• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUTORIAL KLINIK II: TONSILITIS KRONIK

N/A
N/A
KURNIAWATI SEKAR YUNASTI

Academic year: 2023

Membagikan "TUTORIAL KLINIK II: TONSILITIS KRONIK"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TUTORIAL KLINIK II TONSILITIS KRONIK

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan pada

Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara dr. S. Hardjolukito

Disusun oleh:

Michael Son Sudarmanto (42220677) Kurniawati Sekar Yunasti (42220678)

Dosen Pembimbing Klinik:

dr. Endrijati Hardijani, Sp.THT-BKL

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN PERIODE 4 DESEMBER 2023 – 9 DESEMBER 2023

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. S. HARDJOLUKITO

2023

(2)

BAB I STATUS PASIEN I. Identitas Pasien

Nama : Ny. AS

Tanggal lahir : 22 Maret 1997

Usia : 26 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Podokembang, Tasikmalaya

Tanggal pemeriksaan : 5 Desember 2023

II. Anamnesis

• Keluhan Utama

Tenggorokan mengganjal

• Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik THT RS dr. S. Hardjolukito pada tanggal 5 Desember 2023 dengan keluhan tenggorokan mengganjal sejak 4 hari SMRS. Pasien sempat mengeluhkan adanya demam dan agak pusing. Pasien menyangkal adanya keluhan sulit menelan. Pasien mengaku juga merasakan keluhan sesak nafas sejak 4 hari yang lalu.

Pasien menyangkal adanya keluhan di telinga. Pasien juga menyatakan bahwa beberapa hari ini pasien tidur dengan mendengkur.

• Riwayat Penyakit Dahulu o Keluhan serupa :

Pasien mengalami kejadian serupa pertama kali sekitar tiga tahun yang lalu, dimana pasien mengalami nyeri pada area

(3)

tenggorokan seperti terasa mengganjal namun tidak separah saat ini.

o Asma : -

o Maag : (+)

o Hipertensi : - o Diabetes Mellitus : -

o Stroke : -

o Sinusitis : - o Rhinofaringitis : -

o Alergi : -

o Vertigo : -

o Tonsilitis : Sejak tiga tahun yang lalu

o Trauma : -

• Riwayat Penyakit Keluarga o Diabetes Mellitus : - o Hipertensi : -

o Alergi : -

• Lifestyle

o Diet : Makan 3x sehari, makanan bervariasi o Olahraga : Tidak berolahraga rutin

o Rokok : -

o Alkohol : -

o NAPZA : -

III. Pemeriksaan Fisik

• Keadaan Umum : Baik

• Kesadaran : Compos Mentis

• GCS : E4V5M6

• VAS : 7

(4)

• Vital Sign :

o Tekanan Darah : 130/90 mmHg

o Nadi : 96x/menit

o Suhu : 37,0°C

o Nafas : 20x/menit

Status Generalis A. Kepala

• Ukuran kepala : Normocephali.

• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-) , pupil isokor, refleks cahaya (+/+).

• Telinga : Sesuai status lokalis.

• Hidung : Sesuai status lokalis.

• Mulut : Sesuai status lokalis.

• Wajah : Terlihat adenoid face.

B. Leher

• Terdapat pembesaran limfonodi pada submandibula.

• Tidak ada pembesaran tiroid.

• Tidak ada nyeri tekan pada tiroid.

• Tidak ada krepitasi.

C. Thorax 1. Paru-paru

• Inspeksi : Dada simetris, pergerakan dada simetris, tidak ada ketertinggalan gerak, penggunaan otot bantu nafas (-).

• Palpasi : Nyeri tekan (-), ketertinggalan gerak (-).

• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru kanan dan kiri.

(5)

• Auskultasi : Vesikuler pada semua lapang paru kanan dan kiri, rhonki (-/-), wheezing (-/-).

2. Jantung

• Inspeksi : Dada simetris.

• Palpasi : dbn

• Perkusi : dbn

• Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ada bunyi tambahan.

D. Abdomen

• Inspeksi : Distensi abdomen (-).

• Auskultasi : Gerak peristaltik usus dbn.

• Perkusi : Timpani.

• Palpasi : dbn.

E. Ekstremitas

• Atas : Teraba hangat, nadi teraba.

• Bawah : Teraba hangat.

• ROM atas : dbn

• ROM bawah : dbn

STATUS LOKALIS

A. Pemeriksaan Telinga dan Fungsi Pendengaran

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Aurikula Deformitas (-), benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), discharge yang keluar (-), nyeri tekan (-)

Deformitas (-), benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), discharge yang keluar (-), nyeri tekan (-)

Canalis Auditorius Externus

Serumen (+), edema (-), hiperemis (-), massa (-),

Serumen (+), edema (-), hiperemis (-), massa (-),

(6)

discharge (-) discharge (-) Kelainan

kongenital

Tidak ada Tidak ada

Tumor Tidak ada Tidak ada

Tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Planum mastoid Benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), nyeri tekan/nyeri ketok (-)

Benjolan/massa (-), lesi kulit (-), edema (-), nyeri tekan/nyeri ketok (-)

Glandula limfatikum

Nyeri tekan (-), pembesaran (-)

Nyeri tekan (-), pembesaran (-)

Membran timpani Ruptur (-), hiperemis (-), hematotimpani (-), reflek cahaya tidak dapat diperiksa

Ruptur (-), hiperemis (-), hematotimpani (-), reflek cahaya tidak dapat diperiksa Kesan Terdapat serumen pada liang telinga kanan dan kiri

Pemeriksaan Tes Penala Pendengaran Kualitatis

Dextra Sinistra

Rinne - -

Weber -

Schwabach -

Kesan Tidak dilakukan pemeriksaan tes penala

B. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Hidung

Dorsum Nasi Massa (-), edema (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Massa (-), edema (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)

(7)

Cavum Nasi Discharge (-) Discharge (-) Rhinoskopi Anterior

Vestibulum Nasi Mukosa tidak pucat, darah (-), edema (-), hiperemis (-), krusta (-)

Mukosa tidak pucat, darah (-), edema (-), hiperemis (-), krusta (-)

Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Meatus Nasi Inferior Hiperemis (-), Massa (-), Darah (-)

Hiperemis (-), Massa (-), Darah (-)

Konka Inferior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-) Meatus Nasi Media Hiperemis (-), darah (-),

massa (-)

Hiperemis (-), darah (-), massa (-)

Konka Media Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-) Rhinoskopi Posterior

Fossa Rossenmuller Tidak dilakukan Tidak dilakukan Torus tubarius Tidak dilakukan Tidak dilakukan Muara Tuba Eustachius Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Adenoid Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Konka Superior Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Choana Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sinus Paranasal

Inspeksi Eritem (-),

benjolan/massa (-), edema (-), jejas (-)

Eritem (-),

benjolan/massa (-), edema (-), jejas (-)

Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Transluminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan Kesan Tidak terdapat kelainan pada dorsum, cavum

nasi, rhinoskopi anterior, dan sinus paranasal.

(8)

Rhinoskopi posterior tidak dapat dilakukan karena terdapat pembesaran pada tonsil.

C. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring

Pemeriksaan Hasil

Rahang Trismus (-)

Bibir Sianosis (-), kering (-), stomatitis (-) Mukosa oral Stomatitis (-). kering (-)

Gusi dan geligi Ulkus (-), karies dentis (-), warna sesuai Lingua Simetris, atrofi papil (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-)

Uvula Deviasi (-), hiperemis (-)

Dextra Sinistra

Tonsila palatina T2, hiperemis (+), kripte melebar, permukaan tidak rata, detritus (-)

T2, hiperemis (+), kripte melebar, permukaan tidak rata, detritus (-)

Peritonsilar Abses (+) Abses (+)

Faring Hiperemis (+) pada arcus faring, discharge (-), post nasal drip (-), sekret (-)

Kesan Terlihat adanya hiperemis dan pembesaran pada tonsil dengan ukuran T3 (mencapai garis pertengahan uvula dan pilar posterior)

dengan abses pada peritonsil dextra.

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap:

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

(9)

Hemoglobin 11,7 g/dl 11,7-15,5

Leukosit 7980 /mm3 3600-11000

Hematokrit 36 % 35-47

Eritrosit 4,55 juta/mm3 3,7-5,4

Trombosit 323000 /mm3 150000-440000

MCV 79,1 fL 80-100

MCH 25,7 pg 26-34

MCHC 32,5 g/dL 32-36

Eosinofil 0 % 2-4

Basofil 0 % 0-1

Neutrofil Batang 0 % 3-5

Neutrofil Segmen

70 % 50-70

Limfosit 27 % 25-40

Monosit 3 % 2-8

NLR 2,57

ALC 2170 /μL Bahaya: <500

Curiga: 500- 1100

Waspada: 1101- 1509

Golongan Darah ABO

B Golongan Darah Rhesus

Positif Masa

Perdarahan (BT)

2 menit 40 detik menit 1-3 Masa

Pembekuan (CT)

13 menit 20 detik

menit 9-15

Glukosa Darah Sewaktu

100 mg/dL < 200

SGOT 16 U/L < 31

SGPT 22 U/L < 34

Ureum 23 mg/dL 15-40

Kreatinin 0,95 mg/dL 0,6-1,1

Natrium 138,22 mmol/L 135-147

Kalium 3,6 mmol/L 3,5-5,5

Klorida 103,3 mmol/L 95-105

HBsAg Negatif Negatif

Anti HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif

(10)

Pemeriksaan Endoskopi:

Orofaring

Kesan: T2/T2, tonsil hipertrofi (+), hiperemis (+), kripta melebar, permukaan tidak rata, dendritus (-)

V. Diagnosis Kerja

• Tonsilitis Kronis VI. Diagnosis Banding

• Tonsillitis akut

• Tonsilitis membrane VII. Penatalaksanaan

• Farmakologi o Antibiotik

Cefixime 100 mg 2x1

R/ Cefixime tab 100 mg No. XIV S. o12h. Tab. I (habiskan)

--- o NSAID (anti nyeri)

Natrium diklofenak 50 mg 2x1

R/ Natrium diklofenak tab 50 mg No. IV

(11)

S.p.r.n.2 d.d. Tab. I p.c. (nyeri)

--- o Antihistamin

Cetirizine 10mg 2x1

R/ Cetirizine caps 100 mg No. X S. 2 d.d. Tab. I

---

VIII. Edukasi

• Menginformasikan kepada pasien dan keluarganya untuk dirujuk ke dokter THT-KL untuk mengevaluasi indikasi tonsilektomi

• Menginformasikan kepada pasien dan keluarganya bila perburukan pada kondisi seperti demam tinggi, pilek yang tidak sembuh, menyebar hingga telinga, nyeri pada sinus, atau menunjukkan gejala pada organ tubuh lainnya, untuk segera melakukan pemeriksaan kembali.

• Menjaga oral hygiene dengan menggosok gigi teratur 2 kali sehari.

• Makan makanan yang tidak memicu inflamasi dan trauma seperti makanan yang tidak pedas, tidak terlalu asam, makan makanan lembut, dan mengurangi gorengan.

• Menghimbau untuk minum air yang cukup.

IX. Planning

• Konsultasi spesialis THT-KL untuk evaluasi indikasi tonsilektomi pada pasien.

X. Prognosis

• Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

• Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

• Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cicin waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (airborne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis akut merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu. Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan serangan infeksi yang berulang.

II. EPIDEMIOLOGI

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita, tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi bakterial lebih sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group A betahemolytic streptococcus merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial.

Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40 tahun. Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dengan puncaknya pada masa remaja kemudian risikonya menurun hingga usia tua. Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.

World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi,

(13)

248.000 (86,4 %) mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %) lainnya menjalani tonsilektomi. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6 %.

Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur, namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.4,5 Tonsilitis lebih umum pada anakanak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-30% pada anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan.

III. ETIOLOGI

Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri Streptococcus atau infeksi virus.

Tonsil berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsilitis. Hal-hal yang dapat memicu peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk kedalam mulut bersama makanan atau minuman. Tonsillitis berhubungan juga dengan infeksi mononukleosis, virus yang paling umum adalah EBV, yang terjadi pada 50% anak-anak.

IV. PATOFISIOGENESIS

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Secara

(14)

patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri pathogen dalam kripta.

Fase- fase patologis tersebut ialah:

1. Peradangan biasa daerah tonsil saja 2. Pembentukan eksudat

3. Selulitis tonsil

4. Pembentukan abses peritonsiler 5. Nekrosis jaringan

Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar.

Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibular. Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Apabila tidak terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi infeksi berulang.

Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua

(15)

penyakit tenggorok yang berulang. Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat.

Selain pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat, faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis lain adalah higien mulut yang buruk, kelelahan fisik dan beberapa jenis makanan

V. ANATOMI

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya.

Terdapat empat macam tonsil yaitu, tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba esutachius yang semuanya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Pada bagian nasofaring terdapat tonsila faringealis, sedangkan pada bagian orofaring terdapat tonsila lingualis dan tonsila palatina.

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid).

Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. dekat orifisium tuba eustachius.

Cincin ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Adenoid akan mengalami regresi pada usia pubertas. Bagian anterior tonsil dibatasi oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh posterior oleh pilar posterior pilar posterior dibentuk dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang

(16)

dikenal dengan kripta. Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10- 30 buah.

Epitel kripta tonsil merupakan lapisan membrane tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang.

Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan antigentertahan di dalam kripta tonsil

Gambar 1. Anatomi Cavitas Oral

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglossus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, dimana masing- masing tonsil mempunyai 10- 30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

VI. KLASIFIKASI

Dari pemeriksaan dapat dijumpai pembesaran tonsil yang bervariasi. Kadang- kadang tonsil dapat bertemu di tengah. Pemeriksaan tonsil berdasarkan

(17)

pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. Klasifikasinya adalah sebagai berikut :

1) T0 : Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak punya tonsil)

2) T1 : < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai 1/4 jarak pilar anterior uvula) 3)

3) T2 : > 25% sampai < 50% tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati 1/4 jarak pilar anterior-uvula sampai 1/2 16 jarak pilar anterior-uvula)

4) T3 : > 50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati 1/2 jarak pilar anterior-uvula sampai 3/4 jarak pilar anterior-uvula).

5) T4 : >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati 3/4 jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau

lebih).

Gambar 2. Klasifikasi Ukuran Tonsil

VII. DIAGNOSIS

(18)

Diagnosis tonsilitis dilakukan oleh dokter dengan menggunakan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Skoring yang dapat dinilai berdasarkan McIsaac Scoring (Modified Centor Criteria) :Setiap gejala yang ditemukan diberi skor masing-masing 1, sehingga apabila ditemukan lebih dari 1 gejala seperti batuk, demam >38⁰C, pembengkakan tonsil, nyeri tekan pada kelenjar getah bening di leher, dan kesulitan menelan, maka skor dijumlahkan sesuai dengan gejala yang ditemukan. Durasi tonsilitis juga diperhitungkan, apabila tonsilitis berlangsung kurang dari 2 minggu maka diberi skor 1 dan apabila berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau menetap diberi skor 2. Total skor gejala merupakan penjumlahan dari banyaknya tanda atau gejala tersebut. Diagnosis yang dilakukan oleh dokter saat ini masih dilakukan dengan cara langsung mengecek pada rongga mulut pasiennya, padahal saat menderita tonsilitis pasien akan merasa sangat kesakitan apabila diminta untuk membuka rongga mulut, terlebih lagi dengan waktu yang cukup lama. Proses diagnosis dilakukan secara visual dan hasil yang subjektif tergantung dari keahlian dokter. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang dapat membantu dan mempermudah dokter dalam mendiagnosis dan menjelaskan pada pasien mengenai penyakit tonsilitis ini. Tonsilitis dapat dideteksi dengan mengetahui karakteristik yang terlihat pada tonsil, karakteristik yang paling mudah dapat dilihat adalah terjadinya perubahan warna (kemerahan) pada daerah tonsil dan sekitarnya serta luas pembengkakan pada tonsil.

VIII. TATALAKSANA

Penatalaksanaan tonsilitis kronis terdiri dari terapi farmakologi dan non- farmakologi. Antibiotik dapat diberikan bila etiologi tonsillitis adalah bakteri.

Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan operasi tonsilektomi setelah tanda-tanda infeksi hilang. Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada

(19)

keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck Surgery :

Indikasi absolut tonsilektomi:

1) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner.

2) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.

3) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

4) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi (suspek penyakit keganasan)

Indikasi relatif tonsilektomi :

1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. Dapat diberikan pada kasus yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis

2) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β- laktamase resisten.

Kontraindikasi :

1) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi 18

2) Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi

(20)

3) Infeksi saluran nafas atas yang berulang

4) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol

5) Celah pada palatum

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar, tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.

semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil cryptic tonsilitis dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.

IX. EDUKASI

• Menjelaskan untuk menjaga kebersihan mulut, dengan menggunakan obat kumur atau obat hisap.

• Merujuk ke dokter THT-KL untuk mengevaluasi indikasi tonsilektomi

• Menginformasikan kepada pasien dan keluarganya bila perburukan pada kondisi seperti demam tinggi, pilek yang tidak sembuh, menyebar hingga telinga, nyeri pada sinus, atau menunjukkan gejala pada organ tubuh lainnya, untuk segera melakukan pemeriksaan kembali.

• Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemberian tekanan negatif ke hidung, misalnya membuang sekret hidung kuat- kuat.

(21)

• Makan-makanan yang tidak memicu inflamasi dan trauma seperti makanan yang tidak pedas, tidak terlalu asam, makan makanan lembut, mengurangi gorengan, dan tidak makan ikan yang berduri.

• Menghimbau untuk minum air yang cukup.

• Menginformasikan terkait terapi yang diberikan termasuk terapi farmakologis dan non-farmakologis.

X. KOMPLIKASI

Menurut tinjauan literatur, phlegmon peritonsillar adalah komplikasi yang utama dari tonsilitis dan 2,4% dari keadaan tersebut. Sedangkan penyakit jantung menyumbang 33,33% dari komplikasi tonsillitis. Regurgitasi mitral tadalah penyakit jantung paling umum dengan persentase sebanyak 40%.

Komplikasi lain dalam penelitian lain juga termasuk selulitis serviks (13,33%), abses parafaringeal (6,67%), dan sepsis (6,67%). Sedangkan pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil, abses para faring, bronchitis, glomerulonephritis akut, miokarditis, artritis, serta septicemia. Kelumpukhan otot palatum mole, otot mata, otot faring, otot laring serta otot pernafasan juga dapat terjadi pada tonsillitis difteri.

XI. PROGNOSIS

• Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

• Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

• Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., 2012. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed.

Philadelphia: BOEIS FUNDMENTALS OF OTOLARYNGOLOGY.

Allotoibi, A. D., 2017. Tonsillitis in Children Diagnosis and Treatment Measures. Saudi Journal of Medicine (SJM) , 2(8), p. 208.

Fakh, I. M., Novialdi & Elmatris, 2016. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(2), pp. 436-437.

Georgalas, C. C. N. S. T. A. N., 2014. Tonsillitis. Clinical Evidence, p. 2.

Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi Tonsilitis Mengunakan Pengolahan Citra Digital. JNTETI, 4(1), p. 1.

Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications: Epidemiological, Clinical, and Therapeutic Profiles. International Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery, pp. 98-103.

Ramadhan, F. S. I. K., 2017. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan, Volume 2.

Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In:

A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan & Leher. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p. 200.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UI. Dalam: Trauma Muka dan Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Referensi

Dokumen terkait