• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

Reni Mahkita Silalahi : Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan, 2008.

USU Repository © 2009

Oleh

RENI MAHKITA SILALAHI 020200128

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN”

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam memperoleh

gelar sarjana Hukum

Oleh

RENI MAHKITA SILALAHI 020200128

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN”

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Hukum

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Perdata Dagang

Prof. Dr. Tan Kamello,SH,MS NIP.131764556

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS Zulkifli Sembiring, SH

NIP.131764556 NIP.131796148

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepda Tuhan Yang Maha Esa dan Putra-NYA yang tunggal Yesus Kristus, atas berkat dan rahmat-NYAlah Penulis beroleh kekuatan untuk menjalani suka dan duka dimasa perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini berjudu l "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan” (Study Kasus Dinas Pertambangan dan Energi Di Prop.Sumatera Utara) Adapun skripsi ini dibuat sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis telah mengerahkan segala potensi dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini, namun Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kiranya Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing I Penulis.

(6)

selalu mendorong penulis menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen wali Penulis yang selama ini telah memberikan motivasi kepada Penulis dalam kegiatan akademik.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen dan Staff Pegawai Fakultas Hukum USU

7. Bapak Ir. Sumintarto selaku Kepala Divisi Dinas Pertambangan dan Energi Prop. Sumatera Utara .

8. Bapak Ir. Drs. Yahya P. Pulungan selaku Kepala Tata Usaha Di Dinas Pertambangan dan Energi.

9. Seluruh Staff Pegawai Dinas Pertambangan dan Energi Prop. Sumatera Utara yang telah berpartispasi dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Kepada Orang tua tercinta Charles. MP Silalahi dan Romauli br Hutahaean, terimaksih atas doa, dana, pengertian dan kasih sayang yang tak terhingga kepada Penulis, semoga Tuhan memberkati.

11.Kepada saudara-saudariku tercinta Rina Dameria Shiomi Silalahi. Amd, Daniel Yamato Silalahi, Roni Maryanti Silalahi. Spd, Rini Sonyta Silalahi, Rani Chien Silalahi, David Yamato Silalahi, Ramos Roshima Silalahi.

12.My Big Family.

13.Kumpulan Marga muda-mudi Silahisabungan boru dohot bere sekota Duri

14.Kepada kepala dan guru-guru di SMU Cendana Mandau Duri dan Teman-teman semasa SMU kapan jumpa lagi.

15.Kepada Teman-teman se-GMKI teruslah berkarya

(7)

Akhir kata Penulis berharap skripsi ini berguna bagi semua pihak dan para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya. Akhir kata apapun yang kamu kerjakan dan lakukan, perbuatlah itu Tuhanmu agar apa yang kamu kerjakan adalah selalu yang terbaik dalam hidupmu.

Medan, 2 Juni 2008 Penulis

(8)

DAFTAR ISI

INTISARI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL/BAGAN ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Permasalahan ... 1

B. Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penelitian ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penulisan ... 15

G. Metode Penulisan ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : TINJAUAN TERHADAP KONTRAK PADA UMUMNYA ... 19

A. Pengertian Kontrak Secara Umum ... 19

1. Asas-asas dalam Hukum Kontrak... 20

(9)

3. Jenis-jenis Kontrak ... 28

4. Syarat sahnya Kontrak ... 30

5. Berakhir dan Hapusnya Kontrak ... 34

B. Tinjauan Terhadap Kontrak Bagi Hasil... 35

1. Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Kontrak Bagi Hasil ... 35

2. Landasan Hukum dan Prosedur Sistem Kontrak Bagi Hasil ... 45

3. Bentuk dan Substansi Kontrak Bagi Hasil ... 49

4. Jangka Waktu dan Pola Penyelesaian Sengketa Kontrak Bagi Hasil ... 50

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI PERMINYAKAN DI INDONESIA. ... 52

A. Sejarah Timbulnya Industri Peminyakan di Indonesia ... 52

B. Sumber Hukum Perjanjian Pengelolaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia ... 66

C. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu dan Hilir Minyak dan Gas Bumi. ... 67

(10)

Pembagian Hasil dalam Kontrak Bagi Hasil

Migas ... 70

E. Gambaran Umum Tentang Dana Bagi hasil

Migas ... 78

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SISTEM

KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI

PERMINYAKAN ... 89

A. Pelaksanaan Sistem kontrak Bagi Hasil Dalam

Industri Perminyakan Ditinjau dari Segi

Peraturan Yang Berlaku ... 89

B. Ketentuan Kontrak Bagi Hasil Di Indonesia

Menurut Undang-undang No.22 Tahun 2001 .... 99

C. Permasalahan Yang Muncul Setelah UU No. 22

Tahun 2001 Diterapkan dalam Kontrak Bagi

Hasil di Bidang Migas... 136

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN141

A. Kesimpulan ... 141

B. Saran ... 143

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 145

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Komponen Cost Recovery Kegiatan Usaha Hulu Migas ………

79

2. Dana Bagi Hasil (DBH) di bidang Perikanan dan Minyak Bumi …….

84

4. Bidang-bidang program dan Community Development ………..

135

(12)

Nomor Judul Halaman

1. Rumus yang dipakai dalam menentukan Harga Minyak di

Pasaran ………72

2. Keterangan tentang Proses Lifting ………77

3. Tentang Prinsip yang Dianut dalam Prinsip Dana

Bagi Hasil Migas...………80

4. Bagan yang menerangkan tentang Jenis Dana Bagi

Hasil yang Berasal dari SDA (Sumber Daya Alam)

……….83

5. Proses Perhitungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas ……

85

6. Mekanisme Perhitungan Dana Bagi Hasil Migas ………

86

7. Alur Dana Penerimaan Migas bagian (1)

……….88

8. Sambungan Alur Penerimaan Migas bagian (2) ……….

89

9. Pola Kontrak Kerjasama di bidang Minyak dan Gas ………

95

10. Tentang Binis dan Aktifitas Migas ………

96

11. Contoh Objek PBB Migas

……….136

(13)

1. Tabel Production Sharing Contract Pertamina.

2. Production Sharing Contract Dengan Pihak BPMIGAS

3. Surat Pengantar Riset dari Kampus Fakultas Hukum USU Medan

4. Surat Tanda Penerimaan Riset dari Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara

5. Surat Tanda Selesai Riset Dari Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Sumatera Utara.

(14)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Penulis memilih judul “Tinjauan Yuridis terhadap Sistem Kontrak Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan” sebagai bahan penulisan skripsi ada beberapa alasan. Yang pertama karena Penulis merasa tertarik mendalami pengetahuan tentang kontrak, yang kedua karena masalah kontrak bagi hasil masih sangat jarang dibahas terutama dalam bidang perminyakan dan bahannya pun terbatas, yang ketiga karena masalah perminyakan merupakan masalah kelangsungan hidup bangsa dan menyangkut sumber kekayaan alam Indonesia yang digali dan diolah. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 setelah Amandemen yang isinya: 1

1

Sumber: ”UUD 1945” Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) setelah Amandamen. Fokus media.

Ayat (2) : Cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup dikuasai oleh Negara.

Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

(15)

Menurut Bagir Manan pengertian dikuasai oleh Negara atau HPN sebagai berikut :2

1. Penguasaan semacam pemilikan oleh Negara, artinya Negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak, wewenang atasnya termasuk di sini bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

2. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan

3. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk usaha-usaha tertentu.

Dalam pengusahaan bahan galian (tambang), Pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi Pemerintah.

Apabila usaha pertambangan dilaksanakan kontraktor, kedudukan Pemerintah adalah memberi izin berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya, penguasaan pertambangan batubara dan kontrak bagi hasil.

Perusahaan tambang (institusi) yang diberikan izin oleh Pemerintah untuk mengusahakan bahan tambang adalah instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, perusahaan Negara, perusahaan daerah, perusahaan dengan modal bersama antar Negara dan daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta,

2

(16)

perusahaan dengan modal bersama antar Negara dan/atau daerah dengan koperasi dan/atau badan/perseorangan swasta, pertambangan rakyat.

Dari semua institusi di atas perusahaan yang paling menonjol untuk mengusahakan bahan galian, yaitu perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari asing maupun patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik. Dominannya perusahaan asing dikarenakan perusahaan itu mempunyai modal yang besar dan telah berpengalaman di dalam mengelola bahan galian, baik bahan mineral minyak dan gas bumi maupun batubara.

Prinsip kontrak bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi antara badan pelaksana dan badan usaha/badan usaha tetap.

Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract / PSC) juga diberikan untuk mencari dan mengembangkan cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. Kontrak bagi hasil berlaku untuk beberapa tahun tergantung pada syarat kontrak, tergantung penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara Kontraktor dan BPMIGAS. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali persentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan dimana telah ditemukan minyak dan gas.3

Hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945

3

(17)

memposisikan Negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi Negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya, melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus dan tujuan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan Negara.

Pelaksanaan dari Pasal 33 UUD 1945 kemudian diatur dalam berbagai undang-undang yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi, yang dimulai dengan undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1940 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Kedua undang-undang ini kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi setelah undang-undang-undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Digunakannya istilah Production Sharing Contract (PSC) untuk kontrak bagi hasil sebagai judul kontrak adalah untuk mempertegas bahwa bentuk kontrak kerjasama yang dimaksud untuk disepakati dan dilaksanakan oleh BPMIGAS dan Kontraktor adalah Production Sharing Contract (PSC), mengingat UU Nomor 22 Tahun 2001 dalam Pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa Production Sharing Contract merupakan salah satu bentuk kontrak kerjasama yang diakui oleh undang-undang ini dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan bagi Negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

(18)

sebelumnya seperti kontrak konsesi dan kontrak karya yang banyak membawa kerugian bagi Negara. Alasan sehingga diterbitkannya undang-undang tentang kontrak bagi hasil terdapat di dalam Pasal 6 (enam) UU Nomor 22 Tahun 2001 yaitu, hak milik terhadap sumber daya alam (SDA) tetap ditangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi ada ditangan badan pelaksana (BPMIGAS) dan modal serta resiko seluruhnya ditanggung oleh badan usaha atau badan usaha tetap.

Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap atau terus-menerus didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan badan usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan RI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi dengan adanya peralihan hak antara Pertamina dan BPMIGAS adalah untuk kepentingan Negara dan agar lebih memudahkan pengawasan terhadap pertambangan minyak di Indonesia

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana pengaruh kontrak

perminyakan terhadap fluktuasi harga minyak. Sebelumnya, perlu diingat kembali

model-model kontrak perminyakan yang ada, yaitu konsesi (royalty tax),

Production Sharing Contract (PSC) dan Service Contract.4

4

. Benny Lubiantara, Vienna Austria, Fleksibilitas Kontrak Perminyakan, 22 Januari 2007 (www.google.com)

(19)

belakangan berkembang dengan macam macam features, khususnya cara-cara

pembagian profit oil split dan seberapa fleksibel kontrak tersebut terhadap naik

turunnnya harga minyak dan bagaimana pula para analis perminyakan

memprediksi harga minyak yang berubah-ubah setiap saat. Permasalahan ini

sangat menarik bagi Penulis terutama tentang pelaksanaannya yang akan Penulis tinjau dari segi peraturan yang berlaku di Indonesia dan paling tidak pembaca dapat menerima gambaran tentang kontrak perminyakan dan mengapa berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak yang melanda Indonesia saat ini. . Tinjauan Penulis, yaitu dari aspek keperdataan, yang selanjutnya Penulis rumuskan dalam judul Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan (Studi Kasus Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara)

B. PERUMUSAN MASALAH

Beberapa permasalahan pokok yang berkaitan dengan judul dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan ditinjau dari segi peraturan yang berlaku?

2. Bagaimana Ketentuan Kontrak Bagi Hasil di Indonesia menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2001.

(20)

C. TUJUAN PENELITIAN & MANFAAT PENELITIAN Tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan secara umum.

2. Untuk mengetahui bagaimana Kontrak Bagi Hasil (PSC) di Indonesia menurut Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

3. Untuk mengetahui permasalahan yang muncul setelah UU Nomor 22 Tahun 2001 diterapkan di Indonesia.

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah : 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan Ilmu Hukum Perdata umumnya dan Hukum Perjanjian khususnya dalam kontrak bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi. 2. Secara Institusional

Melalui penelitian Penulis berharap dapat menambah wawasan pembaca dalam mencermati permasalahan yang muncul dalam masyarakat serta membuka cakrawala pemikiran terhadap kontrak perminyakan yang selama ini tidak biasa dibicarakan oleh masyarakat

3. Secara Praktis.

1) Diharapkan penelitian ini dapat membantu Pemerintah dalam menentukan kebijakan di masa mendatang dalam pelaksanaan kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi.

(21)

menyesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

3) Kepada masyarakat agar tidak buta mengenai pelaksanaan dalam bidang kontrak bagi hasil bidang perminyakan.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, baik dari Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengenai judul kontrak bagi hasil, yaitu:

1. Siska Rahman, dengan judul Skripsi “Peranan Contract Production Sharing dalam Industri Minyak dan Gas Bumi.” (Studi Kasus BPMIGAS). Adapun yang menjadi permasalahannya adalah mengenai peranan kontrak bagi hasil dalam industri minyak dan gas bumi, bahwa terdapat tiga (3) peranan penting yang dimiliki oleh industri minyak dan gas bumi dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai sumber energi nasional, sebagai penyumbang devisa terbesar, sebagai bahan baku industri khususnya industri petrokimia dan apabila terjadi sengketa antara Pertamina dengan kontraktor dalam Contract Production Sharing diselesaikan melalui arbirase.

(22)

hal ini, PT. Telkom telah menghilangkan unsur pertama yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagai hukum sah tidaknya suatu perjanjian, yaitu kesepakatan kedua belah pihak.

3. Mardalena Hanifah, dengan judul Tesis “Pelaksanan Perjanjian Bagi Hasil antara Pertamina dengan PT. Caltex Pasific Indonesia di Pekanbaru, Provinsi Riau.” Adapun yang menjadi permasalahannya adalah pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil antara Pertamina dengan PT. Caltex Pasific Indonesia dan kendala dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara Pertamina dengan PT. Caltex Pasific Indonesia. Isi atau bentuk kontrak telah ditentukan Pertamina. Para pihak mengenyampingkan Pasal 1338 KUH Perdata tentang kebebasan berkontrak untuk menentukan isi perjanjian dan dalam pelaksanaannya dikemukakan kendala berupa masalah pembebasan tanah, pemberlakuan Undang-undang No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta pemutusan sepihak terhadap daerah CPP (Coastal Plains Pekanbaru).

(23)

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) tentang pertambangan secara khusus dan terperinci tidak ditemui, baik dalam KUH Perdata maupun dalam undang-undang. Namun Production Sharing Contract

merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam Hukum Adat, yaitu seorang yang berhak atas tanah yang karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri, tetapi ingin tetap mendapatkan hasilnya, maka memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah yang dimilikinya dan hasilnya dibagi antara mereka berdasarkan persetujuan. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam Hukum Adat tersebut telah dikodifikasi dalam UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, Pasal 1 huruf c, yang berbunyi :

Perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam undang-undang ini disebut ”Penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.

(24)

berbunyi: ”Perjanjian bagi hasil adalah bentuk kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.

Pengertian Production Sharing Contract (perjanjian bagi hasil) menurut para ahli :

Sutadi menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil merupakan bentuk kerjasama dengan pihak asing di bidang minyak dan gas bumi yang harus menjabarkan prinsip-prinsip pengusahaan minyak dan gas bumi sesuai dengan penggarisan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan yang ada.5

Subekti mendefenisikan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk untuk melaksanakan sesuatu hal dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan : ”Perikatan”6

Sumantoro mendefenisikan Production Sharing Contract sebagai kerjasama dengan sistem bagi hasil antara perusahaan Negara dengan perusahaan asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis, maka mesin-mesin yang dibawa pihak asing tetap tinggal di Indonesia. Kerjasama dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar negeri dimana pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang telah dihasilkan oleh perusahaan tersebut.7 Sedangkan Abdul Kadir Muhammad memuat beberapa unsur yang termuat

5

. Sutadi Pudjo Utomo, 1990 , Bentuk-bentuk Insentif dalam Contract Production Sharing, Warta CaltexNo. 21, Hal.11.

6

. Joni Ermizon, Hukum Bisnis di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2002, Hal. 176.

7

(25)

dalam suatu perjanjian, yaitu :

a. Ada pihak-pihak

Pihak yang terlihat dalam perjanjian minimal dua orang, yang terdiri dari subyek hukum. Subyek hukum tersebut dapat manusia kodrati dan dapat pula badan hukum (rechtperson). Dalam hal perkara manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap.

b. Ada persetujuan antara para pihak

Para pihak sebelum melaksanakan perjanjian harus diberikan kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar (bargaining) atau konsensus dalam suatu perjanjian.

c. Ada tujuan yang ingin dicapai

Suatu perjanjian haruslah mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, akan tetapi untuk mencapai tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan yang diakui masyarakat dan kesusilaan.

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan

Dalam suatu pihak, perjanjian para pihak mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain. Satu pihak berhak menuntut pelaksanaan prestasi dan di pihak lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasi, dan begitu sebaliknya.

e. Ada syarat- syarat tertentu

(26)

syarat- syarat tersebut. 8 Sudarsono mengartikan kontrak dengan perjanjian tertulis antara dua pihak dalam perdagangan, sewa menyewa. Persetujuan yang bersanksi hukum antar dua atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perikatan. 9

a. Suatu persetujuan (suatu penawaran dan penerimaan dari penawaran itu) Dari keseluruhan defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kontrak sedikitnya mempunyai satu janji atau dibuat, baik secara tertulis (written) maupun secara lisan (oral).

Jhon D. Donnel dan James Barnes menyimpulkan bahwa setelah bertahun-tahun pengadilan Hukum Adat mengembangkan sejumlah syarat-syarat bahwa suatu perjanjian harus memenuhi sebelum perjanjian itu dianggap sebagai kontrak, yaitu :

b. Dengan sukarela berbuat

c. Masing-masing pihak mempunyai kapasitas untuk membuat kontrak d. Didukung oleh pertimbangan (dengan beberapa pengecualian) e. Melakukan seperangkat tindakan-tindakan hukum.

Kontrak yang dibuat secara lisan akan sulit dijadikan alat bukti, kecuali ada saksi-saksi yang memberikan adanya peristiwa perjanjian tersebut. Perjanjian bukan hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, namun juga untuk segala sesuatu menurut sifat perjanjian, dikehendaki oleh

8

. Ibid. Hal 178-179 9

(27)

kepatuhan, kebiasaan atau undang-undang.10

Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum berkewajiban untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Prinsip kebebasan berkontrak dianut oleh hukum positif kita sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat (1) dan diberlakukan secara luas dalam praktek hukum di Indonesia dan bahkan prinsip ini menjadi begitu penting karena digunakan sebagai prinsip kunci dalam mengembangkan berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia, seperti : Perjanjian Patungan, Perjanjian Bantuan Teknis, Perjanjian Lisensi, Perjanjian Penggabungan (Merger), Perjanjian Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dan sebagainya. Jenis-jenis perjanjian tersebut baru dikenal luas setelah diperkenalkannya Undang-undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mengundang investor asing ke Indonesia.11

Penulisan ini bersifat penelitian yang deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif di bidang kontrak bagi hasil. Sifat penelitian deskriptif adalah bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu F. METODE PENULISAN

10

Sholeh Soeadi, Vademecum Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Penerbit PT.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000, Hal 113

11

(28)

gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.12

1. Bahan Hukum Primer terdiri dari : Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu Undang-undang Nomor 22 Selain pendekatan yuridis normatif, juga diperhatikan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undangan pertambangan minyak dan gas bumi terutama setelah keluarnya undang-undang tentang yang baru di bidang minyak dan gas bumi, yaitu undang-undang yang baru di bidang minyak dan gas bumi, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 2001 dan Buku III KUH Perdata yang ada kaitannya dengan pelaksanaan kontrak bagi hasil di bidang perminyakan dengan spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa penelitian studi kasus.

Sesuai dengan judul skripsi yaitu : Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil dalam Industri Perminyakan, maka lokasi penelitian ditujukan kepada Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Utara. Alasan dipilihnya lokasi penelitian ini karena domisili lembaga tersebut di Provinsi Sumatera Utara dekat dengan tempat Penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum USU.

Sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder, dan tertier, yaitu :

12

(29)

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, UU Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu buku-buku di bidang Perdata, khususnya hukum kontrak dan Contract Production Sharing.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu dokumen-dokumen tentang kontrak bagi hasil Pemerintah, dalam hal ini BPMIGAS, yaitu kontrak sebelum UU Nomor 22 Tahun 2001 yang dibuat oleh Pertamina dan setelah Undang-undang No.22 Tahun 2001 yang dikelola oleh BPMIGAS

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini ditulis dalam lima bab, pada setiap babnya terbagi lagi kedalam sub bab yang dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

(30)

BAB II : BENTUK DAN PENGERTIAN KONTRAK

Dalam bab ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yang pertama kontrak ditinjau secara umum asas-asas dalam hukum kontrak, jenis-jenis kontrak, syarat sahnya kontrak dan pada bagian keduanya membahas tentang pengertian dan latar belakang timbulnya sistem kontrak bagi hasil, landasan hukum dan prosedur sistem kontrak bagi hasil, bentuk dan substansi kontrak bagi hasil, jangka waktu dan pola penyelesaian sengketa kontrak bagi hasil

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG INDUSTRI PERMINYAKAN DI INDONESIA

Dalam bab ini dibahas sejarah industri perminyakan yang ada di Indonesia, sumber hukum perjanjian pengelolaan dan pertambangan migas di Indonesia, badan pelaksana kegiatan hulu dan hilir migas di Indonesia dan variable yang mempengaruhi dalam pembagian hasil migas dan gambaran umum tentang dana bagi hasil migas.

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN SISTEM KONTRAK BAGI HASIL DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN.

Dalam bab ini dibahas pelaksanaan sistem kontrak bagi hasil dalam industri perminyakan, tinjauan yuridis terhadap ketentuan kontrak bagi hasil di Indonesia, dan permasalahan yang muncul setelah UU No.22/2001 diberlakukan dalam pelaksanan kontrak bagi hasil.

(31)
(32)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP KONTRAK PADA UMUMNYA

A. Pengertian Kontrak Secara Umum

Hidup di dalam zaman dimana manusia semakin tidak tergantung dari jarak, tempat dan juga dari perbedaan waktu. Sejak manusia memulai kegiatan ekonomi dengan perdagangan barter, banyak sekali yang telah berkembang dan terjadi dalam transaksi antarmanusia maupun antarbadan hukum, mau tidak mau manusia membuat dan melibatkan diri dalam suatu perjanjian yang semakin banyak mengambil bentuk sebagai kontrak atau perjanjian tertulis.13

Kata kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu ”Contract” yang artinya Kontrak Perjanjian. 14 Dalam KUH Perdata, pengertian kontrak dalam hal ini adalah perjanjian sebagai suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih ( Pasal 1313 KUH Perdata).15

Asas kebebasan berkontrak ini diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang bunyinya sebagai berikut: ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah

Di dalam kontrak terdapat asas kebebasan berkontrak atau yang dikenal juga dengan Freedom of Contract yang memberi kebebasan para pihak untuk menuangkan hal-hal yang ingin diperjanjikan dan juga untuk menuangkan hal-hal yang tidak dikehendaki dalam perjanjian.

13

. Budiono Kusumohamidjojo, Panduan untuk Merancang Kontrak, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001, Hal 1.

14

. Jhon, M Echols dan Hassan Shadilly, Kamus Inggris Indonesia, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta,1997, Hal 144.

15.

(33)

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak ini bukan berarti kebebasan tak terbatas atau absolute, tetapi kebebasan yang relatif. Hal yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kebiasaan.

Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum berkewajiban untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Prinsip kebebasan berkontrak dianut oleh hukum positif kita sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat (1) dan diberlakukan secara luas dalam praktek hukum di Indonesia dan bahkan prinsip ini menjadi begitu penting karena digunakan sebagai prinsip kunci dalam mengembangkan berbagai jenis perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia

1. Asas-Asas dalam Kontrak

Joni Ermizon mengemukakan 16 prinsip atau asas perjanjian yang menjadi dasar penyusunan kontrak, yaitu:16

16

. Joni Ermizon, Opcit, Hal 184-193

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah Open System atau

(34)

b. Asas Konsensualisme

Asas ini dikenal dengan prinsip penawaran dan penerimaan (Offer and Acceptance) di antara para pihak. Suatu tawaran harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

a. Tawaran tersebut harus pasti dan jelas

b. Tawaran tersebut haruslah dilakukan secara serius c. Tawaran tersebut haruslah dikomunikasikan

Suatu perjanjian timbul apabila telah ada konsensual atau persesuaian kehendak antara para pihak. Dengan kata lain, sebelum tercapainya kata sepakat, maka perjanjian tidak akan ada.

c. Asas Kebiasaan

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, yang prudensi, dan sebagainya. Tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Dalam KUH Perdata, azas ini diatur secara tegas dalam dua pasal, yaitu Pasal 1339 KUH Perdata dan Pasal 1347 KUH Perdata.

d. Asas Kepercayaan

Para pihak harus menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak, bahwa satu sama lain akan memenuhi janji. Janji yang disepakati atau prestasinya dikemudian hari (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).

e. Asas Kekuatan Mengikat

(35)

f. Asas Persamaan Hukum

Pada dasarnya, para pihak diberikan kedudukan dan mempunyai kedudukan yang sama, diberikan hak dan mempunyai hak-hak yang sama dan diberikan kewajiban serta akan mempunyai kewajiban sebagaimana sesuai dengan yang diperjanjikan.

g. Asas Peralihan Resiko

Dalam penyusunan kontrak peralihan resiko dapat dicantumkan dalam perjanjian karena dalam pelaksanaan perjanjian kemungkinan terjadi hal-hal yang timbul di luar perkiraan para pihak akan terjadi atau timbul.

Dalam sistem hukum Indonesia, beralihnya suatu resiko atas kerugian yang timbul yang berlaku untuk jenis-jenis perjanjian tersebut seperti jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya tanpa perlu memperjanjikan dalam perjanjian yang bersangkutan.

h. Asas Ganti Kerugian

Asas atau prinsip ganti rugi selalu dianut dalam setiap janji hukum. Setiap pihak yang d0irugikan berhak menuntut ganti rugi atas tidak dipenuhinya atau dilanggarnya atau diabaikannya suatu ketentuan dalam perjanjian oleh pihak lain. Ganti rugi atau Pinitive Damages dalam sistem Huku m Anglo-Saxon, pencatatan istilah tersebut dalam suatu perjanjian akan dapat menimbulkan masalah bila tidak dijelaskan secara rinci.

Dalam KUH Perdata, asas ganti rugi diatur dalam Pasal 1365 yang menentukan bahwa : “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

(36)

Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, terdapat 4 (empat) unsur yaitu:

1. Karena adanya perbuatan melawan hukum (Onrecht Maltgedaad) 2. Harus ada kesalahan

3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan

4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian i. Asas Kepatuhan

Asas kepatuhan ini sangat erat kaitannya dengan isi perjanjian yang disepakati para pihak. Secara tegas, asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatuhan, kebiasaan

atau undang-undang.”

j. Asas Sistem Terbuka (Casis Where Is)

Dalam suatu kontrak perlu diperhatikan azas keterbukaan, yaitu hal-hal yang diutarakan harus menjadi bahan pertimbangan bagi pembeli di dalam rencana menutup transaksi tersebut, termasuk di dalam menentukan beberapa harga yang wajar yang ditawarkan.

k. Asas Kewajaran (Fairness)

(37)

l. Asas Ketetapan Waktu

Setiap perjanjian apapun bentuknya harus ada batas waktu berakhirnya yang merupakan kepastian penyelesaian prestasi. Asas ini sangat penting dalam kontrak. Kontrak tersebut misalnya, kontrak-kontrak yang berkaitan dengan proyek keuangan, bahwa setiap kegiatan yang telah diperjanjikan harus diselesaikan pada tepat waktu yang telah diperjanjikan.

m. Asas Kerahasiaan (Confidentially)

Pada dasarnya, perjanjian yang dibuat hanya untuk kepentingan kedua belah pihak. Oleh karena itu, para pihak diwajibkan untuk kepentingan kedua belah pihak, menjaga kerahasiaan daripada ketentuan. Ketentuan dan contoh-contoh data yang berkaitan di dalam perjanjian dan tidak dibenarkan untuk menyebarluaskan atau memberitahukan kepada pihak ketiga. Namun, biasanya juga diatur tentang pengecualian-pengecualian, yaitu suatu pihak dapat memberikan data tersebut kepada pihak lain.

n. Asas Keadaan Darurat

Baik kontrak internasional maupun nasional, selalu mencantumkan isi penting, apabila terjadi hal-hal diluar kemampuan merugikan atau diakibatkan oleh kejadian alam. Namun, dalam praktek ada juga apabila adanya perubahan kebijaksanaan Pemerintah dimasukkan sebagai suatu keadaan darurat.

o. Asas Pilihan Hukum

(38)

Law) menjadi penting karena tidak semua pihak asing merasa senang bahwa perjanjiannya diatur dan ditafsirkan menurut hukum Indonesia. Untuk menentukan hukum mana yang berlaku, ada beberapa teori lama yang dapat digunakan, yaitu lex loci solution atau the proper law of the contract atau ajaran tentang aanknopigspunten. Selain itu ada berbagai bentuk pilihan hukum, yaitu: 1. Pilihan hukum secara tegas

Yaitu, para pihak mengemukakan kehendak mereka secara tegas dan jelas tentang hukum mana yang menguasai kontrak-kontrak mereka apakah hukum Negara A atau Negara B atau Konvensi Internasional.

2. Pilihan hukum secara diam-diam

Bentuk pilihan hukum ini biasanya dapat dilihat dari maksud para pihak melalui sikap mereka dalam bentuk isi kontrak yang mereka adakan dan/atau setuju

3. Pilihan hukum yang dianggap

Dalam hal ini, adanya anggapan (presumption luris) hakim telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.

4. Pilihan hukum secara hypotetisch

Pada dasarnya, para pihak tidak ada kemauan untuk memilih hukum mana, maka hakimlah yang melakukan pilihan hukum tersebut. Hakim bekerja dengan suatu fictie.

p. Asas Penyelesaian Perselisihan

(39)

penyelesaian sengketa dagang lebih banyak diselesaikan melalui lembaga non- litigasi, yaitu Arbitrase karena keputusan arbitrase sifatnya final dan binding, yaitu tidak bisa dimintakan banding ke pengadilan. Selain itu, biaya lebih murah dan waktunya lebih singkat dibandingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

2. Bentuk-bentuk Kontrak

Dalam kontrak dikenal ada 3 (tiga) bentuk kontrak, yaitu: 17 1. Standart Contract atau Perjanjian Baku

Adalah perjanjian yang hampir seluruh klausalnya dibukukan dan dibuat dalam bentuk formulir. Dengan kata lain, Perjanjian Baku tujuan utama Standart Contract. Ditujukan untuk kelancaran proses perjanjian dengan mengutamakan efisiensi, ekonomis dan praktis. Tujuan khususnya, yaitu untuk kepentingan satu pihak, untuk melindungi kemungkinan kerugian akibat perbuatan debitur serta menjamin kepastian hukum.

2. Kontrak Bebas

Dasar hukum kebebasan berkontrak ini, yaitu Pasal 1338 KUH Perdata. Namun, mengingat KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3) mengenai asas keadilan dan KUH Perdata Pasal 1339 tentang asas kepatutan, kebiasaan serta undang-undang, maka pada prinsipnya, kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan asas kepatutan, kebiasaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

17

(40)

3. Kontrak tertulis dan tidak tertulis

Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Sementara itu, perjanjian lisan ialah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan lisan para pihak).

Ada 3 (tiga) bentuk Perjanjian tertulis, yaitu :18 a. Perjanjian di bawah tangan

Yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja, perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga, para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban mengutamakan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat dibenarkan.

b. Perjanjian dengan saksi Notaris untuk melegalisasi tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian Notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesulitan tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal harus membuktikan penyangkalannya.

18

(41)

c. Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris dalam bentuk akta Notariel.

Akta Notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang, seperti Notaris, Camat, PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.

3. Jenis-jenis Kontrak

Selanjutnya, mengenai jenis kontrak, secara umum suatu kontrak, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis terbagi atas beberapa jenis, antara lain:19

1. Perjanjian Timbal-balik

Adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual-beli, dan sewa-menyewa.

2. Perjanjian Cuma-cuma

Adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya Perjanjian Ibah.

3. Perjanjian atas Beban

Adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

19

(42)

4. Perjanjian Bernama

Adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang diatur dan diberi nama dan pembentukan undang-undang. Perjanjian bernama diatur dalam Bab V sampai Bab XVIII KUH Perdata.

5. Perjanjian Tidak Bernama

Adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHP Perdata, namun terdapat di masyarakat. Timbulnya perjanjian jenis ini berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak, misalnya perjanjian sewa beli, perjanjian keagenan, perjanjian distributor, perjanjian pembiayaan, sewa guna usaha/leasing, anjak piutang, modal ventura, kontrak kredit, dan lain sebagainya.

6. Perjanjian Campuran

Yaitu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya perjanjian kerja sama pendirian pabrik pupuk dan diikuti dengan perjanjian jual beli mesin pupuk serta perjanjian pembentukan teknik (Technical Assistance Contract).

7. Perjanjian Kebendaan

Yaitu perjanjian hak atas benda dialihkan (Transfer of Title A) atau diserahkan kepada pihak lain.

8. Perjanjian Konsensualisme

(43)

9. Perjanjian yang sifatnya istimewa, yaitu sebagai berikut : a. Perjanjian Liberatoir

Yakni perjanjian para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang. (Pasal 1438 KUH Perdata).

b. Perjanjian Pembuktian

Yaitu perjanjian antara para pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka

c. Perjanjian Publik

Yaitu perjanjian sebagian atas seluruhnya yang dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa pemerintah.

4. Syarat Sahnya Kontrak

Mengenai syarat sahnya kontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan untuk sahnya persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (Consensus)

2. Kecakapan untuk membuat perikatan (Capacity) 3. Suatu hal tertetu (Certainty of Term/ Subject Matter) 4. Suatu sebab yang halal (Consideration/Legal Causa)

ad.1 . Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(44)

ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Orang-orang yang dianggap cakap (kompeten) dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak adalah semua orang yang telah dewasa.

Orang yang dianggap sudah dewasa dan cakap dalam membuat perjanjian oleh Pasal 1330 KUH Perdata adalah:

1. Sudah genap berusia 21 tahun

2. Sudah kawin dan kemudian bercerai meskipun belum genap berumur 21 tahun

Ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sejak dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa umur dewasa adalah 18 tahun atau sudah pernah kawin. Umur dewasa 21 tahun dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI dalam putusannya No. 477 k/sip 1976 tanggal 13 Oktober 1976.

ad.3. Suatu hal tertentu

Arti dari suatu hal tertentu ialah suatu hal yang telah diperjanjikan dalam suatu kontrak mengenai suatu hal atau barang yang jelas. Beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang (dalam hal ini KUH Perdata) terhadap objek tertentu dari kontrak, khususnya jika objek kontrak tersebut berupa barang adalah sebagai berikut :

1. Barang yang merupakan objek kontrak tersebut haruslah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata)

(45)

3. Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal saja jumlah tersebut kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2) KUH Perdata) 4. Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada di kemudian hari

(Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata.20

ad.4 .Suatu sebab yang halal

Maksud dari suatu sebab yang halal adalah isi daripada kontrak itu sendiri yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Contoh kontrak dengan kuasa yang tidak legal :

1. Kontrak untuk bercerai

2. Kontrak yang mengandung unsur judi

Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat dua syarat, yaitu : 1. Syarat subjektif yang terdiri dari :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 2. Syarat objektif terdiri dari :

a. Suatu hal tertentu b. Suatu sebab yang halal

Apabila salah satu atau dua syarat subjektif tidak dipenuhi, maka kontrak tersebut dapat diminta kebatalannya oleh pihak yang tidak cakap. Selama Hakim belum membatalkan kontrak tersebut atas permintaan salah satu pihak tersebut, maka kontrak tersebut tetap mengikat. Jika salah satu atau kedua syarat objektif tidak dipenuhi, maka kontrak tersebut batal demi hukum atau dengan kata lain, kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada.

20

(46)

Adapun perbedaan dari kontrak yang batal demi hukum adalah:21

1. Kontrak yang dapat dibatalkan adalah kontrak yang sah, mengikat para pihak dan dapat dilaksanakan sampai kontrak tersebut dibatalkan.

2. Kontrak yang batal demi hukum masih dimungkinkan untuk dikonversi atau diubah menjadi kontrak yang sah. Dilihat dari syarat-syarat sahnya kontrak atau perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan bagian inti (non wezenlijk oorseel. Bagian inti ini disebutkan bagian essensilia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia.

1. Essensilia

Bagian ini merupakan sifat yang harus menentukan atau menyebabkan perjanjian ini tercipta (Constructive Oordeel) seperti persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian.

2. Naturalia

Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (Vrijwaring).

3. Aksidentalia

Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak.22

21

. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung, 1993,Hal 99

22

(47)

5. Berakhirnya dan Hapusnya Kontrak

Setiap kontrak/perjanjian yang dibuat apapun nama, bentuk dan jenisnya tentu harus mempunyai batas waktu berakhirnya, mengenai cara dan faktor-faktor yang merupakan penyebab berakhirnya atau hapusnya persetujuan itu menurut hukum.23

1. Pembayaran (dapat dilakukan di tempat yang ditetapkan dalan kontrak, atau di tempat barang berada)

Ada sepuluh cara hapusnya perjanjian, yaitu :

2. Penawaran pembayaran turut diikuti dengan penyimpanan atau penitipan atau sistem konsinyasi 24

3. Pembaruan utang (dengan cara novasi objektif dan novasi subjektif)

4. Perjumpaan utang atau kompensasi (dapat terjadi antara dua utang yang keduanya berpokok pada sejumlah utang atau barang yang habis pakai dari jenis yang sama)25

5. Percampuran utang (jika kreditur dan debiturnya satu orang demi hukum suatu percampuran utang itu utang-piutang itu menjadi hapus) 26

6. Pembebasan utang (Pasal 1348 dan Pasal 1439 KUH Perdata)

7. Batal/pembatalan (Pasal 1449 KUH Perdata menetapkan bahwa perikatan yang dibuat secara paksa terdapat unsur kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya)

23

. Terdapat dalam Pasal 1381, KUH Perdata Indonesia 24

. Sistem Konsinyasi ini diatur dalam Pasal 1383 s/d 1409 KUH Perdata Indonesia 25

Terdapat dalam Pasal 1425 s/d 1435 KUH Perdata Indonesia 26.

(48)

8. Berlakunya status syarat pembatalan

9. Lewat waktu/ kadaluwarsa (menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata) apabila batas waktu yang disepakati terlampaui, kontrak tersebut berakhir.

B. TINJAUAN TERHADAP KONTRAK BAGI HASIL

1. Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Sistem Kontrak Bagi Hasil.

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing

Contract (PSC). Pasal 1 angka 19 Undang–undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyebutkan :

Kontrak Kerjasama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 27

Production sharing contract Means an aggreement Entered Into Drafter....by the goverment of Indis with any person for the association or

Menurut Pasal (1) angka (1) PP Nomor 35 Tahun 1994, Kontrak Production Sharing adalah kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.

Di dalam Made 1 huruf 1 The Petroleum Tax Code 1997, kontrak bagi hasil digambarkan sebagai berikut :

27

Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (PSC) tetapi difokuskan kepada konsep teoretis kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu Contract Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya, unsur kontrak kerjasama ini, yaitu :

1. Dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk lainnya 2. Bidang kegiatannya yaitu eksplorasi dan eksploitasi

3. Syaratnya harus menguntungkan Negara

(49)

participation of the goverment of India or any person authorized by any business consisting propecting for or production of petroleum and natural gas.”

Kontrak Bagi Hasil merupakan perjanjian bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi dan para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Sementara itu, dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 para pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha atau usaha tetap. Dengan demikian, defenisi Contract Production Sharing adalah : “ Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi” , dengan prinsip bagi hasil :

1. Adanya perjanjian atau kontrak

2. Adanya subjek hukum atau badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap

3. Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, dimana eksplorasi bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan, sedangkan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi.

4. Kegiatan di bidang minyak dan gas 5. Adanya prinsip bagi hasil

(50)

antara kedua belah pihak dan biasanya dituangkan dalam Contract Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil).

Sedangkan Sutadi mengartikan Contract Production Sharing dengan perjanjian bagi hasil adalah bentuk kerjasama dengan pihak asing di bidang minyak dan gas bumi sesuai dengan penggarisan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.28

1. Kendali manajemen dipegang oleh perusahaan Negara

Kontrak di bidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman Hindia Belanda adalah Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan pada tahun 1989 sejak diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW). Pemerintah Hindia Belanda menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam Indonesia. Perbaikan kebijakan di bidang pertambangan dilakukan, antara lain pada tahun 1910 dan 1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkan Monordorantie (Ordonansi Pertambangan).

Konsep Contract Production Sharing dimunculkan pertama kali pada tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah menawarkan substansi isi kontrak bagi hasil kepada para kontraktor asing. Isinya adalah sebagai berikut :

2. Kontrak akan didasarkan pada pembagian keuntungan

28

(51)

3. Kontraktor akan menanggung resiko pra produksi dan bila minyak ditemukan penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% pertahun dari minyak yang dihasilkan

4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya pelunasan adalah dibawah 40% maksimum akan dibagi dengan komposisi 65% untuk perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor

5. Hak atas semua peralatannya yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia dari biaya akan ditutup dengan formula 40%.

Kemudian, konsep ini dituangkan dalam Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam ketentuan itu ditentukan bahwa Perusahaan dapat mengadakan kejasama dengan pihak lain dalam bentuk Production Sharing.

Konsep Contract Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang baik dari para kontraktor asing, sehingga pada tahun 1966-1975 sebanyak 55 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil kini telah dikuatkan oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ditentukan bahwa para pihak yang terkait dalam Contract Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) adalah badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai Perusahaan Perseroan (Persero).

(52)

dari zaman pemerintahan Belanda sampai dengan saat ini (2007) adalah sebagai berikut:

1. Sistem Konsensi atau lazim disebut Kontrak 5A (berlaku pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda)

Sistem Konsensi merupakan sistem dimana dalam pengelolaan minyak dan gas bumi kepada perusahaan pertambangan diberikan kuasa pertambangan dan hak untuk menguasai hak atas tanah. Jadi, hak-hak yang dinikmati oleh perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi adalah:

a. Kuasa pertambangan b. Hak atas tanah

2. Perjanjian Karya (berlaku pada tahun 1960-1963)

Dalam sistem ini, perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diberi hak kuasa pertambangan saja, tidak meliputi hak atas tanah. Demikian pula sebaliknya, pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan tugas yang bersangkutan dengan tanah miliknya dengan menerima ganti kerugian.

3. Contract Production Sharing (tahun 1964 sampai dengan 2007)

(53)

Kontrak Bagi Hasil (PSC) telah mengalami beberapa generasi-generasi kontrak. Kontrak Bagi Hasil dapat dibagi menjadi empat generasi yaitu :29

Masing - masing generasi mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Prinsip- prinsip itu sebagai berikut :

a. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1964-1977) b. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) c. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002)

(Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2002

d. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007)

30

1. Manajemen operasi berada di tangan Pertamina

a. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977)

Kontrak ini merupakan bentuk awal Kontrak Production pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak di dunia, sehingga pemerintah menetapkan kebijaksanaan bahwa sejak tahun 1974. Kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada Pemerintah. Prinsip-prinsip Production Sharing (KPS) Generasi I adalah sebagai berikut:

2. Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan

3. Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya dengan ketentuan 40% setiap tahun

4. Dari 60% dibagi menjadi: - Pertamina 60%

29

Salim HS, Opcit, hal 273 30

(54)

- Kontraktor 35%

5. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada Pemerintah

6. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dalam negeri secara proporsional

(Maksimum 25% bagiannya) dan harga US$ 0,20 Barel

7. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina

8. Interest kontraktor ditawarkan kepada perusahaan negara Indonesia setelah dinyatakan komersial

9. Sejak tahun 1974 dengan tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan tambahan pembayaran kepada Pemerintah.

b. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987)

Pada tahun 1976, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS Rulling, yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income KPS

(55)

Prinsip-prinsip pokok sistem kontrak bagi hasil (KPS) Generasi II (1978-1987) disajikan sebagai berikut :

a. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh kontraktor.

b. Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 55,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sedangkan gas 31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk Kontraktor.

c. Kontraktor membayar pajak 50% secara langsung kepada Pemerintah

d. Kontraktor mendapat insentif, yaitu harga ekspor penuh minyak mentah

Domestic Market Obligation (DMO) setelah lima tahun pertama produksi.

c. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002) Pada tahun 1984, Pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan pajak baru untuk Kontrak Production Sharing (KPS) dengan tarif 48%. Namun, peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap kontrak bagi hasil yang ditandatangani pada tahun 1988 karena dalam perundang-undangan yang dilakukan, pihak Kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk menggunakan peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian, pembagian hasil berubah menjadi minyak 71,15% untuk Pertamina, 28,85 % untuk Kontraktor, gas 42,31% untuk Pertamina, 57,69% untuk Kontraktor. Setelah dikurangi pajak, maka komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak sebagai berikut :

(56)

d. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007) Momentum dimulainya Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV, yaitu pada saat diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang ini berbeda dengan undang-undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi para pihak adalah Pertamina dan Kontraktor. Sedangkan dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, maka yang menjadi para pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha.

Badan pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan pelaksana ini telah terbentuk pada bulan Agustus 2002 dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang dikepalai oleh Kardaya Warnika.31

Di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan di dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Apabila kita mengacu kepada Pasal 66 ayat (20) UU Nomor 22 Tahun 2001, maka jelas di dalam pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut didalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Apabila kita mengacu pada Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

31

(57)

belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan Energi. Apabila digunakan ukuran pada Generasi III, pembagian hasilnya adalah sebagai berikut :

a. Minyak : 85% untuk Badan Pelaksana dan 15% untuk Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap.

b. Gas : 70% untuk Badan Pelaksana dan 30% untuk Badan Tetap.

Dalam undang-undang ini juga diatur tentang penyerahan pembagian hak Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri paling banyak 25% (Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi). Setiap generasi Kontrak Production Sharing ternyata memiliki pembagian hasil yang berbeda antara Pertamina dengan Kontraktor. Perbedaan ini dapat dilihat berikut ini :

1. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977), pembagian hasil untuk minyak 60% dibagi menjadi 65% dan kontraktor 35%.

2. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 65,915 untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sementara gas 31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk Kontraktor.

(58)

a. Minyak 65% untuk Pertamina, 15% untuk Kontraktor b. Gas 70% untuk Pertamina dan 30% untuk Kontraktor

4. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007) Komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah :

a. Minyak 85% untuk Badan Pelaksana, 155% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap

b. Gas 70% untuk Badan Pelaksana, dan 30% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap 32

1. Undang-undang No.14 PP Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi

2. Landasan Hukum dan Prosedur Sistem Kontrak Bagi Hasil

Landasan hukum yang mengatur tentang kontrak bagi hasil di bidang pertambangan minyak bisa kita lihat melalui peraturan perundang-undangan berikut ini:

2. Undang-undang No.15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Thn 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri

3. Undang-undang No.8 Thn 1971 tentang Pertamina yaitu Undang-undang No.10 Tahun 1974, tentang Perubahan Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina

4. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

32

(59)

5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1982 tentang Kewajiban dan Tatacara Penyetoran Pendapatan Pemerintah dan Hasil Operasi Pertamina sendiri dan

Kontrak Production Sharing

6. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

Setelah UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diberlakukan, Undang-undang No. 44 Tahun 1960 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1952 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, UU Nomor 10 Tahun 1974 tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1971 Pertamina tidak berlaku lagi, namun peraturan-peraturan pelaksanaan dari keempat undang-undang tersebut tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru.

Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, pada dasarnya kontrak kerjasama dibidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu :

a. Kontrak Bagi Hasil b. Bentuk kerjasama lainnya

Di dalam praktiknya, bentuk kerjasama lain antara Pertamina dan perusahaan dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu :

1. Perjanjian Karya, yaitu kerjasama antara perusahaan Negara minyak dan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi

(60)

merupakan kerjasama antara Pertamina dengan perusahaan swasta dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur atau lapangan minyak yang ditinggalkan dalam kuasa pertambangan pertamina

3. Kontrak Enchaced Oil Recovery (EOR), yaitu kerjasama antara Pertamina dengan perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada sumur dan lapangan minyak yang masih dioperasikan pertamina dan sudah mengalami penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tinggi meliputi secondary dan tertiary recovery

4. Kontrak Operasi Bersama (KOB), yaitu kerjasama antara Pertamina dan perusahaan swasta dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik 33

Di samping itu masih ada kerjasama lainnya, yaitu kerjasama bidang migas hilir. Kerjasama ini dilakukan antara Pertamina dengan perusahaan swasta. Objek kerja sama di bidang hilir, yaitu usaha pemurnian dan pengolahan minyak dan gas bumi. Kontrak bagi hasil merupakan kontrak yang utama, sedangkan kontrak lainnya merupakan pengembangan dari kontrak bagi hasil.

Kegiatan di bidang minyak dan gas bumi dapat dibagi 2 (dua) macam, yaitu kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hilir merupakan kegiatan yang berintikan atau kegiatan yang bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga (Pasal 1 angka (10) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi). Kegiatan usaha

33

(61)

hilir dilaksanakan dengan izin usaha. Izin usaha ini diberikan kepada badan usaha untuk melaksanakan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan atau niaga. Tujuan pemberian izin usaha ini adalah untuk memperoleh keuntungan atau laba. Kegiatan usaha hulu merupakan kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan usaha hulu dituangkan dalam kontrak bagi hasil. Prosedur yang ditempuh untuk dapat melakukan usaha hulu, adalah sebagai berikut :34

Di dalam kontrak bagi hasil, memuat tiga persyaratan pokok, yaitu : a. Hanya dapat dilakukan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap b. Kegiatan usaha ini didasarkan pada kontrak bagi hasil

c. Tujuan penuangan berbagai kewajiban dalam persyaratan kontrak adalah untuk mempermudah pengendalian kegiatan usaha hulu dan didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan lainnya

d. Setiap kontrak kerjasama yang telah ditandatangani kedua belah pihak, salinan kontraknya dikirim kepada DPR RI, khususnya pada komisi yang membidangi minyak dan gas bumi

35

a. Kepemilikan sumber daya tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan

b. Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana.

c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung badan usaha atau badan usaha tetap.

34

. Salim, HS, Opcit, Hal 281-282 35

Gambar

 Tabel 1
Tabel  5
Tabel 4 Bidang-Bidang Program dalam Community Development

Referensi

Dokumen terkait

Markerless human manipulator interface using leap motion with interval kalman filter and improved particle filter.. An analysis of the precision and reability of the leap

Memohon kesediaan dari Bapak/Ibu untuk mengisi angket kuesioner penelitian saya yang berjudul “Pengaruh Mediasi Kepuasan Kerja Pada Hubungan Keadilan

Memahami jenis pekerjaan dan penggunaan uang (100- 20.000) 3.1 Mengenal jenis-jenis pekerjaan 3.2 Memahami pentingnya semangat kerja 3.3 Memahami kegiatan jual beli

yaitu: tata tertib sekolah di SMP Negeri 11 Semarang. 3) Bahan Hukum Tersier. Bahan Hukum Tersier adalah petunjuk atau

Sesuatu yang diberitakan kepada mitra tutur itu, lazimnya merupakan pengungkapan suatu peristiwa atau suatu kejadian (Rahardi, 2008: 74). Kalimat deklaratif dapat merupakan

Di sisi lain, dalam konteks transaksi EBA, Indonesia Power juga akan bertindak sebagai Servicer untuk melakukan penagihan piutang komponen A pada PLN serta meneruskan sebagian

Sehingga metode yang digunakan TIC adalah menggunakan data pola berpikir manusia dan dikalikan dengan indeks tertentu ( hasil dari riset ) akan memunculkan nilai