• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PENERAPAN APLIKASI GATHERING REPORTS INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS) DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PENERAPAN APLIKASI GATHERING REPORTS INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS) DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan peradaban manusia di bidang teknologi, membawa perubahan perilaku dari yang bersifat tradisional ke arah modern. Pola transaksi yang semula dilakukan dengan cara barter kemudian dengan alat tukar uang selanjutnya, berkembang ke arah penggunaan kartu.

Kemajuan di bidang teknologi di satu sisi dapat meningkatkan taraf hidup manusia dengan cara memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dan menunjang kehidupannya, namun di sisi lain juga bisa muncul dampak negatif.1 Perkembangan teknologi informasi serta globalisasi dapat memunculkan aktivitas kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan telah banyak melintasi batas yurisdiksi suatu negara berupa kejahatan transnasional. Beberapa kejahatan tersebut antara lain meliputi korupsi, penyelundupan orang dan senjata, serta pencucian uang.2

Asal mula munculnya aplikasi Gathering Reports Information Processing System (selanjutnya disebut GRIPS) ini untuk upaya memerangi kejahatan transnasional, khususnya kejahatan berupa tindak pidana pencucian uang. Pemerintah Indonesia telah resmi menjadi observer pada Financial Action Task Force (selanjutnya disebut FATF) on Money Laundring pada tanggal 29 Juni 2018 di Paris. FATF merupakan

1 Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto, Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Cet. 1, Jakarta: Pena Pundi Aksara, hal. 115.

2 Romli Atmasasmita, 2010, Globalisasi Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Media Group, hal. 39.

(2)

badan antar pemerintahan yang tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk memerangi pencucian uang dan pembiayaan terorisme, baik di tingkat Nasional maupun Internasional.3 Menyelaraskan ketentuan standar rezim internasional, pemerintah Indonesia memperluas kembali ketentuan Pihak Pelapor dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 yang mewajibkan para profesi untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakannya kepada PPATK, seperti “Advokat, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah,Akuntan, Akuntan Publik dan Perencana Keuangan sebagai Pihak Pelapor.” Profesi-profesi tersebut sering dimanfaatkan oleh pelaku pencucian uang untuk mengaburkan asal usul uang yang berasal dari hasil suatu tindak pidana dengan berlindung di balik ketentuan kerahasiaan hubungan profesi dengan pengguna jasa sesuai aturan hukum masing-masing profesi. Oleh karena itu, profesi tersebut harus menjadi pihak pelapor (gatekeepers) bagi setiap upaya tindak pidana pencucian uang yang terjadi dalam sistem keuangan.

Notaris harus berpegang teguh pada sumpah atau janji jabatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris. Notaris mempunyai kewajiban untuk merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sebagaimana yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun

3 Ivan Yustiavanda, Arman Nefi, dan Adiwarman, 2010, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 93.

(3)

2004 Tentang Jabatan Notaris.4 Notaris adalah pejabat umum yang secara khusus diberikan wewenang oleh Undang-undang dalam hal pembuatan suatu alat bukti yang sempurna, demi menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang menjunjung kebenaran dan keadilan. Notaris dalam hal menjalankan tugasnya tidak hanya bertindak berdasarkan Undang-undang Jabatan saja melainkan juga taat pada kode etik profesi, agar Notaris dapat memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya di bidang hukum.

Terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang mengatur kewajiban Notaris untuk melaksanakan kewenangan tambahan selain yang di amanahkan oleh Undang-undang Jabatan Notaris untuk membuat akta autentik dan turutannya, juga memiliki kewenangan yang diwajibkan oleh Peraturan Menteri tersebut, yaitu melakukan identifikasi dan verifikasi terhadap identitas serta sumber dana kliennya yang digunakan sehubungan dengan pembuatan akta. Apabila kewenangan tersebut dihubungkan dengan ketentuan di dalam Undang-undang Jabatan Notaris akan tampak tumpang tindih dengan kewenangan pokok Notaris membuat akta autentik sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris. 5

4 Arie Hermawan, 2017, Pertanggungjawaban Notaris Pengganti Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Membuat Akta Otentik, Jurnal Universitas Sumatera Utara, hal. 2.

5 Indra Prayitno, 2017, Telaah Terhadap Pergeseran Kewenangan Notaris Setelah Terbitnya Peraturan Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris, Jurnal Acta Diurnal, hal. 119.

(4)

Perdebatan persoalan aturan hukum sampai dengan saat ini tetap berlanjut, terlebih lagi dengan adanya kontradiktif yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia CQ. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) melalui Pengumuman Bersama yang mewajibkan Notaris untuk melakukan registrasi dan melaporkan pada aplikasi GRIPS dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Aplikasi GRIPS ini dihadirkan sebagai suatu bentuk dukungan atas komitmen bersama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta melaksanakan kewajiban pemerintah Indonesia di berbagai forum Internasional seperti FATF. Notaris memiliki kewajiban untuk melakukan pendaftaran dan pelaporan atas transaksi keuangan mencurigakan melalui aplikasi GRIPS dengan mengacu kepada Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka PPATK Nomor 11 Tahun 2016).6

Perka PPATK Nomor 11 Tahun 2016 tersebut saling berkaitan dan merupakan perluasan dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 atau dapat dikatakan sebagai petunjuk teknis bagaimana pihak pelapor melaporkan adanya transaksi keuangan mencurigakan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Perka PPATK Nomor

6 Ikatan Notaris Indonesia, Pendaftaran Aplikasi GRIPS di PPATK, diakses dari https://ini.id/post/pendaftaranaplikasi-grips-di-ppatk pada Rabu, 4 Maret 2020 pukul 19.45 WIB.

(5)

11 Tahun 2016 tersebut bagi profesi seperti Notaris sebagai pihak pelapor berkewajiban menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk kepentingan atau untuk dan atas nama pengguna jasanya melalui sebuah aplikasi pelaporan berbasis website (web based) yang dibuat oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bernama Gathering Reports Information Proccessing System (GRIPS). Transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan dalam aplikasi GRIPS tersebut diwajibkan kepada Notaris mengenai hal :

1. Pembelian dan penjualan properti;

2. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya;

3. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek;

4. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan dan/atau 5. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.7

Notaris dituntut untuk melakukan pendaftaran atau registrasinya dalam aplikasi GRIPS tersebut yang dilakukan secara online melalui website GRIPS PPATK dan setelahnya menyampaikan dokumen fisik hasil registrasi online kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Bahkan dalam halaman website resmi milik

7 Ricky Yohanes Bogar, 2019, Analisis Yuridis Kewajiban Kerahasiaan Notaris Dalam Jabatannya Terhadap Aplikasi Gathering Reports Information Processing System (Grips), Fakultas Hukum: Universitas Pelita Harapan, hal. 13.

(6)

Direktorat Jenderal Hukum dan Hak Asasi Manusia Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) pada www.ahu.go.id, mengacu pada Pengumuman Bersama Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) bagi Notaris yang tidak mendaftarkan diri pada GRIPS sampai dengan jatuh tempo pada tanggal 6 Mei 2019 akan diberlakukan sanksi berupa penutupan sementara akses terhadap AHU Online terhadap Notaris yang belum menyelesaikan kewajibannya tersebut. Perka PPATK Nomor 11 Tahun 2016 juga memberikan sanksi administratif kepada profesi-profesi yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut baik berupa teguran tertulis, pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi dan/ atau denda administratif.

Notaris memiliki pedoman norma dan kode etik yang berisi kewajiban untuk merahasiakan segala keterangan, data-data dan dokumen- dokumen para pihak yang telah digunakan sebagai pembuatan akta Notaris. Kewajiban tersebut merupakan salah satu bagian dari sumpah atau janji Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Sumpah jabatan Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), tersebut yang berbunyi bahwa “saya akan merahasiakan segala sesuatu mengenai isi akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya kecuali Undang-undang menentukan lain.” Kewajiban tersebut dapat dikesampingkan sepanjang ditemukan Undang-undang yang

(7)

mewajibkan sebaliknya atau yang meligitimasi untuk mengeyampingkan kewajiban merahasiakan oleh Notaris, seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, serta yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) , yang dikenal dengan alasan penghapus pidana.

Kewajiban kerahasiaan Notaris yang biasanya dikaitkan sebagai Hak Ingkar. Hak ingkar adalah hak untuk menolak memberi keterangan tentang sesuatu rahasia yang berkaitan dengan jabatannya. Mengacu pada hak ingkar tersebut terkandung kewajiban ingkar sehingga Notaris tidak hanya berhak untuk tidak bicara, tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara.8 Hak ingkar Notaris bukan hanya merupakan hak saja, tetapi juga merupakan kewajiban, karena apabila dilanggar akan terkena sanksi menurut Undang-undang. Kewajiban ingkar Notaris merupakan suatu sumpah/janji Notaris kepada Tuhan, negara, dan masyarakat untuk merahasiakan akta dan keterangan lain atau informasi yang diperoleh dari para penghadap yang berkaitan dengan akta serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Kewajiban ingkar ini melekat sejak yang bersangkutan mengangkat sumpah sebagai Notaris bahkan sampai yang bersangkutan pensiun dari jabatannya.9

Notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, melainkan untuk kepentingan para pihak yang mempercayakan segala keterangan dan informasi yang berkaitan dengan

8 G.H.S Lumban Tobing, 2003, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, hal. 122.

9 Habib Adjie, 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, hal. 160.

(8)

pembuatan akta kepada Notaris. Notaris yang tidak mampu melaksanakan kewajiban ingkarnya, artinya tidak merahasiakan akta dan keterangan lain berkaitan dengan akta yang dibuatnya serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Konsekuensinya Notaris dapat diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 54 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris, yaitu dari peringatan tertulis sampai kepada pemberhentian dengan tidak hormat.10

Banyaknya pertentangan yang timbul, dilain sisi jabatan Notaris harus merahasiakan segala sesuatu mengenai akta dan keterangan- keterangan yang diperolehnya dalam menjalankan jabatannya yang dijamin dan diatur oleh Undang-undang, tetapi disisi yang lain Notaris harus melaporkan keterangan-keterangan pengguna jasa atau kliennya dalam hal transaksi keuangan mencurigakan pada GRIPS. Kewajiban untuk merahasiakan sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-undang Jabatan Notaris tersebut, disyaratkan sepanjang Undang- undang tidak menentukan lain, karena dalam menjalankan jabatannya Notaris diwajibkan tidak hanya mematuhi apa yang diatur dalam Undang- undang tentang Jabatan Notaris, tetapi juga apa yang diatur dalam Undang-undang lain. Jika merujuk dalam sumpah jabatan Notaris sebagaimana dalam Undang-undang Jabatan Notaris mewajibkan untuk menjaga kerahasiaan keterangan-keterangan dalam isi akta namun dengan melaporkan klien ke PPATK, maka melanggar sumpah jabatan Notaris.11

10 Ibid, hal. 161.

11 Nurananda Budi Muliani, Pieter Everhardus Latumeten, Widodo Suryandono, 2019, Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pelapor Transaksi Keuangan Mencurigakan Dalam Aplikasi Gathering Reports & Information Processing System (Grips), Jurnal Universitas Indonesia, hal. 7.

(9)

Berdasarkan hal tersebut maka Notaris juga memiliki kewajiban mematuhi apa yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU), serta peraturan pelaksananya berkaitan dengan kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Kewajiban pertama adalah pihak pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa melalui penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ini pelapor berkewajiban melakukan identifikasi dan verifikasi Pengguna Jasa dan kewajiban kedua yang dibebankan kepada pihak pelapor adalah adanya kewajiban bagi pihak pelapor untuk melaporkan kepada PPATK, apabila adanya transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna jasanya.

Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan tanggung jawab Notaris sebagai pihak pelapor, meskipun tidak mudah untuk dilaksanakan oleh Notaris. Selain itu, karena tidak mudah mengidentifikasi perbuatan hukum yang akan dilakukan kliennya apakah merupakan transaksi keuangan mencurigakan atau tidak, juga belum tersosialisasikannya dengan baik mengenai teknis pelaporan oleh pihak pelapor dalam hal ini Notaris kepada PPATK, belum lagi Notaris dalam kedudukannya sebagai pihak pelapor, dalam keadaan tertentu dapat dikategorikan sebagai yang ikut serta (Pasal 56 KUHP), dalam tindak pidana pencucian uang, sehingga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1)

(10)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 6 Maret 2020 di Kantor Notaris dan PPAT Hasbi Ash Siddiqy Vad‟aq, yang beralamat di Jalan R.A Wiryaatmaja Nomor 49 Purwokerto Barat, tidak semua penegak hukum mengerti tugas dan jabatan Notaris mengenai prinsip mengenali pengguna jasa bagi Notaris dalam aplikasi GRIPS.

Setiap transaksi di atas Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) harusnya sesuai saja dibuat dalam Microsoft Excel setiap transaksi di atas tersebut akan langsung muncul datanya dan datanya berwarna merah secara otomatis data itu terkirim langsung ke PPATK tidak harus melalui Notaris terlebih dahulu. Jika tidak melakukan pelaporan transaksi keuangan dalam aplikasi GRIPS secara otomatis, maka banyak Notaris yang melaporkan terkait setiap transaksi keuangan satu persatu itu akan menjadi penghambat bagi Notaris. Lebih baik PPATK membuat perwakilan di setiap kabupaten agar lebih mudah untuk memantau Notaris yang tidak melakukan laporan terkait dengan transaksinya tersebut. 12

Semua Notaris di Kabupaten Banyumas diharuskan memiliki dan membuat akunnya yang berada di aplikasi GRIPS. Kalaupun ada Notaris yang belum membuat akun di aplikasi GRIPS ketika Notaris itu melakukan transaksi pasti tidak bisa mengaksesnya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan jika Notaris tidak mempunyai akses

12 Berdasarkan wawancara dengan Hasbi Ash Siddiqy Vad‟aq Notaris dan PPAT Kabupaten Banyumas, pada tanggal 6 Maret 2020, pukul 12.30 WIB.

(11)

akun aplikasi GRIPS Notaris tidak bisa menerima pekerjaan terkait dengan pembelian Persekutuan Komaditer (CV), Perseroan Terbatas (PT), dan lain sebagainya. Terdapat ketentuan-ketentuan aturan hukum yang tidak harmonis baik dari segi vertikal maupun horizontal yang sejatinya mempunyai peran sangat penting untuk menjaga keselarasan dan mencegah terjadinya tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain. Notaris di satu sisi mempunyai kewajiban untuk merahasiakan akta dan di sisi lain Notaris juga dibebani kewajiban lain sebagai pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam sebuah skripsi dengan judul

“TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PENERAPAN APLIKASI GATHERING REPORTS INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS) DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN BANYUMAS”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas?

2. Bagaimana kendala-kendala tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas?

(12)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan menganalisis tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas.

2. Mengetahui kendala-kendala tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya mengenai adanya tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas. Memberikan sumbangan pemikiran di kalangan akademisi dan para pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi para akademisi yang berminat pada masalah hukum perdata khususnya Kenotariatan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan di bidang hukum, tentang tanggung jawab Notaris terhadap penerapan aplikasi Gathering

(13)

Reports Information Processing System (GRIPS) di wilayah hukum Kabupaten Banyumas.

b. Bagi pemerintah, suatu kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perkembangan dibidang hukum khususnya Kenotariatan, sehingga pemerintah harus benar-benar kritis dan fokus dalam mengeluarkan suatu peraturan agar dapat memberikan perlindungan yang berimbang. Terutama pada penelitian ini diharapkan memberikan masukan dan solusi dalam pembuatan berbagai kebijakan maupun peraturan.

c. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana informasi agar masyarakat dapat mengetahui tentang adanya penerapan hukum yang dimiliki para Notaris dan PPAT, tata cara pelaksanaan, serta kendala yang dialami, sehingga dapat dilihat sejauh mana Notaris dan PPAT mampu memberikan hak- hak yang seharusnya dimiliki oleh para Notaris.

d. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis secara pribadi seperti penerapan aplikasi GRIPS secara khusus, tata cara pelaksanaan, serta kendala yang dialami pada pelaksanaan pelaporan dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Notaris. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan penegak hukum pada khususnya.

Referensi

Dokumen terkait

The purpose of this study was to determine the suitability of the learning process by the pre-service teacher with the learning planning stages, students' science process skills