BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous
(Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006). Tumor nasofaring mudah meluas ke fosa serebri media melalui 2 titik lemah yaitu, foramen laserum dan ovale (Cotrril &Nutting, 2003).
Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara ke kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottrill & Nutting,2003).
2.2. Epidemiologi
Insiden KNF yang paling tinggi adalah pada etnik Cina di sekitar propinsi Guangdong yaitu 20-30 kasus per 100.000 penduduk laki-laki dan 15-20 kasus per 100.000 penduduk wanita (Wei WI & Kwong DLW, 2010), selain itu juga daerah Asia Selatan, Afrika utara, Timur Tengah dan populasi Eskimo di Alaska (Chang dan Adami, 2006; Plant, 2009). KNF relatif jarang pada populasi kulit putih, insidensi di Inggris 0,3 per 1.000.000 penduduk pada usia 0-14 tahun (Brennan, 2006), sedangkan di Amerika Serikat 0,75 per 100.000 penduduk (Plant, 2009).
Keturunan generasi pertama emigrasi dari Cina Selatan ke daerah mengalami penurunan insidens KNF menjadi 5 per 100.000. Insidensi turunan Cina di Negara Barat lebih rendah dibandingkan turunan Cina di Asia. Insidensi turunan Cina di Los Angeles adalah 6,5 kasus per 100.000 laki-laki, sedangkan insidensi turunan Cina di Singapura 18.1 kasus per 100.000 penduduk pada laki-laki (Sun et al, 2005; Lo et al,2007).
Distribusi ras/etnik dan geografi yang khusus ini memberi kesan bahwa faktor lingkungan dan genetik turut berperan dalam terjadinya KNF (Pua et al, 2008).
Penelitian case series Roezin (1996) selama periode 10 bulan mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun dan 40-49 tahun masing-masing sebesar 25.92% di RSCM Jakarta. Penelitian case series Muyassaroh et al (1999) di RSUP dr.
Kariadi Semarang mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun dan 50-59 tahun masing-masing sebesar 24.8% dari 141 kasus.
Hasil yang berbeda didapat oleh Hadi dan Kusuma (1999) di RSUD dr. Soetomo Surabaya mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu 39 (30.23%) diikuti kelompok umur 41-50 tahun yaitu 31 dari 129 kasus (24.03%). Penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan, seperti penelitian case series oleh Lutan (2003) mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 40% dari 130 kasus. Di kepustakaan disebutkan umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003) ataupun 40-60 tahun (Thompson, 2005).
Ditemukan kecendrungan penderita KNF laki-laki lebih banyak dari wanita.
Insiden KNF di Malaysia Juli 2007 sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita berbanding 3 : 1 (Pua et al,2008). Secara case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus
KNF dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering pada umur 51-60 tahun (Yenita,2009).
2.3. Etiologi
Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui, namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap KNF :
Faktor Genetik
berdasarkan fakta-fakta seperti terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF dan masih tingginya risiko KNF emigran Cina di daerah yang insiden KNF nya sangat rendah (Jia WH et al, 2004).
Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA).
Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA- DRB1*08 (Munir D, 2007).
Faktor Lingkungan
Infeksi virus Epstein-Barr (VEB)
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1964 dalam biakan sel limfoblas dari penderita limfoma Burkitt. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasikan sebagai anggota family virus Herpes (Herpesviridae) dapat berreplikasi pada sel epitel orofaring dan kelenjar parotis, kemudian menyebar lewat
ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, EBV dapat menginfeksi limfosit B (Setiamika M, 2010).
Faktor Makanan
Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).
Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi. Nitrosamin banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara pengasinan seperti ikan asin ataupun dengan cara pengasapan. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari, ekstrak ikan asin membentuk nitrosamin dan beberapa volatile nitrosamin (Ahmad, 2002).
Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko terhadap KNF adalah merokok, terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap kayu bakar, asap dupa, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat dijelaskan.
Penelitian matching case control di Semarang dilaporkan paparan formaldehid berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar terhadap terjadinya KNF (Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007). Perokok berat berisiko 2-4 kali dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang tinggi tidak menunjukkan risiko pada masyarakat Cina, walaupun di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan (Plant, 2009).
2.4. Gejala Klinis
Dikarenakan kaya akan suplai limfatik dan area yang sulit diperiksa, maka metastasis servikal sering dijumpai pada tampilan awal. Seperti keganasan kepala dan leher lainnya, tidak ada hubungan antara ukuran tumor primer dengan kelenjar limfe servikal. Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant, 2009).
Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher (Wei, WI dan Kwong DL, 2010).
2.4.1. Gejala Hidung
Epistaksis
Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi ringan dapat terjadi perdarahan (Cottrill dan Nutting, 2003).
Hidung sumbat
Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor dapat menonjol kedalam kavum nasi.
2.4.2. Gejala Telinga
Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang paranasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius (Wei, WI dan Kwong DL, 2010).
Gangguan pendengaran
Tinnitus
Nyeri telinga / Otalgia
Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada n.glossofaringeus.
Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani
Disfungsi tuba Eustachius dari infiltrasi ke m.levator veli palatini menyebabkan terjadi otitis media serosa pada 40 % penderita (Plant, 2009).
2.4.3. Gejala Neurologis
Sindroma Petrosfenoidal
Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut- turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan.
Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II – n.
VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002)
Sindroma Parafaring
Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : nervus IX : kesulitan menelan karena hemiparese m.
konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. nervus XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).
2.4.4. Limfadenopati servikal
Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al, 1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga (11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%) (Pua et al, 2008). Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Thompson, 2005)
2.4.5. Gejala Metastasis Jauh
Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa.
Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa & De Paoli, 2001).
2.5. Diagnosis 2.5.1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009).
2.5.2. Pemeriksaan 2.5.2.1. Rinoskopi Posterior 2.5.2.2. Endoskopi
a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy).
b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) 2.5.2.3. Biopsi Nasofaring
Biopsi dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku. Forseps biopsi harus selalu dimasukkan seiring dengan endoskopi agar dapat melakukan biopsi tumor dengan pandangan langsung (Wei, 2006)
2.5.2.4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001).
Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak
CT scan nasofaring, pada KNF yang tumbuh endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan (Her,2001). Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan atrofi kelenjar hipofise (Wei dan Sham, 2005).
Magnetic Resonance Imaging lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan
lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005).
Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling
sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF (Wei dan Sham, 2005).
2.5.2.5. Pemeriksaan Patologi Anatomi a. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi mutlak dilakukan b. Pemeriksaan Imunohistokimia
Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. (Sudiana, 2005)
c. Pemeriksaan Serologi
d. Polimerase Chain Reaction (PCR) (Zachreni, 1999).
2.6. Histopatologi
KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring. Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu :
Tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
Tipe ini berisiko rendah untuk terjadi metastasis, namun mempunyai angka survival yang rendah dibandingkan tipe non-keratinizing (Plant, 2009).
Tipe II. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
Tipe III. Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)
Merupakan tipe yang paling sering dijumpai dan hampir dijumpai pada KNF di daerah endemik (Plant, 2009).
2.7. Stadium
Dibeberapa daerah non-endemik menggunakan sistem stadium TNM berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer/ International Union Against Cancer).
Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan, 2006) :
Tumor primer (T)
Tx : tumor primer tidak dapat ditemukan To : tidak ada bukti tumor primer
Tis : karsinoma in situ
Nasofaring
T1 : tumor terbatas di nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau kavum nasi o T2a : tanpa perluasan ke parafaring
o T2b : dengan perluasan ke parafaring
T3 : tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx : pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan N0 : tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional
N1 : metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular
N2 : metastasis kelenjar limfe bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular
N3 : metastasis kelenjar limfe oN3a : ukuran > 6 cm
o N3b : meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M)
Mx : metastasis jauh tidak dapat ditemukan Mo : tidak dijumpai metastasis jauh
M1 : dijumpai metastasis jauh
Stadium KNF
Stadium T N M
I II A II B III
IV A IV B IV C
T1
T2a
T1-2a
T1-2b
T3
T4
semua T semua T
No No N1
N2
N0
N0-2
N3
Semua N
Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo M1
Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV,
28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF dijumpai 41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan stadium I dan II (Zahara, 2007).
2.8. Penatalaksanaan
Lokasi anatomi dan kecendrungan dijumpai pada stadium lanjut menyebabkan tindakan reseksi bedah jarang dilakukan pada KNF (Brennan, 2006; Plant, 2009).
Gambar 1. Penatalaksanaan KNF menurut NCCN 2010
2.9. Prognosis
Penelitian pada 2.678 pasien yang diterapi di 5 pusat onkologi Hongkong, dengan analisis multivariat menunjukkan stadium merupakan faktor yang sangat berperan untuk harapan hidup (survival). Pada penelitian ini, KNF yang diterapi antara 1996 dan 2000 mempunyai 5-year disease-spesific survival adalah 92 % untuk stadium I, 87 % untuk stadium II, 79 % untuk stadium III, dan 65 % untuk stadium IV (Plant, 2009).
31
KERANGKA KONSEP
HLA
Faktor Makanan :
Konsumsi ikan asin
(mengandung nitrosamine)
Karsinoma Nasofaring
Tipe Histopatologi Keluhan Utama
Stadium
Jenis Kelamin
Infeksi Epstein Barr Virus
Suku/Ras
Sosial Ekonomi
Paparan bahan industri Pekerjaan
Rokok Epitel Nasofaring
Genetik
Terapi
: Variabel penelitian