836
KEPASTIAN PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH DI ATAS HAK PENGELOLAAN
Mustofa Abdul Basir
Pascasarjana Universitas Islam Bandung,
Jl. Purnawarman No. 59, Tamansari, Bandung Wetan, Kota Bandung Email: [email protected]
Abstrak
Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) memunculkan norma baru mengenai hak atas tanah di atas hak pengelolaan berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai.
Hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut secara substansi merupakan hak pengelolaan, bagaimana jika hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan dibebani hak tanggungan sebagai jaminan hutang piutang.
Padahal hal tersebut tidak masuk dalam Pasal 4 Ayat (1) UUHT. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif mengenai kepastian pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah di atas hak pengelolaan.
Sebagaimana Pasal 13 Ayat (1) PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah bahwa hak atas tanah di atas hak pengelolaan dapat dibebani hak tanggungan. Tetapi, atas dasar rekomendasi dari pemegang hak pengelolaan dan diperjanjikan dalam perjanjian pemanfaatan tanah sebegaimana Pasal 13 Ayat (2). Ketentuan ini perlu disikapi secara cermat dan hati-hati terutama mengenai jangka waktu pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan karena jangka waktu tersebut terkait langsung dengan pembebanan hak tanggungan dan jangan sampai memunculkan masalah di kemudian hari. Maka, perlu adanya pengaturan yang pasti mengenai jangka waktu dan perlu adanya sinkronisasi antara ketentuan UUCK dan PP 18/2021 dengan UUHT.
Kata-Kunci: Kepastian, Hak Tanggungan, Hak Atas Tanah di Atas Hak Pengelolaan.
Abstract
The issuance of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (UUCK) has created a new norm regarding land rights over management rights in the form of cultivation rights, building use rights, or use rights. The land rights above the management rights are substantively management rights, what if the land rights above the management rights are encumbered with mortgage rights as collateral for debts. Even though this is not included in Article 4 Paragraph (1) UUHT. This research is a normative juridical research regarding the certainty of the imposition of mortgage
837 rights on land rights over management rights. As Article 13 Paragraph (1) PP 18/2021 concerning Management Rights, Land Rights, Flat Units, and Land Registration, that land rights over management rights can be encumbered with mortgage rights. However, on the basis of a recommendation from the holder of the management right and agreed in the land use agreement as referred to in Article 13 Paragraph (2). This provision needs to be addressed carefully and carefully, especially regarding the period of granting land rights over management rights because this period is directly related to the imposition of mortgage rights and should not cause problems in the future. Therefore, there is a need for definite arrangements regarding the time period and there is a need for synchronization between the provisions of UUCK and PP 18/2021 with UUHT.
Keywords: Certainty, Mortgage Rights, Land Rights on Management Rights.
PENDAHULUAN
Saat ini segala aktivitas perekonomian hampir selalu membutuhkan dana dalam membiayai kegiatan bisnis agar berjalan dengan baik dan memperoleh pendapatan dan keuntungan sesuai yang diharapkan. Akan tetapi, keterbatasan dana yang dibutuhkan sering menjadi hambatan dalam mewujudkan harapan tersebut, meskipun memiliki aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak seperti tanah dan atau kendaraan, sehingga atas hal tersebut dicari alternatif yang mampu memberikan dana yang dibutuhkan. Salah satu yang dapat memberikan pendanaan umumnya adalah lembaga keuangan seperti lembaga perbankan.
Namun, dalam memperoleh pendanaan dari lembaga perbankan tersebut diperlukan adanya aset yang harus dijadikan jaminan sebagai bentuk komitmen peminjaman dana antara nasabah (debitur) untuk melunasi dana yang dipinjamkan dari bank (kreditur), misalnya jaminan berupa hak atas tanah milik debitur yang dijadikan hak tanggungan atas hutang yang diberikan kepadanya. Pada dasarnya, ketika seseorang berhutang maka segala harta yang dimilikinya menjadi jaminan atas hutang tersebut sebagaimana Pasal 1131 KUHPerdata, akan tetapi dengan adanya hak tanggungan atas jaminan berupa hak atas tanah yang dimiliki oleh debitur maka sejatinya adalah memberikan hak preferen kepada kreditur untuk didahulukan pembayarannya ketika debitur wanprestasi ataupun pailit.1 Jaminan tersebut sebagai bagian dari penjaminan kepercayaan kreditur kepada debitur karena pemberian kredit merupakan sebuah kepercayaan
1Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Grup: Jakarta, 2011, hlm. 75.
838
bahwa kreditur percaya debitur dapat memenuhi segala sesuatu yang telah disepakati dalam hutang piutang.2
Tetapi, tidak semua jenis hak atas tanah dapat dibebankan hak tanggungan sebagaimana Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) menyebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Pasal tersebut memberikan informasi yang tegas bahwa hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan dalam hutang piutang dengan dibebani hak tanggungan hanya pada tiga jenis hak atas tanah. Namun kemudian, dalam Pasal 4 Ayat (2) UUHT disebutkan bahwa pembebanan hak tanggungan juga bisa diberikan pada jenis hak pakai tetapi terhadap hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan dan hal tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pasal 4 Ayat (2) tidak memberikan kepastian kepada masyarakat karena selain memberikan tambahan penafsiran pada Ayat (1) juga menimbulkan kontrakdiktif dengan Ayat (1). Begitupun dengan adanya pemilikan hak atas tanah dengan jenis-jenis hak atas tanah di atas hak pengelolaan yang semakin menambah keberagaman jenis hak atas tanah berupa hak guna usaha dan atau hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada bagian keempat Pasal 129 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa di atas hak pengelolaan dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Berlakunya UUCK tersebut terdapat potensi ketidakpastian mengenai hak guna usaha dan hak guna bangunan yang berada di atas hak pengelolaan terutama ketika dijadikan jaminan dengan dibebani hak tanggungan sebagai perjanjian acessoir dari perjanjian pokok antara kreditur dan debitur. Kepastian mengenai hal tersebut sangat dibutuhkan dalam menjamin kepastian kepada kreditur dan begitu juga terhadap debitur ketika hak atas tanah yang akan dijadikan jaminan dalam hutang piutang berada di atas hak pengelolaan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan perundang-undangan atau yuridis normatif. Menurut Zainuddin Ali penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang membahas
2Willy Putra dan Haryati Widjaja, Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penyaluran Kredit (Studi Kasus Di Bank BRI Cabang Semarang), Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1, Oktober 2018, hlm. 84. hlm. 81-96.
https://ejournal.uksw.edu/refleksihukum/article/view/2397/1203
839 doktrin-doktrin, ketentuan perundang-undangan, atau asas-asas dalam ilmu hukum.3
PEMBAHASAN
1. Kepastian Hukum
Kepastian merupakan suatu hal keadaan atau situasi yang sudah tentu atau sudah ditentukan sehingga menjadi ada keyakinan, kejelasan, ketegasan, atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti karena fungsinya untuk menjamin kepastian. Kepastian sebagai sebuah pedoman suatu tindakan karena pedoman suatu tindakan tersebut harus menunjang suatu tatanan yang dinilai kejelasan dan kewajaran.
Ketentuan hukum yang dilaksanakan dengan pasti, maka hukum tersebut akan dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.4 Hans Kelsen menyebutkan bahwa hukum adalah sebuah sistem norma yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.5
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual
3Zainuddin Ali, 2016, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedelapan, Jakarta:
Sinar Grafika, h. 24.
4Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, h. 59.
5Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, h. 158.
840
mencirikan hukum.6 Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.7
Kepastian merupakan jaminan mengenai hukum yang dapat memberikan keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian- bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan.8
2. Hak Tanggungan
Secara tersurat sebenarnya Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan atau juga diistimewakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.9 Hak tanggungan merupakan hak yang dibebankan terhadap hak atas tanah yang pengaturanan telah di atur dalam Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Hak tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta hanya menyangkut hak atas tanah saja, karena pada praktiknya sering terdapat adanya benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya, yang secara tetap merupakan kesatuan dengan
6Cst Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, 2009, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, h. 385.
7Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, h. 23.
8Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, h. 95.
9Pasal 1 Angka (1) Udang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggunan dalam Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, h. 51.
841 tanah yang dijadikan jaminan atau agunan atas perjanjian pokok hutang piutang antara debitur dan kreditur. Pembebanan hak tanggungan atas tanah pada dasarnya merupakan perjanjian accesoir atau turunan dari perjanjian pokok sebagai jaminan atas perjanjian hutang piutang yang umumnya dilakukan antara lembaga perbankan sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur. Proses pembebanan hak tanggungan terhadap sertipikat hak atas tanah untuk kelangsungan penjaminan kredit, pelaksanaan melalui dua tahap, yaitu: Pertama, Tahap Pembebanan Hak Tanggungan: Pembebanan hak tanggungan tentunya diproses melalui Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat umum yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan sebagian tugas pemerintah dalam bidang pendaftaran tanah, melalui pembuatan akta pembebanan hak tanggungan (APHT). Lembar pertama akta tersebut disimpan di kantor PPAT, lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT berikut warkah-warkah yang diperlukan dan asli sertipikat Hak Milik objek. Setelah itu, hak tanggungan tersebut disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatangani, dan penyampaiannya dilakukan dengan surat pengantar dari PPAT yang dibuat dalam rangkap dua dan menyebut secara lengkap jenis surat-surat dokumen yang disampaikan.
Dokumen-dokumen yang disampaikan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan kurang lebih adalah sebagai berikut: (a) surat pengantar dari PPAT yang dibuat dalam dua rangkap; (b) surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari PPAT (selaku kuasa dari kreditor penerima Hak Tanggungan); (c) fotocopy identitas/KTP pemberi dan penerima Hak Tanggungan (yang dilegalisir oleh Notaris); (d) sertipikat asli Hak Milik (hasil perubahan Hak Guna Bangunan yang telah dibubuhi catatan kesesuaiannya dengan data yang ada di Kantor Pertanahan); (e) lembar kedua APH; (f) Salinan APHT yang sudah diparaf oleh PPAT; (g) Surat Kuasa pengurusan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pegawai PPAT;10 Kedua, Tahap Pendaftaran:
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atas dasar data dalam APHT serta berkas pendaftaran yang diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah hak tanggungan dan pencatatan adanya hak tanggungan dalam buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan. Tanggal kelahiran hak tanggungan
10Hendri Budiyanto, Noor Saptanti, dan M. Najib Imanullah, 2015, “Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Guna Bangunan dalam Perubahan Status Menjadi Hak Milik”, Jurnal Repertorium, Edisi 3 Januari-Juni, h. 39.
https://media.neliti.com/media/publications/213027-pembebanan-hak-tanggungan- terhadap-hak-g.pdf
842
adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat- surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari berikutnya. Sertipikat hak tanggungan terdiri dari salinan buku tanah hak tanggungan dan salinan APHT yang keduanya dibuat oleh Kantor Pertanahan dan dijahit menjadi satu dalam satu sampul dokumen. Pada sampul sertipikat dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.11 Sejak berlakunya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik (Perkaban HT-El) maka semua proses dan atau tahapan dalam pendaftaran hak tanggungan dilakukan secara elektronik. Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik yang selanjutnya disebut Sistem HT-el merupakan serangkaian proses pelayanan hak tanggungan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah yang diselenggarakan melalui sistem elektronik yang terintegrasi.12 Tentunya dengan belakukan pendaftaran secara elektronik tersebut sertipikat hak tanggungan atas jaminan menjadi lebih sederhana dan lebih cepat.
3. Hak Pengelolaan Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono menyebutkan bahwa hak pengelolaan dalam sistematika hak penguasaan atas tanah tidaklah dimasukkan ke dalam golongan hak-hak atas tanah, melainkan merupakan sebuah gempilan dari hak menguasai negara atas tanah.13 Intinya bahwa Hak Pengelolaan merupakan bagian dari hak menguasai negara yang sebagian kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan. Oleh sebab itu, Hak Pengelolaan itu dikatakan sebagai fungsi/kewenangan publik, sebagai hak menguasai negara, dan tidak tepat disamakan dengan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. Menurut A.P. Parlindungan menyatakan bahwa Hak Pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan khusus hak ini demikian pula luasnya terdapat di luar ketentuan UUPA.14 Kemudian, menurut Winahyu
11Ibid.
12Pasal 1 Angka 6 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.
13Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, h. 280.
14A.P. Parlindungan, 2008, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Bandung: Mandar Maju, h. 1.
843 Erwiningsih, Hak menguasai negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban Negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaatrechtelijk. Makna dari pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana, dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam nasional.15 Pada dasarnya secara yuridis hak menguasai negara atas tanah berisikan wewenang yang ditetapkan sebagaimana Pasal 2 Ayat (2) UUPA, yaitu: a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c) menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang; dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
4. Kepastian Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah di Atas Hak Pengelolaan
Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang bertujuan untuk mempemudah akses investasi yang dipersiapkan oleh pemerintah dalam rangka membuka lebar-lebar pintu pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.16 UUCK tersebut telah merubah beberapa undang-undang yang berkaitan dengan aspek utama atau pendukung dalam mempermudah investasi, salah satunya adalah akses yang diberikan terhadap hak atas tanah dengan mekanisme pengaturan penguatan hak pengelolaan. Di bagian keempat dalam UUCK terdapat Pasal 129 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa hak atas tanah di atas hak pengelolaan dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Pengaturan ini jelas memberikan ruang terhadap kemungkinan adanya pembenanan hak atas tanah berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai sebagai jaminan dengan bentuk hak tanggungan. Padahal jika mengacu pada Pasal 4 UUHT jelas bahwa pengaturan mengenai hak atas tanah yang dapat dibebani hak
15Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Universitas Islam Indonesia- Yogyakarta: Total Media, h. 101.
16Fajar Kurniawan, 2020, “Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja yang Di PHK”, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 5 No. 1 Juni, h.
63. http://repository.ubaya.ac.id/37870/1/
Jurnal%20Fajar%20Kurniawan_PROBLEMATIKA%20PEMBENTUKAN%20RUU_2020 .pdf
844
tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan dengan tambahan hak pakai atas tenah negara. Pasal 4 UUHT tidak mengatur sama sekali hak atas tanah dengan jenis hak hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas hak pengelolaan.
Tentunya ini akan menimbulkan ketidakpastian, jika memang tujuan utama UUCK adalah membukan investasi maka tentunya pemegang hak- hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut dapat dibebank an hak tanggungan atau tidak. Padahal pemegang hak yang menguasai secara yuridis mempunyai kewenangan untuk mengelola dan menggunakan tanah sesuai dengan sifat dan peruntukan tanahnya. Secara umum pemegang hak dapat mempergunakan tanah sesuai dengan kebutuhannya dengan tetap memperhatikan batasan-batasan yang ditentukan dalam peraturan perundangan.17
Hak Pengelolaan merupakan objek pengaturan dalam ruang lingkup hukum tanah nasional, sehingga payung hukum yang mengatur tentang hukum tanah nasional adalah Uundang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Namun dalam UUPA tidak secara eksplisit mengatur tentang HPL, hanya diuraikan dalam penjelasan umum bahwa kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing - masing (Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing. Artinya hak pengelolaan ada bukan merupakan hak atas tanah yang murni dapat dimiliki oleh masyarakat atau warga negara karena hak pengelolaan sejatinya ada karena adanya hak menguasai negara atas tanah. Negara memiliki kuasa dan kewenangan untuk mengelola tanah dengan tujuan dapat dipergunakan seefisien dan seefektif mungkin dalam pembangunan nasional. Akan tetapi, dengan adanya hak-hak turunan atas tanah yang keberadaannya di atas hak pengelolaan menjadi sebuah norma baru terutama dalam hal penggunaan hak-hak atas tanah tersebut ketika akan dijadikan hak tanggungan untuk jaminan. Hal tesebut sejalan
17Ana Silviana, 2017, “Pemanfaatan Tanah di Atas Hak Pengelolaan Antara Regulasi dan Implementasi”, Diponegoro Private Law Review, Vol 1 No. 1 November, h.
37. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dplr/article/download/1936/1268
845 dengan bagian keempat UUCK pada paragraf kedua Pasal 136 bahwa hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Namun, dalam UUCK tidak ada pasal yang memberikan pengaturan mengenai kebolehan hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan dibebani hak tanggungan berbeda dengan hak milik atas satuan rumah susun diatur dengan tegas dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana paragraf tiga Pasal 144 Ayat (3) bahwa hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai penyempurna dari ketentuan di bidang pertanahan yang ada dalam UUCK, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021). Terbitnya PP 18/2021 ini sejatinya dapat memberikan kepastian mengenai dapat tidaknya hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan di jadikan hak tanggungan. Hak pengelolaan murni yang dikuasai oleh instansi atau lembaga atau pihak lain yang memang diberikan kewenangan untuk diberikah hak pengelolaan sepenuhnya tidak dapat dijadikan hak tanggungan. Hal tersebut sebagaimana Pasal 12 Ayat (1) PP 18/2021 yang menyatakan bahwa hak pengelolaan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal ini memberikan kepastian pada sisi hak pengelolaan murni yang tidak dijadikan hak tanggungan.
Pemegang hak pengelolaan memiliki hak atau kewenangan untuk memberikan hak turunan kepada masyakat berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai dalam bentuk kerjasama sebagaimana Pasal 8 Ayat (1) PP 18/2021. Hak-hak atas tanah yang diberikan di atas hak pengelolaan ternyata dapat dibebani hak tanggungan, hal ini jelas bertolak belakang dengan Pasal 12 Ayat (1) yang sangat tegas menyebutkan bahwa hak pengelolaan tidak dapat dibebani hak tanggungan. Tetapi, kenapa hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan bisa dibebani hak tanggungan. Tanah hak pengelolaan yang dikuasai oleh pemegang haknya dapat dipergunakan untuk keperluan pelaksanaan tugas atau usahanya, juga dapat diserahkan kepada pihak ketiga atas persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Boedi Harsono menyatakan bahwa pemegang Hak Pengelolaan memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang menjadi haknya bagi keperluan usahanya. Tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah tanah yang bersangkutan
846
disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukannya.18
Adanya Pasal 13 Ayat (1) PP 18/2021 jelas memberikan kepastian kepada masyarakat mengenai bisa tidaknya hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan dibebani hak tanggungan. Tetapi, dengan catatan bahwa setiap perbuatan hukum pembebanan atas hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, memerlukan rekomendasi pemegang hak pengelolaan dan dimuat dalam perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana Pasal 13 Ayat (2) PP 18/2021. Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) PP 18/2021 menyebutkan bahwa Ketentuan ini berlaku untuk hak pengelolaan yang merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah maupun bukan aset barang milik negara/barang milik daerah, artinya hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan dapat dibebani hak tanggungan dari manapun hak atas tanah di atas hak pengelaan tersebut diberikan. Jika mengacu pada Ayat (2) tersebut juga menimbulkan ketidakpastian mengenai bentuk surat rekomendasi dan perjanjian seperti apa sehingga hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan dapat dibebani hak tanggungan karena pada dasarnya kepastian terjadi atau ada ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan mengatur secara jelas dan logis. Jelas artinya tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan menjadi suatu sistem norma yang tidak berbenturan atau menimbulkan konflik dengan norma.
Jika ditinjau dari ketentuan yang tertuang dalam PP 18/2021 Pasal 12 Ayat (1) dan Pasal 13 Ayat (1) maka ketentuan tersebut sejatinya telah memenuhi kepastian hukum yang tegas dan jelas karena telah diatur secara tegas dan tidak multitafsir. Akan tetapi, jika ditinjau dari kelogisan, sebagai bagian dari aspek kepastian, maka ketentuan tersebut tidak memenuhi kelogisan (tidak logis) karena pada dasarnya hak atas tanah di atas hak pengelolaan hak utamanya secara substansi materiil adalah hak pengelolaan atau pada prinsipnya hak atas tanah tersebut adalah hak pengelolaan, sedangkan hak-hak lain yang merupakan turunan dari hak pengelolaan merupakan hak sifatnya subtansi temporal (sementara). Jika secara substansi materiil adalah hak pengelolaan lalu secara subtansi temporal adalah hak guna usaha atau hak guna bangunan maka hak yang lebih kuat adalah substansi materiil, artinya jika sewaktu-waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut ternyata ditarik atau diserhakan kembali kepada negara atau hak pengelolaan tersebut habis masa lakunya, maka hak-hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut tentunya akan berkahir dengan sendirinya
18Boedi Harsono., Loc. Cit.
847 karena yang memberikan hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut sudah tidak lagi memiliki hak dan atau wewenang. Oleh sebab itu, pengaturan mengenai hak atas tanah di atas hak pengelolaan ini perlu dilakukan pengaturan lebih lanjut.
Pengaturan lebih lanjut tentunya berhubungan dengan jaminan kepastian dan perlindungan terhadap kreditur jika ternyata hak atas tanah yang dijadikan jaminan atas hutang debitur adalah hak atas tanah di atas hak pengelolaan. Jika ditinjau dari Pasal 13 Ayat (2) PP 18/2021 yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan hukum atas pebebanan hak atas tanah di atas hak pengelolaan menjadi hak tanggungan memerlukan rekomendasi dari pemegang hak pengelolaan dan dimuat dalam perjanjian pemanfaatan tanah. Dengan kata lain, selama kedua hal tersebut tidak terpenuhi maka kredtur sudah seharusnya tidak menyetujui atau mengabulkan permohonan pembebanan atas hak tanah di atas hak pengelolaan yang diajukan oleh debitur jika ternyata tidak ada rekomendasi dari pemegang hak pengelolaan dan tidak dimuat dalam perjanjian pemanfaatn tanah. Pengaturan ini secara tidak langsung memberikan perlindungan kepada kreditur sehingga jika di kemudian hari terdapat debitur yang akan mengajukan kredit dengan jaminan hak atas tanah di atas hak pengelolaan.
Kemudian, masalah lain adalah mengenai pengaturan hak atas tanah di atas hak pengelolaan dari sisi jangka waktu pemberian hak atas tanah tersebut secara tegas belum diatur, sehingga hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian kepada pemegang hak atas tanah di atas hak pengelolaan dan kepada calon kreditur. Jangka waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan tentunya sangat penting karena terkait dengan jaminan kepastian bagi kreditur dan jangan sampai hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan ternyata habis masa lakunya ayang dapat menimbulkan kerugian terhadap kreditur. Oleh sebab itu, pengaturan mengenai jangka waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan perlu menjadi perhatian yang serius bagi pemilik hak pengelolaan, kreditur, dan debitur setidaknya diatur dalam perjanjian kerjsama pemanfaatan tanah antara debitur dan pegang hak pengelolaan. Jika memang, mengenai jangka waktu pemberian hak atas tanah di atas hak pengelolaan diserahkan kepada pemegang hak pengelolaan maka kreditur bisa melihat atau membaca dalam perjanjian kerjasama permanaafan tanah anata debitur dan pemegang hak pengelolaan tersebut sehingga kreditur tahu dengan pasti masa laku hak tersebut.
Adanya hak atas tanah di atas hak pengelolaan yang dapat dibebani hak tanggungan tidak hanya menjadi perhatian kreditur dan debitur, tetapi juga harus menjadi perhatian bagi pejabat pembuta akta
848
tanah (PPAT), keran dengan adanya hal ini maka tugas dan peran PPAT menjadi bertambah, selain harus bertambah hati-hati tetapi juga harus tambah teliti. Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa pejabat pembuat akta tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. PPAT dalam hal ini memiliki kewenangan dalam pembuatan akta autentik pemberian hak tanggungan. Oleh sebab itu, PPAT sangat perlu memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan pembebanan hak tanggungan atas hak tanah di atas hak pengelolaan.
KESIMPULAN
Pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah di atas hak tanggungan dapat dilakukan sepanjang hal tersebut telah memenuhi aspek- aspek yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan perjanjian dalam pemanfaatan tanah tersebut. Kepastian tersebut sebagaimana telah diatur dalam PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah Pasal 13 Ayat (1) dan (2). Namun, perlu adanya ketegasan mengenai batas waktu berlakunya hak atas tanah di atas hak pengelolaan sehingga memberikan kepastian kepada semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap hak atas tanah di atas hak pengelolaan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis terhadap semua hal yang berkaitan dengan hak atas tanah di atas hak pengelolaan agar dapat menjamin kepastian dan perlindungan kepada semua pihak terutama dalam hal ketika hak atas tanah di atas hak pengelolaan tersebut dibebani hak tanggungan. Kemudina, perlu adanya perubahan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan terutama Pasal 4 Ayat (1) UUHT sehingga dapat menjamin kepastian di kemudian hari dan tidak terjadi pemahaman yang tidak utuh terhadap suatu ketentuan yang dapat menimbulkan multitafsir. Jika ketentuan mengenai hak atas tanah di atas hak pengolaan tersebut tidak utuh tentunya akan terjadi disharmonisasi yang menyebabkan ketidakpastian pengaturan. Dengan demikian, penting sekali pemerintah mengatur mengenai hak atas tanah di atas hak pengelolaan ini secara komprehensif agar menjadi sarana yang dapat mensejahterakan melindungi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
849 Buku
Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung.
Ali, Zainuddin, 2016, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedelapan, Jakarta: Sinar Grafika.
Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia-Total Media.
Harsono, Boedi, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan.
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Kansil, Cst Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, 2009, Kamus Istilah Hukum, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana:
Jakarta.
Parlindungan, A.P., 2008, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Bandung:
Mandar Maju.
Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Rato, Dominikus, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Syahrani, Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung:
Penerbit Citra Aditya Bakti.
Jurnal
Budiyanto, Hendri., Saptanti, Noor., dan Imanullah, M. Najib, 2015,
“Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Hak Guna Bangunan dalam Perubahan Status Menjadi Hak Milik”, Jurnal Repertorium,
Edisi 3 Januari-Juni, h. 31-42.
https://media.neliti.com/media/publications/213027-pembebanan- hak-tanggungan-terhadap-hak-g.pdf
Kurniawan, Fajar, 2020, “Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja yang Di PHK”, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 5 No. 1 Juni, h. 63-76.
http://repository.ubaya.ac.id/37870/1/Jurnal%20Fajar%20Kurniawan _PROBLEMATIKA%20PEMBENTUKAN%20RUU_2020.pdf Putra, Willy dan Widjaja, Haryati, 2018, “Penerapan Prinsip Kehati-Hatian
Dalam Penyaluran Kredit (Studi Kasus Di Bank BRI Cabang
850
Semarang)”, Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor
1, Oktober, h. 81-96.
https://ejournal.uksw.edu/refleksihukum/article/view/2397/1203 Silviana, Ana, 2017, “Pemanfaatan Tanah di Atas Hak Pengelolaan Antara
Regulasi dan Implementasi”, Diponegoro Private Law Review, Vol
1 No. 1 November 2017, h. 36-45.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dplr/article/download/1936/1 268
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.