1
VERBA BERPREPOSISI DALAM BAHASA ARAB:
ANALISIS STRUKTUR DAN MAKNA
TAJUDIN NUR Universitas Padjajaran Bandung
Abstrak: Verba merupakan unsur inti atau ‘umdah dalam bangun kalimat bahasa Arab selain unsur subjek itu sendiri. Dalam kalimat, sejumlah verba tidak bisa berdiri sendiri sebagai satuan yang bermakna melainkan harus didampingi oleh preposisi (ḥurūfu 'l-jar). Hal ini menjadi penting untuk memahami makna verba, baik secara leksikal maupun secara struktural. Verba berpreposisi dalam bahasa Arab ada dua macam, pertama preposisi bersifat obligatori (wajib) kehadirannya mendampingi verba yang membentuk struktur yang teradat dan melahirkan makna struktural (structural meaning) berbeda dari makna leksikalnya yang disebut dengan struktur idiomatis, atau makna yang tetap sama dengan makna leksikalnya. Kedua, preposisi yang kehadirannya bersifat opsional mendampingi verba dan tidak melahirkan makna baru. Kehadiran preposisi semacam ini lebih disebabkan oleh tuntutan verba yang memiliki makna lokatif (menunjukkan tempat). Verba berpreposisi macam pertama, unsur verba sebagai unsur inti, sedangkan preposisi sebagai pewatasnya yang dapat mengubah makna verba dari makna leksikalnya. Sebagai pewatas, preposisi lebih kuat hubungannya dengan verba daripada dengan nomina, sedangkan pada verba berpreposisi macam kedua preposisi lebih kuat hubungannya dengan nomina daripada dengan verba.
Kehadiran preposisi atau frase preposisi sebagai pendamping verba dimaksudkan untuk menjelaskan verba atau kalimat agar makna kalimat menjadi penuh dan lengkap.
Kata Kunci: verba, preposisi, makna struktural, makna leksikal 1. Latar Belakang
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semitis yang dalam rumpun ini meliputi Ugraitik, Akkadian, Aramaik, Ibrani, dan Etiopia. Bahasa Arab (disingkat bA) yang digunakan dewasa ini merupakan bahasa Arab dialek Quraisy, yaitu sebuah dialek yang digunakan oleh suku yang berpengaruh di Jazirah Arab, yaitu suku Quraisy. Dialek ini menjadi meluas digunakan di Jazirah Arab setelah mengalahkan dialek-dialek Arab lainnya pada abad 5 sampai 6 M, tepatnya sejak kerasulan Muhammad saw tahun 611 M.
Struktur bA sudah tentu berbeda dengan struktur bahasa Indonesia yang berumpun Austronesia. Perbedaan rumpun bahasa ini berimplikasi pada perbedaan tipologisnya. Rumpun bahasa Semitis bertipe fleksi, sedangkan rumpun bahasa Austronesia bertipe aglutinasi. Bahasa fleksi dalam pembentukan katanya dilakukan dengan cara modifikasi intern kata, sedangkan bahasa aglutinasi dilakukan dengan cara afiksasi tanpa mengubah bentuk dasarnya.
Bahasa Arab sebagai bahasa fleksi, morfologinya didasarkan pada akar katanya yang triliteral sebagai morfem dasar (lihat Keraf, 1990:67). Verhaar menyebutnya untuk morfem dasar itu dengan morfem akar terbagi karena terdiri dari
2
tiga konsonan yang dipisahkan oleh vokal (1996:101). Misalnya, morfem akar terbagi {k-t-b} mempunyai makna dasar 'tulis', merupakan dasar bagi pembentukan kata- kata kataba ‘dia laki-laki seorang menulis’ (lampau), yaktubu ‘dia laki-laki seorang menulis’ (nonlampau), ɂuktub ‘tulislah olehmu seorang laki-laki' (imperatif), maktab
‘kantor’, kātib ‘penulis’, kitāb ‘buku’, dan lain sebagainya. Artinya, pembentukan kata dalam bahasa Arab termasuk verbanya melalui modifikasi intern kata dengan cara afiksasi morfem terbagi.
Selain itu juga, morfologi bahasa Arab mempunyai sifat inkorporatif, yaitu pemaduan morfem-morfem dasar dengan morfem-morfem lain yang dapat difusikan dalam sebuah kata tunggal seperti katabtuhu ‘saya menulisnya’. Bila dianalisis kata katabtuhu terdiri dari katab- ‘menulis’ sebagai morfem dasar berfungsi sebagai predikat, -tu ‘saya’ sebagai morfem afiks lekat verba lampau untuk orang pertama tunggal sebagai penanda subjek, dan –hu ‘nya’ morfem afiks lekat nomina untuk orang ketiga tunggal maskulin sebagai objek. Jadi, kata katabtuhu merupakan inkorporasi dari tiga morfem dalam sebuah kata yang berstruktur verba-subjek- objek. Sifat morfologi bahasa Arab yang inkorporasi ini tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia yang aglutinatif.
Kesadaran bahwa verba merupakan unsur bahasa yang penting telah diindikasikan sejak masa awal pengkajian gramatika. Plato (429 SM) yang dianggap sebagai orang pertama yang mempelajari potensi gramatika menguraikan bahwa kalimat dibentuk dari dua bagian besar, yaitu onoma yang merupakan komponen nominal dan rhema yang merupakan komponen verbal (Wahab, 1990:5). Aristoteles (384 SM) yang mengembangkan pendapat Plato, dalam bukunya Peri Hermenias pada abad ke-4 SM, juga mengakui kedudukan verba sebagai unsur penting pembentuk kalimat (Kridalaksana, 1986:1). Sementara tata bahasawan Arab aliran Kufah (abad ke-8 M) meyakini bahwa verba merupakan bentuk asal bagi terciptanya kata-kata turunan (Badri, 1984:47). Pandangan tentang verba sebagai unsur penting, dikemukakan juga oleh tokoh semantik generatif Chafe (1970:144), bahwa verba merupakan unsur pusat yang mampu menghadirkan unsur-unsur lain dalam klausa atau kalimat, seperti juga dinyatakan oleh Dahdah (1992:105) bahwa verba dalam bA merupakan unsur inti (ҁumdah) terhadap bangun sebuah kalimat, khususnya dalam kalimat yang berpredikat verba.
Pembahasan tentang verba dalam tata bahasa bA dijelaskan dalam bab-bab tersendiri meliputi verba ditinjau dari kategorinya (verba dasar dan turunan), proses morfologis yang dialaminya (afiksasi), konjugasi, serta perilaku sintaksisnya (intransitif dan transitif). Pembahasan terbanyak adalah pada masalah yang berkaitan dengan konjugasi verba karena satu bentuk verba dalam bA akan berubah sekurangnya menjadi 56 bentuk lain berdasarkan perubahan kala, dari bentuk māḍī (lampau) menjadi muḍāriҁ (nonlampau), persona (persona pertama, kedua, dan ketiga), jumlah (tunggal, dual, dan plural), dan jender (maskulin dan feminin), serta berdasarkan perubahan aktif dan pasif (Lubis, 1993:134).
Berdasarkan sintaksisnya, bA cenderung berstruktur VSO (verba-subjek-objek) (lihat Hawkins, 1983:25), sedangkan bahasa Indonesia berstruktur SVO (subjek- verba-objek). Lain halnya dengan bahasa Jepang yang berstruktur SOV (subjek- objek-verba). Perbedaan tipe struktur bahasa adakalanya berkaitan dengan kepemilikan suatu kelas kata, misalnya preposisi. Dalam bahasa Jepang tidak
3
memiliki preposisi tetapi posposisi, sedangkan bahasa Indonesia, Arab dan bahasa- bahasa Indoeropa memiliki preposisi. Istilah preposisi diambil dari pendapat Khuli (1982:224) dan Nasr (1967:145) untuk menunjuk pada harf jar (
ّسجلا ثاودأ
).Hal yang menarik dari perilaku sintaksis, baik preposisi maupun posposisi adalah keterikatannya pada nomina. Dalam bahasa yang berstruktur SVO atau VSO preposisi terletak sebelum nomina, sedangkan bahasa yang berstruktur SOV unsur preposisi terletak sesudah nomina yang disebut dengan istilah posposisi.
Karakteristik yang dimiliki oleh preposisi bA, yaitu selain dapat bervalensi dengan nomina, juga ketakterpisahannya dari nomina. Oleh karena itu, preposisi dalam bA ada yang bersifat takterpisahkan (inseparable) dan terpisahkan (separable) (Haywood, 1962:412). Sifat ketakterpisahan preposisi bA dari nomina berkaitan dengan tipe bahasa Arab yang fleksi dan inkorporatif. Nasr (1967:145) menyebut untuk preposisi terpisahkan dengan istilah prepositional words atau preposisi kata dan untuk preposisi takterpisahkan dengan istilah prepositional syllables atau preposisi suku kata.
Contoh preposisi kata:
ɂilā ‘ke’ pada ɂilā 'l-bayti ‘ke rumah’
fī ‘di/di dalam’ pada fī 'l-madrasati ‘di sekolah’
ҁalā ‘atas/di atas’ pada ҁalā 'l-maktabi ‘di atas meja’
min ‘dari’ pada min Muḥammadin ‘dari Muhammad’
ҁan ‘tentang’ pada ҁanhu ‘tentangnya’
maҁa ‘dengan/bersama’ pada maҁanā ‘bersama kita’
Contoh preposisi suku kata:
bi- ‘dengan’ pada bi-'l-qalami ‘dengan pena’
li- ‘untuk/kepada’ pada li-'l-maliki ‘untuk raja’
ka- ‘seperti’ pada ka-'l-qamari ‘seperti bulan’
ta- ‘demi’ pada ta-'l-Lāhi ‘demi Allah’
wa- ‘demi’ pada wa-'l-ҁaṣri ‘demi masa’
Preposisi adalah kata depan yang berada di depan nomina membentuk frase preposisi (prepositional phrase). Preposisi menjadi unsur penguasa dan nomina menjadi unsur pembatasnya yang berkasus genitif (ḥālatu ‘l-jar). Selain bervalensi dengan nomina membentuk frase preposisi, preposisi juga bervalensi dengan verba membentuk struktur verba berpreposisi. Struktur verba berpreposisi ini merupakan struktur gramatikal yang tak terpisahkan, baik memiliki makna tertentu ataupun makna leksikal. Struktur yang demikian memiliki hubungan kuat dengan verba daripada dengan nomina.
Dipilihnya verba dan frase preposisi sebagai fokus bahasan dalam makalah ini dilandasi oleh beberapa alasan, yaitu: pertama, verba dalam bA, dalam tataran klausa atau kalimat sebagai pengisi fungsi predikat tidak selalu bisa berdiri sendiri, tetapi sering malah harus didampingi oleh satuan lingual lain, yaitu preposisi atau frase preposisi. Kedua, kemunculan frase preposisi yang menyertai verba itu mempunyai pola urutan tertentu dan pola urutan ini diakui sebagai alat bahasa untuk membentuk konstruksi. Ketiga, adanya perbedaan makna inheren verba
4
menyebabkan frase preposisi tertentu hanya dapat mendampingi verba tertentu pula. Keempat, hubungan antara verba dengan preposisi atau frase preposisi dalam struktur bA sering membentuk struktur yang dimaknai berbeda dari makna leksikalnya. Kelima, fenomena verba berpreposisi dalam bA ini masih belum dipahami secara baik oleh para pengajar ataupun oleh para pembelajar bA sehingga banyak ditemukan kesalahan dalam membuat kalimat berbahasa Arab.
Kajian verba kaitannya dengan preposisi atau frase preposisi menarik dalam bahasa Arab baik secara struktur maupun secara semantis. Secara struktur, verba bA akan didampingi oleh frase preposisi, baik sebagai pewatas maupun sebagai alat bahasa untuk membentuk konstruksi. Secara semantis gabungan verba dengan preposisi tertentu melahirkan makna baru yang berbeda dari makna leksikalnya.
Preposisi sebagai pewatas verba dimaksudkan bahwa hubungan antara verba dengan preposisi membentuk struktur idiomatis yang tidak bisa dimaknai secara leksikal (Abboud, et al., 1975:252; Imamuddin dan Ishaq, 2003:vi). Kehadiran preposisi dalam struktur seperti ini sifatnya obligatori atau wajib, karena tanpa preposisi mendampingi verba, struktur menjadi tidak gramatikal. Akan tetapi, preposisi sebagai pembentuk konstruksi dimaksudkan bahwa kehadiran preposisi sifatnya opsional oleh karena tuntutan verba lokatif dan tidak mengubah makna.
Artinya, tanpa hadirnya preposisi yang mendampingi verba lokatif, struktur tetap gramatikal. Verba lokatif artinya verba yang secara inhern mengandung makna kelokasian atau tempat, seperti
بهذ
,عحز
,علح
,لـخد
,جس خ
,ماك
,ىحا
, dan sebagainya.Bahasa Arab adalah bahasa yang secara struktural verbanya didampingi oleh preposisi, baik sebagai pewatas maupun sebagai pembentuk konstruksi. Meski tidak semua verba didampingi preposisi namun cukup banyak yang berpreposisi yang sifatnya obligatori dan ini harus dipahami baik oleh pengajar maupun oleh pembelajar bahasa Arab (daftar verba berpreposisi terlampir). Keberadaan preposisi mendampingi verba tidak lepas dari tipe struktur bahasa Arab yang berpola VSO (Verba-Subjek-Objek) atau SVO (Subjek-Verba-Objek) sebagai pola alternatif (Hawkins, 1983:20).
1.2 Metode
Penelaahan ini membedah verba berpreposisi dalam bahasa Arab dilihat dari hubungan antara unsur verba dan unsur preposisi serta makna yang ditimbulkan dari hubungan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jangkauan waktu bersifat sinkronis. Artinya, verba dan hubungannya dengan preposisi dalam bahasa Arab dikaji dan dideskripsikan seperti apa adanya (Kridalaksana, 1984:118). Untuk menganalisis pola hubungan antara verba dengan frase preposisi digunakan pendekatan teori penguasa-pembatas (government and binding theory) dari Chomsky ancangan Cook (1988). Untuk memerikan berbagai macam tipe hubungan verba dengan frase preposisi dalam bahasa Arab yang didasarkan pada kategorisasi semantis dan sintaktis verba digunakan metode penataan. Selain itu juga untuk melihat keeratan hubungan antara verba dengan preposisi digunakan juga teknik sisip dan teknik subtitusi dalam metode distribusional yang dikembangkan oleh Sudaryanto (1993).
5 1.3 Pembahasan
Penelitian verba dari segi sintaksis dapat dilakukan dari berbagai segi. Salah satu yang menarik adalah verba sebagai unsur pusat di dalam klausa atau kalimat bA tidak cukup didampingi oleh konstituen nomina sebagai subjek, tetapi sering harus didampingi oleh konstituen lain berupa preposisi atau frase preposisi sebagai pewatasnya baik secara opsional maupun secara obligatori. Artinya, pada sejumlah verba bA mensyaratkan hadirnya frase preposisi tertentu dalam struktur sintaksisnya. Kehadiran frase preposisi sebagai pendamping verba ini dimaksudkan untuk menjelaskan verba atau kalimat agar makna kalimat menjadi penuh dan lengkap. Perhatikanlah contoh berikut ini.
(1)
اَجْس َكا َح ى َ
ل ِإ َهَجَّجِا
/Ɂittajaha ɂilā Jākartā./
‘Dia (laki-laki) menuju ke Jakarta.’
(2)
ىَنْعَ ْ
لْا ِم ْلِع ِب ُبِلاَّطلا َّمَخْهِا
/Ɂihtamma 'ṭ-ṭālibu bi-ҁilmi 'l-maҁnā./
‘Mahasiswa itu tertarik dengan ilmu makna.’
(3)
! ِت َلِك ْشُْلْا هره َىلَع ْىِو ْدِعا َط
/Sāҁidnī ҁalā hāðihi 'l-muškilati./
‘Bantulah aku dari kesulitan ini!’
(4)
. ِذا َخ ْط ْاْل ِلاَؤ ُط نع ُت َبِلاّطلا ِت َباَحَأ
/Ɂajābati 'ṭ-ṭālibatu ҁan suɂāli 'l-ɂustāði./
'Mahasiswi itu menjawab pertanyaan dosen.'
Verba ɂittajaha ‘menuju’, ɂihtamma ‘tertarik’, sāҁidnī 'bantulah aku', dan ɂajābat 'menjawab' pada contoh (1), (2), (3), dan (4) di atas, keberadaannya dalam kalimat tidak bisa berdiri sendiri tetapi menuntut hadirnya frase preposisi secara mutlak untuk menjelaskan verba-verba tersebut. Verba ɂittajaha ‘menuju’ pada contoh (1) didampingi oleh frase ɂilā Jākartā 'ke Jakarta', verba ɂihtamma ‘tertarik’ pada contoh (2) didampingi oleh frase bi-ҁilmi 'l-maҁnä 'pada ilmu makna', verba sāҁidnī 'bantulah aku' pada contoh (3) didampingi oleh frase preposisi ҁalā hāðihi 'l-muškilah 'atas kesulitan ini', dan verba ɂajābat 'menjawab' didampingi oleh frase ҁan suɂāli 'l-ɂustāð 'pertanyaan dosen'. Tanpa hadirnya frase preposisi tersebut kalimat menjadi tidak jelas dan tidak gramatikal. Tepatnya adalah bahwa verba ɂittajaha harus didapingi oleh preposisi ɂilā, verba ɂihtamma didampingi oleh preposisi bi-, verba sāҁidnī didampingi oleh preposisi ҁalā, dan verba ɂajābat didampingi oleh preposisi ҁan.
Meski antara verba dengan preposisinya memiliki hubungan yang sudah teradat dan tidak bisa dipisahkan, namun maknanya tetap tidak berubah. Berikut adalah contoh verba berpreposisi yang preposisinya diubah sehingga berdampak pada perubahan makna. Perhatikan contoh berikut ini:
(5a)
. ِذاـَخ ْطاْل ِلا َؤ ُط ِتَباَحإ ىِف ُبّلاّطلا د ّدَسَج
6
/Taraddada 'ṭ-ṭullābu fï ɂijābati suɂäli 'l-ɂustāði./
‘Para Mahasiswa ragu-ragu menjawab pertanyaan dosen.’
(5b)
. ِتَبَخ ْكَ ْلْا ىَلِإ ُبّلاّطلا د ّدَسَج
/Taraddada 'ṭ-ṭullābu ɂilā 'l-maktabati./
‘Para Mahasiswa sering ke perpustakaan.’
(6a)
.بداْل نم تغّللا ملع تطازد ىلإ ُبّلا ّطلا لام
/Māla 'ṭ-ṭullābu ɂilā dirāsati ҁilmi 'l-luġati mina 'l-ɂadabi./
‘Para mahasiswa lebih cenderung belajar linguistik daripada sastra.’
(6b)
. ِءا َىَه ْلا ِةَّىُك ْنَع ُسَج َّشلا لام
/Māla 'š-šajaru ҁan quwwati 'l-hawāɂi./
‘Pohon itu tumbang akibat angin kencang.’
(7a)
.بداْل نم تغّللا ملع تطازد ىلإ ُبّلا ّطلا لام
/Māla 'ṭ-ṭullābu ɂilā dirāsati ҁilmi 'l-luġati mina 'l-ɂadabi./
‘Para mahasiswa lebih cenderung belajar linguistik daripada sastra.’
(7b)
. ِءا َىَه ْلا ِةَّىُك ْنَع ُسَج َّشلا لام
/Māla 'š-šajaru ҁan quwwati 'l-hawāɂi./
‘Pohon itu tumbang akibat angin kencang.’
Verba taraddada secara leksikal berarti 'ragu-ragu' dan secara sintaksis untuk tujuan makna tersebut harus didampingi oleh preposisi fī seperti pada contoh (5a).
Akan tetapi bila verba taraddada didampingi oleh preposisi ɂilā maka akan mengubah konsep makna menjadi 'sering' seperti pada contoh (5b). Demikian juga, verba māla secara leksikal bermakna 'cenderung' yang secara sintaksis tujuan makna tersebut harus didampingi oleh preposisi ɂilā seperti pada contoh (6a), akan tetapi konsep makna 'cenderung' akan berubah menjadi 'tumbang' manakala preposisi yang mendampingi verba māla diganti oleh ҁan seperti pada contoh (6b).
Lain halnya dengan verba berpreposisi lainnya seperti ðahaba ‘pergi’ dan rajaҁa
‘pulang’ meski hadir preposisi sesudahnya, akan tetapi kehadiran preposisi itu sifatnya opsional tidak mutlak sebagaimana contoh-contoh di atas. Perhatikan contoh berikut ini.
(7a)
ِث ْو ُرْيَب ى َ ل ِإ َب َه َذ .
/ðahaba ɂilā Beirūti./
‘(Dia) pergi ke Beirut.’
(7b)
َب َه َذ
/ðahaba./
'(Dia) pergi.'
7 (8a)
. َت َّك َم ْن ِم َع َحَز
/Rajaҁa min Makkata./
‘(Dia) pulang dari Mekah.’
(8b)
َع َحَز
/Rajaҁa./
'(Dia) pulang.'
(9a)
. ّي سسكلا ىلع َعَل َح
/Jalasa ҁalā 'l-kursiyyi./
‘(Dia) duduk di atas kursi.’
(9b)
َعَل َح
/Jalasa./
'(Dia) duduk.'
Pada contoh di atas verba ðahaba ’pergi’, rajaҁa ‘pulang’, dan jalasa 'duduk' pada contoh di atas didampingi oleh frase preposisi ɂilā Beirūti ‘ke Beirut’, min Makkata
‘dari Mekah’, dan ҁalā 'l-kursiyyi 'di atas kursi' seperti pada contoh (7a), (8a), dan (9a) karena ketiga verba tersebut adalah verba lokatif yang secara inhern membutuhkan hadirnya keterangan tempat (lokasi), yaitu ɂilā Beirūti ‘ke Beirut’, min Makkata 'dari Mekah', dan ҁalā 'l-kursiyyi 'di atas kursi'. Akan tetapi kehadiran frase preposisi yang mendampingi ketiga verba lokatif di atas tidak mutlak dan terbukti tanpa hadirnya frase preposisi, verba ðahaba, rajaҁa, dan jalasa dapat diujarkan dengan memiliki makna yang utuh seperti pada contoh (7b), (8b), dan (9a).
Keterikatan verba tertentu di satu pihak dengan preposisi tertentu di pihak lain untuk mendampingi verba membentuk struktur hubungan yang teradat yang tidak bisa dipisahkan, digantikan, atau dilesapkan begitu saja. Struktur hubungan yang teradat yang demikian, memiliki makna tertentu atau khusus pula sehingga disebut juga dengan struktur idiomatis. Perhatikan bagaimana struktur hubungan antara verba nażara 'melihat' dengan preposisi dalam contoh berikut ini:
(10)
.اًسْظَه ُهُجْس ظَه َ
/Nażartuhu nażran./
‘Saya benar-benar melihatnya.’
(11)
. ٍة َدْي ِد َح ٍةَزاَّي َط ى َ ل ِإ ُثْسَظَه
/Nażartu ɂilā sayyāratin jadīdatin./
‘Saya memperhatikan sebuah mobil baru.’
(12)
. ِس ْم َ َه اْل ا َر َه ْي ِف ُثْس ظ َ
/Nażartu fī hāðā 'l-ɂamri./
‘Saya memikirkan hal ini.’
8 (13)
. ِل ْدَع ْلاِب ِضاَّىلا َنْيَب ي ِ ضاَلْلا َسَظَه
/Nażara 'l-qāḍī bayna 'n-nāsi bi-'l-ҁadli./
‘Hakim mengadili manusia dengan adil.’
(14)
.بعشلا تّي ّمهلأ تمىكحلا ثَس ظَه َ
/Nażarati 'l-ḥukūmatu liɂahammiyyati 'š-šaҁbi./
‘Pemerintah menjaga kepentingan bangsa.’
Verba nażara secara leksikal bermakna 'melihat' seperti pada contoh (10) di atas. Akan tetapi verba nażara setelah bersanding dengan preposisi ɂilā, fī, li-, dan zaraf makan bayna memiliki makna yang khusus dan berbeda dari makna leksikalnya. Verba nażara bersanding dengan preposisi ɂilā bermakna 'memperhatikan' seperti contoh (11), bersanding dengan preposisi fī bermakna 'memikirkan' seperti pada contoh (12), bersanding dengan zaraf makan bayna bermakna 'mengadili' seperti pada contoh (13), dan bila bersanding dengan li- bermakna 'menjaga/memelihara' seperti pada contoh (14). Oleh karena hubungannya sudah teradat dan makna yang dihasilkannyapun tertentu atau spesifik, maka struktur verba dengan preposisi yang demikian disebut struktur idiomatis, yaitu struktur yang teradat yang tidak bisa dimaknai secara leksikal tapi dimaknai secara internal (internal meaning) berdasarkan struktur yang ada yang berlaku dalam bahasa itu.
Secara sintaksis hubungan antara verba dengan preposisi dapat dijabarkan bahwa verba merupakan unsur penguasanya, sedangkan preposisi atau frase preposisi sebagai pewatasnya. Sebaliknya, secara semantis frase preposisi menjadi penentu makna verba. Perhatikan contoh berikut ini:
(15)
.اًيِلا َغ َنَمَّثلا َعَفَد
/Dafaҁa 'θ-θamana ġāliyan./
‘
)
Ia) membayar harga mahal.’(16)
.تص ّصخخلْا ثّلاـجلْا ىلإ عىحّسلا ىلإ عفدج نّيعم عىضىم نع تىّيعم ثامىلعم ىلإ تحاحلاف
/Fa 'l-ḥājatu ɂilā maҁlūmātin muҁayyanatin ҁan mawḍūҁin muҁayyanin tadfaҁu ɂilā 'r-rujūҁi ɂilā 'l-majallāti 'l-mutaxaṣṣaṣati./
'Kebutuhan akan informasi tertentu tentang topik tertentu mendorong (orang) untuk kembali kepada (keberadaan) majalah dengan topik yang khusus.'
(17)
. ِهِل َّكَىُم ْنَع َتَمْهُّتلا يِماَحُ ْلْا َعَفَد
/Dafaҁa 'l-muḥāmī 't-tuhmata ҁan muwakkalihi./
'Pengacara membela kliennya dari tuduhan.'
Verba dafaҁa dalam contoh (15), (16), dan (17) di atas merupakan unsur penguasa, sedangkan frase preposisi ɂilā 'r-rujūҁi ‘kembali’ dan ҁan muwakkilihi 'kliennya' merupakan unsur pewatas dan sekaligus sebagai penentu makna verba dafaҁa. Verba dafaҁa secara leksikal bermakna 'membayar' setelah bersanding dengan
9
preposisi ɂilā berubah maknanya secara internal menjadi 'mendorong' seperti pada (16) dan berubah maknanya secara internal menjadi 'membela' saat bersanding dengan preposisi ҁan seperti pada contoh (17) Artinya, preposisi ilā dan ҁan menjadi penentu berubahnya makna verba dafaҁa dari makna leksikalnya menjadi makna internal (internal meaning) atau makna struktural (structural meaning) (Kridalaksana, 1984:120).
1.4 Simpulan
Verba berpreposisi adalah gejala bahasa yang banyak dimiliki oleh bahasa- bahasa alami termasuk dimiliki juga oleh bahasa Arab. Ada dua macam verba berpreposisi dalam bahasa Arab. Pertama, verba berpreposisi yang secara struktural sudah teradat dan tidak bisa dipisahkan atau bersifat obligatori, kedua verba berpreposisi yang kehadirannya karena tuntutan verba yang memiliki makna lokatif (menunjukkan tempat) dan kehadiran preposisi bersifat opsional. Verba berpreposisi yang sudah teradat membentuk struktur idiomatis yang memiliki makna khusus yang berbeda dari makna leksikalnya meski ada juga yang tetap memiliki makna leksikalnya. Sementara verba berpreposisi karena tuntutan verba lokatif hanya memiliki makna leksikal. Struktur ini harus dipahami baik oleh pengajar maupun pembelajar bahasa Arab agar pemahaman terhadap bahasa Arab menjadi lebih baik.
DAFTAR PUTAKA
Abboud, Peter F, et al. 1975. Elementary Modern Standard Arabic (volume 1). Ann Arbor Michigan: University of Michigan.
Badri, Kamal Ibrahim. 1984. Ɂaz-Zaman fī ‘n-Naḥwi ‘l-ҁaraby. Riyaḍ: Dar Umayyah li
‘n-Našr wa ‘t-Tawzīҁ Chafe, Wallace L.
1970. Meaning and the Structure of Language. Chicago: Chicago University Press.
Cook, Walter A., S.J.
1979. Case Grammar: Development of the Matrix Model (1970-1978). Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Hawkins, John A. 1983. Word Order Universals. San Diego, Calif.: Academic Press Inc.
Haywood, J.A. dan Nahmad.
1962. A New Arabic Grammar. London: Lund-Humphries Khuli, Dr. Muhammad Ali Al-
1982. A Dictionary of Thoretical Linguistics. Beirut: Librairie du Liban Imamuddin, Basuni dan Ishaq, Nashiroh
2003. Kamus Idiom Arab-Indonesia Pola Aktif. Depok: Ulinnuha Press.
Keraf, Gorys.
1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti.
1984. Kamus Linguistik (edisi kedua). Jakarta: Gramedia.
1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Nasr, Raja T.
1967. The Structure of Arabic: From Sound to Sentence. Beirut: Librairie du Liban.
Sudaryanto.
10
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana.
Verhaar, J.W.M.
1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahab, A. 1990. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press.
11 Lampiran:
Daftar Verba Berpreposisi dalam Bahasa Arab
No. Struktur Makna
1
ىلع ىنثأ
Memuji2
نع باحأ
menjawab3
ىلإ ي َّد َ
أ
melakukan4
نع باحأ
menjawab5
ىلإ جاخحا
butuh6
نع فلخخا
berbeda dengan7
ـب ربخأ
menginformasikan8
ىلإ مالخطا
kembali bertobat9
ىلع مالخطا
konsisten10
ـل عمخطا
mendengarkan11
ىلع ىلىخطا
menguasai12
يف عسطأ
mempercepat13
ىلإ عسطأ
cepat menuju14
ىلإ قاخشا
rindu kepada15
ىلإ زاشأ
menunjukkan/mengizinkan16
ىلع زاشأ
menasehati/mengarahkan17
يف كرتش ا
berpartisipasi18
ىلع لمخشا
mengandung/meliputi19
ىلع فسشأ
mengawasi20
ىلع سهظأ
membeberkan21
ىلع دمخعا
berdasarkan atas22
ـب فرتعا
mengakui23
ىلع لبكأ
menjalani/menghadapi24
ىلع سصخكا
terbatas pada25
ـب نمآ
beriman kepada26
ىلع أشوأ
mendidik menjadi27
نع فسصها
pergi meninggalkan28
ىلإ فسصها
memberi perhatian pada29
ىلإ ّمضها
bergabung dengan12
30
ىلع معوأ
memberi nikmat kepada31
ىلإ مظلها
terbagi menjadi32
ىلإ عطلها
berkonsentrasi pada33
نع عطلها
terputus34
ىلإ بللها
pulang ke35
ىلع بللها
berubah sikap kepadanya36
نع ثحب
mencari37
ىلع لصح
berhasil38
ىلإ سضح
datang ke39
ـِب َس َّثَأَج
terpengaruh oleh40
يف َجَّسخج
lulus41
ىلع د ّدسج
sering ke42
ىف د ّدسج
ragu-ragu43
ىلع نواعح
bekerja sama dalam44
ىلإ عفد
mendorong45
نع عفد
mencegah/membela/melindungi46
ـ ب ب ّحز
menyambut/menerima47
يف بغز
senang/suka48
نع بغز
benci/tidak suka49
ىلإ بغز
memohon50
ىلع دعاط
membantu51
نع لأط
bertanya52
ـب حمط
mengizinkan53
ىلع سطيط
menguasai54
ىلع لمع
bekerja untuk55
ـب لمع
mengikuti/melaksanakan56
ـب ماك
melakukan57
ىلع ماك
berdasarkan58
ـل لاك
berkata kepada59
ىلع لصه
turun/tinggal60
ىلإ سظه
memperhatikan13
61
يف سظه
memikirkan62
ـل سظه
memelihara/menjaga63
نيب سظه
mengadili64
ىلإ لام
cenderung65
نع لام
roboh/tumbang66
ىلع ع ّشو
membagikan kepada67
ىلإ لصو
sampai/tiba