Nama : Nursaid NIM : 2310610053
Teori Hukum
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial maupun menjadi rumah yang menyenangkan, mensejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Menjadi Negara Hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku tatanan sosial dan kultur. Hukum dan Negara Hukum Modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil dengan baik. Namun, pembangunan negara hukum di Indonesia ternyata belum juga selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia dikenal di dunia sebagai negara yang sistem hukum nya sangat buruk.
Hal ini terjadi karena praktisi maupun teoritis hukum di Indonesia tampaknya masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang berjalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang dinamis dan multi kepentingan baik proses maupun pada peristiwa hukumnya. Hukum tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia, maka sudah sangat jelas bahwa perkembangan dan perubahan hukum tidak lepas dari dinamika sosial dengan segala kepentingan yang sesungguhnya berada dibelakang hukum. Hukum itu tidak bisa dielakkan, selalu berkembang, namun perkembangannya tidak bisa dipastikan berkembang kepada arah tertentu, tetapi yang jelas pada akhirnya juga membawa perubahan setelah bertarungnya berbagai kepentingan yang berada dibelakang hukum itu sendiri. Kalau kita menyorak bagaimana Indonesia berhukum, maka sudah barang tentu tidak ada yang boleh mendikte bagaimana suatu bangsa seharusnya berhukum, namun bagaimana karakteristik bangsa Indonesia sendirilah yang menentukan hukum dan perubahannya.
Perubahan yang sangat mendasar, kita harus tegaskan bahwa dalam cara kita berhukum tidak saatnya lagi mempertahankan suatu standar aliran positivisme abad ke 18-19 atau paradigma tunggal yang sudah berabad lamanya, tetapi harus mempertimbangkan cara berhukum yang diterima oleh komonitas (masyarakat). Perkembangan hukum diperlukan untuk mengontrol kehidupan negara, bangsa yang modern ini mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian dalam pelaksanaan hukum sebagai sarana penata tertib itu. Hukum menutut modelnya yang baru ini diperlukan para reformis untuk mengatasi kesemena-menaan hukum.
Para penegak hukum di Indonesia terkesan hanyalah menjadi perangkat hukum ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orang-orang kecil, para fakir miskin, pencuri kelas kecil, orang-orang bodoh dan kejahatan yang pada umumnya dilakukan oleh masyarakat kelas bawah.
Namun kalau berhadapan dengan petinggi negara atau penjahat kelas atas atau koruptor, hukum tidaklah berarti sebagai suatu perangkat untuk menegakan keadilan, serta sangat jelas tidak ada komitmen moralitas untuk itu. Jadi semuanya relatif bisa teratasi kalau komitmen moralitas sebagai aparat penegak hukum atau aparat pemerintah bisa diwujudkan dengan baik.
Sesungguhnya penegakan hukum itu berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian serta ketrentaman di dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat bukan saja dapat mempengaruhi tetapi sangat menentukan penegakan supremasi hukum. Oleh karena itu tidaklah cocok kalau aparat pembuat dan penegak hukum hanya berkiblat kepada aliran legisme atau legal posirivism.
Philippe Nonet dan Philip Selznick telah merumuskan suatu konsep hukum yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial, sambil tetap mempertahankan hasil- hasil pelembagaan yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasarkan hukum.
Hukum responsif adalah teori hukum yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, tetapi mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.Dengan demikian potensi responsivitas dalam setiap tertip hukum yang maju, pemenuhan janji akan responsivitas tersebut tergantung pada konteks politik yang mendukung.
Hukum responsif mengisyaratkan masyarakat yang memiliki kapasitas politik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahannya, menetapkan prioritas-prioritas dan membuat komitmen-komitmen yang dibutuhkan. Karena hukum responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Kontribusinya yang khas adalah memfasilitas tujuan publik dan membangun semangat untuk mengkoreksi diri sendiri ke dalam proses pemerintahan. Memaknai hukum sebagai perangkat
peraturan yang mengatur masyarakat, barulah berarti didukung dengan sistim sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan vundikatif bukan keadilan absolut yang mana menjatuhkan suatu hukuman berdasarkan prosedur hukum dan alasan yang jelas dan mendasar, dalam arti tidak berdasarkan perasaan sentimen, kesetia-kawanan, kompromistik, atau alasan lain yang justru jauh dari rasa keadilan. Hal ini sesuai dengan semangat dan menjiwai dalam Pasal 27 UUD 1945.
Proses untuk mencapai rasa keadilan adalah merupakan mata rantai yang tidak boleh dilepas- pisahkan, paling tidak sejak pembuatan peraturan perundang-undangan, terjadi kasus atau peristiwa hukum, sampai di proses verbal di kepolisian serta penuntutan jaksa atau gugatan dalam perkara perdata dan kemudian diakhiri dengan vonis hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) sehingga kualitas proses itulah sebenarnya sebagai jaminan kualitas titik kulminasi hasil atau manfaat seperangkat peraturan perundang-undangan yang dibuat.
Dengan demikian sangat memberi peluang tegaknya supermasi hukum di negara kita. Harold J.
Laksi mengatakan bahwa “warga negara berkewajiban mematuhi hukum tertentu hanya jika hukum itu memuaskan rasa keadilannya”. Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat rumit, bangsa Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas korupsi dan kejahatan- kejahatan lain seperti narkoba, pelecehan seksual, pelanggaran HAM lainnya seperti trafiking yang semakin merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun kita menyaksikan sendiri bahwa gerakan reformasi tidak mampu berbuat banyak. Korupsi terus bertumbuh semakin subur sementara sepremasi hukum bagaikan penegakan benang basah.
Sangat ironis selama proses reformasi, mereka sebagai pejuang reformasi telah diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif agar supremasi hukum dapat ditegakan.
Semoga dalam kepemerintahan yang baru nanti akan membangun Indonesia yang lebih baik dengan mengedepankan empat pilar yang ada yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebagai wacana saja bagi proklamator bangssa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang berkarakter dan bersih dari korupsi, transparan dan profesional.
Maka dari itu, penegakan hukum di Indonesia harus lebih responsif, dan bagi aparat penegak hukum harus menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.