BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 1. Definisi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru (Wijayaningsih, 2013).
ISPA adalah masuknya mikroorganisme (bakteri, virus, riketsia) ke dalam saluran pernafasan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat berlangsung sampai 14 hari (Wijayaningsih, 2013).
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun pada bayi di bawah lima tahun dan bayi merupakan salah satu kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Meilisya, 2017).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA ditandai dengan gejala demam disertai batuk atau
pilek yang berlangsung tidak lebih dari 10 hari dan memerlukan perawatan (Kemenkes, 2016).
2. Klasifikasi ISPA
Meilisya (2017) klasifikasi ISPA menurut pedoman pelayanan ISPA berdasarkan anak usia 2 bulan - < 5 tahun adalah :
a. Bukan pneumonia
Adanya gejala batuk dan susah bernapas namun tidak ditemukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
b. Pneumonia
Gejala terdiri dari batuk dan sulit bernapas, disertai dengan napas cepat yaitu >40 x/menit
c. Pneumonia berat
Adanya gejala batuk dan sulit bernapas disertai tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing).
Klasifikasi ISPA menurut tempat terjadinya terbagi dua yaitu infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah.
a. Infeksi saluran pernapasan bagian atas
Penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas biasanya disebabkan oleh virus, walaupun tidak jarang bakteri juga sebagai penyebab. Dikalangan masyarakat biasa, peyakit ini disebut salesma atau common cold. Penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat memberikan gejala klinik yang beragam, seperti:
1) Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, sakit tenggorokan, sakit kepala, malaise. Demam jarang terjadi. 2) Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai
berat.
Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi nasal dan batuk.
3) Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal. Gejala faringeal sering disertai oleh konjungtivitis, fotofobia,rasa sakit pada bola mata. Konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah 1 - 2 minggu, dan setelah gejala lain menghilang.
4) Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam, menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, batuk, sakit tenggorokan.
5) Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (croup), yaitu suatu kondisi serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, stridor, inspirasi yang disertai sianosis.
b. Infeksi saluran Pernapasan bagian bawah 1) Bronkitis akut
Bronkitis akut merupakan peradangan akut membran mukosa bronkus yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyebab paling sering adalah virus seperti virus influenza,
parainfluenza, adenovirus, serta rhinovirus. Sedangkan penyebab dari bakteri adalah Mycoplasma pneumoniae. Gejala yang timbul seperti hidung tersumbat, flu, dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal, dan rasa gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat sputum yang banyak dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen.
2) Bronkiolitis dan Bronkietasis Terinfeksi
Inflamasi bronkiolus disebut bronkiolitis. Biasanya bronkiolitis terjadi pada anak-anak sebagai akibat infeksi virus. Jika sudah terjadi proses pembentukan jaringan parut, penyakit ini disebut sebagai bronkiolitis obliterans.
Etiologi dari bronkiolitis adalah sebagai berikut : a) Inhalasi gas toksik
b) Infeksi virus, yaitu adenovirus, rhinovirus, virus parainfluenza, dan Mycoplasma pneumoniae
c) Faktor idiopatik
Gejala utamanya adalah sesak napas, takipnea. Penderita akan mengalami demam seperti influenza selama 4 – 10 minggu. Penyakit ini akan berkembang menjadi organizing pneumoniae, yaitu perubahan eksudat intraalveolar menjadi
massa fibromiksoid yang berisi fibroblas dan sel-sel peradangan kronik. Gambara foto paru pada bronkiolitis bervariasi mulai dari normal, hiperinflasi, tampak adanya infiltrat difus.
3. Etiologi
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus. Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung. Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga menimbulkan risiko serangan ISPA. Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan (Wijayaningsih, 2013).
4. Manifestasi Klinis
Umumnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut biasanya ditandai dengan keluhan gejala yang ringan, namun seiring berjalannya
waktu, keluhan dan gejala yang ringan tersebut bisa menjadi berat kalau tidak segera diatasi. Oleh sebab itu, jika anak/bayi sudah menunjukkan gejala sakit ISPA, maka harus segera diobati agar tidak menjadi berat yang bisa menyebabkan gagal napas atau bahkan kematian. Gejala yang ringan biasanya diawali dengan demam, batuk, hidung tersumbat dan sakit tenggorokan (Marni, 2014).
Menurut Rasmaliah (2004) bahwa tanda bahaya bisa dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Secara klinis pada pemeriksaan respirasi akan terdapat tanda gejala sebagai berikut : takipnea, napas tidak teratur (apnea), retraksi dinding thoraks, napas cuping hidung, sianosis, suara napas lemah atau hilang,
grunting expiratoir, dan wheezing. Sedangkan pada sistem kardiovaskuler akan menunjukkan gejala takikardi, bradikardi, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest. Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium adalah jika ditemukan hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis metabolic maupun asidosis respiratorik (Marni, 2014).
5. Patofisiologi
Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya bakteri :
escherichia coli, streptococcus pneumoniae, chlamidya trachomatis, clamidia pneumonia, mycoplasma pneumoniae, dan beberapa bakteri lain
dan virus : miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, respiratory syncytial virus kedalam tubuh manusia melalui partikel udara (droplet infection), kuman
ini akan melekat pada sel epitel hidung, dengan mengikuti proses pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke saluran pernapasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan sebagainya (Marni, 2014).
6. Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Pernapasan Akut Pada Balita Menurut Ijana (2017), faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan akut pada balita adalah sebagai berikut :
a. Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat yaitu tidak ada tumbuhan hijau disekitar rumah, tidak ada ventilasi udara yang cukup, rumah yang tidak terpapar cahaya matahari, tempat tinggal kotor, terdapat anggota keluarga yang merokok, tinggal dilingkungan padat penduduk dapat meningkatkan risiko kejadian infeksi saluran pernapasan akut pada balita sebesar 11,35 kali dibanding dengan balita yang tinggal di lingkungan yang sehat.
b. Status imunisasi
Balita yang tidak diberikan imunisasi dasar lengkap 4,88 kali lebih berisiko untuk mengalami infeksi saluran pernapasan akut dibanding balita dengan status imunisasi dasar lengkap.
c. Status gizi
Balita yang mengalami gizi buruk memiliki risiko 4,34 kali untuk mengalami infeksi saluran pernapasan akut dibanding balita dengan status gizi cukup.
d. Umur
Kelompok balita 6,88 kali lebih berisiko untuk mengalami infeksi saluran pernapasaan akut dibanding dengan kelompok bayi.
e. Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua yang rendah berisiko 7,04 kali untuk balita mengalami infeksi saluran pernapasan akut dibanding dengan orang tua dengan tingkat pendidikan menengah dan tinggi.
f. Status sosial ekonomi
Balita yang berasal dari keluarga yang tidak mampu mempunyai risiko 7,98 untuk terkena infeksi saluran pernapasan akut dibandingkan dengan balita yang berasal dari keluarga yang mampu (berkecukupan).
g. Riwayat pemberian ASI eksklusif
Balita yang tidak diberi ASI eksklusif semasa bayi mempunyai risiko sebesar 8,54 kali untuk mengalami infeksi saluran pernapasan akut dibandingkan balita dengan riwayat pemberian ASI eksklusif.
7. Strategi Pencegahan dan Pengendalian ISPA Pada Balita
Menurut Fauziah (2018) secara global, upaya-upaya dalam pencegahan dan pengendalian ISPA pada balita adalah sebagai berikut :
a. Melindungi (to protect)
Melindungi balita dengan menciptakan lingkungan yang mempunyai risiko kecil untuk untuk kejadian ISPA. Upaya dalam kategori ini
meliputi pemberian ASI eksklusif, pemberian gizi seimbang, pencegahan berat badan lahir rendah, pengurangan polusi udara dalam ruangan, dan perilaku cuci tangan pakai sabun.
b. Mencegah (to prevent)
Mencegah balita terkena ISPA. Upaya yang dilakukan dalam kategori ini adalah pemberian vaksinasi difteri, batuk rejan (pertusis), campak, Haemophilus influenzae b (Hib), dan pneumokokus.
c. Mengobati (to treat)
Mengobati balita yang terkena ISPA melalui tata laksana kasus baik di fasilitas pelayanan pratama maupun di Rumah Sakit.
8. Penegakan Diagnosa
Menurut Riskesdas (2018) Prevalensi ISPA menurut riwayat diagnosis diukur melalui pertanyaan: “Dalam 1 bulan terakhir, apakah responden pernah didiagnosis ISPA oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan)?” Jika menjawab tidak maka ditanyakan riwayat mengalami gejala ISPA melalui pertanyaan yang menanyakan demam, batuk kurang dari 2 minggu, pilek/hidung tersumbat dan sakit tenggorokan. Jika responden menjawab pernah mengalami gejala demam, batuk kurang dari 2 minggu, pilek/hidung tersumbat dan atau sakit tenggorokan, maka responden dianggap mengalami ISPA (Kemenkes, 2018).
B. Status Gizi
1. Definisi Status Gizi
Gizi adalah proses makhluk hidup menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbs, transportasi, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat yang tidak diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ tubuh serta menghasilkan energi. Status gizi didefinisikan sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Proverawati dan Kusumawati, 2011).
Menurut Almatsir (2001) Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Marmi dan Raharjo, 2018).
Status gizi adalah keadaan tubuh manusia sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Adapun kategori dari status gizi dibedakan menjadi tiga, yaitu gizi lebih, gizi baik dan gizi kurang. Baik buruknya status gizi manusia dipengaruhi oleh 2 hal pokok yaitu konsumsi makanan dan keadaan tubuh atau infeksi (Mardalena, 2017).
Status gizi dikatakan baik jika jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (required) seimbang. Energi yang masuk
kedalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Meilisya, 2017).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan kurang zat gizi tingkat sedang yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein dalam waktu yang cukup lama. Status Gizi buruk atau yang sering disebut severe malnutritionmerupakan keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu cukup lama. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Meilisya, 2017).
Menurut WHO tahun 2005 Malnutrisi adalah keadaan yang termasuk gizi kurang dan gizi lebih. Beberapa faktor yang menyebabkan malnutrisi seperti diet yang inadekuat atau berat, infeksi berulang, kepadatan penduduk, keadaan lingkungan, faktor ekonomi dan fasilitas kesehatan (Meilisya, 2017).
2. Faktor Status Gizi
Faktor yang mempengaruhi status gizi digolongkan atas penyebab langsung, penyebab tidak langsung, penyebab pokok dan akar masalah menurut UNICEF. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita dalam penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2012) yaitu :
a. Agen
Penyebab langsung timbulnya kurang gizi pada balita adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh balita.
b. Host (pejamu)
Pejamu adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan penyakit pada masalah gizi.
1) Jenis Kelamin
Tingkat kebutuhan pada anak laki-laki lebih banyak dibutuhkan jika dibandingkan dengan perempuan. Begitu juga kebutuhan energi, sehingga laki-laki mempunyai peluang untuk menderita KEP yang lebih tinggi daripada perempuan apabila kebutuhan akan protein dan energinya tinggi.
2) Berat badan Lahir Anak Balita
Anak saat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), pertumbuhan dan perkembangannya terganggu. Hal ini akan semakin buruk lagi apabila bayi BBLR kurang mendapat asupan energy dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan menderita penyakit.
3) Status Pemberian ASI Eksklusif
ASI mengandung zat-zat gizi berkualitas tinggi, berguna untuk kecerdasan, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sedangkan kolostrum (ASI pertama) mengandung vitamin A, protein dan zat kekebalan yang penting bagi bayi (Indiarti, 2008). Status gizi kurang pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif lebih tinggi yaitu 83,33% dibanding status gizi anak yang diberi ASI eksklusif yaitu 16,67% (Wardani, 2012). c. Environment (Lingkungan)
1) Tingkat Pendidikan
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang balita. Karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara perawatan anak yang baik. Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis. Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan pendidikan ibu rendah dibanding anak dengan pendidikan ibu tinggi (Wardani, 2012). 2) Pengetahuan Ibu tentang Gizi Balita
Pentingnya pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan. Pertama, status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. Kedua, setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh yang optimal. Ketiga, ilmu gizi memberikan fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo, 1992 dalam Wardani 2012).
3) Status Pekerjaan Ibu
Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuh kepada anak. Berbanding terbalik dengan penelitian hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2012) bahwa seluruh anak yang gizi kurang memiliki ibu yang tidak bekerja.
4) Tingkat Pendapatan Keluarga (Status Ekonomi)
Pendapatan akan membantu daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain yang dapat mempengaruhi status gizi. Pendapatan keluarga mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. 3. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi menurut Anggraeni (2012) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung :
a. Penilaian Secara Langsung 1) Antropometri
a) Pengertian
Secara umum, antropometri artinya adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
b) Penggunaan
Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
2) Klinis
a) Pengertian
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial ephitellial tissues) seperti kulit, mata. Rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. b) Penggunaan
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Di samping itu
digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gela (symptom) atau riwayat penyakit.
3) Biokimia a) Pengertian
Penilaian status gizi secara biokimia dilakukan dengan melakukan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh seperti darah, urine, tinja, jaringan otot dan hati b) Penggunaan
Penggunaan metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
4) Biofisik
a) Pengertian
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur jaringan.
b) Penggunaan
Metode ini secara umum digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night
blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.
b. Penilaian Secara Tidak Langsung 1) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi yaitu metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penggunaannya dapat untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi.
2) Statistik vital
Dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan lain-lain. Penggunaan dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
3) Faktor ekologi
Masalah malnutrisi merupakan hasil penilaian yang didasarkan pada hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Menyadari hal tersebut dipandang sangat penting untuk melakukan pengukuran faktor ekologi untuk mengetahui penyebab malnutrisi disuatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.
4. Standar Penilaian Status Gizi (Indeks Antropometri)
Penilaian status gizi (PSG) adalah sebuah metode mendeskripsikan kondisi tubuh sebagai akibat keseimbangan makanan yang dikonsumsi dengan penggunaannya oleh tubuh. Pada tahun 1975 suatu kelompok kerja diberikan tugas untuk membuat suatu masukan kepada WHO tentang penggunaan indikator antropometri untuk kepentingan survei status gizi dalam survailans gizi. Rekomendasi yang dihasilkan berupa penggunaan berat badan dan tinggi badan yang akan dipergunakan sebagai suatu standar internasional.
Berat badan dan tinggi badan adalah dua jenis antropometri yang sering kali digunakan dalam survei gizi. Pengukuran ini dalam kombinasi dengan umur dan jenis kelamin dapat digunakan untuk tiga indikator yaitu BB/TB, BB/U dan TB/U. Ketiga jenis indikator antropometri ini ditemukan pada sebagian besar data yang ada dibanyak populasi dibanding dengan indikator status gizi individu atau populasi (Anggraeni, 2012).
Kategori status gizi menurut pengolahan data antropometri berdasarkan Z-Score (simpangan baku) WHO 2010 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori
Status Gizi Ambang Batas Berat badan menurut
umur (BB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Gizi buruk <-3 SD
Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Sangat pendek <-3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan
<-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2
SD
Tinggi >2 SD
Berat badan menurut
panjang badan
(BB/PB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Anak umur 0-60 bulan
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan
<-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2
SD
Gemuk >2 SD
Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) Anak umur 5-18 tahun
Sangat kurus <-3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan
<-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 1
SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Pengukuran skor simpang baku (Z-Score) dapat diperoleh dengan mengurangi nilai individual subjek (NIS) dengan nilai median baku rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan nilai simpang baku rujukan (NSBR) atau dengan rumus :
Keterangan :
NIS : Nilai individual subjek NMBR : Nilai median baku rujukan NSBR : Nilai simpangan baku rujukan Secara umum, rumus perhitungan Z-Score adalah :
Nilai simpang baku rujukan disini maksudnya adalah selisih kasus dengan standar +1 SD atau -1 SD.
C. Hubungan Status Gizi dengan Sistem Imun
Menurut Meilisya (2017) agar anak tidak mudah terinfeksi oleh mikroorganisme maka dibutuhkan sistem imun. Sistem imun merupakan sistem koordinasi respon biologik yang bertujuan melindungi integritas dan identitas individu serta mencegah invasi organisme dan zat yang berbahaya di lingkungan yang dapat merusak dirinya. Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh, yaitu :
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobacillus pada epitel organ. 3. Imunitas spesifik yang didapat.
Status gizi pada balita dapat berpengaruh terhadap beberapa aspek. Gizi kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan
Akibat lainnya adalah penurunan daya tahan, menyebabkan hilangnya masa hidup sehat balita, serta dampak yang lebih serius adalah tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian. Anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya akan melemah, dan mudah terserang penyakit.
Malnutrisi merupakan penyebab defisiensi imun tersering diseluruh dunia. Kekurangan protein dapat menimbulkan gangguan imunitas, menimbulkan atrofi dan berkurangnya sel di timus dan kelenjar limfoid serta hilangnya sel limfoid disekitar pembuluh darah limpa yang meningkatkan infeksi oportunistik. Zat gizi mikro juga berpengaruh pada sistem imun. Zat gizi mikro terdiri dari vitamin dan mineral. Vitamin yang berpengaruh terhadap sistem imunitas adalah vitamin A. Kekurangan vitamin A jelas dihubungkan dengan insidensi,morbiditas,mortalitas penyakit Pernapasan. Vitamin A menstabilkan struktur dan fungsi permukaan mukosa dan terlibat dalam proses sistem imun (khususnya fungsi sel T) dan produksi mukus.