• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTORIAL 5 HUKUM HAM LANJUTAN

N/A
N/A
dithaaristyaa

Academic year: 2023

Membagikan "TUTORIAL 5 HUKUM HAM LANJUTAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TUTORIAL 5

HUKUM HAM LANJUTAN

PROBLEM TASK (1):SECURITY OUTSOURCING

KELOMPOK 3

1. Effie Maria Lamtiur Sipahutar (2104551320) 2. Ramadhan Al-Muthahar (2104551323) 3. Km. Ditha Aristya Pramesti (2104551325) 4. Putu Radinia Arva Adistya (2104551326) 5. Victoria Beatrice Angelica (2104551330)

KELAS D

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2023

(2)

MINGGU VI

TUTORIAL 5: PERDAGANGAN DAN INVESTASI Problem Task (1):Security Outsourcing

Sejak pemerintah Indonesia meratifikasi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan kemudian mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga menjadi dasar acuan praktek Outsourcingdi Indonesia, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mulai menerapkan Outsourcing untuk merekrut tenaga kerja, termasuk di Bali. Salah satu contoh kasus (imajiner) dialami olehtenaga kerja Satuan Pengamanan (Satpam) di Bank ABC yang beroperasional di Denpasar yang pada awalnya merupakan (diangkat sebagai) karyawan tetap. Namun, sejak awal tahun 2013direksi Bank ABC beralih menggunakan Satpam dari Perusahaan International Private Guard Company (IPGC) Australia yang bergerak di bidang penyediaan tenaga professionalsecurity, melalui perjanjian outsourcing. Bank tersebut kemudian melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para satpam tersebut dengan beralih menggunakan tenaga Satpam profesional, dengan alasan selain lebih aman juga dari segi biaya jauh lebih efisien, karena pihak Bank tidak perlu lagi memberi pelatihan (training) kepada para satpam. Perusahaan IPGC menyiapkan Satpam siap pakai yang sangat profesional dengan sistem pengamanan yang canggih, yang mana kebanyakan dari Satpam tersebut berasal dari luar Bali.

Setelah bank ABC memutuskan beralih menggunakan Satpam Outsourcing, lebih dari 100 orang Satpam tetap yang bekerja di sepuluh Cabang Bank ABC yang beroperasional di Bali menjadi kehilangan pekerjaannya melalui proses PHK. Situasi ini ternyata tidak menjadi perhatian bagi pihak pemerintah lokal di Bali. Ketika memperingati hari Buruh sedunia tanggal 1 Mei 2013, pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewakili para Satpam yang kehilangan pekerjaan, mengecam pemerintah atas pelanggaran HAM yang terjadi terkait PHK, yang secara tidak langsung mengakibatkan 100 buruh (Satpam Bank ABC) kehilangan pekerjaan, dan bahkan ratusan anak- anak mereka juga tidak dapat melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar keperluan sekolah. Pihak LSM juga menuntut agar Indonesia keluar dari keanggotaan WTO dengan argumen bahwa keberadaan Outsourcing diadopsi dari standar-standar WTO dan ternyata tidak cocok diterapkan di negara berkembang.

(3)

Pertanyaan:

1. Bagaimana kedudukan Hak atas pekerja sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia?

Sebagai suatu hak yang sangat fundamental, agar dapat dinyatakan sebagai hak asasi manusia secara hukum, hak-hak manusia tersebut harus memenuhi beberapa elemen. Adapun elemen yang dimaksud adalah: 1) the right holders (pemegang hak), 2) the duty bearers (penanggungjawab hak), 3) the substance (substansi). Jika kemudian dikaitkan dengan elemen-elemen tersebut maka hak atas pekerjaan dapat dikualifikasikan sebagai Hak Asasi Manusia, karena pemegang hak atas pekerjaan adalah jelas yaitu menurut Article 23 Universal Declaration of Human Rightyang mengatakan bahwa:

(1) Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment.

(2) Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal

(3) Everyone who works has the rights to just and favourable remuneration ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if necessary by other means of social protection.

(4) Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his interests.”

atau dalam terjemahannya :

(1) Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk bebas memilih pekerjaan, untuk adil dan kondisi kerja yang baik dan perlindungan terhadap pengangguran.

(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi apapun, memiliki hak atas pembayaran yang sama dengan yang setara.

(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.

(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Sehingga Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memiliki makna bahwa setiap orang dan tanpa ada diskriminasi. Selanjutnya yang kedua adalah penanggung jawab hak tersebut. Penanggung jawab hak dalam Hak Asasi Manusia adalah negara. Christian Tomuschat dalam bukunya yang berjudulHuman Rights between Idealism and Realism menyatakan bahwa:

“The rights under the ICESCR divided into three elements:

1. An obligation to respect, which means that individuals may not be impeded in their endeavours, that not bars may be erected hindering their access to activities protected by an economic or social rights;

2. An obligation to protect, which means that measures must be taken ensuring that third parties do not prevent individuals from enjoying the rights of which they areholders:

(4)

3. An obligation to fulfill, under which it is incumbent upon the state to take steps with a view to actually providing individuals with the benefits which the right concerned embodies.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi setiap manusia yang telah diatur dan ditegaskan dalam ketentuan-ketentuan ICESCR. Jadi Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak atas pekerjaan sebagai salah satu hak yang diakui dalam ICESCR karena Indonesia telah meratifikasi ketentuan tersebut melalui UU No.11 tahun 2005.

Terakhir yaitu substansi, hak atas pekerjaan adalah hak untuk dapat memilih pekerjaan, dan mendapatkan jaminan untuk tidak menjadi pengangguran. Selanjutnya, seseorang juga berhak untuk mendapatkan penghasilan sesuai dengan pekerjaannya, mendapatkan jaminan jumlah upah yang dapat menjamin kehidupannya dan keluarganya, dan berhak untuk ikut serta dalam suatu serikat pekerja guna melindungi kepentingannya.

Hak-hak tersebut telah diatur pada Pasal 23 ayat 1, 2, 3, dan 4 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dikarenakan semua elemen untuk dapat mengklasifikasikan hak atas pekerjaan sebagai Hak Asasi Manusia telah terpenuhi maka dapat disimpulkan bahwa hak atas pekerjaan merupakan Hak Asasi Manusia.

2. Apa yang dimaksud denganoutsourcing?

Outsourcing adalah penggunaan tenaga kerja dari luar perusahaan sendiri untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan tertentu yang spesifik. Pelaksanaan Outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan penyedia tenaga kerja Outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerjaOutsourcing, dan tenaga kerjaOutsourcingitu sendiri. Oleh karena itu perlu adanya suatu peraturan agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang dirugikan khususnya tenaga kerjaOutsourcing .

Di dalam Undang-Undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilahOutsourcing, tetapi pengertian Outsourcing dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwaOutsourcingadalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

3. Apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak Bank ABC dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM?

Pemutusan hubungan kerja diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam

(5)

undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjaan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Akan tetapi sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan wajib memberikan surat peringatan secara tiga kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran, dan untuk pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP3 secara langsung atau memecat. Semua hal ini diatur dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan masing-masing, karena setiap perusahaan mempunyai peraturan yang berbeda-beda.

Lalu mengenai pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak Bank ABC berdasarkan kasus Problem Task di atas, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak Bank ABC dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM, karena ketika awal tahun 2013 direksi Bank ABC beralih ke perusahaan asing yang bergerak di bidang penyediaan tenaga professional security, melalui adanya program perjanjian outsourcing. Sedangkan karyawan yang sudah terlebih dahulu bekerja di tempat tersebut kemudian dipecat atau diberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini diperkuat karena tidak adanya jaminan yang dipenuhi oleh Bank ABC, sesuai dengantaskdi atas. Akan tetapi, belum tentu semua PHK itu merupakan sebuah pelanggaran HAM. Dalam dunia bisnis, pemutusan hubungan kerja sering kali dilakukan oleh sebuah perusahaan berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti menurunnya performa kerja karyawan atau kondisi bisnis perusahaan yang tidak stabil. namun, terjadinya PHK ini juga harus dicegah sesuai dalam Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

Bank ABC melakukan PHK terhadap karyawannya secara sepihak, hal ini juga menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan dianggap salah. Ketentuan Pasal 151 ayat (2) menjelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Kemudian, apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial demikian ketentuan Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun lembaga yang dimaksud adalah mediasi

(6)

ketenagakerjaan, konsiliasi ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan pengadilan hubungan industrial (PPHI). Karena PHK yang dilakukan pihak Bank ABC terjadi tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial maka dari itu PHK tersebut adalah batal demi hukum.

Selanjutnya dalam General Comment No. 18 of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights E/C.12/GC/18 (2006) concerning the Right to Work menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban untuk memenuhi kewajiban ini disebabkan adanya kegagalan negara-negara pihak dalam mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak atas pekerjaan. Contohnya adalah kegagalan untuk mengadopsi atau menerapkan kebijakan ketenagakerjaan nasional yang dirancang untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi semua orang; pengeluaran yang tidak mencukupi atau kesalahan alokasi dana publik yang mengakibatkan tidak dinikmatinya hak atas pekerjaan oleh individu atau kelompok, khususnya kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan; kegagalan memantau realisasi hak atas pekerjaan di tingkat nasional, misalnya dengan mengidentifikasi indikator dan tolak ukur hak atas pekerjaan; dan kegagalan melaksanakan program pelatihan teknis dan kejuruan. Dengan adanya faktor PHK yang dilakukan oleh Bank ABC, dapat dikatakan sebagai kegagalan karena membatasi hak-hak karyawan yang terpinggirkan untuk bekerja dan tidak memberikan pelayanan maupun program untuk meningkatkan kualitas usaha dari Bank ABC.

Hak untuk mendapat pekerjaan merupakan hak konstitusional, menurut ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 28D ayat (2) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Karyawan pihak Bank ABC tidak mendapat uang pesangon, hal ini juga merupakan suatu pelanggaran ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayarkan uang pesangon seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (2).

Dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Bank ABC tersebut, melanggar ketentuan DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 tentang Hak Atas Kehidupan, Pasal 23 ayat (1) tentang Hak Atas Pekerjaan, Pasal 25 ayat (1) tentang Hak Atas Tingkat Hidup Yang Memadai, dan Pasal 25 ayat (2) tentang Hak Atas Pengupahan Yang Sama Tanpa Diskriminasi. PHK tersebut juga melanggar ketentuan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 6 ayat (1) mengenai Hak Atas Pekerjaan, Pasal 11 ayat (1) mengenai Hak Atas Standar Kehidupan Yang Layak Bagi Keluarganya, dan Pasal 13 ayat (1) mengenai Hak Atas Pendidikan.

(7)

Perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja harus membayar uang penghargaan masa kerja seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (3), dengan aturan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Selain kedua hal tersebut, menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (3) terdapat juga uang pengganti hak yang seharusnya diterima oleh pihak karyawan Bank ABC, seperti:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan

d. hal-hal yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

4. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah dalam PHK sepihak?

Pemberhentian harus berprikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikan kepada perusahaan dengan cara memberi uang pesangon atau pensiun, dan perusahaan dapat

(8)

digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila PHK tidak tepat. Peran Pemerintah dalam pembinaan masyarakat antara lain:

a. Pemerintah sebagai regulator yaitu menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan. Sebagai regulator, Pemerintah memberikan acuan dasar kepada masyarakat sebagai instrumen untuk mengatur segala kegiatan pelaksanaan pemberdayaan. dalam menangani konflik antara perusahaan dan karyawan yang diakibatkan dari adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) Pemerintah dalam hal ini Pemerintah dituntut mengeluarkan aturan ataupun kebijakan yang tujuannya untuk menghasilkan kesepakatan antara pihak pekerja dan perusahaan untuk menciptakan iklim yang kondusif. Dalam Undang-Undang PPHI Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 10 disebutkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan Bipartit dan perundingan Tripartit keduanya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan kerja atau hubungan industrial antara pengusaha/perusahaan/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Perundingan Bipartit perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan hubungan industrial melalui pihak ketiga. Sebelumnya penyelesaian melalui perundingan Bipartit lebih dulu namun dalam perundingan itu tidak ditemui kesepakatan hingga dilaksanakannya perundingan Tripartit.

b. Peran Pemerintah sebagai dinamisator adalah menggerakan partisipasi masyarakat jika terjadi kendala-kendala dalam proses pembangunan untuk mendorong dan memelihara dinamika pembangunan daerah. Pemerintah berperan melalui pemberian bimbingan dan pengarahan secara intensif dan efektif kepada masyarakat. Biasanya pemberian bimbingan diwujudkan melalui tim penyuluh maupun badan tertentu untuk memberikan pelatihan. Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 107 ayat (3) yaitu keanggotaan LKS Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Dinas Ketenagakerjaan telah membentuk suatu tim yaitu LKS Tripartit (Lembaga Kerjasama Tripartit) yaitu sebuah forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah guna memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah terkait penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Tugas dari LKS Tripartit yaitu menggalang komunikasi dan kerjasama yang baik antara Pemerintah, pekerja dan pengusaha, dan menampung, merumuskan, serta memecahkan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Memecahkan masalah-masalah bersama dalam bidang ketenagakerjaan. Unsur kerja Tripartit yaitu menampung, mengkaji, mengevaluasi, dan merumuskan rancangan kebijakan dan memecahkan masalah ketenagakerjaan yang bersifat regional daerah dan sektoral sebagai saran kepada pemerintah dan

(9)

pihak-pihak terkait, menggalang komunikasi dan kerjasama timbal balik yang sebaik-baiknya dengan unsur Tripartit, melakukan koordinasi dengan instansi atau dengan lembaga lainnya yang beranggotakan unsur Tripartit.

c. Peran Pemerintah sebagai fasilitator adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan untuk menjembatani berbagai kepentingan masyarakat dalam mengoptimalkan pembangunan daerah. Sebagai fasilitator, Pemerintah bergerak di bidang pendampingan melalui pelatihan, pendidikan, dan peningkatan keterampilan, serta di bidang pendanaan atau permodalan melalui pemberian bantuan modal kepada masyarakat yang diberdayakan. Dinas Ketenagakerjaan berperan sebagai fasilitator yaitu untuk menemukan dan menyelesaikan masalah, membantu beberapa pihak dalam mengambil keputusan dan mencapai kesepakatan dalam hasil pertemuan. Dinas Ketenagakerjaan dalam upaya menyelesaikan konflik antara pekerja dan perusahaan yaitu dengan cara mendatangkan seorang mediator, dalam Undang-Undang PPHI dikatakan bahwa mediator penyelesaian hak, penyelesaian kepentingan dan perselisihan hubungan kerja diselesaikan dengan musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator, mediator bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Dinas Ketenagakerjaan memfasilitasi pekerja dengan mengadakan pertemuan dengan pihak perusahaan. Dinas sebagai pihak ketiga bekerja sebagai penengah antara perusahaan dan karyawan untuk mempermudah penyelesaian hak-hak kepentingan karyawan.

Selain itu, peran pemerintah sebagai fasilitator merupakan implementasi dari Acceptability and qualityyang terdapat dalam Pasal 12General Comment No. 18 of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights E/C.12/GC/18 (2006) concerning the Right to Workyang berbunyi "Acceptability and quality. Protection of the right to work has several components, notably the right of the worker to just and favourable conditions of work, in particular to safe working conditions, the right to form trade unions and the right freely to choose and accept work." yang apabila disimpulkan berarti bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hak atas pekerjaan mempunyai beberapa komponen, terutama hak pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menguntungkan.

5. Bagaimana penerapan sistemOutsourcingdi negara berkembang?

Istilah Outsourcing diartikan sebagai contract (workout). Menurut definisi Maurice Greaver,outsourcingdipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan

(10)

dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terkait dalam suatu kontrak kerjasama. Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian.

Sistem Outsourcing ini sebenarnya sudah cocok untuk diterapkan pada negara maju maupun negara berkembang, karena dengan menggunakan sistem outsourcing yang membutuhkan tenaga kerja akan mendapat jaminan yang lebih aman juga dari segi biaya jauh lebih efisien karena perusahaan tidak perlu lagi memberikan pelatihan (training) kepada para pekerja dan hanya tinggal menggunakan tenaga kerja siap pakai yang sudah disediakan oleh perusahaanoutsourcing.

Pada dasarnya setiap sistem (termasuk outsourcing) dapat berjalan dengan baik dan menguntungkan jika terdapat keterkaitan yang baik antara teori, norma, dan pelaksanaan. Berikut terdapat dua jenis tipe perjanjianoutsourcingyaitu:

a. Tipe perjanjian Outsourcing SDM (OSDM) yang menyerahkan segala urusan pengelolaan tenaga kerja kepada perusahaan outsourcing, misalnya urusan pengupahan (payroll), pengaturan jadwal kerja dan sebagainya.

b. Tipe perjanjian sales agency atau distributorship yang hanya menitikberatkan pada hasil akhir yang dihasilkan oleh pekerja/buruhoutsource, jadi perusahaanoutsourcing hanya akan dibayar berdasarkan hasil yang dicapai oleh pekerja/buruhoutsource-nya.

Namun seringkali pihak penyelenggara sistem outsourcing tidak melaksanakannya dengan benar yang menyebabkan para pekerja kerap menjadi pihak yang paling dirugikan,sehingga menimbulkan keraguan mengenai kecocokan penerapan sistem outsourcingdi negara berkembang.

Praktik Outsourcing yang salah yang sering terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Kesalahan Dalam Memilih Mitra PerusahaanOutsourcing

Banyaknya perusahaan-perusahaan Outsourcing di Indonesia saat ini telah memiliki kesalahan pengguna outsourcing dalam memilih mitra (perusahaan outsourcing) untuk menerapkan outsourcing di departemen perusahaannya.

Tidak jarang suatu perusahaan dari suatu perusahaan outsourcing merupakan anak perusahaan dari suatu perusahaan non-outsourcing dimana pembentukan perusahaanoutsourcingtersebut pada mulanya hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perusahaan induknya.

Dampaknya dari kesalahan suatu perusahaan pengguna outsourcing (perusahaan pemberi kerja) dalam memilih mitra perusahaan outsourcing dapat berbentuk keterlambatan pemenuhan tenaga kerja dengan kualifikasi khusus yang menunjukan rendahnya tingkat kemampuan rekrutmen perusahaan

(11)

outsourcing, hingga terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang mengakibatkan kerugian finansial dan non-finansial pihak perusahaan pengguna outsourcing (perusahaan pemberi kerja).

2. Perotasian Pekerja/BuruhOutsourcedengan tidak Memperhatikan Etika Bisnis Praktik outsourcing yang salah yang juga marak terjadi adalah dalam hal perotasian pekerja/buruh outsource dengan tidak memperhatikan etika bisnis yang akhirnya mengakibatkan ketidakadilan bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing (perusahaan pemberi kerja).

3. Kecurangan Dalam Pengupahan Pekerja/BuruhOutsource

Inilah bentuk dari praktik outsourcing yang salah yang banyak mendapat sorotan dari para pekerja/buruh outsource yang akhirnya menyebabkan terjadinya banyak unjuk rasa dari para pekerja/buruh outsource. Bentuk praktik outsourcing yang salah ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaanoutsourcingyang baru terdiri oleh perusahaan-perusahaanoutsourcing yang bisa kita bilang serakah karena menerapkan premanisme outsourcing pada pekerja/buruh outsource-nya. Bentuk kecurangan dalam pengupahan pekerja/buruhoutsource yang sering dijumpai adalah:

a. Adanya pekerja/buruhoutsourceyang menerima upah yang besarnya kurang dari upah minimum provinsi (UMP), melanggar ketentuan Pasal 90 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Adanya pekerja/buruh outsource yang menerima upah yang lebih kecil dari pekerja/buruh tetap yang diantara keduanya melakukan pekerjaan dan nilai yang sama di lokasi kerja yang sama, melanggar ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Seharusnya status pekerja yang berada (satu karyawan kontrak, satu lagi karyawan tetap) tetap boleh untuk pekerjaan yang sama. Hal ini membuktikan kecemburuan sosial, karena karyawan kontrak biasanya menerima upah dan tunjangan lain yang lebih kecil dari karyawan tetap.

c. Adanya pekerja/buruh yang tidak menerima kompensasi sanksi dari pengusaha tidak atas keterlambatan pembayaran upah yang dialaminya, melanggar ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

4. Kurangnya Perhatian Atas Kebutuhan, Performa Dan Jenjang Karir Pekerja/Buruh Outsource

Kurangnya perhatian perusahaan outsourcing pada kebutuhan pekerja/buruh outsource-nya dapat mengakibatkan lunturnya integritas antara pekerja/buruh.

(12)

Berdasarkan uraian di atas, penerapan sistemoutsourcingsebenarnya cocok diterapkan di negara berkembang, apabila kesalahan-kesalahan yang diuraikan di atas dapat diantisipasi dengan baik. Karena selain memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak, Outsourcing juga merupakan suatu sarana yang dapat membantu pemerintah dalam mengatasi pengangguran.

Sistemoutsourcingsangat cocok diterapkan di negara manapun apabila sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang, serta tidak adanya oknum-oknum yang membuat kesalahan terhadapOutsourcingitu sendiri sehingga Indonesia tidak perlu keluar dari keanggotaan WTO karena keberadaan Outsourcing diadopsi dari standar-standar WTO yang cocok diterapkan di negara maju maupun berkembang.

Referensi

Dokumen terkait

 Menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dipandang perlu

Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatakan, bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan

berhak mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (30) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang

Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

Peraturan-peraturan tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan

Sedangkan, Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pasal 1 ayat 4 “Desapakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang