• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DISPOSISI

N/A
N/A
Trisno Widodo

Academic year: 2023

Membagikan "PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR DISPOSISI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

DAYA DUKUNG LAHAN

DALAM PENGEMBANGAN AGROFORESTRY UNTUK MEWUJUDKAN GREEN ECONOMY

DI KAWASAN PEDESAAN

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Fungsional Penata Ruang Madya

Oleh :

TRISNO WIDODO, S.T., M.T.

NIP. 197703252002121003

DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG KABUPATEN BLITAR

2021

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat taufik dan hidayahNya lah makalah dengan judul “Daya Dukung Lahan Dalam Pengembangan Agroforestry Untuk Mewujudkan Green Economy Di Kawasan Pedesaan” dapat Kami selesaikan dengan baik. Makalah ini disusun sebagai sebuah telaah pengembangan agroforestry kawasan pedesaan di Kabupaten Blitar serta sebagai bagian dari pemenuhan syarat tugas jabatan fungsional. Pada kesempatan ini Kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dicky Cobandono,S.Sos., M.Si. selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Blitar;

2. Teman-teman Bidang Tata Bangunan dan Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Blitar yang telah ikut serta membantu demi terselesaikannya makalah ini;

3. Dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya yang tidak dapat Kami sebutkan satu-persatu.

Akhirnya Kami menyadari masih ada kekurangan,dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini sangat diharapkan. Semoga bermanfaat bagi masyarakat dan kalangan birokrasi di Pemerintah Kabupaten Blitar khususnya serta para pembaca pada umumnya.

Blitar, 9 Desember 2021 Penulis

TRISNO WIDODO, S.T., M.T.

(7)

iii RINGKASAN

Pertambahan jumlah penduduk menuntut ketersedian ruang untuk tempat bermukim baik. Perkembangan kawasan di sekitar perkotaan, yaitu kawasan peri urban dan pedesaan tersebut membuat kawasan ini menarik untuk dikembangkan menjadi kawasan pendukung perekonomian perkotaan (Yunus, 2008). Kawasan pedesaan sebagian besar terletak di peri urban atau daerah pinggiran dengan mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani atau peladang, sehingga sangat tepat apabila dikembangkan sebagai kawasan agrowisata atau ekowisata dengan konsep agroforestry. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan daya dukung lahan di pedesaan yang mempunyai kemampuan lahan sebagai daerah pertanian, perkebunan atau bahkan kehutanan.

Konsep model agroforestry yang dikembangkan di kawasan pedesaan dengan menanam berbagai tanaman utama sebagai tanaman ciri khas di masing-masing desa dengan stratafikasi tanaman sesuai dengan karakteristik kawasan, baik fisik lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Pembangunan pedesaan yang berkelanjutan melalui pengembangan agroforestry di kawasan pedesaan tersebut maka prinsip-prinsip ekonomi hijau (green economy) dapat dipenuhi.

Sehingga kawasan pedesaan akan dapat berkembang sesuai dengan karakteristik kawasannya sebagai kawasan pertanian, perkebunan, kehutanan serta wisata alam sehingga peningkatan perekonomian masyarakatnya dapat tercapai dan kelestarian lingkungan juga tetap terjaga.

Kata Kunci : agroforestry, daya dukung lahan, ekonomi hijau

(8)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………...…………..…... i

KATA PENGANTAR ………... ii

RINGKASAN ………..………...…..……….. iii

DAFTAR ISI ……….….. iv

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………...…... 1

1.2 Permasalahan ………... 2

1.3 Tujuan Penulisan ……… 2

BAB II PEMBAHASAN ………...………. 3

2.1 Kawasan Pedesaan ………... 3

2.2 Daya Dukung Lahan …...………... 5

2.3 Agroforestry ...………... 5

2.4 Green Economy …...………... 8

BAB III PENUTUP ………... 10

3.1 Kesimpulan ………...……...……… 10

3.2 Saran ………...……….. 10

DAFTAR PUSTAKA ……….... 11

(9)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan permukiman di seluruh pelosok daerah mulai meluas. Pertambahan jumlah penduduk yang signifikan menuntut untuk ketersedian ruang untuk tempat bermukim. Lahan pertanian yang berdekatan dengan kawasan permukiman menjadi lahan yang menarik untuk dikembangkan menjadi kawasan-kawasan permukiman atau bahkan perdagangan dan jasa. Perkembangan kawasan di sekitar perkotaan, yaitu kawasan peri urban dan pedesaan tersebut membuat kawasan ini menarik untuk dikembangkan menjadi kawasan pendukung perekonomian perkotaan (Yunus, 2008). Industri-industri, perdagangan dan jasa banyak bermunculan di kawasan ini. Banyak perusahaan nasional maupun asing yang berdiri untuk memproduksi garment, benang, pakaian jadi / konveksi, sepatu dan sebagainya.

Berdirinya industri ini di suatu kawasan memang penting bagi peningkatan ekonomi, namun keberadaannya harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan dampak negatif. Pembangunan kawasan industri tidak boleh sampai mengganggu produktivitas pertanian, sumber daya alam dan warisan budaya. Artinya, kawasan industri tidak boleh didirikan di wilayah tanah pertanian sehingga mengurangi areal lahan pertanian produktif.

Apalagi untuk kawasan pedesaan yang umumnya untuk tata guna lahannya diperuntukkan untuk permukiman dan kegiatan pertanian yang memerlukan lahan cukup luas. Berbeda dengan tata guna lahan di perkotaan yang memang peruntukannya selain untuk permukiman juga untuk industri dan jasa dengan kebutuhan lahan yang relatif kecil.

(Jayadinata, 1986). Pada kenyataannya proyek kawasan industri serta permukiman ini telah merambah ke daerah pinggiran perkotaan bahkan sudah mulai masuk ke kawasan pedesaan yang menyediakan lahan terbuka yang masih luas sehingga menggusur masyarakat sekitar lahan dari sumber penghidupan mereka sehari-hari.

Secara umum kondisi lingkungan di berbagai wilayah di Indonesia telah banyak mengalami degradasi baik karena faktor alam maupun akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan manusia. Oleh karena itu diperlukan tindakan ekstra untuk mencegah dan menanggulangi persoalan tersebut. Salah satu upaya yang mengemuka adalah melalui ekonomi hijau (green economy). UNEP menyatakan bahwa green economy merupakan sistem yang memuat semua aktivitas perekonomian (produksi, distribusi, dan konsumsi) yang menghasilkan kualitas hidup manusia untuk jangka panjang, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang akibat munculnya risiko keterbatasan ekologis.

Pengembangan yang akan dilakukan sesuai dengan karakteristik lingkungan baik dari aspek kondisi fisik kawasan, kondisi sosial ekonomi, aspek potensi dan masalah yang ada di

(10)

2 kawasan pedesaan dengan konsep model agroforestry. Pengembangan konsep model agroforestry dalam mendukung kawasan pedesaan sebagai agrowisata dan ekowisata adalah terwujudnya green economy dalam pembangunan pertanian berkelanjutan di pedesaan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu :

1. Sejauhmana konsep agroforestry dalam ekonomi hijau (green economy) dapat diterapkan di kawasan pedesaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan ?

2. Konsep ekonomi hijau (green economy) seperti apa yang cocok diterapkan di kawasaan pedesaan dalam pemanfaatan sumber daya alam ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini, yaitu :

1. Mengetahui penerapan konsep agroforestry dalam ekonomi hijau (green economy) dapat diterapkan di kawasan pedesaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan;

2. Mengetahui dan memberikan rekomendasi konsep ekonomi hijau (green economy) yang cocok diterapkan di kawasaan pedesaan dalam pemanfaatan sumber daya alam.

(11)

3 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kawasan Pedesaan

Kawasan pedesaan merupakan kawasan dengan penggunaan lahan untuk kegiatan sosial pada perkampungan/permukiman serta kegiatan ekonomi dengan pertanian (Jayadinata, 1986). Kawasan pedesaan sebagian besar terletak di daerah-daerah peri urban atau daerah pinggiran dengan morfologi lahan mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani atau peladang, sehingga sangat tepat apabila dikembangkan sebagai kawasan agrowisata atau ekowisata dengan konsep agroforestry. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pertimbangan daya dukung lahan di pedesaan yang mempunyai kemampuan lahan sebagai daerah pertanian, perkebunan atau bahkan kehutanan. Tetapi dalam pengembangan kawasan pedesaan di Indonesia menjadi kawasan agrowisata dan ekowisata dengan pengembangan agroforestry banyak ditemui permasalahan-permasalahan umum, yaitu :

1. Aspek hukum / aturan : Belum adanya peraturan desa berbasis agroforestry;

2. Aspek kelembagaan

 Intervensi pemerintah belum berjalan optimal sebagai fasilitator dalam mengembangkan kawasan pedesaan sebagai kawasan agroforestry yang memiliki nilai jual yang tinggi dalam pengembangan green economy;

 Belum adanya sistem pengelolaan terpadu dalam mengelola kawasan pedesaan sebagai destinasi wisata dengan pengembangan konsep agroforestry.

3. Aspek pembiayaan : Masih terbatasnya dana pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan pedesaan sebagai daerah tujuan wisata, baik dalam hal penyediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang memadai juga penyediaan sarana produksi terhadap petani mulai akses lokasi, proses produksi sampai pasca panen dan pemasaran hasil produksi.

4. Aspek peran serta masyarakat

 Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengembangkan usaha tani secara berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

 Masih rendahnya advokasi dari lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pemerintahan desa dalam mengembangkan konsep green economy;

 Masih rendahnya tingkat keterampilan masyarakat dalam mengembangkan teknik agroforestry.

5. Aspek sumber daya lahan dan operasional teknis

 Alih fungsi lahan pertanian atau perkebunan menjadi kawasan-kawasan wisata, perdagangan, industri maupun permukiman

(12)

4

 Belum adanya sosialisasi dan penyuluhan serta pelatihan tentang pengembangan konsep agroforestry, baik secara teknis proses produksi sampai pengelolaan pasca panen dan pemasaran hasil panen dalam skala global.

Dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka perlu adanya solusi untuk mengatasinya. Salah satu cara mencari solusi yang tepat, yaitu dengan menggunakan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats). Analisis SWOT ini digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategi yang menggambarkan secara jelas hubungan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dalam menentukan formula strategik pengembangan usaha. Berdasarkan potensi dan permasalahan serta peluang pengembangan kawasan pedesaan yang ada di Indonesia, maka dapat dipetakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sebagai berikut :

1. Kekuatan

a. Potensi wisata alam pegunungan;

b. Keramahan penduduk desa;

c. Dukungan masyarakat dan pemerintah setempat;

d. Produk pertanian pedesaan yang sudah dikenal luas.

2. Kelemahan

a. Masih kurang baiknya kondisi infrastruktur jalan;

b. Kurangnya angkutan umum dari pusat kota;

c. Kurangnya informasi pariwisata;

d. Belum tersedianya fasilitas memadai;

e. Belum optimalnya program pemerintah daerah dalam mengembangkan desa.

3. Peluang

a. Kondisi desa yang aman dan nyaman;

b. Masyarakat sudah mulai sadar akan dampak kerusakan alam;

c. Perhatian terhadap kelestarian alam meningkat;

d. Produk-produk pertanian khususnya organik mulai berkembang;

e. Wisata alam menjadi tren wisata saat ini.

4. Ancaman

a. Berkembangnya kawasan desa menjadi desa wisata berdampak pada perubahan tatanan hidup dan kondisi alam desa, yang semula tidak terlalu ramai akan ramai sehingga menimbulkan dampak pencemaran udara serta perubahan tutupan lahan dengan bangunan-bangunan pendukung wisata;

b. Kepemilikan lahan desa akan mulai beralih dari penduduk lokal ke investor-investor luar sehingga akan berdampak pada berubahnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan-lahan produktif lainnya.

(13)

5 2.2 Daya Dukung Lahan

Pemanfaatan lahan berkaitan dengan tata guna tanah yang berarti merupakan peruntukan tanah yang nampak di permukaan bumi (Jayadinata, 1986). Semakin lama, pemanfaatan lahan akan mengalami perubahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Untuk menyeimbangkan antara pemanfaatan lahan dengan komposisi lahan maka perlu dilakukan pengaturan tutupan lahan terbuka dan terbangun melalui suatu perencanaan penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang digunakan untuk pembangunan fisik yang berkelanjutan perlu sebuah perencanaan yang efektif. Perencanaan penggunaan lahan untuk mengatur kawasan-kawasan terbangun di pedesaan dengan mengatur letak kawasan permukiman, industri, transportasi, perdagangan serta ruang terbuka sebagai daerah konservasi dan resapan air (Dambeebo and Jalloh, 2018).

Perencanaan penataan pemanfaatan lahan dilakukan dengan analisis daya dukung lahan yang muncul akibat adanya kebutuhan dan ketersediaan lahan. Meningkatnya Kebutuhan lahan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tetapi ketersediaan lahan sangat terbatas bergantung dari tingkat produksi dan produktivitas lahan.

Sebagai acuan pengelolaan dan pemanfaatan lahan, maka kemampuan lahan untuk mengetahui fungsi peruntukan suatu lahan dihitung berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.

Analisis Kemampuan lahan (land capability) adalah analisis lahan dengan pengelompokan pada beberapa katagori secara sistematik yang menilai sifat penggunaan lahan berdasarkan potensi dan penghambat penggunaan lahan secara lestari mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2007 tersebut. Pedoman ini memberikan arahan kesesuaian lahan yang didasarkan pada kemampuan lahan dengan melakukan analisis kemampuan lahan berdasarkan pada Satuan Kemampuan Lahan (SKL) yang bertujuan untuk dikembangkan menjadi fasilitas-fasilitas pendukung kehidupan (Ridha, 2016). Kemampuan lahan baik dari aspek fisik maupun lingkungan melalui analisis kemampuan lahan dengan dasar untuk mengetahui analisis lahan di suatu kawasan, mengingat bahwa kemampuan lahan yang sangat terbatas untuk memenuhi semua kebutuhan manusia secara bersama-sama dan terus menerus.

2.3 Agroforestry

Agroforestry adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun lingkungan. Bentuk pengelolaan lahan dalam sistem agroforestry dilakukan dengan mengelola secara bersama-sama secara ekologi, sosial maupun ekonomi

(14)

6 dalam sistem berkelanjutan antara pohon dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak (Latumahina dan Mersiana, 2006). Agroforestry memiliki tujuan positif, terutama bagi lingkungan hidup. Salah satunya adalah sebagai upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati.

Agroforestry memiliki peran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjamin ketersediaan pangan yang cukup dan mampu berperan sebagai penyedia bahan baku untuk bahan bakar nabati dan fungsi ekologis bagi masyarakat. Suryani dan Ai Dariah (2012) menjelaskan bahwa ciri-ciri agroforestry berdasarkan pengertian di atas, yaitu : kelestarian menjadi asas dalam pengelolaan lahan, pada suatu unit lahan secara bersamaan atau berurutan dikombinasikan produksi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian (termasuk pohon-pohonan) dan peternakan, budaya lokal penduduk menjadi dasar dalam pengelolaan lahan dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat dan tercapai.

Konsep model agroforestry yang akan dikembangkan di kawasan pedesaan ini dengan menanam berbagai tanaman dengan stratafikasi tanaman sesuai dengan karakteristik kawasan, baik fisik lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal dengan tanaman utama sebagai tanaman ciri khas di masing-masing desa. Menurut Latumahina dan Mersiana (2006) sistem agroforestry ini terdiri dari 3 (tiga) sistem, yaitu : 1. Agrosilviculture yakni antara pepohonan dan pertanian dibuat sebagai satu sistem

campuran untuk menghasilkan produk pertanian dan kehutanan;

2. Silvopastoral adalah penggabungan antara tanaman yang menghasilkan makanan ternak dengan pepohonan untuk dipergunakan sebagai olahan kayu serta pemeliharaan ternak;

3. Agrosilvopastoral yakni penggabungan dalam sistem penggunaan lahan dengan antara tanaman pertanian dengan pohon–pohon hutan dan padang rumput atau yang menghasilkan makanan ternak untuk secara bersamaan meningkatkan produksi hasil pertanian dan kehutanan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.

Diharapkan dengan adanya pengembangan model agroforestry ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan desa yang dikembangkan menjadi agrowisata dan ekowisata sebagai salah satu destinasi wisata dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Apalagi pada dekade ini produk-produk wisata berkembang pesat di industri pariwisata yang bertujuan untuk memperkenalkan alam, budaya dan adat istiadat daerah masing-masing (Hidayat, 2016). Perkembangan pariwisata terutama wisata alam yang dikembangkan di pedesaan berangkat dari isu-isu lingkungan sehingga perlu suatu pengembangan wisata berkelanjutan yang memperhatikan keberlangsungan dan keseimbangan lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat.

Pengembangan agrowisata dan ekowisata tersebut dalam pengelolaannya perlu melibatkan masyarakat melalui rasa memiliki sehingga hasilnya dapat langsung dirasakan oleh

(15)

7 masyarakat. Adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam pengembangan agrowisata dan ekowisata pada sebuah sistem agroforestry menimbulkan dampak positif terhadap ekosistem yang berkeberlanjutan dan lestari (Hidayat, 2016).

Berdasarkan pendekatan kemampuan lahan di kawasan pedesaan serta sistem pertanian berkelanjutan, maka strategi pengembangan pengelolaan pengembangan konsep agroforestry dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu :

1. Pendekatan topografi kelerengan lahan, yang terdiri dari :

a. Kelerengan lahan 0% - 15 % ditanami dengan tanaman ubi-ubian sebagai tanaman inti atau tanaman ciri khas desa lainnya yang dikombinasi dengan tanaman sayuran dengan pola tanam tumpangsari dan usahatani ternak, pengembangan prasarana, sarana dan fasilitas usaha tani dari mulai sarana produksi, saat panen dan pasca panen;

b. Kelerengan 15% - 30 %, ditanami dengan tanaman buah-buahan dan tanaman palawija dengan pola tanam tumpangsari;

c. Kelerengan > 30 % ditanami dengan tanaman keras sebagai kawasan konservasi.

2. Pendekatan sistem pengelolaan yang terdiri dari 6 tahap, yaitu : a. Persiapan antara lain pembersihan dan pematangan lahan;

b. Penanaman bibit tanaman pada musim penghujan sesuai dengan jenis tanaman pada kelerengan masing-masing dengan pola tanam kombinasi antara tanaman setahun/umur pendek (annual crops) dan tanaman tahunan (perennial crops), tanaman kehutanan/ tanaman keras (forest crops);

c. Pemeliharaan tanaman secara rutin dan berkala;

d. Pemanenan : Setiap tanaman memiliki umur panen yang berbeda. Proses pemanena dilakukan pada saat umur tanaman layak dipanen;

e. Pemasaran;

f. Pengolahan pasca panen

Pada tahap pengolahan pasca panen perlu adanya sistem manajemen yang berkelanjutan dari mulai perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pemasaran.

3. Melengkapi infrastruktur pendukung kegiatan seperti : jalan, jembatan, sarana kebersihan, dan lain-lain;

4. Melakukan promosi yang intensif kepada masyarakat;

5. Membuat kebijakan desa dan daerah;

6. Pengembangan paket wisata seperti pengenalan jenis flora dan fauna, panen raya, pengolahan hasil pertanian atau perkebunan dll;

7. Mensinergikan ekowisata dengan kesenian, budaya tradisional dan keunikan-keunikan alam seperti air terjun, pegunungan, sungai, sumber air dll;

(16)

8 8. Memberdayakan masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata;

9. Menjalin pola kemitraan dengan perusahaan-perusahaan pengolah makanan, BUMN, hotel, biro travel, perguruan tinggi, restoran dan lain-lain

2.4 Green Economy

Green economy merupakan sistem yang memuat semua aktivitas perekonomian (produksi, distribusi, dan konsumsi) yang menghasilkan kualitas hidup manusia untuk jangka panjang, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang akibat munculnya risiko terkait dampak lingkungan dan keterbatasan ekologis. Menurut Sari dkk. (2014) green economy diterapkan untuk meningkatkan perekonomian melalui kegiatan pembangunan yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk menerapkan green economy tersebut, maka perlu memegang 10 prinsi pengembangannya, yaitu :

1. mengutamakan nilai guna, nilai instrinsik, dan kualitas;

2. mengikuti aliran alam;

3. sampah adalah makanan;

4. rapih dan keragaman fungsi;

5. skala tepat guna / skala keterkaitan;

6. keanekaragaman;

7. kemampuan diri, organisasi diri dan rancangan diri;

8. partisipasi dan demokrasi;

9. kreativitas dan pengembangan masyarakat;

10. peran strategis dalam lingkungan buatan, lanskap, dan perancangan spasial.

Berbagai upaya menanggulangi masalah lingkungan termasuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan telah dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia, bahkan teruang dalam sasaran pembangunan daerah diantaranya meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan agribisnis, menjamin ketahanan pangan daerah, meningkatnya pelestarian budaya, cagar budaya, sejarah dan pengembangan destinasi wisata sebagai daya tarik pariwisata dan lain sebagainya. Pembangunan pedesaan yang berkelanjutan melalui pengembangan agroforestry di kawasan pedesaan tersebut maka prinsip-prinsip green economy dapat dipenuhi sehingga kawasan pedesaan akan dapat berkembang sesuai dengan karakteristik kawasannya sebagai kawasan pertanian, perkebunan, kehutanan serta wisata alam sehingga peningkatan perekonomian masyarakatnya dapat tercapai dan kelestarian lingkungan juga tetap terjaga. Melalui pola agroforestry, maka hasil-hasil pertanian dan kehutanan dapat meningkat produktivitasnya dan sumber daya alam dapat dipertahankan keekologiaan secara mantap serta dapat berkelanjutan secara ekonomi, adil manusiawi dan luwes (Latumahina dan Mersiana,

(17)

9 2006). Oleh karena itu penerapan agroforestry di kawasan pedesaan dinilai sangat tepat dan dapat diterapkan melalui kegiatan pertanian berkelanjutan untuk mewujudkan green economy di kawasan pedesaan.

(18)

10 BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kawasan pedesaan mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan menjadi kawasan destinasi wisata dengan penerapan konsep model agroforestry, mengingat lahan yang sangat luas dengan diversifikasi berbagai usaha tani pertanian ;

2. Pengembangan konsep model agroforestry dengan sistem pengelolaan yang benar akan mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan pendapatan penghasilan masyarakat yang sejahtera, selain itu juga akan meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pertanian dan kehutanan serta pariwisata;

3. Ciri khas usaha tani berdasarkan produk-produk unggulan lokal di masing-masing desa akan meningkatkan brand image daerah masing-masing;

4. Penerapan konsep model agroforestry akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlanjutan green economy.

3.2 Saran

1. Untuk keberlanjutan pengembangan desa ekowisata dan agrowisata melalui agroforestry maka perlu kebijakan penetapan kawasan di pedesaan sesuai dengan keunggulan produk dan karakteristik lahan serta potensi wisata alamnya;

2. Untuk memajukan pengembangan agroforestry ini maka perlu adanya dukungan dunia usaha atau perorangan dengan konsep CSR atau bapak angkat bagi petani di desa dalam mengembangkan pertanian dan perkebunannya secara berkelanjutan;

3. Peran serta masyarakat setempat sangat diperlukan sebagai pengelola kawasan agrowisata atau ekowisata sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat dan desa serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan kelestraian lingkungannya.

(19)

11 DAFTAR PUSTAKA

Dambeebo, Daniel and Chernor A. Jalloh. 2018. Sustainable Urban Development and Land Use Management: Wa Municipality in Perspective, Ghana. Journal of Sustainable Development; Vol. 11, No. 5; 2018.

Hidayat, Syarif. 2016. Strategi Pengembangan Ekowisata Di Desa Kinarum Kabupaten Tabalong. Jurnal Hutan Tropis Volume 4 No. 3 November 2016

Jayadinata, Johara T. 1986. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan dan Wilayah.

Penerbit ITB Bandung.

Latumahina, Fransina dan Mersiana Sahureka. 2006. Agroforestri : Alternatif Pembangunan Pertanian Dan Kehutanan Berkelanjutan Di Maluku. Jurnal Agroforestri Volume I Nomor 3 Desember 2006.

Maryati, S., 2013. Land Capability evaluation of reclamation area in Indonesia coalmining using LCLP Software. Procedia Earth And Planetary Science 6, pp. 465 ± 473.

Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah. Jakarta.

Menteri Pekerjaan Umum RI. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Jakarta.

Permanasari, Puspa dkk. 2012. Pengaruh Guna Lahan Terhadap Penurunan Infiltrasi Di Kota Batu. Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 4, Nomor 2, Desember 2012.

Ridha dkk. 2015. Analisis Daya Dukung Lahan sebagai Pengembangan Fasilitas Perkotaan Kecamatan Mpunda Kota Bima Tahun 2015 – 2035. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. Volume 4 Nomor 1, April 2016, 65-80.

Sari, Ayu Multika dkk. 2014. Penerapan Konsep Green Economy Dalam Pengembangan Desa Wisata Sebagai Upaya Mewujudkan Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Studi pada Dusun Kungkuk, Desa Punten Kota Batu). Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No.4, Hal. 765-770.

Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Penerbit ANDI Suryani dan Ai Dariah. 2012. Peningkatan Produktivitas Tanah Melalui Sistem

Agroforestri. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012.

Widharyatmo. 2010. Pengaruh Timbal Balik Perkembangan Lingkungan / Tata Ruang Perkotaan Dan Sekitarnya. Journal of Rural Development Volume I No. 2. Agustus 2010.

Widiatmaka, W., dkk. 2015. Daya Dukung Lingkungan Berbasis Kemampuan Lahan di Tuban, Jawa Timur. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 22(2):247-259.

(20)

12 Wijaya, I. M. H., dkk. 2015. Evaluasi Kesesuaian dan Kemampuan lahan Terhadap RTRW Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, 5(2): 148-160.

Yunus, Hadi Sabari. 2008. Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota. Cetakan I 2008. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis terhadap strukturisasi sistem pengelolaan lingkungan berkelanjutan di kawasan Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan

Persentase koordinasi yang efektif yang menghasilkan rumusan kebijakan menjadi kebijakan bidang Administrasi Pembangunan Bagian

Pembangunan kawasan pedesaan dewasa ini dilakukan dengan mengutamakan pendekatan partisipatif produktif dan berkelanjutan dengan berbasis pada pemberdayaan

Adapun konsep strategis yang dapat dilakukan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di pedesaan adalah dengan

(5) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan kawasan peruntukan pengembangan ternak besar, kawasan peruntukan

1. Kondisi dan Struktur Ekonomi. Pembangunan perekonomian daerah diarahkan pada : a) Pengembangan perekonomian berlandaskan prinsip demokrasi ekonomi dan persaingan

Kehadiran konsep green economy bukan menjadi pengganti pembangunan berkelanjutan, melainkan penegasan bahwa pembangunan keberlanjutan hanya dapat dicapai dengan memastikan manusia hidup

dapat ditempuh dalam perencanaan kawasan desa wisata adalah antara lain: 1 kawasan desa wisata harus berdasarkan prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan pembangunan