EDITORIAL TEAM Ketua Penyunting
Masykur Arif, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Penyunting Pelaksana:
Syafiqurrahman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Penyunting:
Abd. Warits, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Mohammad Takdir, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Ach. Maimun, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Fathor Rachman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.
Moh. Wardi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahzatut Thullab, Sampang.
Moh. Dannur, Institut Agama Islam (IAI) ِ◌Al-Khairat, Pamekasan.
IT Support:
Faizy, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Indonesia Alamat Redaksi: REDAKSI JPIK
Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D)
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)
Jl. Bukit Lancaran PP.
Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep 69463 Email:
[email protected] Website:
http://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik
Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur, Indonesia. Terbit 2 kali dalam setahun yakni pada bulan Maret dan September. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman menerbitkan hasil penelitian, baik penelitian pustaka maupun lapangan, tentang filsafat dan pemikiran serta ilmu-ilmu keislaman meliputi bidang kajian pendidikan Islam, politik, ekonomi syariah, hukum Islam atau fikih, tafsir, dan ilmu dakwah
1-28 Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer
Dainori
29-56 Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr
Tatik Hidayati dan Ah Mutam Muchtar
57-74 Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-Anak) Abdul Wahid dan Abdul Halim
75-103 Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk- Guluk Sumenep
Fairuzah dan Unsilah
104-121 Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia
Moh Jazuli, A Washil, dan Lisanatul Layyinah 122-144 Zakat Profesi Menurut Pandangan Yusuf Al
Qardhawi
Masyhuri dan Mutmainnah
Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama
Anak-Anak)
Abdul Wahid
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep awihasan@gmail.com
Abdul Halim
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep [email protected]
Abstrak
Persoalan kesadaran beragama secara baik merupakan hal penting yang perlu ditenamkan sejak anak-anak masih berusia sangan dini. Sebagai makluk yang hadir dengan dunianya yang unik, anak-anak membutuhkan bantuan orang dewasa untuk berkembang ke arah yang lebih baik.
Tulisan ini berusaha mengungkap metode apa yang seharusnya digunakan oleh orangtua (termasuk guru) dalam rangka membimbing anak-anaknya agar bisa mengenal dan akrab dengan Tuhan, tentunya dalam bimbingan aturan agama yang baik. Di antara sekian strategi dan metode, metode keteladanan dan pembiasaan merupakan metode penting yang perlu dipraktikkan oleh para orangtua, termasuk guru-guru yang mengajar di PAUD atau TK.
Kata Kunci: kesadaran beragama, anak, Tuhan
Pendahuluan
Karl Marx boleh mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (the opium of the people), karena ia mampu mengalihkan
perhatian manusia dari realitas dan transformasinya pada dunia ilusi dengan simbol-simbol masa depan. Manusia dibuat mabuk dan tidak menyadari dunia riil yang dijalaninya.1 Bahkan A.N. Wilson menyebut agama lebih berbahaya daripada candu (it’s much deadlier than opium). Sebab, agama bukan saja bisa membuat manusia mabuk atau tertidur, tetapi lebih jauh dari itu, ia bisa menjadikan manusia buas, ego dan merasa benar sediri. Kenyataannya, tidak ada konflik besar dunia dengan jumlah korban begitu banyak yang tidak melibatkan agama.2 Berapa juta orang yang telah terbunuh atas nama agama?
Akan tetapi, bisakah manusia dilepaskan dari agama?
Sampai saat ini, agama tetap dominan dalam kehidupan masyarakat dunia. Agama tidak sekadar sebagai institusi, tetapi lebih dari itu, ia juga sebagai tata nilai yang dijadikan pedoman dalam kehidupan. Setidaknya, ia difahami sebagai pemberi makna hidup menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Sebagai sebuah ajaran, idealnya ia harus difahami, dihayati dan dilaksanakan sebaik-baiknya, dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Hal ini akan bisa terwujud melalui proses berkesinambungan dari upaya mengetahui, memahami, menghayati dan melaksanakannya. Kesadaran keberagamaan bukan sesuatu yang sekali jadi. Ia masih memerlukan proses, interaksi, dialektika, bahkan konflik dalam pengertian positif.
Di sisi lain, dalam Islam ditegaskan bahwa potensi keberagamaan seseorang merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir
1 Hans Kung, Does God Exist? An Answer for Today, trans. Edward Quinn (New York: Crossroad, 1995), 229.
2 AN. Wilson, Againts Religion, Why We Should Try to Live Without It? (London: Chatto and Chardus, 1992), 1
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |59
(fithrah) (Q.S.30: 30).3 Lebih lanjut, ia dikatakan sebagai kebutuhan hidup sesuai dengan karakter dasar manusia. Karena itu, jika ingin menjadi manusia yang sebenarnya, seseorang harus beragama. Salah satu karakter dasar yang terkait dengan agama adalah rasa suka terhadap yang benar, baik dan indah. Karena itu, ia akan selalu berusaha mendapatkannya sekaligus merasa ingin tahu yang Maha Benar, Baik dan Indah. Ketiganya tergabung menjadi ‘suci’ yang terdapat dalam agama. Selain itu, manusia juga memiliki rasa takut dan berharap yang menurut William James merupakan pendorong pada keberagamaan.4
Walaupun demikian, seperti kata W.H. Clark, bukan berarti setiap orang yang dilahirkan langsung menjadi agamis. Karena bayi- bayi yang baru lahir adalah manusia dalam bentuk fisik saja, bukan dalam esensinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa bayi masih lebih dekat pada kondisi kebinatangan dari pada kemanusiaan. Artinya masih diperlukan campur tangan pihak lain untuk mengaktualisasikan potensi keberagamaan yang dimilikinya.5
3Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Ttidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Artinya, manusia diciptakan oleh Allah dengan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, berarti hal itu fenomena aneh, dan tidak wajar. Berarti sesuatu telah terjadi dalam kehidupan; ada faktor eksternal yang telah ikut memberikan “warna” dalam dirinya.
4 M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 376.
5 Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, An Introduction to Religious Experience and Behavior (New York:The Macmillan Company, 1978), 85. Walaupun pandangan ini tidak diterima semua pihak. Misalnya kaum Sentimentalis Wordworthian justru berpandangan sebaliknya.
Keterlibatan pihak lain tersebut terwujud dalam bentuk pengajaran, bimbingan dan perhatian dalam rangka menanamkan ajaran agama. Sebagai sebuah ajaran, tentu ia harus melibatkan dimensi kognitif, afektif dan psikomotor seorang anak. Maka yang juga mesti menjadi catatan adalah kodisi anak masih diliputi keterbatasan dalam skill fisik serta kapasitas kognitif dan mentalnya.
Karena itu, selain ajaran Islam, tradisi Judo-Cristiani juga memberikan ketetapan tersendiri untuk mereka, menyangkut hukum, hak dan kewajiban.6 Dengan demikian, pola dan pendekatan yang mesti dilakukan harus dirancang sedemikian rupa, yang tidak bisa disamakan dengan pendekatan pada orang dewasa. Sebab, anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Ia terlahir dengan dunianya sendiri yang indah dan suci.
Agama dan Tuhan dalam Persepsi Anak-Anak
Subject-matter tulisan ini adalah anak pra-sekolah (preschool age) atau juga sering disebut dengan masa kanak- kanak awal, yaitu anak yang berumur pada kisaran 3-6 tahun.
Anak dalam usia ini merupakan fenomena tersendiri yang sangat menarik perhatian para psikolog, melebihi perhatian pada anak pada taraf di atasnya. Secara psikologis, anak dalam usia ini belum bisa menfungsikan potensi rasionalnya secara wajar.
Walaupun mereka telah melakukan abstraksi-abstrasi terhadap segala yang ditangkap inderanya. Ia juga telah merekam segala
6 Bernard Spilka, dkk., The Psychology of Religion, An Empirical Approach (New Jersy: Engliwood, 1985), 62.
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |61
yang diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, walaupun masih sangat terbatas (orang tua dan keluarga). Khususnya, hal ini terjadi pada anak dari usia 3-6 tahun menurut tipologi Ernest Hams.
Dalam konteks kesadaran beragama, sebuah temuan menarik tentang pengalaman keberagamaan anak dalam usia 3-6 tahun patut mendapat apresiasi khusus di sini. Adalah Ernest Hams yang melakukan penelitian terhadap ribuan anak di Amerika tentang Tuhan. Temuannya, bahwa anak dalam umur 3- 6 tahun yang disebut The fairy-tale stage (taraf cerita-khayali) sudah memiliki konsepsi tersendiri tentang Tuhan. Akan tetapi, konsepsi mereka tentang Tuhan—sebagai bagian terpenting dalam kesadaran beragama (religious consciesness)—masih lebih bercorak khayali (fanciful) dan emosional daripada kecenderungan rasional. Walaupun demikian, yang perlu dicatat, lanjut Harms, ia bukan saja merupakan pengalaman orisinal dan mendalam, tetapi juga lebih berakar kuat dalam jiwanya dan, karena itu, lebih penting dari pengalaman pada fase lain.
Kondisi-kondisi tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang mengantar pada urgensi penanaman kesadaran beragama sejak dini dengan metode-metode tertentu untuk mencetak anak menjadi religious (agamis), bukan sekedar having religion (memiliki agama).
Dalam hal ini, peran pendidik (guru atau orang tua
/keluarga sebagai komunitas pertama dan terdekat dengan anak)
adalah sesuatu yang tidak bisa di tawar. Sebab kepercayaan anak sangat tergantung kepada apa yang diajarkan orang tua di rumah atau guru di sekolah. Hal ini karena anak masih belum mampu berpikir secara logis.
Persoalan ini telah banyak menyita perhatian para psikolog dan agamawan. Hanya saja, jarang disadari bahwa dalam konteks ini, Islam dengan Alquran dan Hadits-nya, telah banyak memberikan contoh. Nabi Muhammad saw. di samping sebagai nabi, kepala negara, panglima perang, beliau juga adalah the greatest educator to the mankid (pendidik manusia yang paling ulung). Sebagai pendidik yang baik, beliau memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada semua murid-muridnya, termasuk kepada anak-anak. Terbukti, banyak sekali anak-anak para sahabat yang menjadi orang-orang ternama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, setelah mereka banyak beriteraksi dengan beliau saw. Maka, perlu kiranya kita melihat dan menelaah metode yang ditawarkan Islam terutaman yang tercermin dalam kehidupan Rasulullah saw.
Upaya Membangun Kesadaraan Beragama Anak-anak
Pada saat kegiatan PBM (Proses Belajar Mengajar) atau praktik pendidikan sedang berlangsung, ada komponen-komponen seperti guru (pendidik) , murid (anak-didik), tujuan, kurikulum, metode pengajaran dan lain-lain yang ikut mempengaruhi kegiatan PBM tersebut. Semua komponen ini sama-sama penting dan memiliki andil tersendiri sehingga tidak bisa berdiri sendiri atau terpisah dari yang lain. Masing-masing komponen saling melengkapi. Dari sekian
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |63
komponen tersebut, metode termasuk hal yang sangat signifikan – dengan tetap tidak menafikan keterlibatan dan urgensi komponen yang lain—dalam proses pencapaian tujuan dari kegiatan PBM, pembinaan ataupun pendidikan. Karena dalam dunia pendidikan, metode pengajaran merupakan salah satu alat untuk menyajikan bahan pelajaran dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan.7
Para pakar pendidikan seperti terus berusaha dan berlomba untuk menemukan metode yang efekrtif dan efisien guna mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran semaksimal mungkin. Ada banyak metode yang ditawarkan dan bisa diterapkan dalam rangka membina kesadaran keberagamaan anak, khususnya anak prasekolah --walaupun begitu, kecerdasan, kemahiran dan keterampilah seorang pendidik atau pembina (guru atau orang tua) dalam memainkan dan menerapkan metode-metode yang ada seindah dan secantik mungkin merupakan hal yang sangat penting. Al-Nahlawî menawarkan tujuh metode yang bisa diterapkan: Metode hiwar qur’aîi dan nabawî, Metode kisah (cerita) Quranî dan Nabawî, Metode amtsal Qur’anî dan Nabawî, Metode al-Qudwah (keteladanan), Metode pembiasaan dan pengalaman, Metode ‘ibrah dan mauidzah, dan Metode targhîb dan tahdzîb.8
Hampir sama dengan metode di atas, Abdullah Nashih Ulwan menawarkan lima metode yang dianggapnya memiliki pengarauh positif dalam mempersiapkan akidah, moral, serta membentuk intelektual, mental dan sosial anak sehingga mereka bisa mencapai kesempurnaan, kematangan dan keseimbangan (namun secara eksplisit beliau tidak menjelaskan penerapan bahwa metode ini khusus untuk anak prasekolah); Metode Al- Qudwah ( keteladanan), Metode Al-‘Adah (kebiasaan), Metode Al-
7Ing.S. Ulihbukti Karo-Karo, Suatu Pengantar Ke Dalam Metodologi Pengajaran (Salatiga: Saudara, 1984), 4.
8 Abdurrahman al-Nahlawî, Prinsip-Prinsip Dasar Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga,, di Sekolah dan di masyarakat,Terj. Herry NoerAli (Bandung: Diponegoro.tt), 283-331.
Maw’izhah (memberi wejengan), Metode Al-Mulâhazhah (pengawasanatau perhatian), Metode Al-‘Uqûbah (pemberian hukuman).9
Dari metode-metode yang disebutkan di atas, setidaknya ada empat metode (tiga diantaranya dicetuskan oleh kedua pakar di atas) yang menurut penulis sangat sesuai untuk diterapkan pada anak prasekolah–dengan tetap tidak menafikan signifikansi metode yang lain, yaitu :
1. Metode Al- Qudwah
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendirian dan akan selalu membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam proses interaksi inilah akan terjadi saling mempengaruhi, karena secara psikologis, seseorang/manuisa –lebih- lebih anak-anak— memiliki kecenderungan atau naluri meniru orang lain, tidak hanya yang baik, tetapi juga yang jelek. Di samping itu, secara psikologis pula, seseorang membutuhkan tokoh teladan (top figur) dalam kehidupannya. Semua itu, disadari atau tidak, akan mempengaruhi kepribadian orang tersebut. Terkait dengan masalah ini, Allport merumuskan kepribadian manusia sebagai organisasi dinamis dari sistem psiko-fisik dalam individu yang turut mennetukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.10 Gerungan Dipl menafsirkan ‘penyesuan diri’ ini dengan penyesuaian diri yang autoplastis (dalam arti mengubah diri sesuai dengan lingkungannya—ini juga disebut dengan penyesuaian diri yang pasif) dan aloplastis ( artinya orang tersebut mampu
9Abdullah Nasih ‘Ulwan,Tarbiyat al-Awlâd fî al-Islâm (Beirut:
Darussalam, cet. IX 1985), 606. Sementara itu, Dr. Hamdân Rajih Al-Syarif, menawarkan enam metode, Dari keenam metode tersebut ada yang sama dengan metrode-metode yang telah disebutkan di atas; 1) metode Al-Qudwah, 2) Metode pemanfaatan kesempatan (bersama anak), 3) Metode keadilan, 4) metode doa, 5) metode penyentuhan potensi intelektual anak dan 6) metode penyentuhan psikologi anak. Selanjutnya baca bukunya beliau dalam Kaifa Nad’û al-Athfâl, TT, 191. Buku ini sudah penulis terjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
10Dikutip oleh Dr.W.A. Gerungan Dipl. Psych dalam bukunya Psikologi sosial (Bandung: Refika Aditama, 2000), 54.
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |65
mengubah lingkungannya sesuai (keinginan) dirinya –ini juga disebut dengan penyesuaian diri yang aktif).11
Bagi anak prasekolah, penyesuaian diri dengan lingkungan ini akan lebih bersifat autoplastis. Sebab dalam usia tersebut, potensi untuk meniru semua prilaku orang-orang yang ada di sekirtarnya, terutama orang tua12, masih sangat dominan. Maka keteladanan (al- qudwah) dan contoh kongkrit model keberagamaan orang-orang yang berada di sekeliling anak-anak, terutama orang tua, menjadi kunci utama untuk memberikan bekal bermanfaat bagi anak-anak sekaligus menjadi benteng untuk membendung gelombang informasi kotor yang menyerbu kehidupan mereka. Dalam masa kanak-kanak, orang tua adalah sosok paling istimewa dan paling dominan dalam memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka. Sebab dalam usia tersebut, potensi untuk meniru semua prilaku orang-orang yang ada di sekirtarnya, terutama orang tua, masih sangat dominan. Mereka masih belum memiliki bekal yang cukup untuk “tidak meniru” pola dan prilaku orang-orang di sekitarnya. Zakiah Darajat13 menggambarkan posisi orang tua sebagai pusat rohani anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar. Maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari selalu terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya. Sigmund Frued (1856- 1939) juga pernah menegaskan bahwa keberagamaan seorang anak akan terpola dari tingkah laku bapaknya. Frued menyebut pengaruh ini dengan father image (citrabapak). George Herbert Mead menyebut mereka sebagai significant others, sementara Richard Dewey dan W.J.
Humber menyebut mereka sebagai affective others. Dengan demikian
11Ibid., 55
12Di sini penulis menyebut orang tua, karena secara umum, orang yang paling dekat dalam kehidupan anaka dalah orang tuanya sendiri (terutama ibu).George Herbert Mead menyebut merkea sebagai significant others, sementara Richard Dewey dan W.J.Humber menyebut mereka sebagai affective others. dengan demikian semua prilaku mereka (termasuk sikap keberagamaan mereka) akan terekam kuat dalam memory anak untuk kemudian akan mempengaruhi prilaku nya melalui proses imitasi. (lihat anotasi yang dilakukan penulis atas buku Kaifa Nurabbî Awlâdanâ Islâmiyyan dalam edisi bahasa Indonesia “Kegelisahan Rasulullah Mendengan Tangis Anak” (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet. II 2000), 205
13Zakiah Darajat, Psikologi Agama, 38.
situasi keluarga sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak.Suami-isteri yang hidup rukun atau sebaliknya, selalu cekcok, yang dilihat dan didengar oleh anak-anak setiap hari, pasti akan mempengaruhi seluruh kehidupan anak. 14
Dengan demikian, seperti pernah dikatakan oleh Hamid Abdul Khaliq, keteladanan menempatai posisi “tertinggi” dalam upaya penanaman keimanan dan prilaku keberagamaan pada ana-anak. Maka, kata Khaliq, mahma tahaddatsna ilaihi ‘an al-shalâh matsalan, falan yakûna li kalâminâ atsaruhu illâ idzâ raânâ nushallî bal nuhâfizhu
‘ala adâi al-shalawât fî mawâqîtihâ fî hubbin wa ijlâlin15 (ketika kita misalnya berbicara tentang shalat kepada anak, maka kata-kata kita sama sekali tidak akan memberikan pengaruh apa-apa kecuali apabila ia menyaksikan secarang langsung, kita melaksanakan shalat tepat pada waktunya, dengan penuh cinta dan pengangungan).
Keteladanan yang baik juga mesti dicontohkan, tidak hanya dalam aktivitas ritual formal, tetapi juga dalam prilaku-prilaku luhur keberagamaan lain seperti membantu orang miskin, menyantuni anak yatim, menolong orang yang kesulitan, menjenguk orang sakit dan lain-lain. Dalam konteks ini, Khaliq memberikan saran, bahwa ketika ada seorang pengemis datang ke rumah kita untuk meminta-minta, maka usahakanlah bukan kita, orang yang memberikan uang kepada pengemis tersebut. Berikanlah uang tersebut kepada anak-anak agar ia memberikannya sendiri kepada si pengemis.16 Dengan melakukan hal tersebut berarti kita tidak hanya menyuruh anak-anak untuk berprilaku luhur, tetapi memberikan kesempatan kepada mereka untuk secara langsung berinteraksi dan merasakan langsung penderitaan mereka, sehingga jika aktivitas seperti ini dilakukan secara berulang-ulang, maka kepekaan sosial mereka akan tumbuh subur.
Tidak aneh, kalau Rasulullah saw. yang memiliki kepribadian lengkap, baik sebagai kepala negara, guru, suami, ayah dll, tidak hanya menyuruh orang lain (sahabat, isterinya sendiri ataupun putra-putra
14Henry N.Siahan, Pranan Ibu BApak,Mendidik Anak (Bandung:
Angkasa,1991), 28.
15Hamid Abdul Khaliq, Khuzdî bi Yadi Thiflik ilâ Allah (Kairo: Dâr al-Basyar, tt), 19.
16Ibid., 20.
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |67
beliau) untuk melakukan kebajikan, tetapi beliau menjadi orang pertama yang melakukan apa yang beliau perintahkan. Alquran sendiri mengecam keras orang-orang yang hanya bisa mengatakan tetapi tidak mau mengerjakan. Keteladanan beliau ini berpengaruh secara sangat mendalam di dalam membentuk kepribadian para sahabat (yang tentunya merangkap anak-didik beliau) ataupun anggota keluarga beliau.
Oleh karena itu bisa dipastikan bahwa kesuksesan besar Rasulullah saw. dalam mendidik para muridnya adalah karena beliau melakukannya dengan melalui pendekatan keteladanan. Kepribadian beliau saw. yang anggun, penuh simpati, ramah kepada semua orang dan lain-lain menjadi pusat perhatian para muridnya. Munir D. Ahmed melukiskan kondisi ini melalui pernyataannya: Everything he said or did was taken seriously by the muslims. The same was the case in the field of education. His method of teaching and what he taught, even the way he used to sit among people were copied throughout the Muslim history. .17 (Apapun yang beliau katakan atau beliau kerjakan diterima atau diambil secara serius oleh orang-orang Islam. Demikian juga dalam kasus di bidang pendidikan. Metodologi pengajarannya dan apa yang beliau ajarkan, bahkan cara beliau biasa duduk di antara masyarakat ditiru di seluruh sejarah umat Islam). Keefektifan pendekatan keteladanan yang dilakukan oleh Rasulullah juga didukung oleh karena, meskipun para muridnya adalah orang dewasa, tetapi dalam masalah keagamaan mereka semua masih berada dalam taraf masa kanak-kanak, sehingga informasi keagamaan yang masuk dalam otak mereka masih sangat sedikit.
Dalam kesempatan lain, Abdullah Nashih Ulwan melukiskan pentingnya keteladanan dan sejauh mana pengaruhnya dalam diri anak-anak melalui pernyataanya:
Keteladanan dalam pendidikan merupakan media yang sangat efektif dalam membentuk budi pekerketi anak termasuk membentuk kepribadian dan interaksi sosialnya. Hal
17M.D. Ahmed, Muslim Education and the Scholar’s Social Status upto the 5th Century Muslim Era (11th) Century Christian era) in the Light of Tarikh Baghdad (Zurich: Verlag Der Islam, 1968), 30.
itu terjadi karena di mata mereka seorang pendidik merupakan sosok ideal dan teladan yang baik. Mereka akan meniru segala prilaku dan budi pekertinya, baik disadari atau tidak.
Setelah anak-anak meneladani prilaku baik orang-orang yang ada di sekitarnya, pada giliran selanjutnya mereka akan terbiasa hidup dalam pola keberagamaan yang baik sehingga kelak ketika mereka sudah dewasa mereka akan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang luhur, termasuk melakakukan aktivitas ritual formal keagamaan. Orang tua (atau guru) tidak perlu lagi “marah-marah” dan membentak- menbentak mereka untuk melakukan shalat, mengaji, belajar ataupun perbuatan baik lainnya, karena semua itu telah menyatu dalam diri dan jiwa mereka sejak dini. Dalam kata bijak Arab sering dinyatakan, meluruskan ranting kayu yang masih muda sangat mudah, tapi jika ranting itu sudah tua akan sangat sulit.
2. Metode Al-‘Âdah
Metode ini sebenarnya sangat erat dengan metode yang pertama. Dalam arti bahwa setalah para pendidik (guru ataupun orang tua) menjadi teladan bagi anak-anaknya, langkah selanjutnya mereka menerapkan pembiasaan . Inti pembiasaan di sini adalah pengulangan terhadap segala sesuatu yang dilaksanakan atau yang diciptakan oleh seseorang.18 Agar terjadi pembiasaan tingkah laku yang baik, menurut Moezlichatoen, terlebih dahulu diciptakan iklim sosial yang dapat meningkatkan perasaan saling percaya dan tingkah laku yang baik hanya akan terjadi dalam suasana saling percaya.19
Dengan demikian demi terciptanya pembiasaan tingkah laku yang baik—yang pada akhirnya akan mengarah kepada kesadaran keberagamaan, para pendidik harus memulai dengan mengajarkan doa untuk aktifitas keseharian anak-anak, mulai dari doa mau makan dan
18Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan DalamPerspektif Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), 144.
19Mouzlichatoen, Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak (Jakarta: Rineka Cipta,1999), 8
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |69
selesai makan, mau tidur dan bangun tidur ataupun prilaku luhur kemanusian yang lain seperti memberi maaf, bersedekah, tersenyum ketikan betemu dengan orang lian dan sebagainya. Dengan metode seperti ini, secara otomatis anak-anak akan terbiasa dengan prilaku keagmaan (religious behaviour) sejak dini, yang tentunya akan menjadi bekal awal memasuki fase kehidupan selanmjutnya.
Terkait dengan ini, Muhyiddin Abdul Hamid mengangkat kisah Sahl bin Abdullâh al-Tusturî --yang diceritakan al-Ghazali dalam Ihyâ’-nya--, dengan pamanya, Muhammad bin Siwar. Agar al-Tusturî --ketika itu masihi berumutr tiga tahun-- bisa selalu ingat Allah, pamanya mengajarkan agar, untuk tahap awal, mengatakan (dalam hatinya) Allah bersamaku, Allah melihatku, dan Allah menjadi saksiku sebanyak 3 kali setiap berbalik di pembaringan. Setelah pesan ini dilaksanakan dengan baik,beliau meningkatkan agar dia membaca sebanyak sebelas kali. Dan itu dilakukan oleh Al-Tusturî hingga dia betul-betul merasakan manisnya,yang mengantarkan dia pada sebuah kesadaran spritual yang tinggi, bahwa Allah selalu bersamanya dan selalu melihat dan mengawasi segala gerak-geriknya..Hingga tidak ada ruang dan waktu untuk melakukan kemaksiatan.20
3.Metode al-Hiwâr
Anak-anak adalah filsuf cilik. Pertanyaan-pertanyaan kritisnya –tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat, dan lain-lain--seringkali membuat kelabakan dan membingungkan kita. Dengan demikian, secara psikologis, potensi berfikir anak sebenarnya sudah mulai berkembang dan rasa keingintahuannya tentang semua hal amat dominan. Apapun yang tidak mereka pahami dan ingin mereka ketahui, akan ditanyakan dengan penuh keluguan, tetapi tajam.
Sayangnya, orang kita seringkali tidak mengerti dengan kondisi ini, sehingga ketika mereka bertanya tentang sesutu, dan oleh kita dirasakan lucu, mengada-ada dan “memalukan”, kita seringkali memarahi mereka, membentak-bentak, dan lain-lain. Akibatanya,
20 Muhyiddin Abdul Hamid, Kaifa Nurabî Awlâdanâ Islâmiyan atau Kegelisahan Rasulullah Mendengar Tangis Anak, Terj.
A.Wahid Hasan, (Yogyakarta: Mitra Pustakan, 1999), 207-208
potensi kritis mereka akan padama secara pelan-pelan dan akhirnya mereka akan menjadi anak-anak yang “penakut”, minder, tidak percaya diri dan lain-lain.
Dalam konteks ini, dialog dengan anak-anak menjadi sesuatu yang amat signifikan dalam memancing dan membangkitkan nalar kritis mereka. Secara sederhana, hiwâr bisa diartikan dialog ataupun pembicaraan yang melibatkan dua orang atau lebih melalui tanya jawab mengenai sautu topik.. Metode ini memiliki dampak padagogis yang positif bagi pendengar (anak-anak), karena bisa membangkitkan berbagai perasaan dan kesan di dalam jiwanya. Dengan diajak berdialog, mereka akan merasa dihargai dan secara perlahan namun pasti, mereka akan mulai belajar mengkritisi apa yang didengar,dilihat ataupun dirasakan. Dengan begitu, kelak, perkembangan intelektualnya akan baik dan kritis. Paulo Frier mengatakan, secara filosofis tanggung jawab guru (pendidik) yang menempatkan diri sebagai teman dialog anak-didik, lebih besar daripada pendidik yang hanya memindahkan informasi yang harus didengar oleh anak-didik.21
Dalam kehidupan keseharian Rasulullah saw. kita banyak menyaksikan dialog-dialog yang berlangsung antara beliau dengan para sahabat yang merangkap sebagai anak didik beliau, baik menyangkut masalah keimanan, ibadah ataupun masalah kehidupan sosial.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah usia anak. Seorang pendidik harus mampu memformat dialog bersama anak-anak sesuai dengan kemampuan intelektul (akal) mereka dengan melihat –biasanya— pada tingkat usia mereka Karena sering terjadi kita memperlakukan mereka seperti orang yang secara intelektual sudah matang. Kejadian seperti pernah terjadi pada masa rasulullah saw. menjelang terjadinya perang Badar tahun II H. Di perjalanan para sahabat mencoba bertanya kepada seorang pengembala –yang masih anak-anak— tentang berapa jumlah tentara kafir-Quraisy. Anak itu tidak bisa menjawab. Dan merekapun agak jengkel dan memukulnya.
21Paulo Freire, The Politic Of Education: Culture, power and Liberatin, atau Politik Pendidkan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyanto (Yogyakarta: Read, Cet.. II 2000), 103
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |71
Akhirnya Rasulullah saw. bertanya dengan memakai bahasa lain:
berapa ekor unta yang disembeliah oleh tentara kafir ? Dengan pertanyaan seperti itu si anaka menjawab : antara sembilan dan sepuluh. Beliau kemudian bersabda : Kalaubegitu berarti jumlah tentara kafir-Quraisy berkisar antara sembilan ratu sampai seribu orang (karena diperkirakan satu ekor unta bisa dimakan oleh seratus). 22
Inilah salah satu bentuk dialog Rasulullah saw.dengan anak kecil yang masih belum mengerti tentang jumlah hitungan hingga puluhan ribu. Anak kecil yang hanya mengerti tentang jumlah
‘puluhan’. Dengan demikian, tentu kita harus amat bijaksana ketika hendak menjelaskan tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat dan hal- hal lain yang masih abstrak. Kita harus mampu mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya. Jika amat terpaksa, karena keterbatasan kemampuan, maka alihkan saja perhatian mereka kepada hal-hal lain, sehingga mereka “sedikit” lupa. Akan tetapi, kita tetap harus berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat, karena suatu saat mereka pasti akan menanyakannya kembali, meskipun dengan bahasa yang berbeda, dan tema yang berbeda pula.
4. Metode Al-Maw’izhah
Manusia (al-insân) berasal dari akar kata uns yang berarti “senang”, “jinak” dan “harmunis” atau berasal dari akar kata nis-y yang berarti lupa. Ada juga yang mengembalikan akar katanya kepada naws yang berarti “pergerakan” atau “dinamika”. Semua ini, kata Quraish Shihab, menggambarkan potensi-potensi yang terpendam di dalam makhluk yang bernama manusia tersebut. Namun nampaknya, akar kata yang paling dekat adalah kata nis-y atau nasiya- yansâ yang berarti lupa, sehingga dalam bahasa Arab terdapat ungkapan summiy al-insân insânan li kas\rah nisyânih. Karena sering lupa, maka manusia memiliki predikat al-insân (manusia).
Dari sini kemudian peran orang lain untuk mengingatkan menjadi susuatu yang sangat penting. Apalagi anak-anak prasekolah yang potensi intelektualnya masih belum bekerja secara maksimal. Alquran sendiri sering mengingatkan (memberi maw’izhah kepada ) manusia.
22 Lihat Hamdan Rajih Al-Syarif, Kaifa Nad’û al-Athfâl, TP,TT, 202
Kita bisa melihat bagaimana Luqman memberikan maw’izhah kepada anaknya (Qs. Luqmân 12-19), Nabi Nuh kepada kaumnya (Qs. Hûd 32-34), Nabi Hud kepada kaumnya (Qs. Al-A’râf 65-68) atau perintah Allah kepada Rasulullah SAW. agar senantiasa memberi maw’izhah kepada ummatnya (lihat misalnya Qs. Al-Dzâriyât 55, ‘Abasa 2-3, Al- A’lâ, 9-10, dan lain-lain. ).
Dalam menyampaikan maw’izhah ini ada banyak cara dan sarana yang bisa dimanfaatkan oleh para pendidik. Abdullâh Nâsih ‘Ulwân menyebutkan ada tiga belas metode yang pernah dimanfaatkan Rasulullah SAW. dalam menyampaikan mauidah; dengan cerita, dialog, memulai mauidhan dengan qasam (bersumpah memakai nama Allah), dengan senda gurau, sederhana dalam menyampaikan pesan, memakai suara yang lembut, memakai perumpamaan, mamanfaatkan tangan dalam memberikan contoh (perumpamaan), dengan gambar, praktik langsung, memanfaatkan moment penting yang sesuai, dengan mementingkan yang lebih penting dan dengan menapakkan barang yang diharamkan secara langsung.23
Metode-metode di atas akan semakin efktif dan berkualitas jika didukung oleh kecerdsasan, keterampilan dan kelihaian para pendidik dalam mengaplikasikannya dan menggabungkannya dengan metode yang lain. Sebab, metode maw’izhah ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus digabungkan dengan metode lain, terutama
“keteladanan”.
Simpulan
Anak dalam fase preschool age, secara psikologis belum mampu memfungsikan potensi rasionalnya secara wajar dan maksimal, sehingga memerlukan bimbingan, pengarahan dan pembinaan, dengan metode tertentu. Dalam tataran praksis, metode pengajaran yang ditawarkan oleh para pakar pendidikan masih tetap memerlukan kecerdasan dan keterampilan para pendidik (guru atau orang tua). Di
23Abdullâh Nasih ‘Ulwan,Tarbiyat Al-Awlâd fî al-Islâm, 669-685.
Abdul Wahid dan Abdul Halim, Mengakrabkan Anak dengan Tuhan |73
antara berbagai metode pengajaran yang ada, dalam konteks pengembangan kesadaran keberagamaan anak, metode keteladanan merupakan metode yang paling efektif, tentu tidak menafikan metode yang lain seperti pembiasaan, dialog, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Clark, WH. The Psycchology Of Religion, An Introductian to Religious Ekperience and Behaviour. New York : The Macmillan Company. 1978
Darajat, Zakiyah, Prof. Dr. Psikologi Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1970
Dipl Psych, WA. Gerungan, Dr. Psikologi sosial. Bandung : Refika Aditama. 2000
Freire, Paulo. The Politic Of Education : Culture, power and
Liberatin, atau Politik Pendidkan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantorodan Fuad Arif Fudiyanto. Yogyakarta : ;Read. Cet.. II 2000
Hamid, Muhyiddin Abdul, kaifa Nurabbi Awladana Islamiyyan atau Kegelisahan Rasulullah Mendengan Tangis Anak, Terj.
A. Wahid Hasan. Yogyakata : Mitra Pustaka. 1999
Karo-Karo, Ing. S. Ulihbukti, Drs. Suatu Pengantar Ke Dalam Metodologi Pengajaran. Salatiga : Saudara. 1984
Khaliq, Hamid Abdul. Khuzdî bi Yadi Thiflik ilâ Allah. Kairo: Dâr al-Basyar. tt
Kung, Hans, Does God Exit ? Answer For Today. Trans Edward Quinn. New York : Crossroad. 1995
Moezlichatoen. .R. M.Pd. Dra. Metode Pengajaran di Taman- kanak-Kanak. Jakarta : Rineka Cipta. 1999
Nahlawi, Abdurrahma. Prinsip-Prinsip Dasar Metode Pendidikan Islam Dalam Kelurga, Di Sekolah dan di Masyarakat. Terj.
Herry Noer Ali. Bandung : Diponegoro. TT
Rajih, Hamdan Al-Syarif. Dr. Kaifa Nad’u Al-Athfal. TP.
TT.
Siahan, Henry N. Peran Ibu Bapak, Mendidik Anak. Bandung : Angkasa. 1991
Shihab, Quraish, Prof. Dr. Wawasan Al-Alquran, Tafsir maudu’i Atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung : Mizan. Cet. II.
1996.
Spilka, Bernard, dkk. Of Religion The Psychologi, An Empirical Approach. New Jersy : Engliwood. 1985
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Roesdakarya. 1991
Ulwan, Abdullah Nasih, Dr. Tarbiyat Al-Awlad Fi Al-Islam.
Beirut: Dar Al-Salam. Cet. IX 1985
Wilson, An. Againts Religion, Why We Should Try To Live Without It.
London : Chatto and Chardos. 1992