Resume Buku Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si Dengan Judul
“Hukum Adat: Tentang Tanah dan Perhutangan”
BAB II. Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat 1. Transaksi Tanah
Transaksi tanah adalah perbuatan hukum timbal-balik yaitu jual-beli dengan objek tanah. Dalam hukum adat, ada dua macam, yaitu transaksi tanah sebagai perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah sebagai perbuatan hukum dua pihak atau lebih. Perbuatan hukum secara sepihak disebut perikatan karena manusia mengikatkan dirinya pada tanah/ bumi itu.
Pengertian jual dalam UUPA sama dengan pengertian jual lepas dalam hukum adat yaitu melepaskan haknya atas tanah untuk selama-lamanya dengan imbalan menerima sejumlah uang yang telah disetujui. Sedangkan dalam hukum adat, istilah jual meliputi: jual lepas, jual gadai, dan jual tahunan. Dalam transaksi tanah atau barang itu pada intinya adalah tolong- menolong.
a. Jual lepas (Jw. adol plas), Transformasi Hukum, dan Asas Kesepahaman dalam Hukum Adat
Jual lepas adalah penyerahan hak atas tanah untuk selama-lamanya dengan imbalan (menerima) sejumlah uang atas dasar persetujuan bersama. Dalam istilah jual lepas, pengertian 'lepas' bermakna 'putus hubungan' yaitu hak atas tanah oleh si empunya tanah dilepas untuk selama-lamanya. Hal ini juga melepas hubungan roh-roh leluhur dan danyang-danyang pelindung yang manunggal dengan tanah itu dilepas untuk selama- lamanya. Sedangkan yang dimaksud dengan tukar-menukar dilakukan antara tanah dengan benda yang sama kategorinya, seperti tanah dengan tanah.
Jual dalam sistim hukum adat berbeda dengan jual menurut sistim hukum negara dan sistim hukum eropa. Dalam sistim hukum adat asas yang demikian disebut asas kesepahaman. Jadi, transaksi jual lepas menurut hukum adat itu tidak berdasarkan pada asas konsensualisme dan kontraktual (Bld. Overeenstemming), melainkan asas kesepahaman (Bld. Begrijpen). Sehingga dalam jual lepas menurut hukum adat dikenal istilah peningset atau panjar (tanda ikat). Sedangkan dalam KUH Perdata berlaku asas
konsensualisme, dan oleh karena itu dikenal uang muka (DP) atau voorschot. Perbedaan antara asas kesepahaman dengan asas konsensual yaitu Asas kesepahaman lahir dari nilai harmoni dalam kehidupan sosial, sedangkan asas konsensual lahir dari nilai untung-rugi dalam bidang ekonomi. Khusus dalam proses peradilan adat, proses pembuktian dalam hukum formal atau hukum acara menurut hukum adat adalah: pertama, pengakuan; kedua, kesaksian; dan ketiga, sumpah. Jika sumpah dilakukan, maka yang menjadi saksi adalah Tuhan dan Leluhur.
b. Jual Lepas (adol plas) dan Asas Tolong-Menolong dalam Hukum Adat
Hukum jual beli tanah menurut hukum adat tidak semata-mata bersifat atau berdasarkan nilai ekonomi semata, melainkan juga mengandung sifat atau berdasarkan nilai sosialisme Indonesia atau kosmologi hukum adat, yaitu asas tolong-menolong.
Sosialisme Indonesia atau kosmologi hukum adat adalah nilai dasar kemasyarakatan yang saling asah, asih dan asuh. Dalam transaksi tanah ada dua asas yaitu asas kesepahaman dan sambat-sinambat. Secara sosial asas ini lahir dari nilai sosialisme Indonesia yaitu kekeluargaan dann gotong royong.
2. Jual Gadai dan Transformasi Hukum
a. Jual Gadai Tanah Menurut Hukum Adat
Gadai tanah menurut hukum adat adalah suatu transaksi tanah yang mengandung kegiatan jual-beli tanah untuk jangka waktu tertentu sesuai persetujuan, dengan menerima sejumlah uang, hak dan kewajiban membeli kembali. Hak atas tanah dilepas untuk sementara waktu berdasarkan persetujuan bersama dengan hak dan kewajiban membeli kembali. Hak adalah pembeli gadai dilarang menjual kepada orang lain, dan kewajiban adalah tanah gadaian itu untuk kembali kepada di empunya yaitu di penjual gadai melalui proses membeli kembali.
Terdapat 4 unsur pokok dari gadai tanah menurut hukum adat, yaitu:
a) Termasuk dalam kategori transaksi tanah, penjual gadai adalah si pemilik tanah dan pembeli gadai adalah pemilik uang.
b) Jangka waktu tidak ditentukan
c) Menerima sejumlah uang sebagai harga atau nilai gadai
d) Tanah akan ditebus kembali, suatu saat tanah itu akan dibeli kembali.
Dalam perkembangannya jual gadai saat ini sudah ada jangka waktunya. Mengenai pembayaran dari sistem jual gadai dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 Pr.P No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang berbunyi
“Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut kamus (7+
1
2)−waktu berlangsungnya hak gadai X uang gadai
7 ”.
Dalam pandangan pemerintah, jual gadai mengandung eksploitasi dan dilarang untuk dilakukan sehingga undang-undang melarang hak ini. letak dari eksploitasi nya yaitu:
1. Jika dalam waktu yang sangat lama, terjadi kemungkinan ahli waris tidak mengetahui hak keempuannya dari si penjual gadai, maka si penjual gadai dapat kehilangan hak keempuannya atas tanah, apalagi tanah itu warisan leluhurnya.
2. Setelah bertahun-tahun maka pembeli gadai menerima material yang melimpah karena kemungkinan tanah gadaian itu produktif dan ada kemungkinan nilai uang gadaian telah lunas. Disisi lain, penjual gadai kehilangan mata pencahariannya atau bahkan kehilangan hak keempuannya atas tanah.
3. Bertentangan dengan prinsip ‘tanah untuk tani’.
Perbedaan Gadai Tanah Menurut Hukum Adat Dengan Hipotik Menurut Kuhperdata.
No. Aspek Gadai menurut hukum adat Hypotik menurut KUHPerdata 1. Jenis transaksi Transaksi tanah, bukan hutang
piutang dengan jaminan tanah
Transaksi hutang piutang dengan jaminan tanah 2. Sifat transaksi Transaksi tanah merupakan
transaksi pokok
Transaksi tanah merupakan tambahan (accessoir)
3. Waktu Tidak dibatasi Dibatasi
4. Objek Tanah Kredit uang
5. Asas Kesepahaman, tolong-menolong, dan sambat sinambat
Konsensualisme dan kontraktual
6. Subjek Sesama anggota masyarakat Masyarakat dengan bank
7. Hubungan Kekeluargaan Kontraktua
8. Nilia utama Sosialisme Kapitalisme
9. Bunga Tanpa bunga Dengan bunga
10. Orientasi Tolong menolong:
a) Tidak ada batas waktu b) Tidak ada bunga
Memperbesar modal:
a) Ada batas waktu b) Ada bunga
Persamaan Gadai Tanah Menurut Hukum Adat Dengan Hipotik Menurut Kuhperdata Benda yang diperjanjikan berada dibawah kekuasaan si pembeli gadai, Sama-sama merupakan perbuatan perhutangan yang lahir dari perjanjian timbal balik dalam hukum harta kekayaan.
Hak penjual gadai adalah:
Memperoleh uang gadai, memperoleh/membeli kembali tanah yang digadaikan, tidak boleh dipaksa oleh penjual gadai, hak untuk membeli kembali tanah yang digadaikan dapat diwariskan kepada ahli waris.
Kewajiban penjual gadai:
Menyerahkan tanah yang digadaikan kepada si pembeli gadai, mengizinkan kepada si pembeli gadai jika suatu saat menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ke-3, sesegera mungkin membeli tanah yang digadaikan oleh si pembeli gadai.
Perbedaan Antara Gadai Tanah Menurut Hukum Adat Dengan Gadai (Pand) Menurut Kuhperdata
No. Aspek Gadai menurut hukum adat
Gadai (pand) menurut KUHPerdata
1. Objek Tanah Benda bergerak, tanah sebagai
benda tetap harus dilakukan dengan hipotik
2. Jangka waktu Tidak dibatasi Dibatasi
3. Sufat Perjanjian pokok Accessoir (tambahan), perjanjian pokoknyahutang uang, tanah sebagai jaminan.
4. Hak untuk menikmati
Pembeli gadai berhak memungut hasil dari tanah gadaian
Pembeli gadai dilarang
menikmati, menyewahkan, atau memakai benda jaminan.
5. Penguasaan setelah jatuh tempo
Tidak mengenal jatuh tempo
Setelah jatuh tempo, benda jaminan dikuasai oleh pembeli gadai
6. Hak si pembeli gadai
Berhak menggadaikan kepada pihak ke-3 yang disebut dengan
doordervenpanden
Jika sudah lampau waktu benda jaminan menjadi hak pembeli gadai
7. Hubungan hukum Hubungan hukum antara pembeli gadai lama dengan pembeli gadai baru: campur transaksi
Hubungan hukum baru yaitu si pembeli gadai menjadi pemilik yang baru dari benda yang digadaikan
b. Tranformasi Hukum Tentang Gadai Tanah Menurut Hukum Adat
Transformasi hukum adat tentang gadai tanah adalah perubahan bentuk hukum adat dari hukum adat sebagai hukum tidak tertulis menjadi hukum negara yang tertulis, contohnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 56 Pr.P Tahun 1960 yang menjelaskan bahwa negara telah mengatur sedemikian rupa sehingga jual gadai atau gadai tanah menurut hukum telah dibatasi hanya 7 tahun saja. Dijelaskan dalam Pasal 16 huruf h bahwa hak gadai merupakan hak yang bersifat sementara karena menurut perundang-undangan transaksi gadai bersifat eksploitasi dari si pemilik uang terhadap pemilik tanah, dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa hak-hak lain yang bersifat sementara serta tidak dijelaskan dalam pasal ini maka disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. Hak hak bersifat sementara itu ada 4 (empat), yaitu: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Menurut putusan hakim Mahkamah Agung tanggal 21 Desember 1976, Reg. No.
95K/Sip/1974 yang dijelaskan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1960, pembeli gadai tidak mewajibkan penjual gadai untuk menebus tanah gadaian dan jika telah 7 tahun wajib mengembalikan tanah gadaian tanpa uang tebusan, harus diperbaiki yaitu sesuai dengan kesanggupan penjual gadai untuk menebus kembali tanah gadaian itu.
3. Jual Tahunan (Adol Oyodan)
Jual tahunan di Jawa disebut dengan odol tahunan, odol oyodan, trowongan, kemplongan. Jual tahunan (menjual untuk waktu selama beberapa bulan) adalah perjanjian penyerahan hak atas tanah (pekarangan, tegalan, atau sawah), dengan menerima sejumlah uang oleh empunya tanah kepada orang lain selama beberapa tahun selama telah disetujui, dan setelah lewat waktu itu, tanah (pekarangan, tegalan, sawah) itu kembali pada empunya (penjual tahunan). Dalam transaksi ini empunya disebut penjual tahunan, dan pemilik uang disebut pembeli jual tahunan.
Dalam transaksi ini, penjual tahunan wajib menyerahkan tanahnya setelah menerima sejumlah uang, pembeli tahunan menerima tanah itu setelah menyerahkan sejumlah uang.
Kelebihan transaksi jual tahunan jika dibandingkan dengan jual lepas adalah dalam jangka waktu yang telah disetujui, tanah itu dikembalikan sepenuhnya, tanpa wajib mengembalikan uang pembelian. Sebaliknya, dalam transaksi jual lepas, tanah tersebut lepas untuk selama- lamanya. Transaksi jual tahunan tidak dilaksanakan secara tertulis, melainkan dilakukan secara terang yaitu disaksikan oleh fungsionaris hukum dan masyarakat.
Jual tahunan hampir sama dengan transaksi sewa tanah dalam hukum eropa, perbedaannya adalah transaksi jual tahunan merupakan transaksi yang berobjekkan tanah dan merupakan bagian dari hukum tanah, sedangkan transaksi sewa tanah merupakan transaksi yang berobjekkan uang dan merupakan bagian dari hukum jaminan (hutang piutang).
Persamaan dari transaksi jual tahunan denngan sewa tanah pertanian adalah keduanya dibatasi jangka waktu, akan tetapi sewa menyewa dapat diperpanjang sedangkan jual tahunan tidak dapat diperpanjang.
BAB III Transaksi Tanah Yang Berhubungan dengan Tanah
Transaksi yang berhubungan dengan tanah adalah suatu perbuatan hukum menurut hukum adat yang mana empu tanah membiarkan tanahnya dikelola (dikerjakan) oleh orang lain dengan harapan keduanya memperoleh hasil yang sama.
1. Bagi hasil tanah pertanian
Transaksi bagi hasil tanah pertanian merupakan salah satu hak masyarakat hukum adat yang oleh UUPA dan UU No. 56 Tahun 1960 bersifat sementara dan dalam waktu singkat akan dihapus. Lalu dibentuklah UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil, tetapi undang- undang ini dikatakan banci dan invalid karena tidak pernah berlaku tapi tidak juga dicabut.
Transaksi bagi hasil adalah perjanjian yang menyangkut tanah dimana pihak yang mempunyai tanah berkeinginan untuk memproduksi tanahnya, tetapi tidak mempunyai kesempatan, sedangkan pihak lain mempunyai kesempatan namun tidak memiliki tanah. Objek dalam perjanjian ini yaitu hasil bumi terkait produktivitas tanah.
Faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan transaksi bagi hasil, bagi empunya tanah karena:
1) Mempunyai tanah tetapi tidak mampu mengerjakan sendiri atau tidak ada waktu untuk mengerjakan sendiri tanahnya
2) Mempunyai keinginan memperoleh hasil tanah/hasil bumi tanpa mengerjakannya sendiri, sehingga diserahkan kepada orang lain
Faktor bagu pengelola/penggarap memiliki kondisi:
1) Tidak mempunyai tanah atau mempunyai tanah tetapi sempit sehingga ada waktu yang terbuang
2) Mempunyai waktu luang
3) Memiliki keinginan untuk memperoleh penghasilan tambahan.
2. Transaksi Sewa
Transaksi sewa bertujuan meningkatkan produksi hasil tanah atau hasil bumi dan uang.
Transaksi sewa dan bagi hasil tanah pertanian bukan merupakan transaksi tanah melainkan transaksi yang berhubungan dengan tanah. objek transaksi bukan hak atas tanah tetapi hasil tanah dan hasil bumi yaitu tanaman (padi, jeruk, buah naga) dan tumbuh-tumbuhan. Sewa
adalah transaksi yang berhubungan dengan tanah dengan objeknya hasil tanah atau hasil bumi dan uang.
Perbedaan pokok antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian transaksi jual tahunan yaitu: perjanjian jual tahunan merupakan transaksi yang berhubungan dengan tanah, perjanjian pokok dalam transaksi sewa adalah produktivitas uang. Dalam perjanjian transaksi jual tahunan, uang harga jual tanah itu dibayarkan diawal, sedangkan dalam perjanjian sewa uang harga tanah dapat dilakukan diawal, ditengah, atau akhir panen sesuai dengan persetujuan bersama.
Menurut norma hukum adat, orang menyewakan harta bendanya, karena beberapa alasan, misalnya membutuhkan biaya yang sangat mendesak, benda keramat yang disewakan sudah kehilangan kesakralannya, sehingga orang yang menyewa hanya untuk memperhatikan status sosial. Menurut hukum, semua benda dapat disewakan, termasuk benda-benda materiel yang menurut hukum dan kebiasaan (asas kepatutan) dibolehkan. Dalam hukum adat, ada beberapa benda yang dilarang untuk disewakan, misalnya tanah kuburan, tanah perkampungan, rumah ibadah, mahkota, rumah induk/adat, balai sidang.