S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
Iman Adiananda
080200014
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN YANG
OBJEKNYA BERSTATUS MILIK PIHAK KETIGA
(Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)
Oleh
Iman Adiananda
080200014
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum
NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I
M. Husni., M.H NIP. 195802021988031004
Dosen Pembimbing II
Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum NIP.196801281994032001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK * Iman Adiananda
**M.Husni
*** Puspa Melati Hasibuan
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga. Yuridis normatif melakukan penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih muda dipahami dan disimpulkan.
Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Proses pemberian kredit merupakan tindakan terencana dengan menekankan prinsip kehati-hatian yaitu melakukan tindakan awal dengan cara menganalisa pendahuluan, pembukuan, dan melakukan deteksi awal terhadap segala kemungkinan yang timbul atas diberikannya kredit kepada debitur. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad
dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah
Kedudukan Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Hak
Milik Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Panyabungan)
Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi
ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian
penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan
penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis
terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kapada :
1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Wakil Dekan I Fakultas
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan.
6. Muhammad Husni, M.H selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi
menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai
dengan menyelesaikan skripsi ini.
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda
Alm Adanan dan Ibunda Hakimah, adik-adik penulis M Novrizal Adlani, Jeny
Andari dan kakanda penulis dr.Hanifa Adriani yang telah banyak memberikan
dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus
sampai sekarang dan selamanya.
10.Buat teman-teman stambuk 08, Zefri Zulfi SH, Barita News Lumbanbatu SH,
Fudjli Rinanda Simangunsong, Robert Joshua Maail, Fahmi Anggia Lubis SH,
M Karami SH, Vitra Armadhana SH, adik-adik stambuk, kawan-kawan
persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan
skripsi ini.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita
lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon
maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan
kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.
Medan, September 2015 Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 9
E. Keaslian Penulisan ... 10
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 16
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan ... 16
B. Objek dan Subjek Hak Tanggungan ... 20
C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan ... 27
D. Berakhirnya Hak Tanggungan ... 36
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ... 49
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik ... 49
B. Kedudukan Hak Milik ... 64
BAB IV KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA BERSTATUS HAK MILIK
PIHAK KETIGA ... 72
A. Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 72
B. Perlindungan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 87
C. Kedudukan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan ... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA ... 97
ABSTRAK * Iman Adiananda
**M.Husni
*** Puspa Melati Hasibuan
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga. Yuridis normatif melakukan penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih muda dipahami dan disimpulkan.
Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan Pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian terlebih dahulu. Proses pemberian kredit merupakan tindakan terencana dengan menekankan prinsip kehati-hatian yaitu melakukan tindakan awal dengan cara menganalisa pendahuluan, pembukuan, dan melakukan deteksi awal terhadap segala kemungkinan yang timbul atas diberikannya kredit kepada debitur. Perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.Kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan. Kedudukan pihak ketiga yang telah dibebani hak tanggungan, adalah pembeli tanah memiliki hak untuk mendapatkan seutuhnya kepemilikan tanah dengan diberikannya sertifikat hak milik atas tanah, selain itu pihak pembeli tanah mempunyai hak tagih kepada debitur/pemilik tanah (sebagai kreditur konkuren) terhadap piutang pembayaran kredit debitur/pemilik tanah kepada bank, dan debitur/pemilik tanah secara hukum wajib membayar hutangnya sebagai bentuk tanggung jawab dari kelalaian yang telah dilakukan.
BAB I
PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) tidak memberikan pengertian agraria, hanya
memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam
konsideran, pasal-pasal maupun penjelasanya. Ruang lingkup agrarian menurut
UUPA meliputi Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang terkandung
di dalamnya.1
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur mengenai keagrariaan. Tanggal
9 April 1996, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah
(selanjutnya disebut UUHT).
Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik
yang
Kehadiran lembaga Hak Tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti
dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotik yaitu suatu hak kebendaan
atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan suatu pengikatan) sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband
yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan
1
Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut.2
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Hak Tanggungan ini sangat
berarti dalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang
hak jaminan atas tanah. Kenyataannya menunjukkan bahwa dalam praktik
pelaksanaan penjaminan atas tanah selama ini telah terjadi hal-hal yang tidak
mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat dengan segala
dampaknya, seperti yang terjadi dalam praktik yang seolah-olah melembagakan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan bertujuan
memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga Hak Tanggungan yang
kuat, di antaranya mengenai kedudukan SKMHT.
Jaminan kepastian hukum bagi pembeli tanah biasanya menjadi harapan
setiap orang, oleh karena itu ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
kepemilikan tanah harus jelas, lebih-lebih yang berkaitan dengan debitur yang
sering kali karena kelalaiannya, menimbulkan wanprestasi dengan cara tidak
melunasi kewajibannya kepada kreditur. Namun, pihak debitur pada sisi lain telah
menerima pembayaran atau pelunasan sebidang tanah beserta bangunan, hal ini
sering menimbulkan masalah.
Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
2
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak (Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790, selanjutnya disingkat UU Perbankan). Secara
sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga keperantaraan antara kelompok orang
yang untuk sementara mempunyai dana lebih (surplus spending group) dan
kelompok orang yang untuk sementara pula kekurangan dana (defisit spending
group).3
Terlihat dua fungsi utama bank, yakni fungsi pengerahan dana dan
penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan yang lazim antara bank
dannasabah, yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana;
dan hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.4 Pada hubungan hukum
antara bank dan nasabah debitur, memberikan pemahaman bahwa bank
merupakan lembaga penyedia dana bagi para debiturnya. Hubungan tersebut
dimaknai sebagai hubungan nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dan nasabah yang bersangkutan.5
Proses pemberian kredit, bank tidak serta merta memberikan kredit kepada
nasabah, oleh sebab itu nasabah (developer) memberikan jaminan berupa
sertifikat Hak Milik Atas Tanah kepada bank kemudian diikat dengan perjanjian
jaminan yaitu Hak Tanggungan.
3
Ibid., hal.12
4
Ronny Sautama Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan dan Deposito. Citra Aditya Bakti, Bandung.1995, hal 32 5
Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan jaminan. Jaminan kredit
yang diterima bank dari debitur termasuk sebagai salah satu objek yang berkaitan
dengan kepentingan bank. Jaminan pemberian kredit merupakan keyakinan bank
atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Artinya bahwa pihak penerima kredit (debitur) harus memberikan jaminan kepda
bank (kreditur) yang nilainya sepadan dengan kredit yang telah diberikan. Adanya
jaminan tersebut akan memberikan kepastian kepada bank dalam memperoleh
kembali kredit yang diberikan kepada debitur.
Jaminan kredit tersebut harus dapat diyakini sebagai jaminan yang baik
dan berharga sehingga akan dapat memenuhi fungsi-fungsinya, antara lain dengan
memperhatikan aspek hukum yang terkait termasuk aspek hukum jaminan. Hal ini
dilakukan oleh pihak bank agar bank mendapat kepastian bahwa kredit yang
diberikan kepada masyarakat dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan
dapat kembali dengan aman. Maka dengan adanya jaminan yang diikat dalam
bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin
terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit
atau pinjamannya. Dengan demikian, jaminan dalam perjanjian kredit ini
bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur. Apabila di kemudian hari debitur
ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan
perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit
yang bersangkutan.
Terkait dengan tanah sebagai barang jaminan dalam pemberian kredit,
memberikan hak istimewa bagi pihak kreditur dalam perjanjian kredit dengan
debitur. Pembebanan Hak Tanggungan dapat memberikan kepastian hak bagi
kreditur dalam memperoleh pelunasan piutangnya jika debitur wanprestasi. Hal
ini tercantum pada Pasal 6 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3632, selanjutnya disingkat UU Hak Tanggungan),
bahwa apabila debitur cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut.
Bank sebagai badan usaha yang wajib dikelola berdasarkan prinsip
kehati-hatian (prudent banking) yang dikenal dengan formula 5C‟, yaitu character,
capacity, capital, collateral, dan condition, tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku agar dapat mengamankan dan melindungi kepentingannya. Prinsip
kehati-hatian tersebut penting untuk diterapkan oleh pihak bank. Unsur collateral
(jaminan) merupakan salah satu unsur penting yang harus dipenuhi oleh pihak
debitur dalam pengajuan perjanjian kredit.Berkaitan dengan hal melayani anggota
masyarakat yang memerlukan dana bank, masing-masing bank mempunyai
berbagai skim kredit tersendiri sesuai dengan kebijakannya. Skim kredit yang
ditawarkan bank kepada masyarakat memuat persyaratan-persyaratan yang harus
Setelah penelitian bank (kreditur) dianggap cukup sesuai standar
kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank, kemudian pihak bank dan
pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut
terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pemberian Hak
Tanggungan itu dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian
Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah
selaku pemberi hak tanggungan, pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank,
dua orang saksi, dan PPAT sendiri. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan
(selanjutnya APHT) ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan
itu terletak disertai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 6 dan Pasal 7 UU Hak Tanggungan memberikan kepastian hukum
kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak
Tanggungan menyatakan bahwa “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan
menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat mengikuti obyeknya dalam tangan
siapapun obyek tersebut berada Substansi dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan
menunjukkan hak yang dipunyai pemegang Hak Tanggungan untuk menjual
Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan menunjukkan jaminan kepentingan
pemegang Hak Tanggungan, walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah
tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya
untuk mengeksekusi.
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah. Irah-irah Demi Keadilan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa yang
dicantumkan pada sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan
adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan. Sehingga apabila
debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan
menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara
Perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) berikut penjelasan UUHT.6
Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Kedudukan
Hukum Terhadap Hak Tanggungan Yang Objeknya Berstatus Milik Pihak
Ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan)
I. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut :
6
1. Bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang objeknya
berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk Cabang Panyabungan?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan
yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan?
3. Bagaimana kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang
objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan?
J. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembebanan hak tanggungan yang
objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pembebanan hak
tanggungan yang bjeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan.
3. Untuk kedudukan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan yang
objeknya berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank Rakyat
K. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini yaitu
untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya terhadap
kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik
pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang
Panyabungan)
2. Manfaat praktis
Memberikan suatu gambaran mengenai permasalahan dan hambatan yang
timbul dalam kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya
berstatus milik pihak ketiga.
L. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang
dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
penulisan skripsi terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan yang
objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero),
Tbk Cabang Panyabungan).
Immanuel Rumapea (2012), NIM, 080200127dengan judul Tinjauan
Yuridis Penyelesaian Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank
dalam penelitian ini adalah Syarat dan Prosedur Pemberian Kredit Usaha Rakyat
pada Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan.
Penyebab Terjadinya Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat Bank Rakyat
Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan. Dan Upaya yang dilakukan
dalam Penyelesaian Kredit Macet pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat
Indonesia Kantor Cabang Pembantu Krakatau Medan.
Ahmad Huda Dayan Nasution (2012) NIM 070200368 dengan judul
Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan
Jaminan Hak Tanggungan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Prosedur
Umum Pemberian Kredit Dengan Jaminan di Indonesia. Kedudukan Kreditur
Pemegang Hak Tanggungan. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan dan
Perlindungan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan.
Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun
tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian
penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah
ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.
M.Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif, dengan cara
menganalisis bahan hukum secara komprehensif baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder yang diperoleh selama melakukan penelitian.
memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan kedudukan
hukum terhadap hak tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga
(Studi Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan). 7
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan
sosiologis empiris. Yuridis normatif adalah untuk mengkaji berbagai
peraturan-peraturan yang ada terkait dengan kedudukan hukum terhadap hak tanggungan
yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk Cabang Panyabungan), sebagai dasar untuk memecahkan masalah.
Sedangkan metode sosiologis empiris didasarkan berdasarkan pengamatan dan
penalaran. Pengamatan berati susun yang berhubungan dengan panca indra
manusia yang dialaminya dalam kehidupan sosial. Sedangkan penalaran berati
semua berhubungan dengan akal budi manusia yang bersifat rasional. Sifat
empiris ini sering dihubungan dengan sifat ilmu yang diuji dengan fakta.
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian ini
melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan
menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami
dan disimpulkan. Deskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini, bermaksud
untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis dan menyeluruh,
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kedudukan hukum terhadap hak
tanggungan yang objeknya berstatus milik pihak ketiga (Studi Bank Rakyat
7
Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan). 8
3. Sumber Data
Penelitian ini akan dibantu
dengan kajian dari sisi normatif, yaitu nilai ideal sesuai dengan apa yang
seharusnya berlaku menurut aturan hukum positif.
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dilapangan,
diamati dan dicatat gejala hukum yang terjadi yang berasal dari informan
yang menjadi sumber dalam penelitian ini.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil studi dokumentasi dan
studi kepustakaan serta berbagai macam dokumen tertulis lainnya yang
didapatkan pada lokasi penelitian dan memiliki relevansi dengan objek
penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini, terdapat dua teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Sasaran penelitian kepustakaan ini terutama untuk mencari landasan teori
dari objek kajian dengan cara:
1) mempelajari buku-buku yang berhubungan baik langsung dengan objek
dan materi skripsi ini.
8
2) Mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Dalam penelitian ini, peneliti ke PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero),
Tbk Cabang Panyabungan guna melakukan wawancara/Interview secara langsung
pada Wawancara dengan Imam Mahadi selaku Supervisor, Penunjang Bisnis PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan dan yang
berhubungan dengan masalah yang terkait pada penelitian skripsi ini.
5. Teknik Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan
dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan
menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya
melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan
bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna
mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan
saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang
dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.9
9
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai
N. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang
menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan
membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun
bagiannya, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN
Bab ini berisikan mengenai pengertian dan dasar hukum hak
tanggungan, objek dan subjek hak tanggungan dan proses
pembebanan hak tanggungan serta berakhirnya hak tanggungan
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK
Bab ini berisikan mengengai pengertian dan dasar hukum hak milik
BAB IV KEDUDUKAN HUKUM TERHADAP HAK TANGGUNGAN
YANG OBJEKNYA BERSTATUS HAK MILIK
PIHAK KETIGA
Bab ini berisikan mengenai pelaksanaan pembebanan hak tanggungan
yang objeknya, berstatus hak milik pihak ketiga pada PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan dan
Perlindungan Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang
bjeknya Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk Cabang Panyabungan serta Kedudukan
Hukum terhadap Pembebanan Hak Tanggungan yang Objeknya
Berstatus Hak Milik Pihak Ketiga pada PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk Cabang Panyabungan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dari isi skripsi ini. Pada bagian ini,
penulis mengemukakan kesimpulan dan saran yang didapat sewaktu
E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan
Sejak diberlakukannya UUHT maka ketentuan dalam Buku Kedua Bab
XXI Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata tentang Hipotik atas
tanah dan dalam Staatsblad Tahun 1908 nomor 542 tentang ketentuan
Creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tersebut, disebutkan bahwa:10
Sebelum jadi UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang
menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak atas tanah
merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah berlakunya
UUHT, pembebanan hak tas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi
menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak
tanggungan.
Hak
Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertendu terhadap
kreditur-kreditur lain.
11
10
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
11
Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam
definisi tersebut, yaitu:
(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
(2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu.
(4) Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.
Dibandingkan dengan definisi Hak Tanggungan tersebut dengan definisi
hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata, bahwa .hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu
perikatan.
Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik
sebagai berikut:
(1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan.
(2) Objek hipotik adalah benda-benda tak bergerak.
(3) Untuk pelunasan suatu perikatan.
Membandingkan antara definisi Hak Tanggungan dengan definisi hipotik,
ternyata pembuat UUHT lebih baik dalam membuat umusan definisi Hak
rumusan definisi hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini
berikut ini12
Definisi Hipotik banyak unsur-unsur dan hipotik yang belum dimasukkan,
sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran
mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi
Hak Tanggungan lebih baik dari pada rumusan definisi Hipotik dalam KUH
Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan hak tanggungan
telah dimasukkan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi
Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak
kebendaan. Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari
Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk
Wetboek (NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW
yang lama disamping Pand.
Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227
3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art, 227 (3.9.1.1)
NNBW adalah:13
12
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Hak Pand dan hak hypotheek adalah hak-hak yang terbatas
(beperkte rechten) yang dimaksudkan untuk dalam memperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Apabila
hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek,
Maasalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1999., hal 12-13
13
sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand.
Setelah membaca definisi hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan
definisi Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan masih lebih
baik dari pada NNBW.
Pengaturan mengenai jaminan hak tanggungan diatur dalam UUHT, yaitu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain melaksanakan
amanat UUPA, kelahiran UUHT didasarkan pula pada pertimbangan untuk
member kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pemberian kredit dengan membebankan hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit serta untuk menciptakan
keseragaman hukum jaminan hak atas tanah.14
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT merumuskan pengertian hak tanggungan
yaitu:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
14
Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan
bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi
bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya
jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian
pembayaran lunas utang debitur kepadanya.15
Hak tanggungan secara jelas terdapat dalam dalam Pasal 1 angka (1)
UUHT, yaitu : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu,
terhadap Kreditur-Kreditur lain.
Prinsipnya, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan
kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari
kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur-kreditur pemegang hak tanggungan.
F. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Daerah Pokok-Pokok
15
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Agraria, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, untuk pelunasan utang debitur yang telah dilakukan terhadap kreditur.
Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang tersebut.
Mengenai objek Hak tanggungan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 telah ditentukan secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan
jaminan utang yang dapat dibebani Hak tanggungan, yaitu:
1. Hak Milik
2. Hak guna usaha
3. Hak guna bangunan
4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah Negara maupun hak pakai atas tanah
hak milik
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada
atau akanada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan
yang merupakkan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian Hak tanggungan yang
bersangkutan
Objek Hak Tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun
beserta tempat dimana bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun
Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas
suatu utang dengan dibebani Hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat,
yaitu:16
1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.
2. Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat
publisitas.
3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera
janji (wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di
muka umum, dan
4. Menentukan penunjukan dengan Undang-Undang.
Sebagai bukti adanya Hak Tanggungan maka Kantor Badan Pertanahan
Nasional menerbitkan sertifikat Hak Tanggunggan yang dimana menjadi patokan
adalah tanggal pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah Hak tanggungan.17
Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang
mengikatkan diri, yaitu pemberi hak tanggungan, penerima atau pemegang hak
tanggungan.
Dalam peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat Hak Tanggungan terdiri atas
salinan buku tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT yang bersangkutan yang
telah dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan, dan dijilid dalam satu sampul
dokumen yang bentuknya telah ditetapkan dalam aturan tersebut.
16
Budi Harsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan, Hasil Seminar, Bandung, 1996, hal 5
17
a. Pemberi Hak Tanggungan
Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT menyatakan: Pemberi Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan
yang bersangkutan. Dari bunyi ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHT di atas, dapat
diketahui siapa yang menjadi pemberi Hak Tanggungan dan mengenai
persyaratannya sebagai pemberi Hak Tanggungan. Sebagai pemberi Hak
Tanggungan tersebut, bias orang perseorangan atau badan hukum dan pemberinya
pun tidak harus debitur sendiri, bias saja orang lain atau bersama-sama dengan
debitur, di mana bersedia menjamin pelunasan utang debitur.18
Pada prinsipnya setiap orang perseorangan maupun badan hukum dapat
menjadi pemberi hak tanggungan, sepanjang mereka mempunyai “kewenangan
hukum” untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan
dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan
sebagaimana dipersyaratkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT dan
demikian pula dinyatakan antara lain dalam angka 7 penjelasan umum atas
UUHT:
Pada saat pembuatan SKMHT dan Akta Pemberian Hak Tanggungan,
harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan, bahwa
pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan walaupun kepastian
18
mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu
pemberian Hak Tanggungan didaftar.
Dari ketentuan di atas, jelas bahwa pemberi Hak Tanggungan haruslah
mereka yang mempunyai kewenangan dalam melakukan perbuatan hukum atau
tindakan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dibebani dengan Hak
Tanggungan. Sebab mereka inilah yang mempunyai kewenangan melakukan
tindakan kepemilikan (beschikking) atas persil yang bersangkutan, termasuk
kewenangannya untuk membebankan persilnya tersebut sebagai jaminan
pelunasan tertentu. Jadi, persyaratan pemberi Hak Tanggungan, selain mereka
yang cakap dalam bertindak, mereka juga mempunyai kewenangan hukum artinya
setiap orang dinyatakan cakap bertindak secara hukum dapat menjadi pemberi
Hak Tanggungan, tetapi dipersyaratkan pula harus orang perseorangan atau badan
hukum yang untuk melakukan tindakan kepemilikan atas persil yang menjadi
objek Hak Tanggungan.19
Pemberi Hak Tanggungan adalah pemilik hak atas tanah atau pemilik atas
tanah berikut bangunan yang ada di atas tanah itu. Pemilik tanah bisa debitur
sendiri atau orang lain atau badan hukum lain bukan debitur. Hanya saja orang
atau badan hukum pemilik tanah saja yang berhhak menjaminkan dengan member
Hak Tanggungan. Untuk membuktikan bahwa orang atau badan hukum tersebut
sebagai pemilik hak atas tanah maka dapat diketahui dari sertifikat tanahnya.Dari
sertifikat dapat diketahui siapa pemilik hak atas tanah sehingga hanya orang atau
19
badan hukum yang tertulis di atas tanah itu yang berhak memberikan Hak
Tanggungan.20
Selanjutnya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT menyatakan: Kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Penjelasan atas Pasal 8 ayat (2) menegaskan sebagai berikut:
Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkannya Hak
Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan
pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan
keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT
beserta dengan penjelasannya, maka kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diwajibkan atau
harus ada dan terbukti kebenarannya pada saat pendaftaran hak Tanggungan, yaitu
pada tanggal pembuatan buku tanah pembuatan Hak Tanggungan pihak yang
bersangkutan, yang menentukan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Namun demikian seyogyanya pada saat pembuatan Akta Pemberian Hak.
Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan dengan sendirinya juga
diharuskan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan terhadap objek
20
Hak Tanggungan yang dibebankan, kendati tidak harus disertai alat-alat bukti
yang menunjukkan pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan atas objek
Hak Tanggungan yang dibebankan tersebut. Pembuktian terhadap keabsahan atau
kebenaran kewenangan dimaksud dilakukan pada saat pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan.21
b. Penerima atau Pemegang Hak Tanggungan
Siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, baik
perseorangan maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang. Ketentuan Pasal 9 UUHT menyatakan:
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Berbeda dengan pemberi hak tanggungan, terhadap penerima dan
pemegang Hak Tanggungan tidak terdapat persyaratan khusus. Penerima dan
pemegang Hak Tanggungan dapat orang perseorangan atau badan hukum, bahkan
orang asing atau badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia maupun
luar negeri dapat menjadi penerima dan pemegang Hak Tanggungan, asalkan
kredit yang diberikan tersebut menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik
Indonesia. Dengan demikian yang menjadi pemegang Hak Tanggungan, bisa
orang (person alamiah) dan badan hukum (rechtspersoon).22
Menurut J.Satrio sekalipun dalam praktiknya bagian yang terbesar
menggunakan lembaga Hak Tanggungan itu bank, sebuah badan hukum, tetapi
21
Rachmadi Usman, op.cit., hal 384-385.
22
tidak tertutup bagi perseorangan untuk juga memanfaatkan lembaga Hak
Tanggungan.Dengan begitu ditegaskan, bahwa yang bertindak sebagai kreditur
pemegang Hak Tanggungan bisa juga perseorangan. Ini yang ditegaskan dalam
Pasal 9 UUHT di atas dan penegasan ini memang sangat bermanfaat, karena dapat
menghilangkan keraguan yang mungkin ada di dalam masyarakat.23
G. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang
merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagai mana tersebut dalam
Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai mana jaminan
pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang
wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan
dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT
sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT yang dibuat oleh
PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7 UUHT).
Proses pelaksanaan pemberian Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua
(2) tahap, yaitu tahap pemberian hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak
tanggungan :
23
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan, pemberian hak
tanggungan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum
tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji
untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut dituangkan didalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT
yang menyatakan: “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk
memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainny yang menimbulkan utang
tersebut.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat
diketahui. bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu
dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian
yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk
piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat,
dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” pemberian Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak
Tanggungan sebagai perjanjian accessoir.Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10
ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis,
yang dituangkan dalam APHT. APHT ini merupakan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan
kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Ketentuan
dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan: “Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai
subyek, obyek maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal
11 ayat (1) UUHT, di dalam APHT wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini.24
1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
2) Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
3) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang
meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4) Nilai tanggungan;
5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan
Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa ketentuan
mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk
24
sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara
lengkap hal-hal yang sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHT-nya
batal demi hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya secara
lengkap hal-hal yang disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut, seyogyanya
dicantumkan sebagai salah satu ayat atau pasal dalam Batang Tubuh UUHT dan
tidak sekadar dikemukakan dalam Penjelasannya.25 Bahwa nama dan identitas
para pihak dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan suatu
syarat yang logis. Tanpa identitas yang jelas, PPAT tidak tahu siapa yang
menghadap kepadanya, dan karenanya tidak tahu siapa yang menandatangani
aktanya, apakah penghadap cakap bertindak, apakah ia mempunyai kewenangan
bertindak terhadap persil jaminan dan sebagainya. Hal itu berkaitan dengan
masalah kepastian hukum dan asas spesialitas daripada Hak Tanggungan.26
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa pemberian Hak
Tanggungan hanya akan terjadi bilamana sebelumnya didahului adanya perjanjian
pokok yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang
dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, sesuai dengan sifat accessoir dari
perjanjian jaminan Hak Tanggungan. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT: “Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan
dengan jumlah tertentu atau jumlah pada saat permohonan eksekusi Hak
25
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku
I,Bandung: Alumni 2010, hal. 144 26
Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utangpiutang yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT, yang kemudian
dihubungkan dengan Penjelasannya, dapat disimpulkan bahwa utang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan tidaklah selalu dalam jumlah yang tertentu
dan tetap, tetapi bisa pula jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. Adapun
utang yang dimaksud tersebut dapat berupa:27
1) Utang yang telah sudah ada, dengan jumlah tertentu;
2) Utang yang belum ada, tetapi telah (sudah) diperjanjikan, dengan jumlah
tertentu, seperti utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh
kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan bank garansi:
3) Jumlahnya tertentu secara tetap atau ditentukan kemudian pada saat
permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan, seperti utang bunga atas
pinjaman pokok dan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat
ditentukan kemudian;
4) Berdasarkan cara perhitungan yang telah ditentukan dalam :
a. Perjanjian utang-piutang;
b. Perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan, berupa perjanjian pinjam-meminjam maupun perjanjian
lain, misalnya perjanjian pengelolaan harta kekayaan orang yang belum
dewasa atau yang berada di bawah pengampuan yang diikuti dengan
pemberian Hak Tanggungan oleh pihak pengelola Utang yang telah ada
27
adalah utang yang benar-benar sudah direalisir dan karenanya yang jumlah
uang utangnya sudah diserahkan kepada debitur atau dengan perkataan
lain, di sini benar-benar sudah terutang sejumlah uang tertentu, baik itu
berupa utang murni ataupun utang dengan ketentuan waktu.
Pada utang murni hanya disebutkan besarnya utang dan kalau ada
perjanjian juga bungannya dan yang segera matang untuk ditagih. Dalam praktik
sering bertemu dengan perjanjian utang piutang (kredit) dengan ketentuan waktu,
dalam mana disebutkan juga untuk berapa lama utang (kredit) itu diberikan,
dengan konsekuensinya sesuai dengan asas Pasal 1349 KUH Perdata, yang
menetapkan bahwa dalam perjanjian utang piutang, ketentuan waktu harus
ditafsirkan untuk keuntungan debitur, kecuali ditentukan lain, kreditur tidak bisa
menagih kembali utang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur
bisa sewaktu-waktu melunasinya dan biasanya dalam perjanjian utang piutang
(kredit) memang ditetapkan adanya kesempatan debitur untuk mempercepat
pelunasan, baik dengan disertai denda atau tidak.28
Selain itu, di dalam APHT, dapat dicantumkan janji-janji seperti yang
disebut dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji janji yang dimaksud dalam pasal11
ayat (2) UUHT merupakan upaya kreditur untuk sedapat mungkin menjaga agar
obyek jaminan tetap mempunyai nilai yang tinggi, khususnya nanti pada waktu
eksekusi. Karenanya, sedapat mungkin semua kemungkinan mundurnya nilai
obyek jaminan, sebagai akibat dari ulahnya pemberi jaminan atau karena suatu
malapetaka, diantisipasi.
28
Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT menyebutkan janji-janji yang
dapat dicantumkan dalam APHT, yaitu 29
1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka,
kecuali dengan persetujuan terlebih tertulis dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cedera janji; janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk
pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
4) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur
cedera janji;
29
5) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
6) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas
obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan;
7) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya
oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum;
8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan
untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
9) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
10) Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Kemudian ketentuan dalam Pasal 12 UUHT memuat janji yang dilarang
dicantumkan dalam APHT, yaitu:30 “Janji yang memberikan kewenangan kepada
pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila
debitur cedera janji, batal demi hukum”
30
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas
tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 14 UUHT dijelaskan bahwa :
1) sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertipikat hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang berlaku;
2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”;
3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti grosse akte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan pada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak
Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dan dalam
ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan
eksekutorial pada sertipikat Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera
janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan
lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata. Hal ini
berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh
karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada
saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok
adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak
tanggungan.31
H. Berakhirnya Hak Tanggungan
Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan 19
UUHT. Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak
berlakunya lagi Hak Tanggungan
Pasal 18 UUHT disebutkan mengenai hapusnya hak tanggungan yaitu:32
1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri;
31
Boedi Harsono dan Sudarianto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Bandung, Makalah Seminar Nasional, 27 Mei 1996, hal 17
32
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan
dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak
Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak
Tanggungan.
3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena
permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut
agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak
Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani
HakTanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud di atas, maka
harus dilakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah
hak atas tanah dan sertifikatnya di Kantor Pertanahan (diroya). Dengan hapusnya
Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan
bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Kantor Pertanahan.33
Selanjutnya proses yang harus dilakukan setelah pemberi Hak
Tanggunganmenerima pemberian pernyataan tertulis tersebut adalah pemberi hak
tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor
Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar pernyataan
33
tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan
bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan
demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak
ketiga.34
Dalam Pasal 19 UUHT diatur tata cara penghapusan Hak Tanggungan jika
hasil penjualan objek Hak Tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi
hutang yang dijamin. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa: Pembeli objek Hak
Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak
Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak
Tanggungan yang melebihi harga penjualan. Tanpa diadakan pembersihan, Hak
Tanggungan tersebut akan tetap membebani objek Hak Tanggungan yang dibeli
Selain itu, sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan
dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak
Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :35
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
Karena Hak Tanggungan merupakan jaminan utang yang pembebanannya
adalah untuk kepentingan kreditur (pemegang Hak Tanggungan) adalah logis bila
Hak Tanggungan dapat (dan hanya dapat) dihapuskan oleh kreditur (pemegang
Hak Tannggungan) sendiri. Sedangkan pemberi Hak Tanggungan tidak mungkin
dapat membebaskan Hak Tanggungan itu.
34
Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hal. 161
35
Sesuai dengan sifat Hak Tannggungan yang accesoir, adanya Hak
Tanggungan bergantung kepada adanya piutang yang dijamin pelunasannya
dengan Hak Tanggungan itu. Oleh karena itu, apabila piutang itu hapus karena
pelunasan atau karena sebab-sebab lainnya, dengan sendirinya Hak Tanggungan
yang bersangkutan menjadi hapus juga.
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Mengenai hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskannya oleh
pemegang Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Hak
Tanggungan menentukan sebagai berikut: hapusnya Hak Tanggungan karena
dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hal ini pokoknya sejalan dengan ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa:
Perikatan-perikatan hapus:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikkuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utang;