• Tidak ada hasil yang ditemukan

tinjauan yuridis kontrak kerjasama minyak dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "tinjauan yuridis kontrak kerjasama minyak dan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS KONTRAK KERJASAMA MINYAK DAN GAS BUMI PADA SATUAN KERJA KHUSUS DALAM

PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI BERDASARKAN PERPRES

NOMOR 9 TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka Penulisan Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning

Oleh:

NAMA : HENGKI KRISTIAN SIAHAAN, S.T.

NPM : 1674201115

KELAS : PERDATA/BISNIS

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU

TAHUN 2020

(2)

ii

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LANCANG KUNING

TANDA PERSETUJUAN

NAMA : HENGKI KRISTIAN SIAHAAN, S.T.

NPM : 1674201115

JUDUL SKRIPSI: TINJAUAN YURIDIS KONTRAK KERJASAMA MINYAK DAN GAS BUMI PADA SATUAN KERJA KHUSUS DALAM PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI BERDASARKAN PERPRES NOMOR 9 TAHUN 2013

DITERIMA DAN DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN DALAM UJIAN SKRIPSI

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Yetti, S.H., M.Hum., Ph.D) (Cisilia Maiyori, S.H., M.H) Mengetahui

Dekan

(Dr. FAHMI, S.H., M.H)

(3)

viii ABSTRAK

Pada Penelitian ini Penulis mengangkat mengenai Tinjauan Yuridis kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi pada satuan kerja khusus dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menurut Perpres Nomor 9 Tahun 2013. Pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi akibat dari putusan mahkamah konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang bersifat sementara untuk memberikan kepastian hukum terhadap perusahaan minyak yang sudah memiliki wilayah kerja di Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus. Kedudukan SKK Migas berada dibawah Menteri ESDM sebagai Badan Hukum yang melakukan Pengawasan terhadap program kerja sama dengan perusahaan Minyak bukan menandatangani Kontrak Kerja seperti yang dilakukan oleh BP Migas sebelumnya. Satuan Kerja Khusus bukanlah badan hukum yang sempurna untuk melakukan perikatan sehingga kontrak yang sudah ditandatangani SKK Migas dapat dibatalkan, Hak menguasai Negara menjadi terbatas untuk melakukan intervensi karena kewenangan pengelolaan berada ditangan SKK Migas. Posisi Negara menjadi sejajar dengan Perusahaan Minyak Asing dan mendegradasi kedudukan Negara dalam perjanjian dan kekayaan negara menjadi jaminan atas perikatan pengelolaan Minyak dan Gas Indonesia. Timbulnya sengketa antara Pemerintah yang diwakilkan oleh SKK Migas dengan pihak investor dalam Pasal 32 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal akan diselesaikan dengan dua cara yaitu melalui musyawarah dan mufakat dan atau melalui arbitrase internasional. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, hal inilah yang dikhawatirkan akan berdampak pada kerugian Negara apabila dalam pelaksanaan kontrak muncul perselisihan antara investor/kontraktor dengan Pemerintah karena segala asset Negara/Pemerintah menjadi taruhan dalam penyelesaian sengketa tersebut.

Sebagai salah satu contoh pada kasus Karaha Bodas Company (KBC), pada kasus KBC ini Pertamina harus membayar klaim yang diajukan pihak KBC sebesar US$294 juta dalam kasus kontrak Power Purchase Agreement (PPA) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) KBC pada tahun 1994. Dalam kasus ini aset- aset Pemerintah di Bank-bank Amerika Serikat sebesar US$ 650 juta harus dibekukan oleh New York District Court, atas permintaan KBC demikian juga KBC mengajukan permohonan ke pengadilan di Kanada, Hongkong dan Singapura untuk membekukan aset Pemerintah yang terdapat disana.

Kata kunci: kontrak, minyak, gas bumi

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Industri Migas merupakan sumber utama energi dunia selama kurang lebih 100 tahun terakhir yang memiliki karakteristik padat akan modal, teknologi, dan resiko tinggi. Perusahaan besar akan menghitung resiko investasi di suatu negara sebelum melakukan kontrak dalam pengelolaan ladang minyak termasuk kekhawatiran terhadap isu lingkungan dan perubahan-perubahan kebijakan undang-undang migas di suatu negara khususnya Indonesia demi kepastian hukum dan keamanan yang harus didapatkan oleh kontraktor. Di Indonesia

1industri Migas terbagi menjadi 2 kegiatan usaha, yakni, kegiatan usaha hulu dan usaha hilir. 2Kegiatan usaha hulu merupakan aktivitas untuk menemukan dan mengeksploitasi sumber-sumber Migas, sedangkan usaha hilir adalah aktivitas usaha yang ditujukan untuk melakukan pengelolaan hydrocarbon yang dihasilkan melalui proses penyulingan (refinery), distribusi (pembangunan pipa) dan penjualan kepada konsumen (SPBU).

Pengaturan pengelolaan Migas harus berdasarkan kedaulatan negara terhadap kekayaan alam yang dimilikinya yang menandakan kemerdekaan. Setiap hubungan keperdataan satu negara dengan negara lain yang terkait dengan hak dan kewajiban para pihak harus disusun dalam model hukum kontrak Pengelolaan Migas. Prinsip dasar dalam berkontrak merupakan pegangan dalam melakukan model kontrak pengelolaan migas yaitu adanya syarat subjektif menurut pasal

1 Wahyudin Sunarya dan giri Ahmad Taufik, Pengantar Hukum Minyak dan Gas Bumi Indonesia, (Depok: Kantor Hukum Wibowo dan Rekan, 2017, cet. 1), hlm. 9.

2 Ibid.

(5)

2 1320-1331 KUHPerdata, Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) sebagai badan pengatur hulu migas merupakan subjek hukum yang melakukan kontrak kerjasama dengan perusahaan minyak milik negara maupun milik swasta oleh karena itu seharusnya SKK Migas sebagai badan hukum harus mempunyai legalitas yang jelas agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari. Sejarah terbentuknya SKK Migas tidak terlepas dari sejarah pengeboran minyak mentah semenjak zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka. Pada awalnya kontrak kerja sama atau konsesi dulu dilakukan oleh negara tanpa badan apapun.

Pemerintah hanya dapat fee atau imbalan atas sumber daya alam yang dikelola oleh pihak asing. Barulah di tahun 1968 pemerintah Indonesia dan daerah timur tengah bergejolak untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri demi kepentingan masyarakat. Indonesia merupakan penggagas Production Sharing Contract (PSC) pertama di dunia kemudian diikuti oleh negara penghasil minyak lainya seperti timur tengah.

Dalam penguasaan minyak mentah atau sumber daya alam Indonesia berpegangan pada konstitusi dimana dikatakan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD dasar 1945,“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dari sinilah negara ini berangkat kemudian pengelolaan minyak mentah dikelola oleh badan usaha milik negara yaitu Pertamina yang dibentuk pada tahun 1958 hasil merger perusahaan tambang negara dengan perusahaan minyak Indonesia. Dengan kontrak yang dilakukan oleh BUMN maka kekayaan Indonesia akan aman apabila ada gugatan oleh perusahaan asing melalui arbitrase international karena hal ini

(6)

3 sesuai dengan prinsip hukum bisnis dimana aple to aple atau B to B sehingga yang akan dipailitkan adalah perusahaan itu sendiri dan kekayaan indonesia akan terlepas dari sengketa.

Pada tahun 1998 krisis moneter melanda Asia dan Indonesia terkena dampak yang sangat buruk di semua sektor. Untuk menanggulanginya Indonesia harus mendapatkan dana segar demi terciptanya kestabilan ekonomi. Maka IMF yang waktu itu meminjamkan dana ke Indonesia memberikan syarat agar dibentuk badan baru dalam pengelolaan Migas dalam artian adanya permintaan khusus agar Indonesia melakukan program perubahan struktural (Structural Adjustment Program) terhadap tata kelola pemerintahan Indonesia dan tertuang di dalam Letter of Intent (LoI) sehingga perusahaan asing mudah mendapatkan proyek migas di indonesia. Hal ini dapat dipengaruhi sistem kuota dalam organisasi IMF dimana untuk menyediakan dana bagi pinjaman setiap negara anggota diberikan kuota atau kontribusi dan kuota tersebut menentukan hak suaranya. Oleh karena itu, negara kaya yang mempunyai kontribusi finansial yang besar memiliki suara yang lebih besar dalam membuat atau merevisi aturan.

3Dikarenakan pengambilan keputusan dalam IMF relatif mencerminkan kedudukan ekonomi setiap anggota didunia, negara-negara yang lebih kaya yang memasukkan uang lebih banyak akan memiliki pengaruh lebih besar dalam IMF dibandingkan dengan yang kurang kontribusinya. Hal ini dimanfaatkan oleh Amerika sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di IMF untuk memberikan syarat atau aturan ke Indonesia agar perusahaan Minyak dan Gas asal amerika

3 Hata, Hukum Ekonomi International, (Malang: Setara Press, 2016), hlm. 23.

(7)

4 dapat mengelola Migas Indonesia. Karena ketika pertamina yang memegang semua lini baik regulator maupun operator migas di Indonesia pihak asing sangat sulit untuk mendapatkan proyek. Pada tahun 2001, kebijakan terhadap pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis dengan diberlakukan Undang-Undang Migas yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menggantikan Undang-Undang (Perppu) nomor 44 tahun 1960 tentang Minyak dan Gas. Pengalihan pengelolaan yang dilakukan oleh Pertamina pada tahun 1971-2001 ke Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang merupakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dan pada tahun 2003 dibentuklah 4Badan Pengelolaa Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang merupakan badan pengelolaan migas di bidang Hulu Migas atau eksplorasi dan produksi Migas.

5Konsekuensi posisi BP Migas yang bukan institusi bisnis menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya mafia minyak dan sistem brokerage, sehingga membuat rakyat dan negara membayar BBM semakin mahal. BP Migas juga bukan merupakan badan usaha melainkan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang tidak mempunyai aset dan tidak secara langsung melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi layaknya perusahaan Minyak milik Negara, kedudukannya sebagai Badan Hukum Milik Negara merupakan subjek hukum perdata yang mengikatkan diri dengan perusahaan minyak/kontraktor berdasarkan

4 Lihat Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.

5 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: sinar Grafika, 2012, cet 2), hlm. 24.

(8)

5 prinsip G to B atau Government to Bussines yang membahayakan bagi kekayaan negara. Di tengah jalan badan ini mendapatkan kritik dari para ahli karena tidak sesuai dengan konstitusi. Pada Tahun 2013 BP Migas pun dibubarkan oleh mahkamah konstitusi karena tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD dasar 1945. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi model hubungan antara BP Migas sebagai perwakilan Pemerintah dengan kontraktor dalam pengelolaan migas makna penguasaan Negara atas sumber daya alam sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 karena ketika BP Migas menandatangani kontrak kerja sama dengan kontraktor maka Negara terikat dengan isi kontrak dan menjadi pihak dalam sengketa arbitrase internasional.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing, hal inilah yang dikhawatirkan akan berdampak pada kerugian Negara apabila dalam pelaksanaan kontrak muncul perselisihan antara investor/kontraktor dengan Pemerintah karena segala aset Negara/Pemerintah menjadi taruhan dalam penyelesaian sengketa tersebut. Sebagai salah satu contoh pada kasus Karaha Bodas Company (KBC), pada kasus KBC ini Pertamina harus membayar klaim yang diajukan pihak KBC sebesar US$294 juta dalam kasus kontrak Power Purchase Agreement (PPA) pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) KBC pada tahun 1994

Kemudian pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang bersifat sementara untuk memberikan kepastian hukum terhadap perusahaan minyak yang sudah memiliki wilayah kerja di Indonesia

(9)

6 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan membentuk dewan Pengawas.

Kedudukan SKK Migas berada dibawah Menteri ESDM sebagai Badan Hukum yang melakukan Pengawasan terhadap program kerja sama dengan perusahaan Minyak bukan menandatangani Kontrak Kerja seperti yang dilakukan oleh Pertamina maupun BP Migas sebelumnya. Ketika SKK Migas melakukan penandatanganan kerja sama dengan kontraktor yang legalitasnya masih diragukan karena dalam Perpres tersebut tidak ada satu pasal pun yang menyatakan SKK Migas merupakan badan hukum yang memenuhi syarat sebagai subjek hukum dalam suatu kontrak perdata. Hak Penguasaan negara terhadap Sumber Daya Alam tetaplah ditangan Pemerintah dalam Hal ini diberikan kepada Menteri ESDM sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Badan ini dibentuk hanya untuk sementara waktu sebelum dibentuknya Badan Usaha Khusus (BUK) yang sesuai dengan konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tetapi badan ini sampai sekarang masih melakukan kontrak kerja dengan perusahaan minyak di Indonesia yang legalitasnya masih diragukan apabila ada sengketa arbitrase internasional.

(10)

7 Menurut hemat penulis, SKK Migas yang merupakan badan hukum yang hanya dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 hanya untuk sementara waktu oleh karena itu semua kontrak yang sudah dilakukan sudah melanggar syarat sah perjanjian karena tidak adanya legalitas badan tersebut dalam melakukan kontrak kerja dengan perusahaan asing dan perusahaan minyak dalam negeri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti fenomena ini dengan mengangkat judul tulisan

“Tinjauan Yuridis Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi Pada Satuan Kerja Khusus Dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan Perpres Nomor 9 Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dikaji adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan regulasi kegiatan usaha minyak dan gas bumi pasca putusan Mahkamah Konstitusi?

2. Bagaimana kedudukan dan legalitas Satuan Kerja Khusus dalam penandatanganan Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi?

3. Bagaimanakah akibat hukum Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi yang dilakukan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan karya tulis ini adalah untuk mennganalisis:

(11)

8 1. Untuk menganalisis tata organisasi Satuan Kerja Khusus Migas

berdasarkan Perpres Nomor 9 Tahun 2013

2. Untuk menjelaskan legalitas badan hukum atau badan usaha yang seharusnya melakukan kontrak kerjasama dengan Perusahaan asing.

3. Untuk menganalisis badan yang seharusnya dibentuk berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan:

1. Bagi Penulis, sebagai penunjang dalam pekerjaan di industri minyak dan gas bumi dan syarat memperoleh gelar kesarjanaan Strata 1 program studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

2. Bagi Dunia Akademik, agar hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan pembendaharaan perpustakaan yang diharapkan berguna bagi mahasiswa/i dan mereka yang ingin mengetahui dan meneliti lebih lanjut tentang Tinjauan Yuridis Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi Pada Satuan Kerja Khusus Dalam Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan juga bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata/bisnis dalam kaitannya dengan bisnis atau sengketa kontrak dengan perusahaan asing.

(12)

9

3. Bagi Pemerintah, khususnya kementrian ESDM dalam hal pengaturan badan khusus yang akan melakukan kontrak kerja sama

yang sesuai dengan konstitusi.

D. Kerangka Teori

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara berdaulat penuh dalam penguasaan atas kekayaan sumber daya alam. Dalam Pasal tersebut dimaknai adanya hak penguasaan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan pengertian dalam hal pengelolaan kekayaan alam. 6Pemerintah sebagai representasi negara diberi hak untuk mengelola (hak pengelolaan) kekayaan sumber daya alam agar dinikmati oleh rakyat banyak secara berkeadilan dan merata. Dalam melaksanakan hak menguasai negara dalam cabang-cabang produksi penting dan sumber daya alam, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah dalam konsep hukum publik bukan hukum keperdataan yang selama ini dilakukan oleh BP Migas ataupun SKK Migas yang 7meliputi:

1. Tindakan mengambil kebijakan (beleid), di mana negara merumuskan kebijakan-kebijakan terkait dengan pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam;

6 Ibid.

7 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 hlm 207-208.

(13)

10 2. Tindakan melakukan pengurusan (bestuursdaad), di mana negara melaksanakan kewenangannya dengan mengeluarkan segala macam perijinan usaha;

3. Tindakan melakukan pengaturan (regeland), di mana negara melakukan tindakan pembuatan undang-undang Bersama-sama dengan parlemen, dan pembuatan peraturan oleh pemerintah (eksekutif);

4. Tindakan melakukan pengelolaan (beheersdaad), di mana negara dapat melakukan partisipasi secara langsung di dalam proses usaha melalui kepemilikan saham dan keterlibatan di dalam melakukan manajemen badan usaha; dan

5. Tindakan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad), di mana negara, dalam rangkaa melakukan pengawasan untuk menjamin proses pengusahaan Migas dilaksanakan dalam rangka demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

8Menurut Uthrech, konsep Negara kesejahteraan itu mengutamakan kepentingan seluruh rakyat dengan tugas dan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum seperti: kesehatan masyarakat, pengajaran, perumahan, pembagian tanah dan sebagainya. Dalam penyelenggaraan suatu negara pemerintahan memiliki konstitusi sebagai dasar hukum berupa wewenang atau kewenangan, sebagaimana dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa:

“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

8 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, Surabaya, 1987), hlm. 77.

(14)

11 negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. 9Dikuasai oleh Negara memaknai bahwa hak kepemilikan yang sah atas kekayaan alam adalah milik rakyat Indonesia dikuasakan kepada Negara untuk dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan bernegara. 10Aspek pengaturan merupakan hak mutlak negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta dan merupakan aspek yang paling utama diperankan negara diantara aspek lainnya.

Dalam pengaturan dan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan Perppu Nomor 44 Tahun 1960 tentang pertambangan Minyak dan Gas Bumi Jo.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Indonesia mengembangkan pola kontrak Production Sharing Contract (PSC)/kontrak bagi hasil atau yang sekarang disebut dengan Kontrak Kerja Sama (KKS) dan Migas merupakan kekayaan Nasional sehingga usaha pertambangan Migas hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara. Di dalam Production Sharing Contract ditentukan Pemerintah menunjuk perusahaan migas sebagai kontraktor pada suatu wilayah tertentu, disamping itu kontraktor menanggung semua biaya eksplorasi dan berbagai resiko yang terjadi pada saat melaksanakan pengembangan dan produksi. Penggantian semua biaya atau cost recovery akan diganti oleh Pemerintah apabila kontraktor sudah menghasilkan minyak dan gas bumi dari hasil penjualan minyak dan gas bumi yang diproduksi.

9 Adrian Sutedi, Loc.cit.

10 Adrian Sutedi, Ibid.

(15)

12 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian Yuridis Normatif. 11Yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

12Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan adalah:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 3. Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2012 4. Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 5. Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 tahun 2013

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah bahan hukum yang dapat menjelaskan mengenai bahan hukum

11 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011, cet. 7), hlm. 141.

(16)

13 primer berupa literatur atau buku yang terkait dengan kontrak kerja sama migas, pengelolaan migas, legalitas kontrak, makalah dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan yang bisa memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti kamus, artikel, jurnal hukum, website dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelusuran dan pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode studi kepustakaan, literatur, dokumen, penelitian dan jurnal.

F. Analisa Data

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah 13interpretasi gramatikal yang merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya.

13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm.

171.

(17)

105

DAFTAR PUSTAKA Buku:

A. Rinto Pudyantoro, Bisnis Hulu Migas, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019.

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Jakarta: Sinar Grafika, cet 2, 2012.

Asep, Reformulasi Delik Migas dalam Mewujudkan Keadilan Energi, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2019.

Ernest E Smith, International Petroleum Transaction, Rocky Moutain mineral Law Foundation, Colorado: 2010.

Hata, Hukum Ekonomi International, Malang: Setara Press, 2016.

Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2008.

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: 1993.

Ismail Rumadan, Kebijakan Hukum Investasi Minyak dan Gas Bumi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, Yogyakarta: Genta Publishing, 2016.

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1998.

J.H. Polley, Euroica the Quest for Oil in Indonesia (1850-1898), The Hague, Kluwer Academic Publication, 1997.

J.J Von Schmid, Ahli-Ahli Pikir besar Tentang Negara dan Hukum (terjemahan R. Wiranto, dkk), Jakarta: PT. Pembangunan, 1958.

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Marbun, SF. Dan Moh. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1987.

(18)

106 Mochtar Kusuma-Atmadja, in Survey of Indonesian Economic Law: Mining Law,

Bandung: 1974.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, cet. 7, 2011.

Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, , Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 2005.

________________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya:

Bina Ilmu, 1987.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.

Rudi M Simamora, Pembaharuan Undang-Undang Migas Khususnya di Sektor Hulu dan Perlindungan Kepentingan Nasional, Bandung: SEMA FH UNPAD, 2004.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta:

Liberty, 2006.

Syamsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Wahyudin Sunarya dan giri Ahmad Taufik, Pengantar Hukum Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Depok: Kantor Hukum Wibowo dan Rekan, cet. 1, 2017.

Undang-Undang:

Undang-Undang 44 Prp. Tahun 1960.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2002.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 95 Tahun 2013.

(19)

107 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002.

Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2013.

Journal:

Abrar Saleng, Hubungan Hukum antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam berbagai Pola Kontrak Kerjasama Pengusahaan Pertambangan, Jurnal Hukum, 2000.

Anderson G Barlett, Pertamina: Indonesian National.

Atip Latifulhayat, Tafsir MK atas Pasal 33 Uud 1945: Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001, Dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002, Mahkamah Konstitusi 7, no. 1, 2010.

David Hults and Patrick Mark Thuber, “The Limits of Institutional Design in Oil Sector Governance: Exporting the Norwegian Model”, paper presented at the ISA Annual Convention, New Orleans, 2010.

David P Fidler, A kinder, Gentler System of Capitulation? International Law, Structural Adjustment Policies, and the Standard of Liberal, Globalized Civilization, Texas International Law Journal, 35.387, Summer 200.

Fikret Berkes, Common Property Resource: Ecology and Community-Based Suistainable Development, Belvalen Press, London,1989.

Giri Ahmad Taufik, “Kelembagaan Migas Indonesia Ke Depan Pasca Putusan MK 036/2012: Menimbang Pendekatan Alternatif (Indonesia Oil and Gas Institutional Design Post 036/2012 Constitutional Court Decision:

Considering an Alternative Approach),” Jurnal Hukum dan Pasar Modal (Law and Capital Market Journal) VII, no. 12, 2016.

Abrar Saleng, Hubungan Hukum antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola Kontrak Kerjasama Pengusahaan Pertambangan.

Machmud, The Indonesian Production Sharing Contract, An Investor Perspective.

Mills, “Indonesian Legal Framework in the Oil, Gas, Energy and Mining Sector”.

Optimalisasi Kinerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Radita Arindya.

(20)

108 Dwi Tuti Muryati, B. Rini Heryanti dan Dhian Indah Astanti, Pengaturan Kegiatan Usaha Pertambangan Dalam Kaitannya Dengan Penyelesaian Sengketa Pertambangan.

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi minyak tanah illegal adalah distribusi minyak tanah yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Skripsi ini berawal

Distribusi minyak tanah illegal adalah distribusi minyak tanah yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Skripsi ini berawal

Sehingga setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Februari 2015 perihal putusan perkara Nomor 85/PUU-XI/2013 yang membatalkan seluruh isi dalam Undang-Undang

Hasil penelitian berkenaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PHPU.D-X/2012 menunjukkan bahwa, Mahkamah Konstitusi tidak dapat memeriksa, mengadili, dan memutus keputusan

bahwa sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-Jl2003 tanggal 21 Desember 2004 yang menyatakan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa BP Migas merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (selanjutnya disebut BHMN) memiliki posisi

Minyak bumi dan gas alam adalah sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan memberikan konstitusi yang penting dalam kehidupan manusia.Gas alam sering disebut sebagai Gas Bumi atau

Maka artinya, undang-undang dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi yang ada, jika dalam putusan Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa Undang