• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Sistem Kontrak Bagi Hasil. Hasil

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

TINJAUAN TERHADAP KONTRAK PADA UMUMNYA

B. TINJAUAN TERHADAP KONTRAK BAGI HASIL

1. Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya Sistem Kontrak Bagi Hasil. Hasil

Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production Sharing

Contract (PSC). Pasal 1 angka 19 Undang–undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyebutkan :

Kontrak Kerjasama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 27

Production sharing contract Means an aggreement Entered Into Drafter....by the goverment of Indis with any person for the association or

Menurut Pasal (1) angka (1) PP Nomor 35 Tahun 1994, Kontrak Production Sharing adalah kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.

Di dalam Made 1 huruf 1 The Petroleum Tax Code 1997, kontrak bagi hasil digambarkan sebagai berikut :

27

Pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (PSC) tetapi difokuskan kepada konsep teoretis kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu Contract Production Sharing dan kontrak-kontrak lainnya, unsur kontrak kerjasama ini, yaitu :

1. Dapat dilakukan dalam bentuk Kontrak Bagi Hasil atau bentuk lainnya 2. Bidang kegiatannya yaitu eksplorasi dan eksploitasi

3. Syaratnya harus menguntungkan Negara

participation of the goverment of India or any person authorized by any business consisting propecting for or production of petroleum and natural gas.”

Kontrak Bagi Hasil merupakan perjanjian bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi dan para pihaknya adalah Pertamina dan Kontraktor. Sementara itu, dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 para pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha atau usaha tetap. Dengan demikian, defenisi Contract Production Sharing adalah : “ Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi” , dengan prinsip bagi hasil :

1. Adanya perjanjian atau kontrak

2. Adanya subjek hukum atau badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap

3. Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, dimana eksplorasi bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan, sedangkan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi.

4. Kegiatan di bidang minyak dan gas 5. Adanya prinsip bagi hasil

Prinsip bagi hasil merupakan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian hasil yang diperoleh dari eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas bumi antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian hasil ini dirundingka n

antara kedua belah pihak dan biasanya dituangkan dalam Contract Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil).

Sedangkan Sutadi mengartikan Contract Production Sharing dengan perjanjian bagi hasil adalah bentuk kerjasama dengan pihak asing di bidang minyak dan gas bumi sesuai dengan penggarisan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada.28

1. Kendali manajemen dipegang oleh perusahaan Negara

Kontrak di bidang minyak dan gas bumi telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan saat ini. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi pada zaman Hindia Belanda adalah Indische Mijn Wet (IMW). Undang-undang ini diundangkan pada tahun 1989 sejak diundangkannya Indische Mijn Wet (IMW). Pemerintah Hindia Belanda menyatakan penguasaan mereka atas mineral dan logam Indonesia. Perbaikan kebijakan di bidang pertambangan dilakukan, antara lain pada tahun 1910 dan 1918. Pada tahun 1906 telah ditetapkan Monordorantie (Ordonansi Pertambangan).

Konsep Contract Production Sharing dimunculkan pertama kali pada tahun 1960 di Venezuela oleh Ibnu Sutowo. Pada tahun 1966, Ibnu Sutowo telah menawarkan substansi isi kontrak bagi hasil kepada para kontraktor asing. Isinya adalah sebagai berikut :

2. Kontrak akan didasarkan pada pembagian keuntungan

28

. Sutadi Pudjoutomo, Bentuk-bentuk Insentif dalam Kontrak Production Sharing “Warta Caltex No.21 Hal 11.

3. Kontraktor akan menanggung resiko pra produksi dan bila minyak ditemukan penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% pertahun dari minyak yang dihasilkan

4. Sisa 60% dari produksi (lebih dari biaya pelunasan adalah dibawah 40% maksimum akan dibagi dengan komposisi 65% untuk perusahaan Negara dan 35% untuk kontraktor

5. Hak atas semua peralatannya yang dibeli kontraktor akan dipindahkan kepada perusahaan Negara begitu peralatan itu masuk ke Indonesia dari biaya akan ditutup dengan formula 40%.

Kemudian, konsep ini dituangkan dalam Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Dalam ketentuan itu ditentukan bahwa Perusahaan dapat mengadakan kejasama dengan pihak lain dalam bentuk Production Sharing.

Konsep Contract Production Sharing ternyata mendapat sambutan yang baik dari para kontraktor asing, sehingga pada tahun 1966-1975 sebanyak 55 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil kini telah dikuatkan oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, ditentukan bahwa para pihak yang terkait dalam Contract Production Sharing (Kontrak Bagi Hasil) adalah badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap, bukan lagi Pertamina. Sementara itu, status Pertamina saat ini adalah sebagai Perusahaan Perseroan (Persero).

dari zaman pemerintahan Belanda sampai dengan saat ini (2007) adalah sebagai berikut:

1. Sistem Konsensi atau lazim disebut Kontrak 5A (berlaku pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda)

Sistem Konsensi merupakan sistem dimana dalam pengelolaan minyak dan gas bumi kepada perusahaan pertambangan diberikan kuasa pertambangan dan hak untuk menguasai hak atas tanah. Jadi, hak-hak yang dinikmati oleh perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi adalah:

a. Kuasa pertambangan b. Hak atas tanah

2. Perjanjian Karya (berlaku pada tahun 1960-1963)

Dalam sistem ini, perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diberi hak kuasa pertambangan saja, tidak meliputi hak atas tanah. Demikian pula sebaliknya, pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan pemegang kuasa pertambangan untuk melaksanakan tugas yang bersangkutan dengan tanah miliknya dengan menerima ganti kerugian.

3. Contract Production Sharing (tahun 1964 sampai dengan 2007)

Prinsip yang diatur dalam kontrak ini adalah pembagian hasil minyak dan gas bumi antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Konsep bagi hasil ini mulai dilaksanakan di Indonesia sejak 1964 yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1960, tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yaitu UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.

Kontrak Bagi Hasil (PSC) telah mengalami beberapa generasi-generasi kontrak. Kontrak Bagi Hasil dapat dibagi menjadi empat generasi yaitu :29

Masing - masing generasi mempunyai prinsip-prinsip yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Prinsip- prinsip itu sebagai berikut :

a. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1964-1977) b. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) c. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002)

(Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, 2002

d. Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007)

30

1. Manajemen operasi berada di tangan Pertamina

a. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977)

Kontrak ini merupakan bentuk awal Kontrak Production pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak di dunia, sehingga pemerintah menetapkan kebijaksanaan bahwa sejak tahun 1974. Kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada Pemerintah. Prinsip-prinsip Production Sharing (KPS) Generasi I adalah sebagai berikut:

2. Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan

3. Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya dengan ketentuan 40% setiap tahun

4. Dari 60% dibagi menjadi: - Pertamina 60%

29

Salim HS, Opcit, hal 273 30

- Kontraktor 35%

5. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada Pemerintah

6. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dalam negeri secara proporsional

(Maksimum 25% bagiannya) dan harga US$ 0,20 Barel

7. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina

8. Interest kontraktor ditawarkan kepada perusahaan negara Indonesia setelah dinyatakan komersial

9. Sejak tahun 1974 dengan tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan tambahan pembayaran kepada Pemerintah.

b. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987)

Pada tahun 1976, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan IRS Rulling, yang antara lain menetapkan bahwa penyetoran 60% Net Operating Income KPS

(yang sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina) merupakan pembayaran pajak Pertamina dan Kontraktor) dianggap sebagai pembayaran royalti, sehingga disarankan kontraktor membayar pajak secara langsung kepada Pemerintah. Disamping itu, perlu diterapkan Generally Accept Accounting Procedure (GAP) dimana pembatasan pengembalian biaya operasi (Cost Recovery Celling) 40% tahun dihapuskan untuk KPS yang berproduksi dilakukan amandemen.

Prinsip-prinsip pokok sistem kontrak bagi hasil (KPS) Generasi II (1978-1987) disajikan sebagai berikut :

a. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh kontraktor.

b. Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 55,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sedangkan gas 31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk Kontraktor.

c. Kontraktor membayar pajak 50% secara langsung kepada Pemerintah

d. Kontraktor mendapat insentif, yaitu harga ekspor penuh minyak mentah

Domestic Market Obligation (DMO) setelah lima tahun pertama produksi.

c. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1988-2002) Pada tahun 1984, Pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan pajak baru untuk Kontrak Production Sharing (KPS) dengan tarif 48%. Namun, peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap kontrak bagi hasil yang ditandatangani pada tahun 1988 karena dalam perundang-undangan yang dilakukan, pihak Kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk menggunakan peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian, pembagian hasil berubah menjadi minyak 71,15% untuk Pertamina, 28,85 % untuk Kontraktor, gas 42,31% untuk Pertamina, 57,69% untuk Kontraktor. Setelah dikurangi pajak, maka komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak sebagai berikut :

a. Minyak 65% untuk Pertamina, 15% untuk kontraktor b. Gas 70% untuk Pertamina, dan 30% untuk kontraktor

d. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007) Momentum dimulainya Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV, yaitu pada saat diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Struktur dan prinsip bagi hasil dalam undang-undang ini berbeda dengan undang-undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi para pihak adalah Pertamina dan Kontraktor. Sedangkan dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas bumi, maka yang menjadi para pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha.

Badan pelaksana ini terpisah dengan Pertamina. Badan pelaksana ini telah terbentuk pada bulan Agustus 2002 dengan nama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang dikepalai oleh Kardaya Warnika.31

Di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan di dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Apabila kita mengacu kepada Pasal 66 ayat (20) UU Nomor 22 Tahun 2001, maka jelas di dalam pasal ini disebutkan bahwa segala peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak diatur secara khusus tentang komposisi pembagian hasil antara badan pelaksana dengan badan usaha tetap. Pembagian ini akan diatur lebih lanjut didalam peraturan yang lebih rendah serta dituangkan dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Apabila kita mengacu pada Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

31

belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Di dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi ditentukan bahwa yang menetapkan pembagian hasil itu adalah Menteri Pertambangan dan Energi. Apabila digunakan ukuran pada Generasi III, pembagian hasilnya adalah sebagai berikut :

a. Minyak : 85% untuk Badan Pelaksana dan 15% untuk Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap.

b. Gas : 70% untuk Badan Pelaksana dan 30% untuk Badan Tetap.

Dalam undang-undang ini juga diatur tentang penyerahan pembagian hak Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri paling banyak 25% (Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi). Setiap generasi Kontrak Production Sharing ternyata memiliki pembagian hasil yang berbeda antara Pertamina dengan Kontraktor. Perbedaan ini dapat dilihat berikut ini :

1. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi I (1904-1977), pembagian hasil untuk minyak 60% dibagi menjadi 65% dan kontraktor 35%.

2. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi II (1978-1987) setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi minyak 65,915 untuk Pertamina, 34,09% untuk Kontraktor, sementara gas 31,80% untuk Pertamina, 68,20% untuk Kontraktor.

3. Pada Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi III (1998-2002) komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak, antara lain:

a. Minyak 65% untuk Pertamina, 15% untuk Kontraktor b. Gas 70% untuk Pertamina dan 30% untuk Kontraktor

4. Prinsip Kontrak Production Sharing (KPS) Generasi IV (2002-2007) Komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah :

a. Minyak 85% untuk Badan Pelaksana, 155% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap

b. Gas 70% untuk Badan Pelaksana, dan 30% untuk Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap 32

1. Undang-undang No.14 PP Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi