• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kajian Kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap Metode Pembelajaran di Pesantren

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of Kajian Kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap Metode Pembelajaran di Pesantren"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Kitab Ta’lim al-Muta’allim terhadap Metode Pembelajaran di Pesantren

Abdul Wahid

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep awihasan@gmail.com

Abd Halim

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep abdulhalim@gmail.com

Mufarrohah

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep mufarrohah123@gmail.com

Abstrak

Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami agama Islam dan mengaplikasikannya dalam keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat dan nilai dalam beribadah kepada Allah. Tujuan didirikannya pesantren adalah memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Diharapkan seorang santri yang keluar dari pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan merujuk kepada kitab-kitab klasik. Metode awal pesantren adalah bandongan dan wetonan. Dalam praktinya sesuai dengan cara atau metode yang diajarkan dalam kitab klasik dan bagaimana pembelajaran pada masa nabi. Tradisi pesantren juga mengandung nilai-niali Islam.Hal ini disebut juga akhlak dalam mencari ilmu.

Kata Kunci: ta’lim al-muta’allim, metode pembelajaran, pesantren

Pendahuluan

Era modern membuat manusia mudah menjalankan aktivitas dengan perkembangan teknologi yang ada.Manusia bisa mengakses dan mendapatkan apapun yang diinginkan.Hal ini menjadikan manusia terlena dengan kehidupan dunia dan sedikit menggeser hakikat manusia yang tercipta semata-mata sebagai

(2)

hamba.Pendidikan agama dan moral menjadi penting untuk selalu ditanamkan supaya menusia kembali kefitrah.Pesantren menjadi solusi yang solutif terhadap permasalah tersebut.

Pesantren telah dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia. Pada tahun 70-an, Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan pesantren sebagai sub kultur dari bangsa Indonesia. Sekarang ini tampaknya umat Islam sendiri telah menganggap pesantren sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan baik dari sisi moralitas maupun dari aspek tradisi keilmuan yang merupakan tradisi agung. 1 Sehingga praktis sejarah penyebaran nilai Islam dalam masyarakat Indonesia baik secara langsung maupun tidak akan bersentuhan dengan tradisi pesantren.

Eksistensi pesantren turut menempati posisi penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.Melalui penerapan keilmuan Islam yang dikembangkan didalamnnya.Pesantren juga membekali para santri dengan berbagai disiplin ilmu sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan literatur keagamaan Islam lainnya, sehingga terjadi sebuah perjumpaan antara pesantren dan penyebaran Islam dalam pembentukan peradaban Islam di Indonesia.

1 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:

Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999). 17

(3)

Kiai dipandang sebagai seorang guru yang menjadi tokoh utama dan disegani dalam pesantren, dengan kemampuan dan kemahirannya maka kemajuan suatu pesantren tergantung kepadanya. Sedangkan santri adalah murid yang belajar dalam menuntut ilmu di pesantren baik ia bermukim atau tidak. Ketika kiai berdawuh maka santri akan mematuhinya dan tidak terpikirkan untuk mengabaikan apalagi menentangnya. Hal ini yang disebut dengan konsep sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami mengikuti). Mereka percaya bahwa yang didawuhkan seorang kiai benar adanya, maka jangan heran jika mendapati santri yang memiliki kelebihan khusus yang terkadang tidak bisa diterima akal.

Tersedianya berbagai macam fasilitas untuk menunjang kehidupan masyarakat modern saat ini menjadikan masyarakat kurang menerapkan nilai yang ada.Utamanya nilai tradisi serta nilai agama yang merupakan tujuan kehidupan di dunia untuk bekal di akhirat.Banyak orang pintar yang menyalahgunakan kepintarannya.Hal ini membuktikan kurangnya nilai yang didapat ketika menjalani pencarian ilmu. Untuk mendapatkan sesuatu seseorang biasanya akan menghadapi pahit manisnya sebuah proses. Ilmu sebagai mutiara peradaban yang muliapun memiliki cobaan yang harus dilewati penuntutnya.Disinilah kemudian ilmu memberi manfaat sesuai guna dan maknanya.

Pesantren yang menjadi tumpuan pendidikan agama dan moral menjadi penting untuk menerapkan metode yang terdapat

(4)

dikitab kuning semisalnya kitab ta’lim al muta’alim.Hal ini sangat sinergis dengan pesantren yang memang mengajarkan kitab-kitab kuning. Meski kitab kuning termasuk buku kuno namun di era modern ini pelajaran di dalamnya sangat relevan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang ada.

Pesantren: Makna dan Sejarah

a. Makna Pesantren dari Segi Historis

Kata pesantren sebenarnya berasal dari kata santri yang bermakna tempat santri menuntut ilmu.Sedangkan menurut Zamakhsyari Dhofier kata santri berasal dari kata “shastri

dalam nahasa India yang memiliki makna orang yang mempunyai kitab suci agama Hindu.2Sedangkan Nurcholish Majid berpendapat dalam karyanya, bahwa santri berasal dari kata sastri bahasa sansakerta yang berarti melek huruf, hal ini menunjukkan bahwa santri adalah kelas literasi bagi orang jawa. Ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab tertulis dan barbahasa arab.3

Secara terminologis, pesantren adalah lembaga pengajaran dan pendidikan agama Islam. Proses pendidikan yang ada umumnya berlangsung secara non klasikal, dimana

2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 18

3 Nurcholish Majdid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Dian Rakyat).21-22

(5)

seorang kiai mengajarkan ilmu agama kepada santrinya dengan rujukan kitab-kitab yang ditulis dengan berbahasa arab oleh ulama-ulama abad terdahulu dan pertengahan, dan biasanya para santri tinggal di pondok/asrama yang ada di pesantren tersebut.4

Akulturasi budaya yang terjadi antara budaya masyarakat Indonesia sebelum masuknya Islam juga berkontribusi terhadap penyebaran Islam.Wayang kulit sebagai tradisi luhur di Indonesia dimanfaatkan wali songo sebagai media penyampai ajaran Islam dengan mengubah cerita-cerita dewa-dewa Hindu-Budha dengan sirah nabawi dan ajaran-ajaran Islam lainnya.Masyarakat masa silam telah mengenal penghormatan terhadap guru yang dipercaya bisa memberikan kebaikan, yang Islam kenal dengan barokah. 5 Islam masuk dengan mengganti ruh tradisi masyarakat Indonesia dengan ajaran-ajaran Islam.Masyarakat lebih mudah menerima setiap ajaran Islam lewat tradisi mereka.Pengayoman dan kebaikan perbuatan para pendakwa Islam tidak luput dari perhatian masyarakat.Dengan kepribadian yang tergambar dari perbuatan tersebut menyentuh hati masyarakat yang kemudian dengan senang hati memeluk agama Islam tanpa paksaan.

4 Sudjoko Prasodjo dkk, Profil pesantren, (Jakarta: LP3ES, tt).18

5Aguk Irawan, Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara, ( Tanggerang Selatan: Pustaka Iman,2018). 97

(6)

b. Karakteristik Pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok) dengan kiai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai pusat lembaganya. Pesantren memiliki visi mencetak manusia menjadi hamba Sang Pencipta, Allah. Pesantren menarapkan kegiatan-kegiatan yang berorientasi dalam mewujudkan insan shalih yang dikehendaki Allah melalui Islam sebagai agama yang berisi ajaran-ajarannya.Perilaku yang baik di dunia diharapkan dapat menjadi bekal menuju alam akhirat yang diinginkan, surga.Akhirat sebagai tempat terakhir manusia menjadi bukti dari perbuatan manusia di dunia.Yang baik mendapat surga dan yang sebaliknya mendapat siksa di neraka. Islam mengajarkan cara berperilaku di dunia lengkap dengan kebaikan yang didapat serta siksa yang mengancam jika tidak sejalan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para Nabi.

Metode pendidikan yang diterapkan di pesantren awalnya berupa sorogan dan wetonan/bandongan yang dilakukan di masjid, surau ataupun lahan yang bisa dijadikan tempat belajar.Namun seiring berjalannya waktu pesantren juga memunculkan sistem klasikal meski tidak meninggalkan metode yang ada.

(7)

Beberapa karakteristik awal berdirinya pesantren secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:1. Pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi santri-santri;

2.Pesantren tidak menerapkan batas waktu pendidikan, karena sistem pendidikan di pesantren bersifat pendidikan seumur hidup (life-long education); 3.Santri dipesantren tidak diklasifikasikan dalam jenjang-jenjang menurut kelompok usia, sehingga siapapun diantara masyrakat yang ingin belajar dapat menjadi santri; 4.Santri boleh bermukim di pesantren sampai kapanpun atau bahkan bermukim selamanya; dan 5.Pesantren pun tidak memiliki peraturan administrasi yang tetap.

Seiring berkembangnya waktu pesantrenpun mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga pada poin 3 dan 5 sudah tidak terkategori sebagai karakteristik sistem pesantren sekarang meskipun masih ada yang menerapkannya namun hanya sebagian kecil saja.

Artinya hanya sedikit pesantren yang mempertahankan karakteristik tersebut. Umumnya sekarang pesantren sudah membentuk klasifikasi tingkatan sesuai dengan kemampuan dan usia santri. Pesantrenpun sudah tidak sedikit yang memiliki administrasi lengkap bahkan ada beberapa yang terdaftar ke pemerintahan.

Pola pendidikan pondok pesantren dapat ditelusuri hingga masa baginda Nabi. Karena awal masa kenabian,

(8)

beliau melakukan dakwa secara sembunyi-sembunyi bersama orang-orang yang dilakukan di rumah-rumah para sahabat, salah satunya yang menjadi pusat pengajaran penyebaran Islam adalah rumah Arqambin Arqam. Orang- orang inilah (termasuk golongan assabiqunal awwalun) yang kelak menjadi perintis pembuka jalan penyebar Islam di Arab, Afrika dan berakhir diseluruh dunia.Figur kiai menjadi tokoh sentral, karena kiai bukan hanya sebagai pemimpin yang berkuasa tetapi jugabertindak sebagai panutan dan pembimbing bagi santridan lingkungannya.6

Pondok pesantren telah mampu membuktikan eksistensinya dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan bagi santri dan masyarakat selama ratusan tahun. Modernitas dan globalisasi tidak mampu membuat pondok pesantren kehilangan ruh dan ciri khasnya.Ini terbukti dengan muculnya pesantren-pesantren salaf aliran baru dengan sistem klasikal dan metode modern tanpa meninggalkan tradisi kepesantrenannya.

Pesantren juga merupakan pendidikan yang dapat memainkan peran pemberdayaan (empowerment) dan transformasi civil society secara efektif.Pesantren sebagai salah satu pendidikan Islam telah membuktikan keberadaannya dan keberhasilannya dalam meningkatkan sumberdaya manusia (human resources development).Peran

6 M. Tohir Abd Hamid, Lora, (Yogyakarta: LKiS, 2017).x

(9)

pesantren yang strategi seperti itu harus selalu dijaga dan dikembangkan sebagaimana di ungkapkan oleh Dr. Ir. K.H.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, dikatakan bahwa eksistensi pesantren seperti mutiara terpendam yang harus kita temukan dan harus kita gali kembali supaya mutiara itu bisa kita manfaatkan dengan baik.Peranan lembaga pesantren di Indonesia cukup besar dalam membangun masyarakat.7

c. Nilai-Nilai yang Tertanam di Pesantren

Nilai-nilai pesantren pesantren pada hakikatnya merupakan hasil dari interaksi makna al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab-kitab Islam serta interaksi dari para pendiri pesantren dan pengasuh. Interaksi inilah yang membentuk terjadinya sistem nilai pesantren yang selanjutnya ditransformasikan pada komunitas internal; santri, guru, dan keluarga pesantren, serta pada komunitas eksternal; wali santri, masyarakat dan pemerintah.Proses transfomasi pesantren dengan metode keteladanan, conditioning, pengarahan, pembiasaan, penugasan, dan juga menggunakan media; perkataan, perbuatan, tulisan, dan kenyataan.

Nilai-nilai pesantren merupakan falsafah dan pemikiran yang mendasari dan membentuk kepribadian

7 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi. (Malang: Aditya Media Publishing. 2012),212

(10)

santri yang integral, dan nilai tersebut dapat dikategorikan menjadi dua:

Pertama, nilai-nilai esensial yang meliputi;jihad (perjuangan), ittihad (persatuan), tasamuh (toleransi), I’timad ‘ala an-nafsi (berdikari), ikhlas (ketulusan), dan uswatun hasanah (keteladanan).

Kedua, nilai-nilai instrumental meliputi:

wisdom/kebijaksanaan, bebas terpimpin, self government, kolektivisme, hubungan antara guru, santridan masyarakat, sikap terhadap ilmu, mandiri, sederhana, metode dan ibadah.8

Kajian Ta’lim al-Muta’allim terhadap Metode Pembelajaran di Pesantren

Pada awal pesantren yaitu pesantren tradisional tidak memiliki kurikulum formal seperti yang dipakai dalam lembaga- lembaga pendidikan modern yang ada saat ini, karena kurikulum yang ada dipesantren tersebut tidak memiliki silabus, tapi berupa kitab-kitab yang diajarkan pada santri. Berapa kitab yang diajarkan kepada para santri di tentukan oleh sang kiai dimana semua santri harus mempelajarinya secara tuntas, sebelum naik ke kitab lain yang tingkat kesukarannya lebih tinggi.

Pengajaran kitab kuning di Pesantren tidak dapat dilepaskan dari peran ustadz atau kiai yang pernah mengaji

8Ibid. 350

(11)

langsung dari sang guru. Sang guru belajar dari gurunya, sampai pada pengarang, dan pengarang dari Rasulullah Saw.Umumnya para ustad di pesantren tidak berani membaca kitab yang belum pernah dipelajari dari seorang guru. Istilah pesantrennya, jika seorang guru hendak mengajar maka kitab yang akan dibacakan harus terlebih dahulu masak dan memiliki mata rantai (sanad) atau transmisi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya secara ilmiah, melainkan dihadapanAllah, Pencipta Alam Semesta.9 Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis Syekh Az- Zarnuji yang berbunyi:

Sabar dan tahan uji adalah hal yang seharusnya dijalani pelajar.Betah dan tetap pada satu guru dan satu kitab, sehingga tidak meninggalkan guru sebelum sempurna. Demikian pula harus sabar dan tetap pada satu bab, jangan tergesa-gesa pindah pada bab lain sebelum bab pertama telah selesai dengan sempurna, serta betah dalam satu pondok. Jangan pindah ke tempat lain, terkecuali dalam keadaan terpaksa. Sebab yang demikian itu hanya akan memisahkan sesuatu dan membuang- buang biaya, meresahkan hati, menyia-nyiakan waktu dan membuat sakit hati sang guru. Maka dari itu, hendaklah bersabar menahan kemauan nafsu.10

9 Abu Yasid, Paradigma Baru Pesantren, (Yogyakarta, Ircisod, 2012 ).47

10Syekh Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Surabaya: al-Hidayah, tt.).15

(12)

Perkembangan teknologi di zaman modern tidak mampu menghilangkan eksistensi pesantren.Pesantren tradisional masih memberikan kontribusi berarti bagi perkembanganpendidikan Islam.Sistem pendidikan pesantren justrumenjadi suatu kearifan lokal yang patut dilestarikan.Tak hanya itu, metode pendidikan awal pesantren terbukti lebih efektif dalam pencapaian tujuan pesantren yaitu, pencapaian ilmu yang bermanfaat dan barokah.

Pelajar selayaknya dapat memilih ilmu yang baik dan diperlukan oleh agamanya yang kemudian dapat digunakan dimasa depannya kelak.Dengan dalil yang jelas. Ilmu kuno lebih relevan untuk dipelajari bukan ilmu baru yang tanpa dasar dari Nabi saw.11Maka sampai saat ini pesantren masih mengajarkan kitab-kitab klasik.Kitab-kitab klasik di karang oleh ulama yang sangat bertanggung jawab dan hati-hati dalam keilmuannya.

Selain ilmu yang tepat pelajar harus selektif memilih guru sebagai media penyampai ilmu.Guru sebagai penyampai ilmu sebaiknya yang benar-benar alim (pandai), lebih wira’i dan yang lebih tua. Sebagaimana Imam Abu Hanifah ketika belajar, beliau memilih Ustadz Hammmad bin Abi Sulaiman. Setelah dipikir-pikir dan diangan-angan, maka Abu Hanifah ra.mengatakan: Beliau (Syaikh Hammad) adalah seorang guru yang tua ilmunya, sikapnya mulia dan agung, serta sifatnya baik dan sabra. Imam Abu Hanifah berkata: “Aku tetap belajar kepada Syekh Hammad, menetap dan tidak pindah-pindah,

11Ibid. 13

(13)

hingga aku dapat menyelesaikan pelajaran dengan sempurna.

Kemudian aku mendengar adaseorang ulama yang pandai dan bijaksana di daerah Samarqandi.”12

Adapun sistem pengajaran dipesantren dalam mengkaji kitab-kitab Islamklasik (kitabkuning) sejak mula berdirinya menggunakan metode sebagai berikut :

a. Metode Sorogan

Metode sorogan ialah metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya disamping di pesantren juga dilangsungkan di langgar/surau, masjid atau terkadang di rumah-rumah. Penyampaian pelajaran kepada santri secara bergilir ini biasanya dipraktekan pada santri yang jumlahnya sedikit.

Sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Qur’an.Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiai secara utuh.Dia dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar

12Ibid.13

(14)

observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka.13

Metode ini merupakan cara belajar di mana santri membaca kitab yang dipelajari dan guru atau kiai mendengarkan dan memperhatikan bacaan tersebut. Apabila terdapat kesalahan bacaan dan lainnya seorang guru memperbaikinya.Dalam hal ini, santri tidak menolak ataupun menentang apapun yang diberikan dan diperbaiki oleh guru.Sebab guru dipandang lebih tahu dan tidak sembarangan dalam penyampaiannya.

b. Metode wetonan/bandongan

Metode wetonan atau disebut juga bandongan adalah metode yang paling utama dilingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode ini adalah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahsa arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.

13 Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi (Jakarta: Erlangga).142

(15)

Buku-buku Islam yang dimaksud adalah kitab-kitab klasik yang juga dikenal dengan kitab kuning. Berkaitan dengan pelajaran kitab klasik ini sesuai dengan perkataan para ulama, yaitu:

Tetaplah pada ilmu yang kuno, dan sungguh janganlah engkau memilih ilmu yang baru. Jangan sekali-kali mempelajari dan menggunakan ilmu debat, yaitu ilmu yang timbul setelah para ulama besar meninggal dunia. Karena ilmu debat itu hanya menjauhkan orang yang hendak belajar ilmu fikih dan menyia-nyiakan umur serta dapat memporak- porandakan ketentraman hati (tidak tenang atau resah), juga hanya akan menimbulkan pertentangan (permusuhan). Selain itu ilmu debat termasuk kedekatan hari kiamat, tanda-tanda hilangnya ilmu, khususnya ilmu fikih sebagaimana diceritakan oleh hadits.14

Jika terdapat sesuatu yang belum dimengerti biasanya para santri membahasnya diluar pembelajaran ketika tidak ada guru.Mereka bermusyawarah/berdiskusi mengenai permasalahan yang didapat. Dijelaskan bahwa orang Islam sebaiknya melakukan musyawarah dalam hal apa saja. Karena Allah swt.telah memerintahkan kepada

14 Ibid, Syekh Az-Zarnuji, Ta’lim… 13

(16)

Rasul-Nya agar membiasakan musyawarah di dalam segala urusan. Meskipun pada hakikatnya tidak seorangpun yang melebihi kepandaian Rasulullah saw. Meskipun demikian, Rasulullah saw. masih diperintahkan musyawarah. Nabi saw. sendiri melakukan musyawarah dengan sahabatnya, sampai mengenai urusan rumah tangga.15

Dalam metode ini santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen.Kiai sendiri mungkin tidak mengetahuisantri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama ketika jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang.ada peluang bagi santri untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri yang mengikuti pelajaran melalui metode wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menegah.

Kehadiran santri tidak sebatas sekedar ingin diketahui keikutsertaannya dalam pembelajaran.

Namun lebih kepada keinginan untuk memperoleh ilmu dari sang guru. Sehingga meskipun tidak ada data kehadiran santri tidak menjadikannya sebagai peluang untuk bolos.Jumlah santri yang banyak menjadikan santri berlomba-lomba mendapatkan barokah guru.

15Ibid. 14

(17)

Syair Sayyidina Ali sangat berhubungan dengan hal ini yaitu yang berbunyi:

ا لانت لالاا ل

نايبب اهعومجم نع كيبناس # ةّتسب ّلاا ملع

“Ingatlah sesungguhnya engkau tidak akan dapat memperoleh ilmu, kecuali memenuhi syarat enam perkara yang aku terangkan secara ringkas, yaitu:

نامز لوطو ذاتسا داشاو # ةغلبو رابتصاو صرحو ءاكذ cerdas, rajin, sabar, mempunyai bekal, petunjuk guru, dan waktu yang panjang (lama).16

Orang yang mencari ilmu akan memperoleh ilmu dan manfaatnya dengan memuliakan ilmu, ahli ilmu, dan guru. Sebagian ulama berkata menghormati lebih baik daripada taat. Sayyidina Ali berkata "Aku tetap menjadi budak orang yang mengajariku meskipun hanya satu kalimat. Orang yang mengajar kamu satu huruf, yang hal itu (masalah agama)memang kamu perlukan, maka dia termasuk (dihukumi)sebagai bapakmu dalam agama. "

Syekh Imam Sadiduddin Syairazi berkata:

Guru-guruku berkata: “barang siapa menginginkan anaknya menjadi orang alim, maka seharusnya menjaga, memulyakan, menghormati dan memberi

16Ibid. 15

(18)

segala sesuatu kepada mereka yang pergi untuk belajar (mondok). Jika anaknya tidak menjadi orang alim, maka cucu-cucunya insya Allah menjadi orang alim”.

Meminta keridhaan guru, menjauhi murkanya, melaksanakan perintah-perintahnya, kecuali perintah maksiat kepada Allah swt. atau taat kepada makhluk dan maksiat kepada Tuhan adalah bentuk memuliakan guru. Termasuk memuliakan guru ialah menghormati dan memuliakan anak-anak serta famili- familinya.17

Setelah ditelusuri metode bandongan ini merupakan hasil adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di Makkah dan Al-azhar, Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan yang sekarang ini. Anggapan tersebut timbul sebagai reaksi dari hasil perkenalan intelektual antara perintis (kiai) pesantren dengan pendididkan agama yang berlangsung di Makkah dan Al-azhar, baik melalui ibadah haji maupun keperluan mencari ilmu. Disamping itu Makkah dianggap

17Ibid. 17

(19)

memiliki suatu keistimewaan sebagai kota kelahiran Islam (kota suci).

Secara metodologis, pengajaran model wetonan di pesantren merupakan dampak jaringan intelektual dalam skala internasional. Hasil pengamatan Said dan Affan membuktikan bahwa metode ini dari dulu sampai sekarang masih dipakai oleh ustadz-ustadz di masjid al-Haram. Meskipun sekarang ini dalam bentuk pengajian-pengajian tentang materi yang berbeda-beda dan disampaikan oleh kiai yang berlainan,

Evaluasi yang dilakukan oleh kiai dan pengurus pesantren tidak sekedar berupa sejauh mana keberhasilan penyerapan ilmu danpengetahuan yang telah diperoleh santri, tetapi lebih jauh lagi pada keutuhankepribadiannya berupa ilmu, sikap, dan tindakan yang terpantau dalam interaksi keseharian santri dengan kiai.Dalammenentukan apakah seorang santri telah berhasil menyelesaikan suatukurikulum tertentu, dengan demikian tidak sekedar dinilai dari aspekpenguasaan intelektualnya, melainkan jugaintegritas kepribadian santri yangbersangkutan yang dinilai dari kiprah dan tingkah laku kesehariannya.

(20)

c. Tradisi Pesantren

Dalam pesantren tradisional dikenal pula sistem pemberian ijazah,Ijazah dipesantren berbentuk pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisipengetahuan yangdikeluarkan oleh gurunya terhadap muridnya yang telahmenyelesaikan pelajarannya dengan baik tentang suatu kitab tertentusehingga si murid tersebut dianggap menguasai dan boleh mengajarkannyakepada orang lain. Pentasbihan tentang ijazah mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan tidaklah sempurna jika dipelajari secara outodidak dan tekstualis, seorang murid membutuhkan guru, butuh ijazah langsung juga restu, intuk selanjutnya mengajarkan ilmu yang diperoleh dari sang guru kepada masyarakat.

Mematung, membungkukkan badan mencium tangan, dan berjalan yang bertumpu pada lutut jika berada disatu tempat dengan guru merupakan bentuk penghormatan murid kepada guru yang sudah ada didalam praktik kehidupan masyarakat Nusantara.Seseorang juga harus memenuhi permintaan gurunya.

Adapun tradisi yang berlaku di pesantren merupakan salah satu penerapan dari ilmu yang ada

(21)

di kitab yang dipelajari di pesantren. Dikatakan bahwa sebagian dari memuliakan guru adalah janganlah berjalan di depannya, duduk di tempat duduknya, memulai bicara kecuali mendapat izin darinya, banyak bicara, dan janganlah mengajukan pertanyaan jika guru sedang dalam keadaan tidak baik, dan jagalah waktu, jangan sampai mengetuk- ketuk pintunya. Tetapi bersabarlah sebentar, tunggu sampai dia keluar.

Perbuatan yang demikian bertujuan untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan barokah penyampainya, guru.Sebagaimana dijelaskan sebelumnya memuliakan ilmu dan ahlinyatermasuk hal yang urgent dalam mencari ilmu.Bahkan tempat belajarpun, sebut saja pondok memiliki peran dalam kesuksesan memperoleh ilmu. Sebab apa yang menjadi pijakan manusia juga menjadi saksi atas setiap perbuatan manusia itu sendiri. Perbuatan baik yang dilakukan manusia akan mendapatkan persaksian baik dari “apapun yang menyaksikan”

salah satunya tanah yang dipijak. Begitupun sebaliknya akan selalu seimbamg dengan apa yang diperbuat. Mencari ilmu merupakan hal mulia hingga

(22)

semua ikan yang ada di bumi ikut serta mendoakan pencari ilmu dalam mencapai tujuan mulianya.

Kemuliaan ilmu menjadikan pencarinya untuk selalu memuliakannya.Artinya sesuatu yang mulia perlu diperlakukan dengan mulia pula.Seperti memuliakan ilmu dengan bersuci (wudhu’) ketika memegang kitab atau sedang belajar, itu adalah karena sesungguhnya ilmu adalah nur (sinar) dan wudhu’pun demikian. Maka ilmu itu bertambah lantaran adanya wudhu’. Tidak berselonjor pada kitab, dan ketika meletakkan kitab tafsir hendaknya diletakkan di atas kitab-kitab yang lain dnan tidak meletakkan apapun diatasnya. Menulis kitab dengan tulisan yang baik, menghormati teman dan memuliakan guru.18

Mematung diri dihadapan orang-orang berilmu atau guru, mencium tangan, menata sandal guru, riyadhah, ngerowot, mutihan, slametan, berbusana ala pesantren, tirakat, sowan (menghadap seorang yang menguasai ilmu pengetahuan untuk belajar, meminta petuah, pendapat, pandangan atau segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan) serta boyongan (pasca belajar) juga merupakan tradisi pesantren.

18Ibid. 18

(23)

Simpulan

Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami agama Islam dan mengaplikasikannya dalam keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat dan nilai dalam beribadah kepada Allah. Orientasi dan tujuan didirikannya pesantren adalah memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Diharapkan seorang santri yang keluar dari pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan merujuk kepada kitab-kitab klasik.

Metode pendidikan yang diterapkan di pesantren awalnya berupa sorogan dan wetonan/bandongan yang dilakukan di masjid, surau ataupun lahan yang bisa dijadikan tempat belajar. Namun seiring berjalannya waktu pesantren juga memunculkan sistem klasikal meski tidak meninggalkan metode yang ada.

Metode pendidikan sorogan dan wetonan/bandongan serta tradisi yang diterapkan di pesantren sesuai dengan tata cara memperoleh ilmu yang terdapat di kitab Ta’lim al-Muta’llim. Yaitu, dengan cara memuliakan ilmu, ahlinya, dan guruadalah hal yang patut dilakukan orang yang mencari ilmu agar memperoleh ilmu dan manfaatnya serta barokah yang akan menyelamatkan hidupnya hingga kelak di akhirat.

(24)

Daftar Pustaka

Abd Hamid, M. Tohir. 2017. Lora. Yogyakarta: LKiS

Az-Zarnuji, Syekh.Ta’lim al-Muta’allim. Surabaya: al- Hidayah

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren, Studi tentang pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES

Irawan, Aguk. 2018. Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara.

Tanggerang Selatan: Pustaka Iman

Majdid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Dian Rakyat

Mardiyah.2012. Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi. Malang: Aditya Media Publishing

Prasodjo, Sudjoko dkk. Profil pesantren. Jakarta: LP3ES Qamar, Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi

Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga

Yasid, Abu. 2012. Paradigma Baru Pesantren.

Yogyakarta: Ircisod

Van Bruinessen, Martin. 1999. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung:

Mizan

Referensi