PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 604
BIOKONVERSI KOTORAN SAPI, AMPAS TAHU DAN SAMPAH SAYURAN MENGGUNAKAN MAGGOT
M. Helmi Fakhrieza1, Devita Sari2, Tiwi Yuniastuti3
Progam Studi Kesehatan Lingkungan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widyagama Husada1,2,3 [email protected]1, , [email protected]2, [email protected]3
ABSTRACT
Indonesia as the second country after China which is considered as the world's largest producer of waste. This means that every Indonesian resident disposes an average of 0.85 kg of solid waste per day.
The same data also states that the total waste produced nationally, only 80% has been collected and the remainder wasted still polluting the environment. The purpose of this study is to determine the differences in the bioconversion of cow dung, tofu dregs and vegetable waste using maggot as a decomposing medium. This research was a Pure Experiment research (True Experimental) with the Post Test Only Control Group approach. This design was carried out using random selection of subjects involving two groups, namely the control group and the treatment group without any pretest. Based on the results of the Kruskal-Walliss test using SPSS 25, it obtained a value of (p) 0.00 with a significance of 0.00 which indicates that there is a significant difference in waste reduction using magot with different types of feed. The highest waste reduction is in maggot with the type of cow dung feed with a Waste Reduction Index (WRI) calculation percentage of 6.58%. So it can be concluded that the average total WRI is 6.52% in 100 grams of maggot feed. Whereas for 1 kg of maggot feed for reduction reduction can reach 65.2% of the total value of WRI which can be reduced by maggot. It is suggested for further research to be able to measure temperature, humidity, and fiber light intensity once every 7 days for measuring waste reduction.
Keywords : bioconversion, maggot, differences in waste reduction
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara nomor dua setelah China yang menjadi penghasil sampah terbanyak dunia.
Ini berarti, setiap penduduk Indonesia membuang sampah padat rata-rata 0,85 kg per hari. Data yang sama juga menyebutkan bahwa dari total sampah yang dihasilkan secara nasional, hanya 80% yang berhasil dikumpulkan dan sisanya terbuang mencemari lingkungan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan biokonversi kotoran sapi, ampas tahu dan sampah sayuran menggunakan maggot sebagai media pengurai. Penelitian ini merupakan penelitian berupa Eksperimen Murni (True Experimental) dengan pendekatan Hanya Postes Kelompok Kontrol (Post Test Only Control Group).
Desain ini dilakukan menggunakan pemilihan subjek secara acak dengan melibatkan dua kelompok, yakni kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tanpa adanya pretes. Berdasarkan hasil uji Kruskal Walliss menggunakan SPSS 25 didapatkan nilai (p) 0,00 dengan signifikansi 0,00 yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikansi reduksi sampah menggunakan maggot dengan jenis pakan yang berbeda. Reduksi sampah paling tinggi yaitu pada maggot dengan jenis pakan kotoran sapi dengan persentase perhitungan Waste Reduction Index (WRI) sebesar 6,58%. Maka dapat diasumsikan bahwa dari rata-rata total WRI sebesar 6,52% dalam 100 gram pakan maggot. Sedangkan untuk 1 kg pakan maggot untuk pengurangan reduksi bisa mencapai 65,2% nilai total WRI yang dapat direduksi oleh maggot. Saran dari penelitian ini adalah agar penelitian selanjutnya melakukan pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya serat untuk pengukuran pengurangan limbah yang dilakukan setiap 7 hari sekali.
Kata kunci : biokonversi, maggot, perbedaan reduksi limbah PENDAHULUAN
Sampah merupakan sesuatu yang telah dibuang dan tidak lagi dibutuhkan oleh
manusia umumnya. Sampah merupakan sumber masalah bagi lingkungan. Menurut Jambeck et al., (2015) Indonesia merupakan negara nomor 2 setelah China
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 605 masalah penghasil sampah terbanyak
dunia, dengan plastik yang mendominasi sampah. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2020) mengenai data sampah di daerah Kabupaten Malang dengan rincian Kabupaten Malang merupakan nomer 6 terbanyak di Jawa Timur pada tahun 2020 dalam timbulan sampah sisa makanan yakni, sisa makanan 66,12%, kayu-ranting 1,62%, kertas-karton 6,74%, plastik 14,82%, logam 0,32%, kain 1,05%, karet-kulit 0,61%, kaca 0,63%, lainnya 1,27%.
Sampah menjadi permasalahan yang serius. Adanya aktivitas manusia ditambah lagi dengan peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang kian tinggi mengakibatkan volume timbulan sampah juga akan bertambah. Jika sampah-sampah tersebut dibiarkan akan bukan tidak mungkin menjadi sumber pencemaran terhadap lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi biokonversi dengan menggunakan maggot dari larva lalat tentara hitam (BSF), karena dalam lalat bsf memiliki aktivitas selulotik dengan adanya bakteri pada ususnya (Supriyatna dan Ukit, 2016). Biokonversi merupakan salah satu cara untuk melakukan pengolahan limbah organik (limpah pasar) yang menjadi permasalahan saat ini, yaitu dengan memanfaatkan mikroorganisme seperti larva Black Soldier Fly (BSF) sebagai agen biodegradasi (Fajri dan Harmayani, 2020). Efisiensi degradasi limbah organik yang dapat diurai oleh larva BSF dikatakan berkisar antara 55% hingga 80% (Zahro et al., 2021).
Penggunaan kotoran sapi dalam biokonversi menggunakan maggot merupakan inovasi baru sebagai pengolahan limbah organik (Buana dan Alfiah, 2021). Ampas tahu merupakan limbah industri yang hampir tidak pernah digunakan lagi, dengan kata lain hanya dibuang begitu saja tanpa ada pemanfaatan (Cicilia dan Susila, 2018). Sedangkan untuk sampah sayuran biasanya banyak dijumpai di area pasar yang mana sampah sayuran tersebut tidak dilakukan
pengelolaan, hanya diangkut dan dibawa ke TPA terdekat.
Dari hal tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan limbah organik. Aspek yang akan diteliti nantinya meliputi reduksi sampah organik (WRI), panjang dan berat maggot. Peneliti tertarik untuk meneliti dengan menggunakan judul “Biokonversi Kotoran Sapi, Ampas Tahu Dan Sampah Sayuran Menggunakan Maggot”.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan biokonversi kotoran sapi, ampas tahu dan sampah sayuran menggunakan maggot.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah Eksperimen Murni (True Experimental) dengan pendekatan (Post Test Only Control Group) serta menggunakan teknik Rancangan Acak Lengkap (RAL). Lokasi pemeliharaan maggot dilakukan di Dusun Bugis RT/RW 04/01 Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis Kabupaten Malang.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2022. maggot yang digunakan pada penelitian ini menggukanan 200 ekor setiap wadah. Pada penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yang termasuk dengan 1 kontrol dan 6 pengulangan pada masing- masing perlakuan yang ditujukan ke maggot dengan menggunakan 24 sampel.
Rumus yang digunakan untuk menentukan pengulangan yakni menggunakan rumus Federer. Maggot dimasukkan kedalam wadah pada yakni berusia 7 hari. Pembuatan media yang difermentasi untuk pakan maggot menggunkan EM4: mempersiapkan alat dan bahan, menimbang media dengan timbangan digital sebanyak 100 g mencacah media menggunakan blander khusus untuk sampah sayuran, memasukkan media kedalam tong sebanyak 100 g, menambahkan EM4 sebanyak 1,5 ml kedalam 1 liter air, mengaduk hingga tercampur rata, menunggu hingga 3 hari untuk hasil fermentasinya. Pemberian pakan dilakukan
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 606 15 hari dengan penggantian pakan setiap 3
hari sekali.
HASIL
Hasil penelitian yang telah dilakukan selama 15 hari pengamatan memperoleh data hasil reduksi sampah yang telah dihabiskan oleh maggot dan menghitung pertumbuhan maggot yang meliputi perhitungan panjang dan berat.
Hasil Reduksi Sampah Organik
Tabel 1 berisi Indeks reduksi sampah (Waste Reduction Indeks) menunjukkan tingkat pengurangan sampah pada periode pemberian umpan atau pakan dengan nilai WRI tertinggi.
Tabel 1. Hasil Perhitungan WRI
Perlakuan Hasil
Kontrol 6,520%
Kotoran Sapi 6,58%
Ampas tahu 6,47%
Sampah Sayur 6,528%
Pada tabel 1. merupakan data hasil pengukuran WRI selama 15 hari pengamatan, yang mana hasil dari ulangan setiap perlakuan dirata-rata yang kemudian dihitung mengguimnakan rumus WRI. Dari hasil perhitungan tersebut perlakuan kotoran sapi memiliki nilai WRI tertinggi sebesar 6,58% sedangkan untuk yang terendah yakni pada perlakuan ampas tahu sebesar 6,520%.
Gambar 1. Grafik Perhitungan WRI Pada perlakuan kontrol (kotoran sapi, ampas tahu, sampah sayuran) menunjukkan WRI sebesar 6,52%. Pada perlakuan kotoran sapi menunjukkan menunjukkan WRI sebesar 6,58%. Pada perlakuan ampas
tahu menunjukkan menunjukkan WRI sebesar 6,47%. Pada perlakuan sampah sayuran menunjukkan menunjukkan WRI sebesar 6,528%.
Pertumbuhan Maggot Panjang Maggot
Hasil pengukuran rata-rata pertumbuhan panjang maggot selama 15 hari penelitian pada masing-masing perlakuan yakni kontrol, kotoran sapi, ampas tahu, sampah sayuran disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Pertumbuhan Panjang Maggot
Perlakuan
Panjang Rata-rata
(cm)
Pertumbuhan Panjang Mutlak (cm) Awal Akhir
Kontrol 0,54 1,97 1,42
Kotoran Sapi 0,53 1,75 1,21 Ampas Tahu 0,54 2,22 1,67 Sampah
Sayuran
0,55 1,92 1,37
Pada tabel 2. Pengukuran panjang awal dilakukan pada hari ke-0 sedangkan pengukuran panjang akhir dilakukan pada hari ke-15. Cara perhitungan yakni pengukuran akhir dikurangi dengan pengukuran awal. Perlakuan ampas tahu memiliki pertumbuhan panjang maggot yang tertinggi yaitu 1,67 cm, sedangkan yang terendah pada perlakuan kotoran sapi yaitu 1,21 cm.
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Panjang Maggot
Pada perlakuan kontrol (kotoran sapi, ampas tahu, sampah sayuran) menunjukkan panjang rata-rata awal 0,54 cm dan untuk panjang rata-rata akhir 1,97 cm dengan pertumbuhan panjang mutlak yakni 1,42
6,52%
6,58%
6,47%
6,528%
6,40%
6,45%
6,50%
6,55%
6,60%
Kontrol Kotoran Sapi Ampas tahu Sampah Sayur
WRI
0,54 0,53 0,54 0,55
1,97 1,75 2,22 1,92
1,42 1,21 1,67 1,37
0 1 2 3
Kontrol Kortoran Sapi
Ampas Tahu Sampah Sayuran
Panjang Maggot
Panjang Awal Panjang Akhir Panjang Mutlak
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 607 cm. Pada perlakuan kotoran sapi
menunjukkan panjang rata-rata awal 0,53 cm dan untuk panjang rata-rata akhir 1,75 cm dengan pertumbuhan panjang mutlak yakni 1,21 cm. Pada perlakuan ampas tahu menunjukkan panjang rata-rata awal 0,54 cm dan untuk panjang rata-rata akhir 2,22 cm dengan pertumbuhan panjang mutlak yakni 1,67 cm. Pada perlakuan sampah sayuran menunjukkan panjang rata-rata awal 0,55 cm dan untuk panjang rata-rata akhir 1,92 cm dengan pertumbuhan panjang mutlak yakni 1,37 cm.
Berat Maggot
Hasil pengukuran rata-rata pertumbuhan berat maggot selama 15 hari penelitian pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Pertumbuhan Berat Maggot
Perlakuan
Berat Rata-rata (gr)
Pertumbuhan Berat Mutlak (gr) Awal Akhir
Kontrol 2,67 29,8 27,17
Kotoran Sapi 2,33 21,2 18,83
Ampas Tahu 2,67 34,5 31,83
Sampah Sayuran
2,50 24,8 22,33
Pada table 3. merupakan data pengukuran rata-rata pertumbuhan berat maggot selama penelitian 15 hari.
Pengukuran berat awal dilakukan pada hari ke-0 sedangkan pengukuran berat akhir dilakukan pada hari ke-15. Perhitungan pada tabel tersebut dilakukan menggunakan rumus, yang dimana pengukuran akhir dikurangi dengan pengukuran awal. Dapat dilihat bahwa pada perlakuan ampas tahu memilki pertumbuhan berat maggot yang tertinggi yaitu 31,83 gr, sedangkan yang terendah pada perlakuan kotoran sapi yaitu 18,83 gr.
Pada perlakuan kontrol (kotoran sapi, ampas tahu, sampah sayuran) menunjukkan berat rata-rata awal 2,67 gr dan untuk berat rata-rata akhir 29,8 gr dengan pertumbuhan
berat mutlak yakni 27,17 gr. Pada perlakuan kotoran sapi menunjukkan berat rata-rata awal 2,33 gr dan untuk berat rata- rata akhir 21,2 gr dengan pertumbuhan berat mutlak yakni 18,83 gr.
Gambar 3. Grafik Data Pertumbuhan Berat Maggot
Pada perlakuan ampas tahu menunjukkan berat rata-rata awal 2,67 gr dan untuk berat rata-rata akhir 34,5 gr dengan pertumbuhan berat mutlak yakni 31,83 gr. Pada perlakuan sampah sayuran menunjukkan berat rata-rata awal 2,50 gr dan untuk berat rata-rata akhir 24,8 gr dengan pertumbuhan berat mutlak yakni 22,33 gr.
Analisa Data Hasil Densitas Populasi Maggot Dan Nilai WRI
Analisa data ini yang meliputi panjang dan berat maggot serta nilai WRI diketahui menggunakan aplikasi pengolah data SPSS.
Uji hipotesis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan uji kruskal- wallis yang merupakan salah satu uji statistik non-parametrik untuk menguji perbedaan data yang signifikan antar kelompok.
Hasil Uji Kruskal-Wallis WRI
Hasil uji kruskal-wallis pada WRI menunjukkan p (0,02) lebih kecil dari (0,05). Angka signifikansi 0,00 memenuhi syarat kelompok perlakuan yang berbeda nyata yang artinya terdapat perbedaan pada perlakuan kontrol, kotoran sapi, ampas tahu dan sampah sayuran.
Hasil Uji Kruskal-Wallis Panjang Maggot
2,67 2,33 2,67 2,5
29,8
21,2
34,5 27,17 24,8
18,83
31,83
22,33
0 10 20 30 40
Kontrol Kortoran Sapi Ampas Tahu Sampah Sayuran Berat Maggot
Berat Awal Berat Akhir Berat Mutlak
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 608 Hasil uji kruskal-wallis pada panjang
menunjukkan p (0,00) lebih kecil dari (0,05). Angka signifikansi 0,00 memenuhi syarat kelompok perlakuan yang berbeda nyata.
Hasil Uji Kruskal-Wallis Berat Maggot Hasil uji kruskal-wallis pada berat menunjukkan p (0,00) lebih kecil dari (0,05). Angka signifikansi 0,00 memenuhi syarat kelompok perlakuan yang berbeda nyata.
Tabel. 4 Hasil Uji SPSS 25
PEMBAHASAN
Analisa Perbedaan Reduksi Sampah Menggunakan Maggot
Berdasarkan hasil uji Kruskal Walliss menggunakan SPSS 25 didapatkan nilai (p) 0,00 dengan signifikansi 0,00. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan reduksi sampah menggunakan magot dengan jenis pakan yang berbeda. Reduksi sampah paling tinggi yaitu pada maggot dengan jenis pakan kotoran sapi dengan persentase perhitungan Waste Reduction Index (WRI) sebesar 6,58%. Sedangkan reduksi sampah paling rendah yaitu pada maggot dengan media pertumbuhan ampas tahu dengan persentase perhitungan WRI sebesar 6,47%. Maka dapat diasumsikan bahwa dari rata-rata total WRI sebesar 6,52% dalam 100 gram pakan maggot.
Sedangkan untuk 1 kg pakan maggot untuk pengurangan reduksi bisa mencapai 65,2%
nilai total WRI yang dapat direduksi oleh maggot.
Dari hasil tersebut memiliki beberapa penyebab yang menjadikan perbedaan pada setiap perlakuan yakni salah satunya adalah usia dari maggot tersebut. Selama 15 hari pengamatan nilai reduksi diukur menggunakan timbangan digital yang mana pada hari ke-12 menuju hari ke-15 terlihat
penuruan konsumsi pakan oleh maggot.
Pada waktu tersebut, dari beberapa perlakuan maggot sudah memasuki fase pre-pupa atau berubah warna menjadi coklat kehitaman. Hal tersebut yang menjadi penyebab kurangnya konsumsi pakan maggot untuk direduksi. Sejalan dengan pendapat Saragi (2015) yang mengatakan bahwa maggot akan mencapai masa pre-pupa pada umur 14 hari dan akan memakan semua material organik yang membusuk. BSF memenuhi semua nutrisinya pada tahap larva, karena pada tahap pupa dan lalat dewasa BSF tidak lagi makan.
Perbedaan hasil reduksi (WRI) setiap media pertumbuhan maggot tidak dipengaruhi oleh pakan melainkan oleh umur dan total pakan yang diberikan kepada maggot tersebut. Hakim et al., (2017) menegaskan bahwa pada perlakuan umpan dengan jumlah lebih tinggi maka nilai WRI cenderung turun. Hal ini dimungkinkan larva sudah tidak mampu lagi mengkonsumsi umpan yang diberikan sebab umpan terlalu banyak sehingga nilai presentase umpan yang dikonsumsi terhadap total umpan menjadi lebih rendah.
Selain umur dan total pakan perbedaan reduksi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung pada media pertumbuhan. Pada 15 hari pengamatan dari semua pakan yang paling banyak mengandung air yakni pada perlakuan ampas tahu dan sampah sayuran, yang mana kadar air tinggi juga menjadi penyebab kurangnya reduksi limbah oleh maggot. Hal ini memiliki sedikit kesamaan pada penelitian Pasymi et al., (2022) bahwa pengolahan sampah organik menggunakan maggot dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kadar air sampah, usia maggot saat dimasukkan ke sampah, rasio maggot terhadap sampah organik, dan temperatur.
Widyastuti dan Sardin (2021) mengatakan bahwa kadar air sampah organik sangat mempengaruhi kinerja larva BSF.
Kadar air yang banyak juga menyebabkan maggot tidak mau berada didalam pakannya. Media pertumbuhan
Kruskal-Wallis p.
Value
WRI Panjang Maggot
Berat Maggot
0,00 0,00 0,00
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 609 yang dengan kadar air tinggi membuat
maggot kabur dari tempat pertumbuhannya.
Sejalan dengan Alvarez (2012) Ketika kadar air sampah yang diberikan terlalu tinggi akan menyebabkan larva keluar dari reaktor pembiakan, mencari tempat yang lebih kering. Namun, ketika kadar airnya juga kurang akan mengakibatkan konsumsi makanan yang kurang efisien pula.
Pertumbuhan Maggot Panjang dan Berat Maggot
Berdasarkan hasil uji Kruskal Walliss menunjukkan bahwa terdapat perbedaan panjang dan berat maggot dengan pakan yang berbeda. Hal ini didapatkan karena hasil pengelolaan data menggunakan SPSS 25 menunjukkan signifikansi 0,00 pada panjang dan berat maggot yang artinya terdapat perbedaan signifikan pada masing- masing perlakuan.
Pengukuran panjang maggot pada hari terakhir pengamatan ini (hari 15) berkisar 21,2 – 34,5 cm. Dari pengukuran yang terdapat beberapa perlakuan dan beberapa ulangan pada perlakuan (kotoran sapi, ampas tahu, dan sampah sayuran) yang kemudian dilakukan pengukuran rumus, didapatkan dari perlakuan ampas tahu yang memiliki nilai yang tertinggi yaitu 1,67 cm sedangkan yang terendah pada perlakuan kotoran sapi yaitu 1,21 cm. Sedangkan untuk hasil pengukuran berat maggot pada pengamatan ini (hari 15) berkisar 18,83 – 31,83 gram. Dari pengukuran yang terdapat beberapa perlakuan dangan beberapa ulangan pada perlakuan (kotoran sapi, ampas tahu, dan sampah sayuran) yang kemudian dilakukan pengukuran rumus, didapatkan dari perlakuan ampas tahu yang memiliki nilai yang tertinggi yaitu 31,83 gram sedangkan yang terendah pada perlakuan kotoran sapi yaitu 18,83 gram.
Dari hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian beberapa jenis pakan berpengaruh nyata terhadap panjang dan berat tubuh maggot hingga hari terakhir pengamatan. Panjang dan berat maggot merupakan suatu tanda organisme tersebut mengalami pertumbuhan. Banyak
sedikitnya perubahan tersebut dilihat dalam satuan waktu. Menurut Susanto (2002) pertumbuhan organisme sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan atau tempat hidup dan jumlah bahan makan yang tersedia. Banyak sedikitnya makanan yang didapatkan dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan baik bobot maupun panjang.
Beberapa perlakuan media tumbuh maggot memiliki kadar air yang cukup tinggi yakni terutama pada perlakuan ampas tahu dan sampah sayuran. Kadar air ternyata juga sangat diperlukan oleh maggot untuk fase reproduksinya seperti yang dikatakan Maulana et al., (2021) khusus maggot yang berusia dewasa tidak memerlukan asupan nutrisi atau tidak membutuhkan makanan lagi kecuali air.
Karena pada fase tersebut maggot memmbutuhkan air untuk reproduksi, sehingga media tumbuh maggot mengandung kadar air yang tinggi akan memperngaruhi pertumbuhan maggot yang dihasilkan. Berbeda dengan pernyataan dari Monita et al., (2017) mengatakan perkembangan maggot bervariasi bergantung pada lingkungan (suhu, kelembaban, intensitas cahaya) serta kualitas dan kuantitas makanan yang digunakan untuk pertumbuhan. Larva BSF sangat aktif makan sehingga turut mempengaruhi peningkatan suhu pengomposan.
Tersedianya nutrisi dan kondisi yang mencukupi dalam media kultur dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan maggot dengan cepat, tetapi juga akan mengalami penurunan yang cepat bila kondisi media dan nutrisi tidak mendukung kehidupannya. Selain itu, panjang dan bobot maggot meningkat karena faktor bahan organik yang cukup untuk menunjang kehidupan maggot pada media pertumbuhan yang digunakan.
KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan WRI, serta
PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 610 pertumbuhan yang bebeda nyata yang
ditunjukkan melalui Indeks reduksi sampah (WRI) atau pengurangan sampah tertinggi yakni pada perlakuan kotoran sapi sebesar 6,58%. Sedangkan pada aspek pertumbuhan maggot yang optimal yaitu pada perlakuan ampas tahu untuk panjangnya 1,67 cm sedangkan beratnya 31,83 gram.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada para sahabat yang telah membantu jalannya penelitian ini selama 15 hari lamanya, yang telah memberikan pemikiran serta tenaganya agar terlaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, L. (2012) ‘A Dissertation: The Role Of Black Soldier Fly, Hermetia Illucens (L.) (Diptera: Stratiomyidae) In Sustainable Management In Northern Climates. University Of Windsor.
Ontario.’
Buana, S. M. And Alfiah, T. (2021)
‘Biokonversi Kotoran Ternak Sapi Menggunakan Larva Black Soldierfly ( Hermetia Illucens )’, Seminar Nasional Sains Dan Teknologi Terapan Ix 2021, Pp. 406–412.
Cicilia, A. P. And Susila, N. (2018) ‘Potensi Ampas Tahu Terhadap Produksi Maggot (Hermetia Illucens) Sebagai Sumber Protein Pakan Ikan’, Anterior Jurnal, 18(1), Pp. 40–47.
Fajri, N. A. And Harmayani, R. (2020)
‘Biokonversi Limbah Organik Menjadi Magot Sebagai Sumber Protein Pengganti Tepung Ikan’, Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan, 6(2), Pp. 223–
231.
Hakim, A. R., Prasetya, A. And Petrus, H. T. B.
M. (2017) ‘Studi Laju Umpan Pada Proses Biokonversi Limbah Pengolahan Tuna Menggunakan Larva Hermetia Illucens Feeding Rates Study On The Bioconversion Of Tuna Processing Waste Using Hermetia Illucens Larvae’, Kelautan, 12(2), Pp. 179–192.
Hidup, K. L. (2020) Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, 2021.
Jambeck, J. R. et al (2015) ‘Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean’, Science, (September 2014), Pp. 1655–
1734.
Maulana, Nurmeiliasari And Fenita, Y. (2021)
‘Pengaruh Media Tumbuh Yang Berbeda Terhadap Kandungan Air, Protein Dan Lemak Maggot Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) (Effects Of Different Culture Media On Nutritive Value Of Maggot Black Soldier Fly)’, Bul. Pet.
Trop, 2(2), Pp. 150–157.
Monita, L. Et Al. (2017) ‘Pengolahan Sampah Organik Perkotaan Menggunakan Larva Black Soldier Fly (Hermetia Illucens)’, Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal Of Natural Resources And Environmental Management), 7(3), Pp. 227–234.
Pasymi, Sundari, E. And Munzir, A. (2022)
‘Pengolahan Sampah Organik Menggunakan Larva Black Soldier Fly Atau Maggot’, Jurnal Implementasi Riset, 2(1), Pp. 44–54.
Saragi, E. S. (2015) ‘Penentuan Optimal Feeding Rate Larva Black Soldier Fly (Hermetia Illlucens) Dalam Mereduksi Sampah Organik Pasar_’, Ekp, 13(3), Pp.
1576–1580.
Supriyatna, A. And Ukit, U. (2016) ‘Screening And Isolation Of Cellulolytic Bacteria From Gut Of Black Soldier Flays Larvae (Hermetia Illucens) Feeding With Rice Straw’, Biosaintifika: Journal Of Biology & Biology Education, 8(3), P.
314.
Widyastuti, S. And Sardin (2021) ‘Pengolahan Sampah Organik Pasar Dengan Menggunakan Media’, Jurnal Teknik Waktu, 19(01), Pp. 1–13.
Zahro, N., Eurika, N. And Prafitasari, A. N.
(2021) ‘Konsumsi Pakan Dan Indeks Pengurangan Sampah Buah Dan Sayur Menggunakan Larva Black Soldier Fly’, Bioma : Jurnal Biologi Dan Pembelajaran Biologi, 6(1), Pp. 88–101.