• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN PADA SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN DI KOTA AMBON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN PADA SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN DI KOTA AMBON"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

http://jtsl.ub.ac.id 69

ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN PADA SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN DI KOTA AMBON

Analysis of Land Capability in Development Regional Units in Ambon City

Mohammad Amin Lasaiba

1

, Edward Gland Tetelepta

1*

, Roberth Berth Riry

1

, Irvan Lasaiba

2

1 Program Studi Pendidikan Geografi FKIP Unversitas Pattimura, Ambon

2 Jurusan Biologi, FITK IAIN, Ambon

* Penulis korespondensi: tetelepta.geo@gmail.com

Abstrak

Optimalisasi rencana penggunaan lahan dilakukan untuk kemampuan lahan yang berguna untuk konservasi sumber daya lahan sehingga dapat mengurangi masalah degradasi lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat kemampuan lahan dan penetapan fungsi kawasan baik lindung dan budidaya pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Metode yang digunakan pada penelitian adalah deskriptif kuantitatif, terdiri atas tahap pengambilan dan pengolahan data. Pengambilan data dilakukan melalui studi literatur dari beberapa instansi terkait. Sementara analisis data spasial dilakukan dengan menggunakan software Sistem Informasi Geografi (GIS). Hasil penelitian menunjuan bahwa analisis kemampuan lahan hhususnya untuk penentuan fungsi kawasan untuk permukiman mencapai 3.687,35 ha dan kawasan penyangga sekitar 11.755,27 ha. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil wilayah yang sesuai yang dapat dikembangkan untuk pengembangan perkotaan. Hal ini disebabkan faktor pembatas fisik lahan di mana karakterisitik wilayah Kota Ambon yang di didominasi oleh wilayah perbukitan.

Kata kunci: kemampuan, lahan, optimalisasi, wilayah

Abstract

Optimizing land use plans is carried out for land capabilities that are useful for conserving land resources so that they can reduce the problem of land degradation. This study aimed to assess the level of land capacity and determine the function of both protected and cultivated areas in Development Area Units (SWP). The method used in the research is quantitative descriptive, consisting of data collection and processing stages.

Data collection was carried out through literature studies from several related agencies. Meanwhile, spatial data analysis was carried out using Geographic Information System (GIS) software. The results of the research showed that the analysis of land capacity, especially for determining the function of areas for settlement, reached 3,687.35 ha, and the buffer area was around 11,755.27 ha. This indicates that only a small portion of suitable areas can be developed for urban development. This is due to the physical limiting factors of the land where the characteristics of the Ambon City area are dominated by hilly areas.

Keywords: capabilities, land optimization, region

Pendahuluan

Pertambahan penduduk yang terus mengalami peningkatan di daerah perkotaan menjadi fokus utama yang terus dibahas oleh para peneliti dan para pengambil kebijakan (Li dan Yao, 2009). Hal ini disebabkan peningkatan penduduk yang cukup

signifikan yaitu sekitar 50% populasi dunia saat ini yang terkonsentrasi di daerah perkotaan (Ritchie dan Roser, 2018) dan diperkirakan akan mencapai 70% pada tahun 2050 (UNICEF, 2017). Pesatnya laju pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia, terutama pada negara negara berkembang,

(2)

http://jtsl.ub.ac.id 70 merupakan salah satu tantangan utama bagi

pemerintah dan agen perencanaan (Amri dan Giyarsih, 2022). Saat ini, sekitar 3,9 miliar orang - 54 persen dari penduduk dunia yang berdomisili di daerah perkotaan dan diperkirakan akan mencapai 6,3 miliar pada tahun 2050 (United Nations, 2015), dan hampir sekitar 90 persen dari peningkatan penduduk perkotaan kedepan berada di kota-kota dunia yang sedang berkembang (Das dan Angadi, 2022). Penggunaan lahan perkotaan telah menyebaban konsekuensi lingkungan dalam pengembangan ruang kota yang berkelanjutan (Dong et al., 2019) dan moda spasial perubahan lahan perkotaan telah menjadi topik penting dalam bidang penelitian lahan perkotaan (Zhou et al., 2022). Oleh karena itu, tata kelola dan perencanaan yang efektif untuk mencapai bentuk kota yang lebih berkelanjutan sangat penting bagi perencana kota dan pembuat kebijakan (Klein et al., 2017). Kawasan perkotaan dan perluasan ruang diperlukan untuk meminimalkan pemborosan penggunaan sumber daya tak terbarukan, menghindari gangguan keseimbangan ekosistem, mengurangi kesenjangan sosial, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif (Mosammam et al., 2017;

Lasaiba, 2023).

Selama empat dekade, kota-kota di Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang dramatis (Prihatin, 2015). Pertumbuhan penduduk tersebut sangat terkait erat dengan perubahan penggunaan lahan (Leyk et al., 2020). Hal ini menyebabkan nilai jasa ekosistem mengalami penurunan dengan pesat yang didorong oleh urbanisasi selama beberapa dekade terakhir (Liu et al., 2019). Kondisi ini berpengaruh terhadap ketersediaan ruang di kawasan perkotaan yang bersifat tetap dan terbatas yang menyebabkan pengambilan ruang di kawasan suburban (Schibuola dan Tambani, 2020).

Kebutuhan ruang ini berdampak pada kondisi lingkungan menjadi lahan terbangun (Zarlin et al., 2022). Di sisi lain, keterbatasan kapasitas dan ketersediaan lahan disebabkan oleh meningkatnya permintaan lahan perkotaan memerlukan perencanaan penggunaan lahan yang efisien (Kombe dan Kreibich, 2000; Lasaiba, 2023b).

Pertimbangan ini meliputi aspek sumberdaya air, karakteristik tanah dan batuan, kemiringan lereng serta kerentanan bencana, yang kesemuanya merupakan pencerminan dari kemampuan lahan (Kumar et al., 2021). Hal ini disebabkan setiap lahan mempunyai kemampuan yang terbatas dan berbeda antara suatu kawasan (Guisan dan Thuiller, 2005).

Pembangunan fisik perkotaan yang berkelanjutan dan inklusif diperlukan untuk mencegah race to the

bottom (Wheeler, 2001), sekaligus pengelolaan sumber daya perkotaan, terutama jumlah lahan yang langka (Ubink dan Quan, 2008).

Kemampuan lahan merupakan cerminan dari kondisi tanah, topografi, iklim dan hidrologi, serta dinamikanya yang berlangsung terutama erosi, banjir dan lain-lain (Duwila et al., 2019). Analisis kemampuan lahan berupa karakteristik fisik batuan, lereng, kerawanan geologi, potensi air tanah, drainase, dan curah hujan sangat penting dalam menentukan kemampuan lahan (Agnar et al., 2020).

Optimalisasi rencana penggunaan lahan dilakukan berdasarkan kemampuan lahan yang berguna untuk konservasi sumber daya tanah (De Feudis et al., 2021). Metode klasifikasi kemampuan lahan membantu mengurangi masalah degradasi lahan (Costa et al., 2019). Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan untuk menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya (Syaprillah, 2009). Bertolak dari hal tersebut, kebijakan RTRW wilayah Kota Ambon telah mengalami perkembangan yang signifikan, maka penting untuk mengatur pertumbuhan alokasi ruang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menilai tingkat kemampuan lahan dan penetapan fungsi kawasan baik lindung dan budidaya pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kota Ambon.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan secara deskriptif eksploratif melalui kegiatan fieldwork dan labwork yang mencakup pembuatan peta satuan lahan, pengamatan lapangan untuk pengambilan sampel tanah, dan analisis laboratorium. Lokasi pusat penelitian di Kota Ambon yang secara umum berada di tengah Provinsi Maluku dan termasuk dalam klaster Kepulauan Ambon dan Lease, yang secara geografis terletak antara 300-400 lintang selatan dan 1280-1290 bujur timur, dengan luas wilayah sekitar 359,45 km2 serta garis pantai sepanjang 98 km, yang terbagi menjadi empat kecamatan dan 46 kelurahan (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan mulai Januari, melibatkan serangkaian kegiatan lapangan dan laboratorium yang berlangsung hingga Agustus 2023.

Alat yang digunakan dalam kegiatan lapangan melibatkan sejumlah perangkat, termasuk Global Positioning System (GPS) Genggam Garmin, kompas geologi, kamera digital, alat tulis lapangan, meteran, bor tanah, ring sampel, klinometer, kantong plastik, label, serta perangkat lunak seperti Ms. Excel, Er mapper 7.0, ArcGIS 9.3, dan Global Mapper 15.0.

(3)

http://jtsl.ub.ac.id 71 Gambar 1. Lokasi penelitian Kota Ambon dengan cakupan Pulau Ambon.

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui pendekatan primer dan sekunder. Data primer melibatkan citra satelit Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2022 (Path 109, Row 63) zona 52 dengan datum WGS 1984 yang diperoleh dari United States Geology Survey, digunakan untuk ekstraksi peta penggunaan lahan, sementara Digital Elevation Model Shuttle Radar Topography Mission (DEM SRTM) dengan resolusi 30 m digunakan untuk ekstraksi peta lereng. Sebagai data sekunder, digunakan peta curah hujan yang diperoleh dari Stasion Meterologi dan Klimatologi Maluku, peta tanah yang diperoleh dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, serta peta administrasi dan peta sentra pengembangan dari kota Bappeda. Selain itu, observasi lapangan juga dilakukan sebagai dasar penilaian akurasi data yang digunakan.

Penentuan titik pengamatan (site sampling) dalam penelitian ini mengikuti metode purposive sampling, pada setiap satuan peta lahan (SPL). Proses pembuatan SPL melibatkan penggabungan atau overlay dari empat peta utama, yaitu peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta curah hujan. Tahap akhir dalam penentuan jumlah SPL melibatkan eliminasi SPL yang tidak memenuhi luasan skala ketelitian peta. Hasil eliminasi ini menghasilkan 12 SPL yang masing- masing akan diamati sebanyak 3 kali, menghasilkan total 36 titik pengamatan dan sampel. Observasi lapangan mencakup deskripsi morfologi lingkungan, termasuk karakteristik seperti kemiringan lereng, tingkat erosi, kedalaman tanah, intensitas hujan, dan tipe batuan permukaan.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada kedalaman 0-30 cm untuk analisis bahan organik dan tekstur lapisan atas, yang kemudian digunakan untuk menghitung besarnya kepekaan erosi.

Sementara itu, tanah pada kedalaman 30-60 cm diambil untuk analisis tekstur lapisan bawah.

Selama survei lapangan, juga dilakukan pengamatan

terkait parameter lain seperti kemiringan lereng, tingkat erosi, kedalaman tanah, drainase, kerikil/batuan, dan potensi ancaman banjir.

Pengolahan citra Landsat 8 OLI/TIRS terdiri atas beberapa tahap yang mencakup pra- pemrosesan citra, kalibrasi radiometrik, interpretasi visual citra menggunakan teknik band math, klasifikasi citra, dan pengujian akurasi. Tahap kalibrasi radiometrik, nilai piksel (nomor digital) pada citra diubah menjadi nilai reflektansi, yang memungkinkan pengukuran yang lebih akurat.

Interpretasi visual citra dilakukan dengan memanfaatkan karakteristik spasial objek menggunakan band NDVI untuk mengungkapkan vegetasi. Proses akhir melibatkan pengujian akurasi yang mencakup akurasi pengguna, akurasi produsen, akurasi keseluruhan, dan nilai Kappa.

Hal ini memungkinkan penilaian tingkat kesalahan dalam klasifikasi citra dan penentuan persentase akurasi pemetaan secara keseluruhan.

Analisis kemampuan lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif spasial. Analisis deskriptif spasial digunakan untuk menentukan kemampuan lahan agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan lahan dengan menggunakan analisis overlay pada peta dasar yang digunakan. Metode overlay adalah sebuah metode yang terdapat dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) yang diimplementasikan dalam bentuk grafis yang terbentuk dari penggabungan berbagai peta individu, masing-masing memiliki informasi/data yang spesifik. Setelah analisis overlay dilakukan, selanjutnya dilakukan penilaian kelas kemampuan lahan berdasarkan karakteristik tanah yang diperoleh, peta kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan. Analisis kemampuan lahan adalah suatu penilaian untuk penggunaan tertentu yang dinilai dari faktor penghambat. Klasifikasi kemampuan lahan adalah suatu proses penilaian lahan secara sistematik dan pengelompokannya ke

(4)

http://jtsl.ub.ac.id 72 dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat

yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara berkelanjutan. Hasil analisis kemampuan lahan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelas kemampuan lahan untuk setiap satuan lahan di wilayah penelitian yang dinilai.

Analisis fungsi kawasan berdasarkan overlay jenis tanah, lereng, dan curah hujan adalah pendekatan yang penting dalam perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah. Faktor-faktor geografis seperti jenis tanah, lereng, dan curah hujan digunakan untuk menentukan fungsi kawasan yang paling sesuai. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan wilayah menjadi lebih spesifik, mempertimbangkan karakteristik alam yang unik dan meminimalkan dampak negatif pengembangan.

Pertama-tama, overlay jenis tanah adalah langkah awal dalam analisis ini. Jenis tanah memiliki dampak signifikan terhadap penggunaan lahan. Tanah subur mungkin lebih cocok untuk pertanian, sementara tanah berbatu mungkin lebih cocok untuk konservasi. Overlay dengan faktor lereng menjadi faktor penentu lainnya. Wilayah dengan lereng yang sangat curam mungkin tidak cocok untuk pembangunan permukiman karena risiko longsor, sementara lereng yang lebih datar mungkin lebih cocok untuk pengembangan hunian. Selain itu, curah hujan adalah faktor penting dalam menentukan fungsi kawasan. Wilayah dengan curah hujan tinggi mungkin lebih cocok untuk fungsi lindung, seperti kawasan hutan yang dapat membantu mengendalikan erosi dan banjir. Di sisi lain, wilayah dengan curah hujan lebih rendah mungkin lebih sesuai untuk fungsi permukiman atau pertanian.

Hasil dan Pembahasan

Analisis citra dan evaluasi akurasi klasifikasi penggunaan lahan

Proses koreksi radiometrik dilakukan dengan mengurangkan nilai digital pada setiap band citra dengan nilai statistik minimum, sehingga nilai koreksi radiometrik pada citra Landsat 8 setelah aplikasi koreksi algoritma adalah memiliki nilai minimum 0 dan maksimum 1. Hal ini memastikan bahwa citra yang digunakan telah diperbaiki secara radiometrik dan memiliki kualitas yang baik.

Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 15 titik kendali permukaan (Ground Control Points - GCPs), dan hasilnya menunjukkan kesalahan RMS sebesar 0,00000, yang menandakan hasil yang sangat baik dalam mengoreksi distorsi geometrik citra. Uji akurasi dilakukan dengan metode pengambilan sampel acak bersampel berlapis, yang mencakup 350 titik sampel untuk setiap kelas penggunaan lahan.

Uji akurasi tang disajikan pada Tabel 1 menggambarkan hasil uji akurasi klasifikasi penggunaan lahan menggunakan data dari Google Earth tahun 2022. Matriks ini membandingkan kelas tutupan lahan yang diprediksi (baris) dengan kelas tutupan lahan sebenarnya di Google Earth (kolom). Tingkat akurasi dalam klasifikasi penggunaan lahan bervariasi antara 48 hingga 98.0% untuk akurasi pengguna (user's accuracy) dan antara 70.0 hingga 100% untuk akurasi produsen (producer's accuracy). Hasil ini menunjukkan bahwa klasifikasi citra secara umum memberikan gambaran yang baik tentang penggunaan lahan sesuai dengan kondisi lapangan.

Tabel 1. Matriks confusion untuk pengujian akurasi penggunaan lahan.

Kelas Tutupan Lahan

Google Earth (Tahun 2022) Hutan Tubuh

Air

Kebun

Campuran Lahan Kosong

Area

Terbangun Perkebunan Semak

Belukar Total User’s accuracy

Hutan 49 0 0 0 0 1 0 50 98.0%

Tubuh Air 3 24 0 9 0 0 14 50 48.0%

Kebun

Campuran 9 0 31 4 0 3 3 50 62.0%

Lahan

Kosong 0 0 5 34 0 0 11 50 68.0%

Area

Terbangun 3 0 3 0 42 0 2 50 84.0%

Perkebunan 3 0 9 6 0 32 0 50 64.0%

Semak

Belukar 3 0 3 4 3 0 37 50 74.0%

Total 70 24 51 57 45 36 67 350

Producer’s

accuracy 70.0% 100.0% 60.8% 59.6% 93.3% 88.9% 55.2%

(5)

http://jtsl.ub.ac.id 73 Gambar 2. Peta penggunaan lahan Kota Ambon.

Menurut Anderson (1976), 85%, sebagai nilai akurasi minimum dapat diterima. Sebaran spasial dari pengunaan lahan pada Gambar 2.

Analisis kemampuan lahan berdasarkan SWP Analisis kemampuan lahan berdasarkan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) merupakan langkah penting dalam perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah. SWP adalah wilayah yang dibatasi oleh faktor geografis, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang memiliki karakteristik tertentu..

Data geobiofisik wilayah yang telah diperoleh kemudian dikonversi dalam data spasial untuk berdasarkan data atribut yang ada. Selanjutnya melakukan tumpang tindih (overlay) antara semua parameter geobiofisik wilayah yang digunakan.

Klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan SWP ini tersaji pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2, klasifikasi kemampuan lahan dari hasil yang diperoleh disajikan dengan mengikuti batas wilayah perbagian wilayah Kota Ambon yang mencakup 12 kelurahan. Berdasarkan overlay peta didapatkan gambaran komprehensif tentang klasifikasi kemampuan lahan di berbagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Data ini penting dalam pemahaman potensi penggunaan lahan di wilayah Kota Ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan pada

daerah penelitian berkisar antara kelas III hingga kelas VI. Kemampuan lahan kelas III tersebar pada beberapa Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), sedangkan lahan dengan kelas kemampuan VI memiliki faktor penghambat seperti permeabilitas tanah yang cepat dan erodibilitas tinggi serta letaknya pada lereng yang curam sehingga penggunaannya sangat tidak sesuai untuk lahan kebun campuran atau pertanian.

Kawasan khusus, sebagai SWP pertama, menunjukkan variasi signifikan dalam kemampuan lahan, dengan Kelas III yang mendominasi dengan luas mencapai 2.771.586 ha (8,66%) dan Kelas IV dengan luas 1.929.888 ha (6,03%). SWP I menampilkan potensi pengembangan lahan dengan Kelas II sebagai yang terluas, mencapai 1.566.212 hektar (4,89%). SWP II menunjukkan beragam karakteristik lahan dengan dominasi Kelas III dan IV. SWP III menampilkan dominasi Kelas III dengan luas 2.809.939 ha (8,78%). SWP IV menunjukkan distribusi yang lebih merata antara Kelas III dan IV. SWP V menampilkan Kelas IV sebagai yang terluas, mencapai 1.786.600 ha (5,58%). Hasil ini memberikan landasan yang kuat untuk perencanaan penggunaan lahan di berbagai SWP, dengan menyoroti potensi dan tantangan yang terkait dengan masing-masing kelas kemampuan lahan.

(6)

http://jtsl.ub.ac.id 74 Tabel 2. Kelas kemampuan lahan satuan wilayah pengembangan.

No Satuan Wilayah Pengembangan Kelas Luas (ha) Persentase 1. Kawasan Khusus

I 1.270.511 3,97

II 684.731 2,14

III 2.771.586 8,66

IV 1.929.888 6,03

2. SWP I

I 561.178 1,75

II 1.566.212 4,89

III 604.810 1,89

IV 447.120 1,40

3. SWP II

I 1.075.619 3,36

II 916.520 2,86

III 171.3608 5,35

IV 1.921.363 6,00

V 370.657 1,16

4. SWP III

I 769.530 2,40

II 190.717 0,60

III 2809.939 8,78

IV 1.754.807 5,48

V 176.904 0,55

5. SWP IV

I 296.688 0,93

II 296.358 0,93

III 2.949.652 9,22

IV 2.499.676 7,81

V 379.008 0,12

6. SWP V

I 481.004 1,50

II 7660.24 2,39

III 1.19.562 3,81

IV 1.786.600 5,58

V 131.435 0,41

Data ini akan membantu pihak berwenang dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan wilayah dan pembangunan berkelanjutan di Kota Ambon. Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan dan semua kegiatan budidaya dapat dilakukan karena hampir atau hanya sedikit faktor pembatasnya. Kelas kemampuan lahan II, sebagian besar tersebar pada SWP II dengan luas 1.566.212 ha. Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang.

Arahan pemanfaatan yang lebih cocok pada kelas ini, yaitu dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya tetapi tidak seintesif pada Kelas I. Secara keseluruhan, lahan di seluruh SWP berpotensi dilakukan kegiatan pembangunan atau kegiatan budidaya. A danya lahan Kelas II diharapkan dapat menyangga kegiatan pemanfaatan lahan

untuk budidaya. Kelas kemapuan lahan kelas III hingga IV diarahkan untuk kawasan lindung karena memiliki hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkan memerlukan tindakan konservasi yang berat. Lahan dengan kelas kemampuan VI memiliki faktor penghambat seperti permeabilitas tanah yang cepat dan erodibilitas tinggi serta letaknya pada lereng yang curam sehingga penggunaannya sangat tidak sesuai untuk lahan kebun campuran atau pertanian. Peta kemampuan lahan yang tersebar pada SWP disajikan pada Gambar 3.

Analisis fungsi kawasan

Analisis Penetapan Fungsi Kawasan digunakan untuk menetapkan tingkat perlindungan kemampuan lahan yang sesuai di suatu lokasi dengan kondisi aktual (penggunaan lahan saat ini).

Mengingat kawasan lindung berfungsi sebagai penyeimbang keadaan lingkungan kawasan lindung maupun sekitarnya, hal ini mutlak diperlukan.

(7)

http://jtsl.ub.ac.id 75 Penentuan zona lindung dan zona budidaya

didasarkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota, tersebut

menghasilkan suatu perwilayahan kelayakan lahan yang dapat dibudidayakan dan tidak dapat dibudidayakan (area lindung).

Gambar 3. Peta kemampuan lahan Kota Ambon.

Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Ambon sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng sangat terjal sekitar 33,39%, sementara dataran rendah meliputi daerah yang sempit dengan lereng datar hingga agak datar (0-8%) meliputi luas yang kecil yaitu sebesar 15,80% dan sebagian besar telah dikembangkan untuk pemukiman penduduk maupun fasilitas- fasilitas penunjang kota lainnya. Dasarnya kondisi topografi suatu wilayah atau kawasan dapat menunjukkan kestabilan lereng, penentuan arah buangan air, serta menunjukkan wilayah-wilayah yang rawan erosi serta gerakan tanah.

Berdasarkan jenis tanah, sebagian besar wilayah Kota Ambon memiliki satuan jenis tanah kambisol, litosol dan regosol dengan luasan 23.599,71 ha atau 73,31%, sedangkan yang terkecil yaitu tersebar pada satuan jenis tanah litosol, dan kambisol yaitu seluas 1,969,064 ha. Hal ini menunjukkan bahwa hampir keseluruhan wilayah Kota Ambon memiliki karakteristik tanah berwarna coklat sampai gelap kekelabuan sampai coklat kekelabuan, tekstur geluh lempung pasiran (sandy

clay loam) sampai geluh debuan (silty loam), dengan bahan induk dari batu pasir, granit dan peridotit- serpentin.

Curah hujan di daerah penelitian berdasarkan data Stasiun Meteorologi Pattimura Ambon memiliki curah hujan rata-rata tahunan yang cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir (2013-2022) yaitu rata-rata sekitar 26,162 m, dengan jumlah hari hujan sekitar 2309 hari. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas hujan cukup tinggi dan dari setiap tahunnya rata-rata terdapat 10,4 bulan basah dan 1,5 rata-rata bulan kering, sehingga dalam setiap tahun, curah hujan yang terjadi di daerah penelitian cukup intensif walaupun pada musim kemarau.

Klasifikasi Fungsi Lahan di Kota Ambon pada Tabel 3 menyajikan nilai skor klasifikasi fungsi lahan untuk berbagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kota Ambon. Nilai-nilai ini mencerminkan karakteristik penting yang memengaruhi fungsi lahan, termasuk kualitas tanah, kemiringan lereng, dan pola hujan. Kawasan Khusus memiliki total skor tertinggi sebesar 145, menunjukkan multifungsi potensialnya. Dalam

(8)

http://jtsl.ub.ac.id 76 SWP I, variasi skor mencerminkan peran beragam,

mulai dari kawasan penyangga hingga permukiman dan lindung, dengan total skor mencapai 175. SWP II menunjukkan karakteristik beragam pula, dengan penekanan pada fungsi permukiman dan lindung.

SWP III menunjukkan dominasi fungsi penyangga dan lindung, dengan total skor 175. SWP IV menunjukkan distribusi keseimbangan antara

fungsi permukiman, penyangga, dan lindung. SWP V menampilkan variasi yang kuat, dengan beton lebih pada fungsi penyangga dan lindung. Tabel 3 memberikan pandangan yang berharga tentang potensi penggunaan lahan dan pengelolaan wilayah, yang akan menjadi landasan penting dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan dan kebijakan lahan di Kota Ambon.

Tabel 3. Nilai skor klasifikasi fungsi lahan di Kota Ambon.

Satuan Wilayah

Pengembangan Skor Nilai Skor Klasifikasi Fungsi Lahan

Tanah Lereng Hujan Kawasan Khusus

35 80 30 145 Kawasan Penyangga

25 40 30 105 Kawasan Permukiman

35 60 30 125 Kawasan Penyangga

45 100 30 165 Kawasan Lindung

SWP I

15 80 30 125 Kawasan Penyangga

15 40 30 85 Kawasan Permukiman

45 100 30 175 Kawasan Lindung

30 20 30 80 Kawasan Permukiman

SWP II

15 80 30 125 Kawasan Penyangga

15 40 30 85 Kawasan Permukiman

15 60 30 105 Kawasan Permukiman

45 100 30 175 Kawasan Lindung

SWP III

15 80 30 125 Kawasan Penyangga

15 40 30 85 Kawasan Permukiman

15 60 30 105 Kawasan Permukiman

45 100 30 175 Kawasan Lindung

SWP IV

35 80 30 145 Kawasan Permukiman

15 40 30 85 Kawasan Permukiman

30 60 30 120 Kawasan Penyangga

35 100 30 165 Kawasan Lindung

SWP V

15 80 30 125 Kawasan Penyangga

30 40 30 100 Kawasan Permukiman

45 100 30 175 Kawasan Lindung

75 20 30 125 Kawasan Penyangga

Data ini menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik setiap SWP, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cerdas dalam pengembangan dan pelestarian wilayah tersebut.

Kelas kemampuan lahan untuk kawasan permukiman (terbangun) mencapai 3687,35 dari luas total kawasan, kawasan penyangga sekitar 11755,27 ha dan kawasan lindung sekitar 16750,05.

Hal ini menunjukan bahwa hanya sebagian kecil wilayah yang dapat dikembangkan untuk permukiman yang tersebar pada lahan datar dan sebagian pada wilayah perbukitan dimana diketahui bahwa wilayah Kota Ambon yang di dominasi oleh daerah perbukitan maka diharapkan dapat mendukung secara ekologis kegiatan pembangunan di kawasan perkotaan Ambon dapat diarahkan di

SWP Akan tetapi pengembangan kawasan penyangga dapat pula diaplikasikan dalam bentuk pengembangan RTH atau kawasan hijau, sebagai bentuk dukungan ekologis dan jasa lingkungan yang dapat mengimbangi kegiatan pengembangan permukiman di SWP tersebut.

Pembahasan

Analisis citra dan evaluasi akurasi klasifikasi penggunaan lahan adalah tahap krusial dalam pengolahan data citra satelit dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua jenis akurasi, yaitu akurasi pengguna dan akurasi produsen, memiliki peran penting dalam memastikan klasifikasi penggunaan lahan yang andal. Akurasi pengguna memungkinkan kita untuk menilai sejauh mana

(9)

http://jtsl.ub.ac.id 77 klasifikasi dapat mengidentifikasi kelas yang benar

dalam citra satelit. Akurasi produsen membantu kita memahami sejauh mana klasifikasi dapat mengidentifikasi semua kelas yang ada di wilayah yang diobservasi. Kita dapat memastikan bahwa klasifikasi penggunaan lahan memberikan hasil yang dapat diandalkan untuk berbagai aplikasi dengan menjaga keseimbangan antara keduanya, termasuk perencanaan penggunaan lahan, pemantauan lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Penting untuk mencatat bahwa tingkat akurasi klasifikasi dapat bervariasi tergantung pada metode yang digunakan dan citra satelit yang dianalisis.

Hasil penelitian menunjukkan variasi dalam tingkat akurasi klasifikasi penggunaan lahan. Misalnya, metode Maximum Likelihood Classification (MLC) pada Citra Landsat-8 mencapai tingkat akurasi yang tinggi sekitar 98% dengan koefisien Kappa sebesar 0,8609. Penelitian yang dilakukan oleh Nirtanto et al. (2022) dengan mengkombinasikan MLC dan Support Vector Machine (SVM) pada Citra satelit Sentinel-2 dan Landsat-8 juga mencapai tingkat akurasi yang baik, berkisar antara 72,9% hingga 98%, dengan koefisien Kappa mencapai 0,6 hingga 0,95. Kendati tingkat akurasi klasifikasi dalam penelitian tertentu mungkin tidak mencapai tingkat yang sangat tinggi, keberhasilan dalam menggabungkan waktu eksekusi yang cepat, seperti yang ditemukan dalam penelitian Wulansari (2017) dengan algoritma MLC yang hanya memerlukan sekitar 10 detik, dapat menjadi indikasi penting dalam mempertimbangkan metode yang paling cocok untuk keperluan analisis citra dan pengelolaan sumber daya alam yang spesifik.

Analisis kemampuan lahan berdasarkan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di daerah penelitian menjadi komponen penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam serta pembangunan wilayah. Konteks penelitian ini, hasil analisis menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan berkisar antara kelas III hingga kelas VI. Kelas kemampuan lahan kelas III tersebar di beberapa SWP, menunjukkan potensi penggunaan lahan yang lebih baik untuk berbagai tujuan, termasuk pertanian maupun penggunaan nonpertanian. Di sisi lain, lahan dengan kelas kemampuan VI memiliki kendala seperti tingginya erodibilitas tanah dan permeabilitas tanah yang cepat, serta letaknya pada lereng yang curam, sehingga penggunaannya menjadi tidak sesuai untuk lahan kebun campuran atau pertanian.

Temuan ini sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian serupa di Daerah Aliran

Sungai Alo, Provinsi Gorontalo, yang juga mencerminkan pentingnya memahami karakteristik lahan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik dalam penggunaan dan pengembangan lahan (Eraku dan Permana, 2020).

Selain itu, penelitian terkait seperti yang dilakukan oleh Gunena et al. (2020) di Pulau Tagulandang menunjukkan adanya variasi kelas kemampuan lahan, berkisar antara kelas III hingga kelas VI, dengan dominasi Kelas III pada SWP III.

Ini menyoroti keanekaragaman potensi lahan di daerah tersebut dan menjadi landasan penting dalam perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan Adi et al.

(2022) untuk menentukan kemampuan lahan Desa Bengkaung dalam pengembangan kawasan destinasi wisata juga menggarisbawahi pentingnya identifikasi kelas kemampuan lahan dalam mengarahkan pengembangan yang sesuai. Hasil penelitian ini memberikan wawasan tentang lokasi yang cocok untuk pengembangan wisata yang sesuai dengan karakteristik lahan setempat.

Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Widyastuty et al. (2020) di Kecamatan Manyar, Gresik, menunjukkan adanya dua kelas pengembangan lahan, yaitu pengembangan sangat tinggi dan tinggi, yang membantu menentukan prioritas pengembangan lokasi permukiman. Analisis kemampuan lahan memberikan dasar yang kuat untuk perencanaan dan pengembangan yang lebih berkelanjutan dan efisien di berbagai konteks geografis.

Penetapan fungsi kawasan merupakan langkah penting dalam perencanaan tata ruang yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah potensi kerusakan lingkungan yang dapat berdampak pada keselamatan, kesejahteraan, dan kualitas hidup manusia. Hasil penelitian Anda menggambarkan keragaman fungsi kawasan dalam berbagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) yang menjadi panduan bagi pembuat kebijakan.

SWP I, misalnya, menunjukkan variasi skor yang mencerminkan peran beragam, mulai dari kawasan penyangga hingga permukiman dan lindung, yang berkontribusi pada total skor 175. SWP II dan SWP III, penekanan terutama pada fungsi permukiman dan lindung, sementara SWP IV menampilkan distribusi keseimbangan antara fungsi permukiman, penyangga, dan lindung. SWP V, di sisi lain, menampilkan variasi yang kuat dengan penekanan lebih pada fungsi penyangga dan lindung.

Pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan dan pengembangan wilayah dapat diarahkan dengan lebih efisien dan berkelanjutan. Studi

(10)

http://jtsl.ub.ac.id 78 Baharudin (2014) di Kabupaten Sleman,

Yogyakarta, mengilustrasikan pentingnya evaluasi fungsi kawasan dengan menghubungkan lahan existing dan Rencana Tata Ruang. Hasil analisis overlay fungsi kawasan dengan lahan yang ada menunjukkan bahwa sekitar 48,31% dari total luas wilayah sesuai dengan rencana tata ruang, sementara sekitar 51,69% tidak sesuai. Studi semacam ini memberikan informasi berharga untuk mengevaluasi sejauh mana penggunaan lahan aktual sesuai dengan tujuan perencanaan tata ruang, dan membantu dalam menentukan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.

Penelitian Irnawati dan Sumaryono (2011) di Kota Sorong, Papua Barat, yang menggunakan sistem informasi geografis untuk menganalisis fungsi kawasan pemanfaatan lahan, memunculkan temuan bahwa kondisi penggunaan lahan tidak sepenuhnya cocok dengan fungsi wilayah sesuai rencana tata ruang. Walaupun demikian, dampaknya mungkin tidak signifikan, karena penggunaan lahan tersebut tidak bertentangan dengan fungsi wilayah secara substansial. Ini mencerminkan kompleksitas dan tantangan dalam mencapai kesesuaian antara penggunaan lahan aktual dan perencanaan tata ruang. Penelitian Budiarta (2020) di Daerah Aliran Sungai Buleleng menekankan pentingnya menentukan tingkat kesesuaian penggunaan lahan dan zona fungsi kawasan dalam konteks DAS. Ini membantu mengidentifikasi apakah penggunaan lahan di suatu wilayah sesuai dengan tujuan perlindungan dan pemanfaatan wilayah sungai. Kesesuaian ini menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam di daerah aliran sungai yang sering kali menjadi sumber air dan sumber daya alam penting bagi masyarakat setempat. Penelitian semacam ini memberikan dasar yang kuat bagi pembuat kebijakan untuk mengarahkan pengembangan wilayah dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan keberlanjutan.

Ucapan Terima Kasih

Penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak dalam penyelenggaraan penelitian ini. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura telah memberikan dukungan dana yang sangat berarti untuk mendukung penelitian ini. Selain itu, apresiasi yang setinggi-tingginya juga diberikan kepada Bappeda Kota, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Pemerintah Kota Ambon, BPS Kota Ambon, yang telah berperan penting dalam menyediakan

data dan informasi yang mendukung penelitian ini.

Daftar Pustaka

Adi, W.B., Sukuryadi, Muladi, A., Rakhman, F. Dan Rais, A.K. 2022. Analisis kemampuan lahan Desa Bengkaung untuk arahan pengembangan kawasan destinasi wisata. Geo Image 11(2):148-161, doi:10.15294/geoimage.v11i2.58148.

Agnar, A.A., Brilian, C.H., Barkah, M.N. dan Suganda, B.R. 2020. Evaluasi lahan permukiman berdasarkan analisis geologi lingkungan daerah Tanjungjaya Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.

Padjadjaran Geoscience Journal 4(5):401-410.

Amri, I. Dan Giyarsih, S.R. 2022. Monitoring urban physical growth in tsunami-affected areas: a case study of Banda Aceh City, Indonesia. GeoJournal 87(3):1929-1944, doi:10.1007/s10708-020-10362-6.

Anderson, R.H. 1976. Selecting and developing media for instruction. Van Nostrand Reinhold; American Society for Training and Development.

Costa, R.C.A., Pereira, G.T., Pissarra, T.C., Siqueira, S.D., Fernandes, S.L.F., Vasconcelos, V., Fernandes, L.A. and Pacheco, F.A.L. 2019. Land capability of multiple-landform watersheds with environmental land use conflicts. Land Use Policy 81:689-704, doi:10.1016/j.landusepol.2018.11.041.

Baharudin, N.A. 2014. Analisis evaluasi fungsi kawasan dengan kondisi lahan existing dan rencana tata ruang wilayah di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jurnal Institut Teknologi Nasional 4(2):14-23.

Budiarta, I.G. 2020. Identifikasi potensi lahan dan fungsi kawasan untuk pengembangan kawasan budidaya pertanian lahan kering di Daerah Aliran Sungai Buleleng. Jurnal ENMAP 1(1):1-10, doi:10.23887/em.v1i1.26710.

Das, S. Dan Angadi, D.P. 2022. Land use land cover change detection and monitoring of urban growth using remote sensing and GIS techniques: a micro- level study. GeoJournal 87(3):2101-2123, doi:10.1007/s10708-020-10359-1.

De Feudis, M., Falsone, G., Gherardi, M., Speranza, M., Vianello, G. dan Antisari, V.L. 2020). GIS-based soil maps as tools to evaluate land capability and suitability in a coastal reclaimed area (Ravenna, northern Italy). International Soil and Water Conservation Research 9(2):167-179, doi:10.1016/j.iswcr.2020.11.007.

Dong, T., Jiao, L., Xu, G., Yang, L. and Liu, J. 2019.

Towards sustainability? Analyzing changing urban form patterns in the United States, Europe, and China. Science of The Total Environment 671:632- 643, doi:10.1016/j.scitotenv.2019.03.269.

Duwila, R., Tarore, R.C. and Takumansang, E.D. 2019.

Analysis of land capability on Sulabesi Island, Sula Islands Regency. Spasial 6(3):703-713.

Eraku, S. dan Permana, A.P. 2020. Analisis kemampuan dan kesesuaian lahan di DAS Alo Provinsi

(11)

http://jtsl.ub.ac.id 79 Gorontalo. Jukung (Jurnal Teknik Lingkungan)

6(1):86-99, doi:10.20527/jukung.v6i1.8243.

Guisan, A. And Thuiller, W. 2005. Predicting species distribution: offering more than simple habitat models. Ecology Letters 8(9):993-1009, doi:10.1111/j.1461-0248.2005.00792.x.

Gunena, C., Jonkers, P., Franklin, C., Tilaar, S., Pengajar, S., Prodi, S., Wilayah, P. dan Sam, U. 2020. Analisis kemampuan lahan terhadap RTRW Kabupaten Siau Tagulandang Biaro 2014-2034 (Studi Kasus : Pulau Tagulandang ). Media Matrasain 17(2):24-33, doi:10.35792/matrasain.v17i2.37037.

Irnawati, dan Sumaryono, M. 2011. Analisis fungsi kawasan dengan penerapan Sistem Informasi Geografis di wilayah Kota Sorong Provinsi Papua Barat. Kehutanan Tropika Humida 4(1):56–67, doi:10.31227/osf.io/72wn6.

Klein, B., Koenig, R. and Schmitt, G. 2017. Managing urban resilience. Informatik-Spektrum 40(1):35-45, doi:10.1007/s00287-016-1005-2.

Kombe, W.J. and Kreibich, V. 2000. Reconciling informal and formal land management:: an agenda for improving tenure security and urban governance in poor countries. Habitat International 24(2):231- 240, doi:10.1016/S0197-3975(99)00041-7.

Kumar, A., Pramanik, M., Chaudhary, S. and Negi, M.S.

2021. Land evaluation for sustainable development of Himalayan agriculture using RS-GIS in conjunction with analytic hierarchy process and frequency ratio. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences 20(1):1-17, doi:10.1016/j.jssas.2020.10.001.

Lasaiba, M.A. 2023a. Evaluation of settlement land suitability based on remote sensing and geographical information systems in the City of Ambon.

SPATIAL: Wahana Komunikasi dan Informasi Geografi 23(1):70-84.

Lasaiba, M.A. 2023b. Spatial-temporal variation of land use changes in Ambon City. Rekayasa 16(1):84-95, doi:10.21107/rekayasa.v16i1.18799.

Leyk, S., Uhl, J.H., Connor, D.S., Braswell, A.E., Mietkiewicz, N., Balch, J.K. and Gutmann, M. 2020.

Two centuries of settlement and urban development in the United States. Sci. Science Advances 6(23):eaba2937, doi:10.1126/sciadv.aba2937.

Li, B. and Yao, R. 2009. Urbanisation and its impact on building energy consumption and efficiency in China. Renewable Energy 34(9):1994-1998, doi:10.1016/j.renene.2009.02.015.

Liu, W., Zhan, J., Zhao, F., Yan, H., Zhang, F. and Wei, X. 2019. Impacts of urbanization-induced land-use changes on ecosystem services: A case study of the Pearl River Delta Metropolitan Region, China.

Ecological Indicators 98:228-238, doi:10.1016/j.ecolind.2018.10.054.

Mosammam, H.M., Nia, J.T., Khani, H., Teymouri, A.

and Kazemi, M. 2017. Monitoring land use change and measuring urban sprawl based on its spatial forms: The case of Qom city. Egyptian Journal of

Remote Sensing and Space Science 20(1):103-116, doi:10.1016/j.ejrs.2016.08.002.

Nirtanto, I.C., Prasetyo, Y. And Sasmito, B. 2022.

Analisis pemodelan fase tumbuh padi menggunakan citra Synthetic Aperture Radar C-Band Sentinel-1.

Jurnal Geodesi Undip 11(2):61-70, doi:10.14710/jgundip.2022.34404.

Prihatin, R.B. 2015. Alih fungsi lahan di perkotaan (Studi kasus di Kota Bandung dan Yogyakarta). Jurnal Aspirasi 6(2):105-118.

Ritchie, H. and Roser, M. 2018. Urbanization. Our World in Data.

Schibuola, L. and Tambani, C. 2020. Performance assessment of seawater cooled chillers to mitigate urban heat island. Applied Thermal Engineering 175:115390.

Syaprillah, A. 2009. Politik hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Fairness and Justice : Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 9(1):1-24.

Ubink, J.M. and Quan, J.F. 2008. How to combine tradition and modernity? Regulating customary land management in Ghana. Land Use Policy 25(2):198- 213, doi:10.1016/j.landusepol.2007.06.002.

UNICEF. 2017. Unicef Urban Population Map.

https://www.unicef.org/sowc2012/urbanmap/#.

United Nations. 2015. World Urbanization Prospects:

The 2014 Revision. In World Population Ageing.

Department of Economic and Social Affairs, Population Division. (ST/ESA/SER.A/366).

Wheeler, D. 2001. Racing to the bottom? foreign investment and air pollution in developing countries.

The Journal of Environment & Development 10(3):225-245, doi:10.1177/10704965-0101003-02.

Widyastuty, A.A.S.A., Bhuwaneswari, A.B.T. and Zulkarnain, L. 2020. Analisis kemampuan lahan permukiman di kawasan strategis ekonomi. Jurnal

Penataan Ruang 15(2):71,

doi:10.12962/j2716179x.v15i2.7382.

Wulansari, H. 2017. Uji Akurasi Klasifikasi Penggunaan Lahan dengan Menggunakan Metode Defuzzifikasi Maximum Likelihood Berbasis Citra Alos Avnir-2.

BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan 3(1):98, doi:10.31292/jb.v3i1.96.

Zarlin, E., Arfani, A. and Wahyono, H. 2022.

Development of land capability-based settlement areas in Banyuasin District. Jurnal Lahan Suboptimal 11(2):120-139,

doi:10.36706/jlso.11.2.2022.564.

Zhou, G., Zhang, J., Li, C. and Liu, Y. 2022. Spatial Pattern of Functional Urban Land Conversion and Expansion under Rapid Urbanization: A Case Study of Changchun, China. Land 11(1), doi:10.3390/land11010119.

Referensi

Dokumen terkait

Usaha tani berbasis murbei di DAS Lawo dapat dikembangkan pada lahan-lahan dengan kelas kemampuan III dan IV, yang tersebar pada satuan lahan 1, 10, 11, 12, 13, 14,

Dari ke 9 SWP di provinsi jawa timur tersebut, dipilihlah objek penelitian yaitu Satuan Wilayah Pembangunan VII (SWP VII), diantaranya Kabupaten Trenggalek, Kabupaten

Hasil dari penelitian ini yaitu, dari 10 Satuan Lahan pada daerah penelitian memiliki dua kelas kesesuaian lahan, yaitu kelas S1 : Sangat Sesuai yang tersebar pada tiga satuan

Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan

Secara keseluruhan, kawasan potensial di wilayah calon Kota Muara Bungo memiliki luas sebesar 28.039,24 Ha dari total luas lahan keseluruhan wilayah calon Kota Muara

Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan

Data dianalisis menggunakan Indeks Williamson yaitu suatu analisis untuk mengetahui daerah Satuan Wilayah Pembangunan II (SWP II) Propinsi Jawa Timur yang

Secara keseluruhan, berdasarkan hasil analisis data dijital, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan di wilayah SWP DAS Agam Kuantan adalah 778.704,2 ha dengan perincian 564.609,7