Nofiardi 174 Aborsi dalam Pandangan... ABORSI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM KAITANNYA DENGAN
DIBOLEHKANNYA MENURUT PP NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG REPRODUKSI
Nofiardi
Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi Email: nofiardi_dz@yahoo.com
Diterima: 18 September 2016 Direvisi : 20 Oktober 2016 Diterbitkan: 26 Desember 2016
Abstract
Abort this law, there are no texts that directly mention it, either in the Qur'an or hadith. While described in the Qur'an is about the prohibition of killing people without rights, denouncing the act and punish the perpetrators with eternal punishment in Hell. Therefore it is very interesting to discussions about abortion (abortion) in the view of Islamic law in relation to the permissibility of Government Regulation No. 61 Year 2014 About Reproduction, either abortion was performed before blowing the spirit or after blowing. In this paper, the authors also explain the process of human events, both the incidence of indirect land and the events directly from the ground by arguing verses and hadith, while associating it with the MUI fatwa and Government Regulation in particular the Government Regulation No. 61 Year 2014 About the reproduction. This paper also presents the imam schools of dissent against the phenomenon of abortion
Keywords: Abortion, Reproduction, Islamic Law Abstrak
Hukum menggugurkan kandungan ini, tidak ada nash yang secara langsung menyebutkannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencela perbuatan itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang kekal di neraka Jahannam. Oleh karena itu sangat menarik untuk melakukan pembahasan tentang pengguguran kandungan (aborsi) dalam pandangan hukum Islam kaitannya dengan dibolehkannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Reproduksi, baik pengguguran kandungan itu dilakukan sebelum peniupan ruh atau setelah peniupan. Dalam makalah ini, penulis juga menjelaskan tentang proses kejadian manusia, baik proses kejadian tidak langsung dari tanah dan proses kejadian secara langsung dari tanah dengan mengemukakan ayat-ayat dan hadits, sekaligus mengaitkannya dengan fatwa MUI dan Peraturan Pemerintah khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Reproduksi tersebut. Makalah ini juga menyajikan tentang perbedaan pendapat imam mazhab terhadap fenomena pengguguran kandungan
.Kata Kunci: Aborsi, Reproduksi, Hukum Islam
Pendahuluan
Kehidupan janin dalam syariat Islam merupakan kehidupan yang terhormat, karena dia adalah makhluk
hidup yang wajib dijaga. Bahkan syariat Islam membolehkan wanita hamil untuk
berbuka di bulan Ramadhan.
Nofiardi 175 Aborsi dalam Pandangan...
apabila dia khawatir terhadap kesehatan janin jika berpuasa. Dari sini dapat diketahui, bahwa syariat Islam melarang
untuk melakukan penganiayaan
terhadap janin, sekalipun hal itu dilakukan oleh orang tua, bahkan sekalipun itu dilakukan oleh ibu yang mengandungnya dalam keadaan berat dan susah.
Oleh karena itu sangat menarik untuk melakukan pembahasan tentang pengguguran kandungan (aborsi) dalam pandangan hukum Islam kaitannya
dengan dibolehkannya menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2014 Tentang Reproduksi, baik
pengguguran kandungan itu dilakukan sebelum peniupan ruh atau setelah peniupan.
Dalam makalah ini, penulis juga menjelaskan tentang proses kejadian manusia, baik proses kejadian tidak langsung dari tanah dan proses kejadian secara langsung dari tanah dengan mengemukakan ayat-ayat dan hadits, sekaligus mengaitkannya dengan fatwa
MUI dan Peraturan Pemerintah
khususnya Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 2014 Tentang
Reproduksi.
Aborsi Sebelum Peniupan Ruh
Menggugurkan kandungan yang
dalam bahasa Arabnya ijhaadh,
merupakan bentuk mashdar dari ajhadha, yang artinya wanita yang melahirkan
anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya.
Mengenai hukum menggugurkan kandungan ini, tidak ada nash yang secara langsung menyebutkannya, baik
dalam al-Qur’an maupun hadits.
Sedangkan yang dijelaskan dalam
al-Qur’an adalah tentang haramnya
membunuh orang tanpa hak, mencela
perbuatan itu dan menghukum
pelakunya dengan hukuman yang kekal di neraka Jahannam, sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 93:
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar
baginya.
Pengguguran kandungan (aborsi) sebelum ditiupkan ruh pada janin (embrio) atau sebelum berumur 4 bulan, para fuqaha’ berbeda pendapat tentang
boleh atau tidaknya melakukan
Nofiardi 176 Aborsi dalam Pandangan...
Para fuqaha dari mazhab Hanafi
membolehkan pengguguran janin
sebelum peniupan ruh jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua
orang tuanya.1
Argumen yang dikemukakan
tentang bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh ini, karena sebelum peniupan ruh, belum terjadi penciptaan apapun pada janin, baik sebagian ataupun secara keseluruhan.
Ibnu al-Hammam berkata,
“diperbolehkan menggugurkan janin selama belum terbentuk apapun pada janin”. Hal itu tidak terjadi kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari, karena pada saat itu penciptaan
telah sempurna dan siap ditiupkan ruh.2
Ibnu Abidin menyatakan bahwa
fuqaha mazhab Hanafi berpendapat, dibolehkan menggugurkan kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin setelah berusia
seratus dua puluh hari, dan
membolehkannya sebelum waktu itu, karena belum menjadi manusia.
Pada dasarnya fuqaha dari
mazhab Hanafi membolehkan
pengguguran kandungan sebelum
1M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran,
(Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2001), cet. ke-1, h. 202
2Ibid.,
peniupan ruh baik karena ada halangan
maupun tidak. Tetapi mereka
mensyaratkan kebolehannya, dengan tidak melanggar hak kedua orang tuanya. Artinya tidak boleh bagi orang lain untuk menggugurkan kandungan isteri kecuali atas izinnya dan izin suaminya, karena bila itu dilakukan berarti telah melakukan penganiayaan
kepada sang ibu, sehingga yang
bersangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang ditetapkan oleh hakim,
namun tidak harus menggantinya
dengan budak, karena penggantian dengan budak tidak diwajibkan kecuali bila seseorang menggugurkan janin yang sudah ditiupkan ruh. Begitu pula jika isteri menggugurkan janin tidak seizin suaminya, maka ia berdosa dan harus memberi ganti rugi, karena suami juga mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh. Pengharaman di sini bukannya karena membunuh janin itu sendiri, melainkan karena melanggar hak orang lain tanpa seizinnya.
Menurut Ibnu Abidin yang
menukil dari beberapa ahli fiqih mazhab Hanafi, bahwa mereka mengharamkan
pengguguran kandungan sebelum
peniupan ruh, karena janin pada masa ini merupakan bakal manusia yang nantinya akan menjadi manusia atas kehendak Allah. Seperti seseorang yang
sedang ihram, ia tidak boleh
Nofiardi 177 Aborsi dalam Pandangan...
bila itu dilakukan, maka akan tetap mendapatkan hukuman, karena telur itu adalah bakal binatang buruan, begitu
juga orang yang merusak bakal
manusia. Ia tidak mengatakan bahwa seorang ibu yang menggugurkan janin sebelum peniupan ruh itu tidak berdosa, tetapi dosa yang diterimanya tidak
sebesar dosa yang diakibatkan
pengguguran janin yang sudah
ditiupkan ruh. Namun demikian,
kelompok ini membolehkan
pengguguran kandungan karena adanya alasan yang diterima.
Ulama mazhab Maliki dikenal ulama yang sangat hati-hati dalam menyikapi masalah aborsi. Menurut mereka, janin tidak boleh diganggu bahkan sejak pembuahan sekalipun. Mereka menganggap masa konsepsi sebagai awal kehidupan manusia karena itu aborsi sejak awal tidak dibenarkan. Jumhur ulama Malikiyyah menyepakati keharaman pengguguran janin dalam bentuk apapun, termasuk pelenyapan hasil pembuahan kecuali dalam keadaan darurat, misalnya untuk menyelamatkan jiwa ibunya.
Sebagian fuqaha Malikiyah
memakruhkan pengguguran janin
setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh hari dan
mengharamkannya sesudah itu.3
Al-Lakhami salah seorang
ulama Malikiyah berpendapat, bahwa
3Ibid., h. 205
menggugurkan janin sebelum berusia empat puluh hari hukumnya boleh dan
tidak harus mengganti apa-apa.
Sedangkan sebagian fuqaha Malikiyah berpendapat, diberi rukhsah untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika
wanita takut akan dibunuh jika
ketahuan bahwa dirinya hamil.
Dari pendapat para ulama
mazhab Maliki ini, dapat disimpulkan bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum janin berusia empat puluh hari,
mayoritas ulama mereka
mengharamkan, ada sebagian yang
memakruhkan, al-Lakhmi
membolehkan, dan sebagian lain
memberikan rukhsah jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina.
a. Ulama-ulama dari mazhab Syafi’i
berbeda pendapat mengenai aborsi sebelum peniupan ruh. Pendapat pertama,
bahwa menggugurkan kandungan
selama janin belum ditiupkan ruh adalah boleh. Syaikh Qalyubi berkata:
boleh menggugurkannya walaupun
dengan obat sebelum peniupan ruh pada janin, sebagai sanggahan atas pendapat Imam al-Ghazali.
Ar-Ramli memakruhkan
pengguguran janin sebelum peniupan ruh sampai waktu yang telah mendekati
Nofiardi 178 Aborsi dalam Pandangan...
peniupan dan mengharamkannya
setelah memasuki waktu yang telah
mendekati peniupan ruh. Karena
sulitnya mengetahui secara pasti waktu
peniupan ruh tersebut, maka
diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk
berjaga-jaga.4
Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111M) mengharamkan pengguguran janin pada semua fase
perkembangan kehamilan dan
mengatakan bahwa janin dengan segala fase perkembangan umurnya sebelum peniupan ruh, haram untuk digugurkan.
Argumen Imam al-Ghazali di
dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, setelah membolehkan penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, ia berkata “penumpahan air mani di luar rahim bukan termasuk pengguguran dan pembunuhan, karena pengguguran adalah kejahatan terhadap
wujud manusia dan wujud ini
bertingkat-tingkat. Tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani tumpah ke dalam rahim dan bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan. Merusak wujud ini adalah kejahatan dan jika sudah menjadi segumpal darah dan segumpal daging, maka kejahatan itu lebih keji, apalagi jika telah ditiupkan ruh dan telah menjadi ciptaan yang sempurna, maka kejahatan itu bertambah keji lagi
4Ibid., h. 206
dan kejahatan terkeji adalah melakukan pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
b. Menurut mazhab Hanbali, ada beberapa pendapat tentang hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh.
Pertama, pendapat mereka secara umum
membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin, yaitu fase zigot, yang usianya maksimal empat puluh hari, dan setelah empat puluh hari tidak boleh digugurkan. Kedua, Ibnul Jauzi
berpendapat mengharamkan
pengguguran kandungan sebelum
peniupan ruh di semua fase
perkembangan janin. Sedangkan
sebagian ulama mazhab Hanbali
membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara mutlak tanpa mensyaratkan fase-fase tertentu.
Di sisi lain, ulama Hanabilah termasuk ulama yang sangat hati-hati dalam pemberian fatwa mengenai aborsi. Mereka bahkan mewajibkan orang-orang yang bertanggungjawab untuk membayar diyat kamilah jika aborsi dilakukan setelah janin lewat enam bulan. Alasan mereka adalah janin pada usia setengah tahun ke atas sudah termasuk sempurna dan diyakini akan mampu bertahan hidup walaupun lahir prematur. Oleh sebab itu siapapun yang
merusak dan melakukan jinayah
Nofiardi 179 Aborsi dalam Pandangan...
tersebut dikenai sanksi hukuman yang berat.
Ibnu Hazm tidak mempunyai pendapat yang jelas mengenai hukum
pengguguran kandungan sebelum
peniupan ruh, akan tetapi beliau
menegaskan bahwa menggugurkan
kandungan sebelum usia janin mencapai
empat bulan tidak dianggap
pembunuhan, baik disengaja atau tidak disengaja. Karena pembunuhan adalah
menghilangkan ruh dari jasad,
sementara janin pada saat itu tidak
mempunyai ruh. Seperti yang
ditegaskan di dalam hadits shahih, bahwa ruh tidak ditiupkan kepada anak Adam kecuali setelah empat bulan dari
awal kehamilan. Ibnu Hazm
berpendapat wajib membayar diyat atau
gurrah walaupun umurnya masih relatif
dini, namun tidak wajib kifarat.
Siapa yang memukul orang
hamil lalu menyebabkan janinnya
keguguran, jika usia janin itu belum mencapai empat bulan, maka tidak ada kifarat baginya tetapi hanya wajib membayar gurrah saja. Dia tidak membunuh seseorang tetapi hanya menggugurkan janin saja, karena dia
tidak membunuh seseorang, baik
disengaja maupun tidak disengaja, maka tidak ada kifarat, karena tidak ada kifarat kecuali dalam pembunuhan yang tidak disengaja dan tidak dibunuh kecuali orang yang sudah punya ruh,
sementara janin itu belum ditiupkan ruh.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa
denda gurrah janin yang belum
ditiupkan ruh diberikan kepada ibunya bukan kepada ahli warisnya, karena dia dianggap seperti anggota badan ibu dan dia menolak kalau denda itu diberikan kepada ahli warisnya. Beliau berkata, “adapun pendapat mereka bahwa
ghurrah adalah diyat seperti hukum
diyat. Ditetapkan di dalam hadits shahih bahwa diyat diwariskan kepada ahli waris, maka begitu juga dengan
ghurrah’. Sesungguhnya ini adalah qiyas
yang batil, karena janin yang belum ditiupkan ruh tidak terbunuh, sehingga mengqiyaskan diyat orang yang tidak terbunuh dengan orang yang terbunuh adalah batil, walaupun pengqiyasan itu benar, karena mengqiyaskan sesuatu dengan lawannya adalah batal.
Dari penjelasan di atas dapat dikelompokkan pendapat para ulama tentang aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh atau sebelum berumur 4 (empat) bulan, sebagai berikut:
1. Ada ulama yang membolehkan abortus, antara lain Muhammad Ramli dalam kitab al-Nihayah (meninggal tahun 1596), dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa.
2. Ada ulama yang memandangnya makruh, dengan alasan karena
Nofiardi 180 Aborsi dalam Pandangan...
pertumbuhan, sedangkan Imam al-Ghazali mengharamkannya.
3. Menurut sebagian ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah mubah karena alasan medis (‘uzur), dan makruh jika tanpa alasan medis.
4. Sebagian ulama Malikiyah
menyatakan makruh secara
mutlak.
5. Haram menurut pendapat yang kuat di kalangan ulama fikih. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama Malikiyah, karena telah ada
kehidupan pada janin.5
Menurut Mahmud Syaltut, sejak bertemunya sel sperma dengan ovum,
maka pengguguran merupakan
tindakan kejahatan dan haram
hukumnya, sekalipun si janin belum
diberi nyawa, sebab sudah ada
kehidupan pada kandungan yang
sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa bernama manusia yang
harus dihormati dan dilindungi
eksistensinya. Semakin jahat dan makin besar dosanya, apabila pengguguran dilakukan setelah janin bernyawa, apalagi kalau sampai dibunuh atau
dibuang bayi yang baru lahir.6
Tetapi apabila pengguguran itu dilakukan karena benar-benar terpaksa demi melindungi/menyelamatkan si ibu,
5 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
(Jakarta:Haji Masagung, 1993), cet. Ke-5, h. 81
6Ibid., h. 81
maka Islam membolehkan. Dalam hal ini, Islam tidak membenarkan tindakan
menyelamatkan janin dengan
mengorbankan si calon ibu, karena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingat dia merupakan tiang/sendi keluarga (rumah tangga) dan dia telah
mempunyai beberapa hak dan
kewajiban, baik terhadap Khalik
maupun terhadap sesama makhluk. Berbeda dengan si janin, selama ia belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, ia tidak/belum mempunyai hak, seperti hak waris, dan juga belum mempunyai kewajiban apapun.
Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh
Para fuqaha’ sepakat
mengatakan, bahwa pengguguran
kandungan (aborsi) sesudah ditiupkan
ruh adalah haram, tidak boleh
dilakukan, karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan terhadap nyawa, oleh karena itu diwajibkan kepada pelakunya untuk membayar diyat jika janin keluar dalam keadaan hidup dan membayar gurrah jika ia keluar dalam keadaan meninggal. Gurrah adalah membayar seorang budak laki-laki atau
perempuan atau yang dapat
menggantikannya. Dalam kehidupan sekarang agak lebih tepat gurrah diartikan separuh dari diyat, karena
praktek perbudakan sudah tidak
dijumpai lagi, dan hukuman yang dikenakan kepada budak itu biasanya setengah dari hukuman yang dikenakan
Nofiardi 181 Aborsi dalam Pandangan...
kepada orang merdeka. Oleh karena itu, hukuman pelaku aborsi yang tadinya dikenakan membayar gurrah budak, dapat diganti dengan pembayaran separuh diyat 100 ekor unta atau seharga itu, yaitu 50 ekor unta atau
seharga.7
Ibnu Hazm mengatakan dalam
kitabnya al-Muhalla tentang
pembunuhan janin setelah ditiupkan ruh, atau setelah seratus dua puluh malam, sebagaimana dinyatakan dalam hadits shahih, dan dianggap sebagai pembunuhan sengaja yang pelakunya harus mendapatkan qisas. Sedangkan ulama lain berkata, jika ada yang bertanya kepadamu, apa pendapat anda tentang orang yang sengaja membunuh janinnya, pada saat dia telah berusia lebih dari seratus dua puluh malam
dengan yakin, lalu ibunya
membunuhnya? atau ada orang lain yang sengaja membunuhnya? Kami jawab, bahwa dalam hal itu semua diwajibkan qisas dan gurrah pada saat itu juga, kecuali apabila orang yang membunuh dimaafkan oleh walinya, maka ia wajib membayar gurrah saja, karena gurrah adalah diyat dan tidak ada kifarat dalam hal itu, karena
sengaja. Diwajibkan qisas dengan
7Huzaemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan
Kontemporer, (Jakarta:Al-Mawardi Prima, 2001), h. 53
dibunuh, karena ia telah membunuh
jiwa orang mukmin dengan sengaja.8
Ibnu Hazm menganggap janin yang telah ditiupkan ruh sebagai manusia, sehingga Islam mewajibkan zakat fitrah atas nama janin tersebut.
Sedangkan mazhab Hanbali
berpendapat bahwa zakat fitrah bagi janin hukumnya sunnah dan bukan wajib.
Ada banyak dalil dalam al-Qur’an antara lain Surah Al-Isra ayat 33 yang berbunyi:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
8Amru Abdul Karim Sa’dawi, Wanita
dalam Fikih Qaradhawi, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 164
Nofiardi 182 Aborsi dalam Pandangan...
Surah al-Israa’ ayat 31:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
Surah al-An’am ayat 151:
Katakanlah: "marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka,
dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Kewenangan diberikan kepada ahli waris yang terbunuh atau penguasa untuk menuntut qisas atau menerima diyat. Qisas itu tidak jadi dilakukan, bila yang membunuh dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
dengan tidak
menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat, maka ia juga diqisas dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Ayat yang pertama memberi isyarat tentang larangan membunuh anak agar tidak jatuh miskin, sedangkan
Nofiardi 183 Aborsi dalam Pandangan...
ayat kedua lantaran miskin juga dilarang membunuh anak. Ayat yang
ketiga larangan membunuh (jiwa)
siapapun yang diharamkan darahnya oleh Allah.
Nabi Muhammad SAW tidak pernah membolehkan aborsi, bahkan dalam kasus hamil di luar nikah sekalipun, Nabi sangat menjunjung tinggi kehidupan seperti dikisahkan
dalam Kitab Al-Hudud tidak
memerintahkan seorang wanita yang
hamil di luar nikah untuk
menggugurkan kandungannya:
Datanglah kepada Nabi seorang
wanita dari Ghamid dan
berkata,”Utusan Allah, aku telah berzina, sucikanlah aku.”. Dia (Nabi
yang suci) menampiknya. Esok
harinya dia berkata,”Utusan Allah,
mengapa engkau menampikku?
Mungkin engkau menampikku seperti engkau menampik Ma’is. Demi Allah,
aku telah hamil.” Nabi
berkata,”Baiklah jika kamu bersikeras, maka pergilah sampai anak itu lahir.” Ketika wanita itu melahirkan datang bersama anaknya (terbungkus) kain buruk dan berkata,”Inilah anak yang kulahirkan.”
Hadits ini menceritakan bahwa walaupun kehamilan itu terjadi karena zina (di luar nikah) tetap janin itu harus dipertahankan sampai waktunya tiba, bukan dibunuh secara keji.
Dari segi ijma’ ulama, tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka mengenai keharaman aborsi setelah
peniupan ruh. Apabila ruh telah ditiupkan ke janin, maka hukum aborsi
adalah haram, karena merupakan
pembunuhan.
Seorang ibu yang terancam
kehidupannya karena janin yang
dikandung, apakah boleh janin tersebut diaborsi, ada yang berpendapat tetap diharamkan aborsi, namun ada pula yang membolehkannya.
Alasan yang mengharamkan
aborsi karena bahaya bagi ibu itu tidak pasti (hanya hal yang bersifat dugaan saja). Maka tidak boleh menolak bahaya yang masih dugaan saja dengan menghilangkan nyawa anak yang sudah hidup di dalam rahim yang dapat dipastikan kelangsungan hidupnya.
Sedangkan alasan ulama yang membolehkan adalah karena ada qaidah
fiqhiyyah “Dharurah membolehkan
larangan”. Oleh sebab itu janin yang
membahayakan ibu, saat ini sudah bisa dipastikan dengan alat-alat kedokteran yang canggih. Meskipun demikian tidak sepatutnya terburu-buru mengaborsi janin yang telah ditiupkan ruh hanya karena takut. Bahkan aborsi tidak boleh dilakukan kecuali kekhawatiran dan dharurat tertinggi, seperti “jika janin tidak diaborsi, maka ibu dan janin akan meninggal bersamaan”.
Hukum tersebut dapat pula berlaku bagi wanita hamil korban perkosaan yang mengakibatkan stres
Nofiardi 184 Aborsi dalam Pandangan...
berat, kalau tidak digugurkan
kandungannya ia akan sakit jiwa atau gila sedangkan ia sudah dibawa konsultasi dengan ahli psikoterapi dan sudah dinasehati tetapi tidak berhasil,
atau kemungkinan wanita korban
perkosaan itu sangat tertutup karena malu kalau diketahui orang, sedangkan ia tidak bisa bersabar dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan, meskipun ia
tidak berdosa karena tidak ada
kesengajaan, akibatnya ia stres berat
atau sakit jiwa yang dapat
mengakibatkan ia gila, maka dalam hal ini dibolehkan baginya melakukan aborsi begitu ketahuan, bahwa ia positif
hamil.9
Proses Kejadian Manusia
Menurut bahasa, haml
(kehamilan) berarti raf’ (mengangkat)
dan ‘uluq (kehamilan). Sedangkan
menurut istilah, haml berarti membawa,
maksudnya membawa benda dan
semisalnya, dan berarti ‘uluq
(mengandung), maksudnya adalah anak yang dalam perut perempuan.
Proses Tidak Langsung dari Tanah
Janin dalam rahim seorang
perempuan sejak dikandung hingga kelahiran, akan melalui fase-fase yang disebutkan Allah dalam firmanNya :
9Huzaemah T. Yanggo, op.cit., h. 56
Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik.
(QS. Al-Mukminun 12-14).
Dari ayat-ayat di atas, jelas bahwa kehamilan melalui fase-fase pokok sebagai berikut:
Nuthfah, adalah sperma laki-laki dan indung telur perempuan apabila bersatu di dalam rahim
Nofiardi 185 Aborsi dalam Pandangan...
perempuan, dan itulah fase
pertama janin.
‘Alaqoh, adalah segumpal darah yang membeku yang tercipta dari campuran sperma laki-laki dan sel telur perempuan.
Mudghoh, adalah sepotong daging yang terbentuk dari ‘alaqoh.
Tiga fase kehamilan ini masing-masing memakan waktu empat puluh hari sebelum beralih ke fase berikutnya. Apabila janin telah mencapai masa 120 hari, maka ditiupkanlah ruh dan menjadi ciptaan yang baru.
Penciptaan janin dimulai pada hari ketujuh sejak awal bertemunya sperma laki-laki dan indung telur perempuan, dan penciptaannya terus menerus hingga ditiupkan ruh di dalamnya pada fase akhir mudhgoh, kemudian terus berkembang hingga kelahirannya.
HR. Bukhari dari Abdullah:
sesungguhnya kamu ditempatkan
dalam rahim ibumu selama empat puluh hari (dalam bentuk nutfah), kemudian menjadi ‘alaqah dalam jumlah hari yang sama, demikian juga mudgah. Kemudian Allah mengutus Malaikat untuk menetapkan empat hal: amal, rezeki, dan ajal serta celaka atau bahagianya, kemudian ditiupkan ruh.
Sedangkan Imam Muslim
meriwayatkan dalam shahihnya dari
hadits Hudzaifah bin Usaid, ia
berkata:”aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda:”apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus Malaikat, lalu dibuat bentuknya, diciptakan pendengaran,
penglihatan, kulit, daging, dan
tulangnya. Kemudian Malaikat
bertanya, ‘ya Rabbi, laki-laki atau
perempuan?” lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan
kehendak-Nya, dan Malaikat menulisnya,
kemudian Malaikat bertanya, ‘ya Rabbi bagaimana ajalnya? Lalu Rabb-mu
menetapkan sesuai dengan yang
dihendaki-Nya, dan Malaikat
menulisnya. Kemudian ia bertanya, ya Rabbi, bagaimana rezekinya? Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang
dikehendakinya, dan Malaikat
menuliskannya. Kemudian Malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu.
Hadits ini menjelaskan diutusnya Malaikat dan dibuatnya bentuk nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari) bukan setelah berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud.
Sebagian ulama mengkompromikan
kedua hadits tersebut dengan
mengatakan bahwa Malaikat diutus beberapa kali, pertama pada waktu
nutfah berusia empat puluh hari, dan
Nofiardi 186 Aborsi dalam Pandangan...
puluh kali tiga hari (120) hari untuk
meniupkan ruh.10
Proses Secara Langsung dari Tanah
1. Penciptaan secara bertahap (QS. Ar-Rahmaan Ayat 14):
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,
2. Manusia tumbuh dari tanah seperti tumbuhan (QS. Nuh ayat 17):
Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya,
3. Diciptakan dari tanah liat (lazib) QS. Ash-Shaaffat ayat 11:
Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?"
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan mereka dari tanah liat.
10 Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, (Jakarta:Gema Insani Press, 1995), jilid 2, h. 775
4. Dari tanah lembab (turab) QS. Ali
Imran ayat 59:
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa
di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah,
kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.
5. Dari lumpur hitam (hama’in) QS. 15
ayat 28:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,
Aborsi, Berbagai Sebab dan Caranya
Sebab aborsi sangat beragam, terkadang janin digugurkan karena permintaan dari ibu atau selainnya
Nofiardi 187 Aborsi dalam Pandangan...
karena beragam sebab. Sebab-sebab tersebut antara lain:
a. Tujuan menggugurkan janin karena takut miskin atau penghasilan yang tidak memadai. Aborsi dilarang berdasarkan firman Allah:
Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (Surah al-Isra’
ayat 31)
b. Takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya.
c. Kekhawatiran terhadap
kelangsungan hidup apabila
kehamilan membahayakan
kesehatannya.
d. Niat menggugurkan janin pada kandungan kehamilan yang tidak disyari’atkan akibat perzinaan.
e. Terkadang aborsi bukan merupakan
tujuan, seperti seandainya ibu
meminum obat atau mengangkat beban berat atau mencium bau tidak sedap yang menyebabkan gugurnya janin.
Aborsi Akibat Pemerkosaan
Kehidupan merupakan suatu
anugerah yang harus dihormati oleh setiap manusia. Berbicara mengenai
aborsi tentunya berbicara tentang
kehidupan manusia, dan sering
berdampak pada kasus perkosaan. Jika ditinjau dari hukum Islam, KUHP, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan mempunyai
pandangan yang berbeda.
Menurut hukum Islam praktik aborsi tidak diperbolehkan atau dilarang karena sama saja dengan membunuh
manusia, apabila aborsi tersebut
merupakan upaya untuk melindungi atau menyelamatkan si ibu, maka sebagian ulama ‘membolehkan’.
Menurut Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, praktek aborsi
diperbolehkan sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa si ibu hamil atau
janinnya dalam keadaan darurat
sekalipun bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan KUHP. Meskipun
ada sebagian fatwa ulama yang
membolehkan menggugurkan
kandungan asal sebelum berumur empat puluh hari.
Tidak dapat dipungkiri kondisi
sosiologis masyarakat saat ini
berkembang pesat, hal itu dipengaruhi
oleh pengaruh berkembangnya
teknologi informasi yang langsung dapat diterima dan diserap oleh masyarakat, contoh kecil pengaruh
Nofiardi 188 Aborsi dalam Pandangan...
teknologi saat ini dapat dilihat dari tayangan-tayangan media elektronik ataupun cetak yang dapat langsung diterima oleh masyarakat.
Pemahaman terhadap nilai-nilai agama merupakan hal penting yang harus ditekankan kepada masyarakat pada saat ini, karena sangat terang dan jelas bahwa agama melarang hal-hal
yang lebih banyak mengandung
mudarat dari pada manfaat bagi manusia, dengan adanya pemahaman
agama yang ditekankan kepada
masyarakat pola pikir terhadap sex bebas dapat diminimalisir.
Pola pikir sex bebas berdampak
pada kasus Kehamilan Tidak
Dikehendaki (KTD) khususnya korban
perkosaan, meskipun perkosaan
merupakan kejahatan seksual, jika ditinjau dari sisi wanitanya perkosaan
sama sekali tidak sama dengan
perzinaan dan pergaulan seks bebas,
karena perkosaan melibatkan
pemaksaan dan kekerasan. Di mana salah satu pihak, tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Hal
inilah yang membedakan dengan
perzinaan ataupun pergaulan bebas yang pada umumnya didorong oleh perasaan mau sama mau, membawa akibat buruk selain korban mengalami trauma yang panjang, dia tidak dapat melanjutkan pendidikan, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.
Begitu juga jika anaknya lahir,
masyarakat tidak siap menerima
kehadirannya bahkan mendapat stigma sebagai ‘anak haram’ yang tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain di
lingkungannya serta menerima
perlakuan negatif lainnya.
Sementara jika digugurkan
(aborsi), selain tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum dianggap sebagai tindakan kriminal, pelanggaran norma agama, susila dan sosial. Kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi banyak dijumpai di Indonesia. Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia menemukan,
pertahun rata-rata terjadi sekitar dua juta kasus aborsi tidak aman.
Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial, budaya serta agama yang hidup dalam masyarakat. Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang bersaksi terhadap hal tersebut.
Islam memberikan landasan
hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga harus dipelihara dan tidak boleh diakhiri kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, seperti dalam eksekusi hukuman mati atau dalam perang, atau dalam pembelaaan diri yang dibenarkan. Kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi, selain tidak ada tempat
Nofiardi 189 Aborsi dalam Pandangan...
pelayanan yang aman dan secara hukum dianggap sebagai tindakan kriminal, pandangan agama (fikih) atau hukum Islam yang berkembang di masyarakatpun cenderung sepakat yaitu melarang aborsi.
Praktik aborsi yang terjadi sering kali dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat
umumnya. Fenomena tersebut
menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu.
Pandangan Ulama Fikih Tentang Aborsi akibat kehamilan yang tidak diharapkan.
Yusuf Qardhawi mengatakan, bahwa pada umumnya merujuk pada ketentuan hukum Islam, praktik aborsi dilarang dan merupakan kejahatan terhadap makhluk hidup, oleh sebab itu hukuman sangat berat bagi mereka yang melakukannya.
Mahluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Rasulullah SAW telah memerintahkan wanita yang mengaku telah melakukan zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya, kemudian setelah disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusui
lagi, baru setelah itu dijatuhi hukuman rajam.
Menurut Yusuf Qaradhawi, bagi wanita muslimah yang mendapatkan
cobaan dengan musibah seperti
perkosaan hendaklah memelihara janin tersebut sebab menurut syara’ ia tidak menanggung dosa, sebagaimana ia tidak
dipaksa untuk menggugurkannya.
Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW:“tiap-tiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah”
Bahkan anak-anak dan
saudara-saudara perempuan tersebut
mendapatkan pahala atas musibah yang menimpa mereka, apabila mereka tetap berpegang teguh pada Islam –yang karena keislamannyalah mereka ditimpa
bencana dan cobaan- dan
mengharapkan ridha Allah dalam
menghadapi gangguan dan penderitaan
akibat perkosaan.11
Praktik Aborsi Menurut Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Sebelum keluarnya
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Dalam ketentuan Undang-Undang kesehatan memuat tentang aborsi yang dilakukan atas
Nofiardi 190 Aborsi dalam Pandangan...
indikasi kedaruratan medis yang
mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sehinga sulit hidup di luar kandungan.
Sebelum terjadinya revisi
Undang-Undang Kesehatan masih
banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan
indikasi medis sehingga dapat
dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu.
Pasal 75 menyatakan bahwa:
1. Setiap orang dilarang melakukan
aborsi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, dan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
3. Tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui
konseling dan atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan indikasi medis yang
mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut, oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim
ahli, dan dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan Menurut Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) Mengenai Praktik Aborsi.
Sejauh ini persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun dalam hukum positif di
Indonesia, tindakan aborsi pada
sejumlah kasus tertentu dapat
dibenarkan apabila merupakan indikasi medis (abortus provokatus medicalis).
Nofiardi 191 Aborsi dalam Pandangan...
Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih
dikenal sebagai (abortus provokatus
criminalis).
Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia atau
(abortuis provokatus) maupun karena
sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan
karena perbuatan manusia (aborsi
spontan). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (abortus provokatus therapeutics) atau bisa
disebut aborsi (therapeuticus). Di
samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum
(abortus provokatus criminalis) atau
disebut pengguguran janin termasuk kejahatan (aborsi criminalis). Penguguran kandungan itu sendiri ada 3 macam: ME
(menstrual Extraction): dilakukan 6
minggu dari menstruasi terakhir dengan penyedotan. Tindakan pengguguran kandungan ini sangat sederhana dan secara psikologis juga tidak terlalu berat karena masih dalam gumpalan darah, Di atas 12 minggu, masih dianggap normal dan termasuk tindakan pengguguran kandungan yang sederhana dan Aborsi (pengguguran kandungan) di atas 18 minggu, tidak dilakukan di klinik tetapi di rumah sakit.
Solusi di Masyarakat Tentang Aborsi.
‘Dibolehkan’ melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, dan di samping itu abortus dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.
Prinsip hormat pada kehidupan mencakup di dalamnya kehidupan ibu
dan kehidupan janin. Bagaimana
membuat perempuan menginginkan kehamilannya itulah yang harus dicari
solusinya. Tentunya, memecahkan
persoalan ini tidak bisa hanya ditempuh melalui jalur hukum, tetapi harus diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain di bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan budaya, karena problem di sekitar aborsi bukan hanya problem struktur tetapi juga kultur. Menegaskan hak masing-masing tanpa melakukan perubahan pada bidang-bidang tersebut sama saja bohong dan tidak akan mengurangi angka aborsi. Karena terbukti, aborsi, dengan cara aman sekalipun tetap mengandung resiko, langsung maupun tidak langsung, bagi perempuan yang
melakukannya. Ancaman terhadap
Nofiardi 192 Aborsi dalam Pandangan...
psikologis berupa sindrom pasca-aborsi (pasca abortion syndrome) menunjukkan bahwa aborsi bukan solusi terbaik. Meskipun demikian, pintu aborsi tidak harus ditutup rapat-rapat. Ada celah-celah tertentu yang perlu dibuka, misalnya bagi aborsi karena indikasi medis, dalam kasus inilah aborsi boleh dilakukan.
Meskipun begitu indikasi medis yang dimaksudkan harus benar-benar bisa dipastikan secara medis, apakah benar kehamilannya mengancam nyawa ibu. Dalam kasus seperti ini nyawa ibulah yang harus diprioritaskan, karena ibu sudah memiliki tanggungjawab dibandingkan janin.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Reproduksi.
Peraturan Pemerintah ini di antaranya
mengatur masalah aborsi bagi
perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat pemerkosaan, merujuk Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Menurut pasal tersebut, setiap
orang dilarang melakukan aborsi
terkecuali berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan
akibat pemerkosaan yang dapat
menimbulkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu, dan/atau kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, ataupun yang
tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Penentuan indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari dua tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Adapun kehamilan akibat
pemerkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan usia kehamilan sesuai dengan kejadian pemerkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter dan keterangan penyidik, psikolog, atau ahli
lain mengenai dugaan adanya
pemerkosaan.
"Aborsi berdasarkan indikasi
kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan harus dilakukan
dengan aman, bermutu, dan
bertanggung jawab," demikian bunyi Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi.
Nofiardi 193 Aborsi dalam Pandangan...
Peraturan Pemerintah tersebut mendefinisikan praktik aborsi yang dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab tersebut adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar, dilakukan di fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan, atas permintaan atau
persetujuan perempuan hamil yang
bersangkutan, dengan izin suami,
kecuali korban pemerkosaan, tidak diskriminatif, dan tidak mengutamakan imbalan materi.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menilai, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi perlu
dikaji kembali, khususnya untuk
praktek aborsi. Ini karena dokter yang
melakukan praktek aborsi artinya
melakukan kejahatan terhadap nyawa yang bertentangan dengan KUHP.
"Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan KUHP, khususnya pada BAB Kejahatan Terhadap Nyawa, dan itu juga bertentangan dengan sumpah dokter," ujarnya.
Ketika Peraturan Pemerintah
tersebut diberlakukan, KUHP tetap
berjalan, sehingga meskipun ada
payung hukum sekalipun, dokter sangat berisiko untuk dihukum dan dipenjara bila melakukan praktik aborsi. Dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun, maka tentu dengan adanya Peraturan
Pemerintah tersebut akan
membingungkan tugas dokter.
Peraturan Pemerintah tersebut juga menurut Zaenal rentan untuk
disalahgunakan. Kendati tujuannya
adalah untuk menyelamatkan nyawa, namun ada beberapa kondisi yang juga dilonggarkan. Misalnya pada pasal 75 ayat 1 yang menyebutkan setiap orang dilarang melakukan aborsi, terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan
yang dapat menimbulkan trauma
psikologis bagi korban pemerkosaan. Zaenal menilai, alasan tersebut juga bisa dipakai oleh wanita yang stres
karena kehamilan yang tidak
direncanakan untuk melakukan aborsi. "Tidak usah dibuat-buat karena akan muncul alasan-alasan lain yang didasari
hak ibu untuk menggugurkan
kandungan karena membuatnya stres," paparnya.
Lagipula, lanjut dia, di negara-negara yang memperbolehkan praktek aborsi juga akhirnya tidak berhasil menurunkan angka aborsi. "Angkanya tetap tinggi karena alasannya bukan lagi mengancam jiwa, tetapi karena hak ibu," kata dia.
Kalaupun praktik aborsi
diperbolehkan untuk kondisi-kondisi tertentu, Zaenal menegaskan supaya dokter tidak terlibat. Ia menambahkan,
sumpah Hipokrates yang dibuat
Pitagoras sangat mengharamkan aborsi, begitu juga agama Islam dan Katolik.
Nofiardi 194 Aborsi dalam Pandangan...
Bahkan dalam sumpah itu, sejak awal terjadinya pembuahan, jiwa dan nyawa sudah ada dan memiliki hak untuk hidup. Maka mengakhiri hidup janin dengan paksa sama saja dengan melakukan kejahatan terhadap nyawa.
Sejalan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa semua ulama fikih terkemuka
memutuskan menggugurkan
kandungan atau aborsi kehamilan akibat pemerkosaan adalah haram. “Semua ulama fikih, termasuk Imam Ghazali
mengharamkan aborsi akibat
pemerkosaan,” ujar Ketua Umum
PBNU, KH Said Aqil Siraj.
KH. Said menambahkan, kendati
demikian, sebagian Ulama
memperbolehkan aborsi selama usia kandungan belum mencapai 40 hari. Imam al-Ghazali melalui kitab Ihya’
Ulumuddin, menyatakan bahwa hukum
aborsi akibat pemerkosaan adalah haram, jika janin sudah berusia 120 hari dan berwujud manusia.
Kiai Said menambahkan, empat ulama fikih besar: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hanbali berbeda pendapat mengenai hukum
aborsi sebelum usia kandungan
mencapai 40 hari. Imam Abu Hanifah memperbolehkan aborsi sebelum 40 hari. Imam Maliki dan Imam Hanbali
berpendapat lebih keras dengan
mengharamkan aborsi walaupun
sebelum 40 hari. Sementara Imam Syafii berpendapat, aborsi yang dilakukan
sebelum 40 hari diperbolehkan dengan catatan diizinkan oleh pasangan suami isteri dan tidak membahayakan ibu yang hamil.
Dari semua pasal tersebut, PBNU mengambil kesimpulan bahwa hukum aborsi bagi kandungan yang disebabkan pemerkosaan adalah haram hukumnya. “Hukum aborsi akibat pemerkosaan adalah haram,” seperti yang tertulis di hasil bahthsul masail Musyawarah Nasional Ulama PBNU.
Asasriwarni menyatakan bahwa
aborsi saat ini adalah fenomena
memprihatinkan. Hal ini terlihat dari
hasil penelitian pusat penelitian
kesehatan Universitas Indonesia yang menemukan dugaan terjadi kasus aborsi
melibatkan sekitar 2 juta kasus.
Sementara WHO memperkirakan 10-50 persen dari kasus aborsi tidak aman yang berujung kematian, ini merupakan kejadian luar biasa.
Ditinjau dari hukum Islam aborsi sangat penting dipahami sebab tidak terdapat secara langsung dalam al-Quran dan sunnah Rasullah. Padahal di sisi lain terdapat berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur. Salah satu ketentuan itu, terdapat pada pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2006 Tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Asasriwarni menyebutkan,
berbagai pandangan lain tentang aborsi
Nofiardi 195 Aborsi dalam Pandangan...
ensikopedi hukum Islam yang disarikan diantaranya, pertama aborsi yang terjadi karena tidak sengaja tidak dikenakan sanksi hukum. Kedua, aborsi sebelum ditiupkan ruh, setidaknya ada empat pendapat yakni boleh secara mutlak, boleh apabila uzur, makruh tanpa uzur dan haram, setelah ruh ditiupkan maka
aborsi haram hukumnya. Secara
substansi, munculnya berbagai
pandangan itu terkait aborsi secara umum pula maka prinsipnya aborsi tetap haram kecuali boleh dalam kondisi yang dizinkan oleh syara’.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanudin AF, menjelaskan aslinya hukum aborsi itu haram. Tindakan ini
tidak boleh dilakukan semaunya.
Wanita yang hamil normal, termasuk didalamnya hamil karena perzinaan, tidak boleh mengaborsi kandungannya. Alasan tersebut tidak menggambarkan
dhoruriyyah atau kepentingan atau
keterdesakan untuk mengaborsi
kandungan,".
Hal berbeda berlaku bagi wanita korban pemerkosaan. Bagi mereka, MUI menilai bisa saja dilakukan aborsi.
Aborsi ini dilakukan sebelum
kandungan mencapai usia 40 hari. "Ini penting, karena kalau sudah masuk 40 hari, janin itu hidup," paparnya. Hal ini dinilainya sangat mendasar, sehingga penting untuk diperhatikan.
Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, menjelaskan tindakan aborsi diperbolehkan jika perempuan
hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter. Kemudian, dalam
keadaan di mana kehamilan
mengancam nyawa si ibu.
Fatwa itu memaparkan keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah
janin yang dikandung dideteksi
menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
Aborsi bagi korban pemerkosaan harus diperhatikan betul dan keterangan dari penegak hukum sangat dibutuhkan. Keterangan ini berupa penjelasan bahwa wanita hamil yang akan diaborsi adalah benar korban pemerkosaan. Buktinya, jelas Hasanudin, ada hasil visum et
repertum yang menggambarkan
robeknya selaput dara misalkan atau adanya luka di kemaluan perempuan
yang menggambarkan kondisi
hubungan seks dibarengi kekerasan. Selain itu, pihak keluarga juga harus menyetujui tindakan aborsi ini. "Jadi
mekanismenya tidak sembarangan,"
papar Hasanudin.
Menteri Agama (Menag) Lukman
Hakim Saifuddin mengatakan,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai pelegalan aborsi
Nofiardi 196 Aborsi dalam Pandangan...
bagi perempuan korban pemerkosaan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai tindakan aborsi.
Fatwa MUI mengenai aborsi
menjadi tidak dilarang apabila
keberadaan si bayi mengancam
keselamatan jiwa dan raga ibunya. Sementara jika tindakan itu dilakukan tanpa ada dasar dan alasan jelas, aborsi adalah illegal, melanggar hukum Islam dan hukum negara.
Menag menyebutkan, salah satu butir dalam Peraturan Pemerintah itu menyatakan tindakan aborsi menjadi legal dalam kondisi tertentu tetap
mengacu pada Undang-Undang
Kesehatan. Pasal 75 ayat (1)
menyebutkan setiap orang dilarang aborsi kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan yang dapat
menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Kepala Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Fasli Jalal mengatakan, dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi jelas disebutkan tidak diperbolehkan kecuali
ada indikasi kedaruratan medis.
Misalnya menjaga keselamatan nyawa ibu dan anaknya.
Namun, saat ini ditambahkan
dengan kasus perkosaan. Maka
Peraturan Pemerintah menegaskan
aborsi dapat dilakukan jika terjadi kedaruratan medis dan perempuan
akibat perkosaan dengan mekanisme pembuktian standar yang sangat kerat.
Nanti harus dibuktikan dengan prosedur yang ditetapkan dan akan dilihat oleh tim yang minimal berisi dua orang, salah satunya mengamati masa 40 hari menstruasi korban," kata Fasli.
Menurut dia, pemerintah telah
memperhitungkan waktu 40 hari secara seksama. Dalam hal ini usia kandungan belum mencapai tiga atau empat bulan.
Selain itu, lanjut Fasli,
pemerintah melihat hak asasi
perempuan yang diperkosa harus
diberikan. Dengan melihat masa depan anaknya, psikologis ibunya ke depan maka hal ini telah menjadi keputusan. "Karena kasus pemerkosaan adalah
perbuatan kriminal. Ini adalah
keputusan pemerintah dengan menjaga norma agama dan kedokteran sejak pembuahan, karena kasus pemerkosaan
adalah tugas aparat keamanan
nantinya," tuturnya.
Mantan Menteri Kesehatan
Nafsiah Mboi menyatakan, aborsi tetap
merupakan praktik terlarang
berdasarkan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menurut dia tetap membatasi bahwa aborsi hanya bisa dilakukan dalam kondisi darurat medis dan kasus pemerkosaan.
"Jadi (masalah aborsi ini) telah dibahas selama 5 tahun. Baik
Undang-Nofiardi 197 Aborsi dalam Pandangan...
Undang maupun Peraturan Pemerintah mengatakan bahwa aborsi dilarang, kecuali untuk dua keadaan, (yakni) gawat darurat medik dan kehamilan akibat pemerkosaan," ujar Nafsiah. Dia menegaskan, Peraturan Pemerintah ini adalah amanat dari Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
Nafsiah mengatakan, kondisi
perlunya aborsi untuk kasus darurat medis mensyaratkan pembuktian dari
tim ahli. Adapun dalam kasus
pemerkosaan, kata dia, usia janinpun tak boleh lebih dari 40 hari, terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir.
"(Soal usia janin) sesuai fatwa
MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Memang kalau di Katolik, dari
pembuahan, sudah dianggap manusia. Maka dari itu, akan ada konseling, keputusan pun di tangan ibu," papar Nafsiah.
Kementerian Kesehatan, kata
Nafsiah, akan menyiapkan peraturan menteri kesehatan untuk menyediakan tim ahli yang dipersyaratkan untuk persetujuan aborsi dalam kasus darurat
medis. Targetnya, menurut dia,
peraturan tersebut akan rampung
sebelum masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir.
MUI Mengeluarkan Dua Kali Fatwa Tentang Aborsi
Pertama Nomor 1/MUNAS/MUI/2000
a. Menggugurkan kandungan setelah
ditiupkan ruh hukumnya haram, kecuali
ada alasan medis, seperti
menyelamatkan ibu.
b. Menggugurkan kandungan sejak
menyatunya sperma dan ovum, kendati belum ditiupkan ruh juga haram hukumnya, kecuali ada syarat yang dibenarkan oleh syariat Islam.
c. Semua pihak diharamkan membantu dan mengizinkan dilakukannya aborsi.
Kedua Fatwa Nomor 4 Tahun 2005
Bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang
dilakukan oleh masyarakat tanpa
memperhatikan tuntunan agama dan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
memiliki kompetensi sehingga
menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat secara umumnya serta menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu. Dengan latar belakang
tersebut Majelis Ulama Indonesia
memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.
Dasar-dasar fatwa MUI sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT:
a. Katakanlah: “Marilah kubacakan apa
yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu