Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari pemikiran luas Qodri dalam konstruksi hukum Islam. Konsep ini penting untuk dikaji mengingat adanya konflik pemikiran yang terjadi antara hukum Islam dan hukum adat di Indonesia. Ilmu Pengetahuan Islam (Direktorat Pendidikan Tinggi Islam: .2004); Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Common Law (Jakarta: Teraju, 2004); Eklektisisme Hukum Nasional: Persaingan antara Hukum Islam dan Common Law (Yogyakarta: Gama Media, 2004); dan Menggagas Hukum Progresif di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Mahasiswa, 2006).
15 Muhyar Fanani, Landasan Hukum Surgawi: Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hal.
Indonesian Jurisprudence: Penegasan Spirit Keindonesiaan Penegasan hukum Indonesia dengan spirit keindonesiaan dapat
Terkait dengan pluralitas yang dimaksud, Qodri melontarkan kritik yang sangat tajam bahwa dalam perjalanan sejarahnya setelah kemerdekaan, Indonesia belum memiliki konstitusi yang komprehensif yang memuat hukum-hukum nasional yang berasal dari produk bangsa Indonesia sendiri. Karena permasalahan tersebut, pergulatan antara dua kutub yang berlawanan, antara kutub yang memaksakan diri untuk memformalkan ajaran agama dan kutub sekuler yang mengabaikan agama sepenuhnya, terus menghantui republik ini, terutama dalam perdebatan mengenai perkembangan sistem hukum nasional. Kubu yang ingin memformalkan Islam berargumentasi agar keluar dari cengkraman hukum warisan penjajah, sedangkan kubu lawan berargumentasi untuk menyingkirkan unsur-unsur agama.
Kobaran api konflik semakin meluas ketika keran demokrasi dibuka, bertepatan dengan semakin berkembangnya poros politik identitas.24. Berkaitan dengan hal tersebut, Qodri menegaskan bahwa perkembangan hukum nasional mencakup tiga unsur sumber hukum yang mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang, yaitu hukum Barat yang dikenal juga dengan hukum perdata, hukum adat, dan hukum Islam. Ketiganya bersaing secara bebas dan demokratis, tanpa paksaan, namun melalui koridor demokrasi yang berlandaskan semangat keindonesiaan.
Maka dalam upaya mewujudkan hukum nasional yang berlandaskan semangat keindonesiaan, Qodri menekankan pada landasan perundang-undangan yang lebih mencerminkan karakter hukum nasional yang tidak bertentangan dengan akal sehat, berjiwa nasional-Indonesia dan bukan hukum Al-Qur'an. an dan Sunnah.25 Qodri mensinergikan pola hukum Islam dan hukum adat secara transformatif-kontekstual yang tidak hanya mengedepankan syiar Islam namun lebih pada substansinya. Qodri menolak penggunaan simbol-simbol Islam yang eksklusif dan mengabaikan pluralitas masyarakat Indonesia yang beragam. 24 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Landasan Negara: Kajian Debat di Konstituante (Bandung: Mizan dan Maarif Institute, 2017), hal.
Positivisasi Hukum Islam: Hukum Mazhab Indonesia
Qodri melihat adanya kesenjangan hukum Islam dalam mampu mewarnai peraturan perundang-undangan nasional, terutama pasca era reformasi ketika arah dan kebijakan hukum berdasarkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 mengamanatkan hal tersebut. Menyelenggarakan sistem hukum nasional yang komprehensif dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan adat serta melakukan reformasi hukum waris kolonial dan hukum nasional yang bersifat diskriminatif, termasuk ketidaksetaraan gender dan ketidaksesuaiannya dengan reformasi melalui program legislasi (Bab IV A.2). Meskipun pelaksanaan GBHN telah selesai, namun ketentuan ini menunjukkan adanya kemungkinan hukum Islam (agama) menjadi bagian atau mewarnai peraturan perundang-undangan nasional, yaitu melalui proses legislasi.
Meski demikian, Qodri menegaskan, positivisasi hukum Islam bukan berarti kewajiban fiqh atau syariah menjadi hukum nasional. Yang dimaksud dengan positivisasi dengan pendekatan eklektik adalah reorientasi pembangunan hukum nasional dengan menggunakan penalaran ilmiah yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, rekonstruksi kajian hukum Islam sendiri perlu dilakukan agar tidak hanya berbicara persoalan halal-haram yang sedikit banyak turut berkontribusi terhadap keterbelakangan Islam dalam sejarah peradaban manusia.
Rekonstruksi ini juga dinilai penting agar kajian hukum Islam tidak terlalu jauh dari kemajuan modernitas dan tidak mampu menjawab permasalahan kontemporer yang berkembang di masyarakat. Sementara itu, di satu sisi, kajian hukum nasional nampaknya juga perlu direkonstruksi, agar tidak mengalami krisis paradigmatik karena terlepas dari moralitas dan tercerabut dari akar keindonesiaannya.
Hukum Islam Indonesia: Analisis Pemikiran A. Qodri Azizy
Pendekatan Integratif-Kolaboratif atas Pluralitas Sistem Hukum Indonesia
Berdasarkan pertanyaan tersebut, Qodri kemudian merumuskan hukum nasional yang terdiri dari gabungan tiga sumber, yaitu hukum adat, hukum Barat, dan hukum Islam. Menurut Qodri, syariat Islam mempunyai peranan penting bagi keberadaan dan kelangsungan umat Islam, khususnya bagi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia. Hukum Islam telah teruji dalam realitas sejarah berfungsi sebagai sistem hukum yang dinamis, terfokus, kreatif dan integratif.
Dalam analisis Qodri, mempertemukan hukum Islam dengan negara-negara atau sistem common law, atau bahkan dengan sistem hukum nasional, adalah sesuatu yang tidak tepat.29. Perjuangan akademis dalam wacana hukum nasional menunjukkan bahwa interaksi hukum Islam dan hukum nasional positif mewakili setiap kompleksitas yang melingkupinya. Khusus hukum Islam, Qodri menggunakan pendekatan kolaboratif-integratif dengan penekanan pada konstruksi hukum Islam reformatif, dengan bahasa Qodri adalah bermazhab reformasi.
Apalagi terdapat kekeliruan ketika membandingkan atau menetapkan posisi yang tidak proporsional antara hukum Islam dan hukum adat. Implikasinya, hukum Islam yang diajarkan di fakultas hukum perguruan tinggi negeri hanya bersifat pelengkap karena dianggap tidak berlandaskan sejarah perjalanan bangsa. Menurut Qodri, upaya positifisasi hukum Islam merupakan salah satu kajian yang dapat diterapkan di lingkungan perguruan tinggi, khususnya di perguruan tinggi keagamaan, yaitu di Fakultas Syariat dan Hukum, misalnya di Sekolah Tinggi Keagamaan Islam (NJALA). Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN) dalam konteks akademik untuk menekuni eklektisisme hukum.
Integrasi Hukum: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum
Pada awal tahun 1970-an, Ibrahim Hossen memperkenalkan kontekstualisasi hukum Islam dengan metode ijtihad kontekstual.37 Pada pertengahan tahun 1975, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memperkenalkan gagasan hukum Islam sebagai penunjang pembangunan, jika gagasan dan wawasan umum berputar. seputar peran dan fungsi hukum Islam dalam mendukung pengembangan tatanan hukum positif di Indonesia.38. Tidak berhenti sampai disitu saja, pada pertengahan tahun 1980-an, Munawir Syadzali mengemukakan gagasan untuk mengaktualisasikan kembali ajaran Islam dengan mengambil pertanyaan-pertanyaan diskusi mengenai hukum waris, perbudakan dan bunga bank.39 Dalam pemikiran hukum Islam juga ada Ahmad. Azhar Basyir yang memperkenalkan corak hukum lokal dalam kontestasi hukum Islam di Indonesia.40. Dengan kata lain, pendekatan eklektik ini merupakan paradigma moderasi hukum yang digagas oleh Qodri.
Paradigma moderasi hukum dalam konteks ini dapat dipahami sebagai suatu sikap dan cara pandang yang penuh dengan nilai-nilai keseimbangan dan keadilan yang dikaji melalui jalur akademis. Eklektisisme yang diperkenalkan oleh Qodri mempertemukan ketiga sumber hukum di Indonesia dalam suasana dialogis yang saling melengkapi dan mengoreksi, tidak saling berhadapan yang rawan konflik dan segregasi. Oleh karena itu, terdapat salah satu langkah penting dalam konteks pembangunan hukum nasional di Indonesia, yaitu melakukan penyesuaian terhadap realitas masyarakat Indonesia.
Qodri mencontohkan, hukum Islam dan hukum Barat bisa saling mempengaruhi sehingga nilai-nilai hukum yang saling mempengaruhi menjadi nilai universal yang sah untuk diterima sebagai doktrin positif untuk mempercepat prosesnya. pembentukan hukum nasional Indonesia di masa depan. Qodri juga mengemukakan pendapat bahwa hukum Islam yang menganut adat istiadat lokal atau nasional kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh hukum Barat di negara berkembang, dalam konteks ini Indonesia yang tidak lepas dari hukum warisan Belanda karena Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. untuk waktu yang lama. 44. Pada saat yang sama, wajar pula jika terjadi saling memberi dan menerima atau eklektisisme antara ketiga struktur hukum yang dianut di Indonesia.
Menolak Dikotomi: Harmonisasi menuju Pembangunan Hu- kum Nasional
Qodri menekankan perlunya reorientasi konstruksi hukum Islam dengan menggunakan pendekatan reformasi berbasis sekolah dan kontekstualisasi dalam ijtihad. Saat ini, Qodri meyakini pola harmonisasi ketiga bahan baku legislasi nasional tersebut akan memperkuat pembangunan legislasi nasional yang demokratis dan berlandaskan semangat keindonesiaan. Dalam hal ini, Qodri mencontohkan pembahasan hukum Islam hanya dibatasi pada kewenangan atau lembaga peradilan agama saja.
Hal ini akan membatasi wacana dan penerapan hukum Islam serta menimbulkan bias polarisasi dalam dikotomi hukum Islam dan hukum umum. Qodri menolak indoktrinasi bahan baku legal untuk dicairkan menjadi bahan baku legal nasional. Undang-undang nasional dapat bersinergi untuk menjalankan fungsi pengendalian (social control) dan fungsi pemberdayaan masyarakat menjadi lebih baik dan maju (social engineering).
Yang ada, Qodri hanya fokus pada anggapan bahwa peran dan dominasi negara telah mengesampingkan nalar hukum Islam dan menerima sepenuhnya warisan hukum negara kolonial. Pandangan ini sebenarnya bias karena terlalu memposisikan negara sebagai otoritas pengendali pengaturan hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, kajian terhadap Qodri hendaknya diperdalam pada konstruksi teknis akomodasi harmonisasi hukum Islam dan hukum umum, tidak berhenti pada tataran pemikiran teoritis yang mengambang.
Kesimpulan
Namun Qodri tidak menyebutkan secara rinci kasus hukum apa yang bisa dijadikan contoh dalam konstruksi penalaran penerapan ketiga bahan baku hukum tersebut dalam kasus tertentu. Kenyataannya, realitas hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh realitas sosial dan budaya yang melingkupinya, mulai dari sistem teologis hingga sistem perilaku yang sangat detail dalam ranah privat. Qodri berpendapat bahwa setiap bangunan hukum mempunyai keterhubungan yang harus terpadu dalam rangka menemukan semangat bangunan hukum nasional yang bercirikan Indonesia.
Dalam hal ini Qodri mensinergikan hukum Islam dan hukum adat secara transformatif-kontekstual dengan pemahaman proporsional terhadap realitas sosial yang melingkupinya. Dalam konteks ini, pendekatan eklektik Qodri menemukan relevansinya dengan menggabungkan dan mengintegrasikan hukum adat dan hukum Islam, yang didasarkan pada jalan tengah kompromi nasional. Pada tataran selanjutnya, Qodri meyakini dengan harmonisasi masing-masing bahan baku hukum nasional yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat, maka akan diperkuat pembangunan hukum nasional yang demokratis berdasarkan semangat keindonesiaan.
Daftar Pustaka
Fikih Baru Mazhab Hukum Nasional: Pergeseran Paradigma Mazhab Hukum Islam Nasional tentang M. Agama, Negara dan Ideologi di Indonesia: Catatan Sejarah Diangkatnya Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Indonesia. Penggunaan Konsep Talfiq Sebagai Metode Penyelesaian Hukum Islam: Tinjauan Pustaka.” Jurnal Penelitian Syariah.