD. Meskipun demikian, setelah lima belas tahun pengadaan kelas segregasi tidak lagi berjalan mulus.12 Pengadaan kelas segregasi mengalami kritikan dari banyak pihak karena anak-anak tersebut menjadi tersisihkan, mendapat stigma dan mereka sulit memperoleh pendidikan dan kesempatan hidup yang setara dengan teman-teman sebaya mereka. Setelah itu, mulailah kelas-kelas home schooling dibuka, namun strategi home schooling juga tidak berjalan mulus apalagi jika orang tua tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup untuk mendidik anak-anak mereka.13
Ketidakmampuan home schooling dan kelas segregasi untuk menjawab kebutuhan pendidikan pada akhirnya membawa pemerintah kepada pendidikan mainstreaming. Mainstreaming adalah pendidikan yang memiliki metode menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sebuah kelas reguler bersama-sama dengan
12Laura Schreibman, The Science and Fiction of Autism (Cambridge: Harvard University, 2005) 254-256.
13Alan Dyson dan Alan Millward, Schools and Special Needs: Issues of Innovation and Inclusion (London: Paul Chapman, 2000) 6.
7
teman-teman sebayanya yang tidak berkebutuhan khusus.14 Tanggung jawab untuk mengedukasi semua peserta didik—baik itu anak berkebutuhan khusus atau tidak—
dilimpahkan kepada sekolah-sekolah reguler, dengan kelas yang reguler, dan guru-guru biasa.15
Mainstreaming menekankan tiga unsur pendidikan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) sebuah rangkaian jenis-jenis layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, (2) pengurangan jumlah peserta didik yang “ditarik keluar” dari kelas-kelas reguler, dan (3) penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan dalam kelas reguler daripada di luar kelas tersebut. Meskipun demikian, pengadaan kelas mainstreaming menuai protes dari orang tua karena anak-anak mereka hanya ditempatkan di kelas reguler, padahal anak-anak ini tidak diberi perhatian khusus.
Mereka dianggap sama seperti peserta didik pada umumnya. Maka dari itu, pendidikan mainstreaming dimodifikasi dan diberi nama pendidikan inklusif. Filosofi mengajar yang dianut oleh pendidikan inklusif adalah jika anak-anak dengan ASD tidak dapat belajar apa yang pada umumnya tenaga pendidik ajarkan kepada peserta didik, maka tenaga pendidik harus mengajar anak dengan ASD sebagaimana mereka belajar.”16
Seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 1994 UNESCO mensahkan ideologi untuk metode pendidikan inklusif dalam Konferensi Dunia di Salamanca, Spanyol. Berikut adalah isi deklarasi Salamanca: “Inclusive education seeks to address the learning needs of all children, youth and adults with a specific focus on those who
14Schreibman, The Science and Fiction of Autism 254-256.
15Dyson dan Millward, Schools and Special Needs 6.
16Paula Kluth, You’re Going to Love This Kid!: Teaching Students with Autism in the Inclusive Classroom (Baltimore: Paul H. Brookes, 2010) 247.
8
are vulnerable to marginalization and exclusion.”17 Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak sepatutnya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada di antara mereka.18
Beranjak ke dalam sistem pendidikan di Indonesia, pendidikan inklusif didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.19 Dalam pelaksanaannya di Indonesia pendidikan inklusif sudah mulai dilakukan di beberapa tempat di Indonesia dan terus disosialisasikan.20 Misalnya, Sekolah Victory Plus Bekasi mengadakan seminar memperingati Hari Autis se-Dunia dengan tema “Anak Autistik Indonesia Menuju Sekolah Reguler.”
Menyekolahkan anak autis di tempat umum, menurut Rhenald, bisa memacu perkembangannya. “Jangan jadikan anak autis itu seperti anak tanpa daya, tapi biarkan mereka tumbuh seperti anak normal. Jika diperlakukan seperti anak tidak normal, seumur hidup dia akan tumbuh seperti itu dan menjadi ketergantungan, kasihan,” pungkasnya.21
17Pernyataan Salamanca menjadi tonggak dimulainya proses perubahan paradigma pendidikan yang merangkul semua perbedaan agama, ras, budaya, ekonomi, minoritas etnis, bahasa, gender, dan kecacatan. Semuanya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dalam tempat yang sama (inklusif). (“Education for All,” http://www.unesco.org/education/efa/know _sharing/flagship_initiatives/disability_last_version.shtml [diakses pada 23 September 2013]).
18Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2013) 43.
19 Ibid. 26, 38.
20Pada tanggal 20 Januari 2003, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan surat keputusan agar setiap sekolah menentukan, memfasilitasi, dan membina sekolah bagi perintisan pendidikan inklusif di setiap wilayah, baik kota/kabupaten, sekurang- kurangnya empat sekolah, yang terdiri dari: SD, SLTP, SMU, SMK. Hasilnya, pada akhir tahun 2005, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melaporkan Daftar Sekolah Uji Coba Implementasi Pendidikan Inklusif, dengan keterangan terdapat 122 SD dan 15 SMA telah mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah di Jawa Barat (J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah Untuk Semua [ed.
Mohammad Sugiarmin; Bandung: Nuansa, 2009] 447-455).
21Wahyu, “Sekolah Inklusi dan Masa Depan Anak Autis,” http://mjeducation.co/sekolah-inklusi- dan-masa-depan-anak-autis/ (diakses pada 29 September 2013).
9
Melihat perkembangan di beberapa sekolah di Indonesia sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sekolah-sekolah di Indonesia sudah mulai terbuka terhadap metode pendidikan inklusif.
Begitu pula dalam pelayanan di gereja-gereja, beberapa gereja telah menerapkan pendidikan inklusif bagi pelayanan SM mereka.22 Survei yang dilakukan oleh South Carolina Autism Society pada tahun 2012 menyatakan bahwa 33 dari 86 responden menyatakan bahwa mereka menginginkan kelas inklusif dan program inklusif yang paling diminati adalah di dalam kelas SM.23
Meskipun pendidikan inklusif disambut dengan baik, tetapi tidak semua kalangan menyetujui metode pendidikan inklusif. Beberapa ketidaksetujuan mengenai pendidikan inklusif adalah sebagai berikut: pertama, tidak setiap kebutuhan pendidikan anak dengan ASD dapat terpenuhi kecuali bila diselenggarakan pendidikan dengan sistem pendidikan khusus. Argumentasinya adalah bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan terbaik bagi kebutuhan khususnya.24
Kedua, ketidaksetujuan beberapa kalangan mengenai metode pendidikan inklusif adalah dalam hal interaksi sosial, karena anak-anak dengan ASD hanya belajar sedikit dengan meniru lingkungan sekitar mereka karena mereka tidak termotivasi untuk
22Beberapa gereja yang sudah mulai bergerak misalnya: Lakewood Church di Florida Selatan, St.
Andrew Cathedral di Singapura dan Christian Reformed Church di San Diego. (Data diambil dari: Ken Chitwood, “Lakewood Church Expands Minisrty for Childdren Living with Autism,”
http://blog.chron.com/sacredduty/2013/04/lakewood-church-expands-ministry-for-children-living-with- autism/; Hambali Leonardi, “Shalom Kids,” http://www.livingstreams.org.sg /sac/info/shalomkids.html;
“Autism Children Ministry,” http://network.crcna.org/webinar/autism-and-childrens-ministry [diakses pada 26 September 2013]).
23“2012 All Are Welcome Survey” 12,16.
24Schreibman, The Science and Fiction of Autism 259.
10
melakukan apa yang orang lain lakukan. Jika meniru merupakan gaya belajar yang penting dan selalu terjadi di kelas, maka anak dengan ASD tidaklah diuntungkan.25
Sebuah metode pendidikan hampir selalu menimbulkan perdebatan, namun pendidikan inklusif tetap layak untuk diteliti lebih jauh sebagai sarana bagi anak dengan ASD untuk dapat belajar firman Tuhan. Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas, maka penelitian ini secara khusus akan meninjau metode pendidikan inklusif.
Mengingat metode ini lahir dari pendidikan sekuler, maka jika metode ini hendak diterapkan di gereja, metode ini tidak dapat diadopsi begitu saja, melainkan harus disesuaikan kembali dengan meninjau secara kritis metode tesebut melalui konsep pendidikan Kristen yang berdasarkan atas firman Tuhan. Melalui penelitian ini, penulis berharap menemukan sesuatu yang baru dari cara memberikan pendidikan di sekolah minggu untuk anak-anak dengan ASD.
RUMUSAN MASALAH
Metode pendidikan inklusif yang sedang diterapkan di dalam dunia pendidikan telah diterima secara positif oleh sekolah-sekolah baik di Indonesia maupun di luar negeri. Sebuah hal yang baik jika metode tersebut diadopsi oleh gereja guna membuka pelayanan SM. Meskipun demikian, jika metode ini diimplementasikan ke dalam pelayanan SM, maka beberapa pertanyaan pun muncul. Pertama, apa latar belakang dan definisi pendidikan inklusif dan bagaimana penerapannya dalam dunia pendidikan?
Kedua, apakah pendidikan inklusif juga sesuai dengan firman Tuhan ketika diterapkan di dalam dunia pendidikan Kristen, khususnya pelayanan SM? Ketiga, sampai sejauh
25Ibid. 261.
11
mana implementasi pendidikan inklusif dapat diterapkan kepada anak dengan ASD dalam kelas SM reguler?
BATASAN MASALAH
Berdasarkan penguraian rumusan masalah di atas, maka pembahasan masalah akan berfokus pada beberapa bagian penting sehubungan dengan tema yang diambil.
Pertama, pengertian ASD dan pengertian metode pendidikan inklusif bagi anak-anak dengan ASD. Kedua, konsep pendidikan Kristen. Ketiga, tinjauan teologis metode pendidikan inklusif bagi anak dengan ASD dan implementasinya dalam pendidikan Kristen, khususnya dalam pelayanan SM di gereja.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditulis dengan beberapa tujuan, yaitu: pertama, memberikan pemahaman yang tepat dan menyeluruh mengenai ASD dan metode pendidikan inklusif bagi anak-anak dengan ASD. Kedua, meninjau pendidikan inklusif yang akan diterapkan dalam pelayanan SM sesuai dengan landasan pendidikan Kristen, yaitu kebenaran firman Tuhan. Ketiga, menawarkan pendidikan inklusif yang alkitabiah untuk mempersiapkan gereja-gereja dalam melayani anak-anak dengan ASD.
METODOLOGI PENULISAN
Di dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan beberapa metode untuk menghasilkan sebuah hasil yang komprehensif. Pertama, penulis akan menggunakan metode analisis untuk membedah konsep pendidikan inklusif bagi anak
12
dengan ASD. Kedua, penulis memakai metode deskriptif untuk menjelaskan setiap bagian dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu meneliti dengan menggunakan literatur-literatur yang tersedia. Ketiga, penulis mempergunakan metode sintesis, yaitu menghubungkan konsep-konsep yang telah digali sehingga dapat menyuguhkan implementasi teoretis dan praktis sebagai hasil akhirnya.
SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun pembagian bab yang diajukan adalah sebagai berikut: bab I akan membahas latar belakang masalah penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metodologi dan sistematika penulisan yang digunakan. Bab ini yang menjadi alasan mula-mula mengapa penulis mengambil tema ini untuk dibahas.
Bab II memaparkan mengenai definisi ASD dan karakteristiknya sehingga dapat membantu penulis dan pembaca untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai ASD. Kemudian, penulis akan memaparkan metode pendidikan inklusif yang selama ini digunakan di dunia pendidikan sehingga penulis dan pembaca mendapat pemahaman yang menyeluruh dan komprehensif.
Dalam bab III penulis akan menjabarkan mengenai garis besar konsep pendidikan Kristen, dan menyempitkan pembahasan pada pendidikan SM di gereja.
Kemudian, bab IV penulis akan meninjau secara teologis metode pendidikan inklusif bagi anak dengan ASD melalui sudut pandang pendidikan Kristen.
Bab V akan menjadi bagian penutup. Pada bagian ini akan diberikan pembahasan kesimpulan, implikasi, dan saran dari seluruh penelitian yang telah dilakukan dari bab pertama sampai keempat. Setidaknya, hipotesis awal yang diberikan
13
penulis dalam penelitian ini adalah pendidikan inklusif merupakan metode yang dapat menjawab kebutuhan gereja dan anak dengan ASD dalam memenuhi Amanat Agung Tuhan Yesus, walaupun metode ini harus didasarkan pada kebenaran firman Tuhan.
Sebagai penutup, penulis juga akan memberikan saran teoretis sebagai pengembangan teori dan saran praktis mengenai hal-hal yang dapat dilakukan sehubungan dengan temuan penelitian.
101
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Allman, Toney. Diseases and Disorders: Autism. Farming Hills: Lucent, 2010.
Beates, Michael. Disability and the Gospel. Wheaton: Crossway, 2012.
Benson, Warren S. “Philosophical Foundations of Christian Education.” Dalam Introducing Christian Education: Foundations for the Twenty-first Century. Ed.
Michael J. Anthony. Grand Rapids: Baker, 2001.
Berkhof, Louis. Introduction to Systematic Theology. Grand Rapids: Baker, 1979.
Breeding, MaLesa, et al. Let All the Children Come to Me. Colorado Springs: Cook, 2006.
Brummelen, Harro Van. Batu Loncatan Kurikulum: Berdasarkan Alkitab. Jakarta:
Universitas Pelita Harapan, 2008.
Byrne, Herbert W. Challenging Concepts for Contemporary Christian Education.
North America: Xulon, 2003.
Calvin, Johanes. Institutio: Pengajaran Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, 1980.
Choun, Robert J. “Teaching and Learning Strategies.” Dalam Christian Education.
Eds. Robert E. Clark et al. Chicago: Moody, 1991.
Danker, Frederick W. et al. A Greek-Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. Chicago: The University of Chicago, 2000.
Dyson, Alan dan Alan Millward. Schools and Special Needs: Issues of Innovation and Inclusion. London: Paul Chapman, 2000.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology: Vol. I. Terj. Rahmiati Tanudjaja.
Malang: Literatur SAAT, 2010.
Estep, James R. et al. A Theology for Christian Education. Nashville: B&H, 2008.
102
France, R. T. Matthew. Tyndale New Testament Commentary. Ed. Leon Morris.
Leicester: Inter-Varsity, 1985.
Grudem, Wayne. Systematic Theology. Leicester: Inter-Varsity, 1994.
Hallahan, Dan P. dan James M. Kauffman, Exceptional Learners: Introduction to Special Education. 10th ed. USA: Allyn & Bacon, 2005.
Hanks, Richard. Common SENse for the Iclusive Classroom. London: Jessica Kingsley, 2011.
Hayes, Edward L. “Establishing Biblical Foundation.” Dalam Christian Education:
Foundations for the Future. Eds. Robert E. Clark, et al. Chicago: Moody, 1991.
Hoekema, Anthony. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Terj. Irwan Tjulianto.
Surabaya: Momentum, 2003.
Ilahi, Mohammad Takdir. Pendidikan Inklusif. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2013.
Issler, Klaus. “Theological Foundations of Christian Theology.” Dalam Introducing Christian Theology. Ed. Michael J. Anthony. Grand Rapids: Baker, 2001.
Keeley, Robert J. Helping Our Children Grow in Faith. Grand Rapids: Baker, 2008.
Kluth, Paula. You’re Going to Love This Kid!: Teaching Students with Autism in the Inclusive Classroom. Baltimore: Paul H. Brookes, 2010.
Kristianto, Paulus Lilik. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Yogyakarta:
Andi, 2008.
LeBar, Lois E. Education that is Christian. USA: Victor, 1989.
Lewis, Kathryn. “The State of the Art in Evangelical Curriculum Publishing.” Dalam The Best in Theology: Vol. III. Ed. J. I. Packer. Carol Stream: Christianity Today, 1989.
Lynch, Sharon A. “Understanding Recommendations for Identification and Programming.” Dalam Teaching Children with Autism in General Classroom.
Eds. Vicky G. Spencer dan Cynthia G. Simpson. Waco: Prufrock, 2009.
Mangunsong, Frieda. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Vol. 1.
Depok: LPSP3 UI, 2009.
Miller-Kuhaneck, Heather. Autism: A Comprehensive Occupational Therapy Approach.
Bethesda: AOTA, 2004.
103
Newman, Barbara J. Autism and Your Church. Grand Rapids: Friendship, 2011.
Palko, Sue dan Chris Frawley. “Setting Up the Classroom.” Dalam Teaching Children with Autism in General Classroom. Eds. Vicky G. Spencer dan Cynthia G.
Simpson. Waco: Prufock, 2009.
Parrett, Gary A. dan S. Steve Kang. Teaching the Faithful, Forming the Faithful: A Biblical Vision for Education in the Church. Downers Grove: InterVasity, 2009.
Pazmino, Robert W. Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker, 1988.
________. Principles and Practices of Christian Education: An Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker, 1992.
________. God Our Teacher. Grand Rapids: Baker, 2001.
________. Fondasi Pendidikan Kristen. Terj. Denny Pranolo dan Yanti. Jakarta:
Gunung Mulia, 2012.
Pratt, Richard L. Dirancang bagi Kemuliaan. Terj. Yvonne Potalangi. Surabaya:
Momentum, 2002.
Richards, Lawrence O. dan Gary J. Bredfeldt. Creative Bible Teaching. Chicago:
Moody, 1998.
Sayes, J. Ottis. “The Biblical Basic for Christian Education.” Dalam Exploring Christian Education. Eds. Elwood Sanner dan A. F. Harper. Kansas: Beacon Hill, 1978.
Schreibman, Laura. The Science and Fiction of Autism. Cambridge: Harvard University, 2005.
Sproul, R. C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Terj. Rahmiati Tanjudjaja.
Malang: Literatur SAAT, 2008.
T. n. “Teaching Students with Autism.” Victoria: British Columbia, 2000.
Tada, Joni Eareckson. Hidup yang Terancam. Surabaya: Momentum, 2010.
Towns, Elmer. “Sunday School-Definition.” Dalam Town’s Sunday School Encyclopedia. Wheaton: Tyndale, 1993.
104
Van Til, Cornelius. “Antitesis dalam Pendidikan.” Dalam Foundation of Christian Education. Ed. Dennis E. Johnson. Terj. Tim penerjemah. Surabaya:
Momentum, 2004.
JURNAL
Anthony, Michael J. “Humanism in American Christian Education.” Christian Education Journal XII/1 (1991) 79-87.
Barber, Christopher. “On Connectedness: Spirituality on the Autistic Spectrum.”
Practical Theology 4/2 (Agustus 2011). 201-211.
Breeding, MaLesa dan Dana Hood. “Voice Unheard: Exploring the Spiritual Needs of Families of Children with Disabilities.” Christian Education Journal 4/2 (2007) 279-292.
Chae Eun-Ha. “Biblical Understanding of People with Disabilities.” Christian Conference of Asia 21/2 (2005) 52-59.
Gangel, Kenneth O. “John Dewey: An Evangelical Evaluation (Part Two).” Bibliotheca Sacra 124 (1967). 22-29.
Helseth, Paul Kjoss. “Christ-centered, Bible-based, and Second-rate? ‘Right Reason’ as the Aesthetic Foundation of Christian Education.” Westminster Theological Journal 69/2 (Fall 2007). 383-401.
Mulyatno. C. B. “Demokrasi Sebagai Pola Hidup Menurut John Dewey.” Diskursus 10/1 (2011). 1-28.
Peter Winmill. “Should People with Learning Disabilities Be Integrated in Our Churches, and if so, How?” Partnership Perspectives (January 2007) 22-24.
Saragi, Arga Nita. “Perspektif Teologis Tentang Anak Didik.” Stulos 7/1 (April 2008) 81-93.
Taber, Charles R. “In the Image of God: The Gospel and Human Rights.” International Bulletin 26/3 (July 2002) 89-102.
INTERNET
“Autism Spectrum Disorder,” http://www.dsm5.org/Documents/ Autism% 20Spectrum
%20Disorder %20Fact %20Sheet.pdf. Diakses pada 11 Oktober 2013.
“Autism Spectrum Disorder in DSM and ICD-10,” http://a4.org.au/a4/PDD formal.
Diakses pada 11 Oktober 2013.
105
“New Data on Autism Spectrum Disorders,” http://www.cdc.gov/Features/ CountingAutism/.
Diakses pada 19 September 2013.
“Proposed CEC Policy Statement on the Organization and Administration of Special Education,” http://connection.ebscohost.com/c/articles/19647241/ proposed-cec- policy-statement-organization-administration-special-education. Diakses pada 6 Desember 2013.
Schroepfer, Claire. “Philosophy of Inclusive Education,” https://sites.google.com/site/
claireschroepfer/section-six-teacher-as-decision-maker/philosophy-of-inclusive- education. Diakses pada 25 September 2013.
“The Flagship on Education for All and the Right to education for Persons with Disabilities: Towards Inclusion,” http://www.unesco.org/education/efa/
know_sharing/ flagship_initiatives/disability_ last version.shtml. Diakses pada 25 September 2013.
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003,” http://www.
menkokesra.go.id/node/337. Diakses pada 25 September 2013.
Wahyu. “Sekolah Inklusi dan Masa Depan Anak Autis,” http://mjeducation.co/sekolah- inklusi-dan-masa-depan-anak-autis/. Diakses pada 29 September 2013.
Webb-Mitchell, Brett. “Let the children come: Young people with disabilities in church,” Christian Century 110 28/13 (1993). http://web.ebscohost.com/ehost/
detail?sid=7f48d23e-7d08-42b4-8d7d-578b177a1e62%40sessionmgr114&vid=
1&hid=126&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=rfh&AN=ATL A0000869265. Diakses pada 6 Desember 2013.
Zidiq, Zulkifli. “Inklusif dalam Pendidikan,” http://file.upi.edu/Direktori /FIP/ JUR.
PEND._LUAR_BIASA/196010151987101-ZULKIFLI SIDIQ/ PENDEKATAN_
INKLUSIF DALAM_ PENDIDIKAN.pdf. Diakses pada 25 September 2013.
SKRIPSI
Kurniawan, Theresia. “Tinjauan Kritis Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire Dibandingkan Konsep Pendidikan Menurut Alkitab.” Skripsi magister divinitas, SAAT, 2012.
CATATAN KULIAH
Soenaryo, Winny. “Terapi Okupasi Anak.” Malang: SAAT, 2013.