• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PATOFISIOLOGI MIASTENIA GRAVIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of PATOFISIOLOGI MIASTENIA GRAVIS"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Page 51 of 5 REVIEW ARTICLE Seoroso DA et al., JPHV 2023;4 DOI:10.21776/ub.jphv.2023.004.02.5

PATOFISIOLOGI MIASTENIA GRAVIS

Devita Anggraeni Soeroso1, Shahdevi Nandar Kurniawan2

1Department of Neurology, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia.

2Neurology Specialist Study Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia.

Correspondence : shahdevinandar@ub.ac.id

Abstract

Myasthenia Gravis (MG) is an autoimmune disease that disrupts transmission at the neuromuscular junction (NMJ). In myasthenia gravis, the immune system will attack the acetylcholine receptor (AChR) or other proteins involved in neuromuscular transmission or due to abnormalities in the thymus, which plays a role in immunity. This causes characteristic manifestations in the form of muscle weakness, which will improve after rest. So, in its management, the use of immunosuppressive therapy and removal of the thymus can be a therapeutic option depending on the type and severity of the disease.

Keyword : Myasthenia Gravis, MG, Autoimmune

PENDAHULUAN

Miastenia gravis (MG) merupakan suatu kondisi penyakit autoimun didapat yang relatif langka, yang disebabkan oleh adanya autoantibodi terhadap area post-sinaps dari neuromuscular junction (NMJ), sehingga transmisi neuromuskuler menjadi terhambat (1). Hal tersebut mengakibatkan fungsi NMJ yang seharusnya yakni NMJ transmisi sinyal untuk terjadinya kontraksi otot dengan cara pengikatan reseptor asetilkolin di serabut otot oleh neurotransmitter asetilkolin dari terminal saraf tidak dapat berlangsung baik, sehingga terjadi gangguan pembukaan kanal reseptor dan depolarisasi membran otot, mengakibatkan kelemahan dan kelelahan dari otot rangka (2).

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh individu dengan miastenia gravis adalah kesulitan dalam menjalani pekerjaan yang optimal. Permasalahan tersebut terutama dikarenakan gangguan fisik karena kelemahan otot yang dialami, sehingga individu mengalami kesulitan dalam aktivitas sekolah atau pekerjaan (2). Selain itu miastenia gravis juga memiliki dampak psikologis, termasuk gangguan kecemasan, rasa kekhawatiran, hingga depresi, yang akan berdampak pada kualitas hidup individu (3).

Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan pemahaman mengenai miastenia gravis, studi terus dilakukan untuk mengetahui mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya penyakit ini, dalam rangka meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengelolaan miastenia gravis.

ANATOMI

Neuromuscular junction (NMJ) dapat dibagi menjadi tiga bagian utama: daerah presinaptik, ruang sinaptik, dan membran postsinaptik. Gangguan transmisi neuromuskular dapat muncul akibat adanya gangguan di setiap area tersebut (4).

Area Presinaptik

Setiap neuron motorik memiliki akson yang bercabang di ujungnya untuk membentuk terminal saraf yang mempersarafi serabut otot melalui NMJ. Setiap serabut otot biasanya hanya diinervasi oleh satu unit neuron motorik, kecuali pada serabut otot ekstraokular, yang di mana satu serabut otot dapat menerima banyak inervasi saraf (5,6).

Saat saraf motorik mendekati NMJ, ia akan kehilangan selubung mielinnya dan kemudian membelah menjadi cabang terminal. Setiap cabang terminal akson tersebut membesar menjadi bouton terminal presinaptik yang terletak di dalam cekungan pada serabut otot. Bouton terminal memiliki sejumlah komponen subselular termasuk neurotubulus, neurofilamen, mitokondria, dan banyak vesikel sinaptik4.

Ruang Sinaptik

Antara daerah presinaptik dan membran otot postsinaptik terdapat struktur yang disebut sinapsis. Celah utama sinapsis mengandung reseptor asetilkolin (AChR) yang terkonsentrasi di puncak lipatan postsinaptik di sisi berlawanan. Celah sinapsis sekunder (subneural) yang juga merupakan bagian penting dari membran postsinaps mengandung kanal natrium (7).

Membran Postsinaptik

Membran postsinaptik adalah area membran serabut otot yang terspesialisasi, yang disebut end plate.

Article History:

Received: August 29, 2023; Accepted: October 9, 2023; Published: October 9, 2023

Cite As:

Soeroso DA, Kurniawan SN. Patofisiologi miastenia gravis. Journal of Pain, Headache and Vertigo; 2023.4:51-55.

DOI: 10.21776/ub.jphv.2023.004.02.5

(2)

Lamina basal dari end plate mengandung enzim acetyl cholinesterase (AChE) yang berperan menghidrolisis sebagian besar pelepasan Ach oleh terminal saraf dan mencegah pengikatan berulang ACh ke AchRs (4).

Reseptor Asetilkolin

AchR (Acetylcholine Receptor) merupakan kanal reseptor ionotropik transmembran yang diaktifkan oleh ligan. Lipatan celah postsinaptik dipenuhi oleh AchR yang sangat penting untuk transmisi neuromuskuler normal dan mengandung protein lain seperti MuSK, LRP4, rapsyn, integrin, reseptor ErbB, N-acetyl galacto saminlyl transferase, dan kolagen XIII yang berperan dalam pengembangan dan pemeliharaan NMJ (4).

FISIOLOGI

NMJ berperan penting dalam transmisi sinyal untuk terjadinya kontraksi otot, yaitu sebagai penghubung antara terminal akson neuron motorik dan otot. Asetilkolin yang dilepaskan dari terminal akson akan mengikat dan mengaktifkan reseptor asetilkolin otot (AchRs), yang memicu pembukaan kanal reseptor dan depolarisasi membran otot (8).

Aksi potensial awalnya mencapai terminal saraf di area presinaps. Pada terminal saraf juga terdapat vesikel-vesikel sinaptik bersama dengan protein-protein yang membantu fungsi vesikel tersebut. Ketika potensial aksi mencapai terminal saraf, mereka mengaktifkan kanal kalsium, yang memfasilitasi masuknya kalsium ke dalam terminal presinaptik dan mengawali pelepasan vesikel ke celah sinaptik4. Kemudian vesikel mengeluarkan isinya ke ruang ekstraseluler (celah sinaptik). Neurotransmitter berupa asetilkolin yang dilepaskan kemudian berikatan dengan reseptornya di membran postsinaptik dan membuka kanal Na+/K+ terikat ligan. Hal tersebut akan menghasilkan perubahan potensial di wilayah postsinaptik yang menghasilkan rangsangan dan kontraksi otot (4).

Pada NMJ juga terdapat peranan enzim asetilkolinesterase yang mengurai asetilkolin, sehingga struktur kolin dapat di re-uptake dan digunakan untuk menghasilkan molekul asetilkolin kembali (4).

ETIOLOGI

Faktor-faktor etiologi yang berkontribusi kepada terjadinya miastenia gravis meliputi:

Faktor Autoimun

Sistem kekebalan tubuh menyerang dan merusak reseptor yang terlibat dalam transmisi neuromuskular, seperti antibody anti-acetylcholine receptor (anti-AChR) dan antibody muscle-specific tyrosine kinase (anti-MuSK) memainkan peran penting dalam proses terjadinya miastenia gravis (10).

Faktor Genetik

Meskipun miastenia gravis bukan penyakit yang diwariskan secara langsung, faktor genetik berperan dalam kerentanan individu terhadap perkembangan miastenia gravis. Terdapat beberapa lokus genetik yang terkait dengan kejadian miastenia gravis, termasuk gen HLA (Human Leukocyte Antigen) dan gen lain yang mengatur sistem kekebalan tubuh (11).

Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dikaitkan dengan miastenia gravis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa infeksi virus seperti Epstein-Barr dapat memicu respons autoimun yang akhirnya menyebabkan miastenia gravis. Selain itu, penggunaan obat tertentu, seperti antibiotik aminoglikosida, juga telah dikaitkan dengan perkembangan miastenia gravis (12).

Faktor Imunologi

Ketidakseimbangan dalam sistem kekebalan tubuh, seperti perubahan dalam fungsi sel T dan sel B, serta peran sistem komplement, juga dapat berkontribusi pada terjadinya inflamasi dan kelemahan otot pada miastenia gravis (13).

PATOFISIOLOGI

Neuromuscular junction rentan terhadap penyakit autoimun karena tidak adanya blood-nerve barrier untuk melindungi NMJ. Meskipun mekanisme pemicu dari autoimunitas pada NMJ belum diketahui secara pasti, namun secara patobiologi miastenia gravis dapat bermanifestasi sebagai hasil dari kelainan autoimun atau sebagai sindrom paraneoplastik yang terkait dengan tumor timus (4).

Autoantibodi

Pada NMJ, AChR yang terlokalisasi menciptakan kelompok reseptor untuk meningkatkan efisiensi transmisi sinyal antara neuron dan otot. Pengelompokan AChR ini dipengaruhi oleh agrin, sebuah protein yang dilepaskan dari terminal saraf.

Agrin berinteraksi dengan low-density lipoprotein receptor- related protein 4 (LRP4), membentuk kompleks dengan muscle-specific tyrosine kinase (MuSK), yang mengaktifkannya melalui autofosforilasi. Proses ini memicu kaskade sinyal yang memicu pengelompokan AChR di NMJ yang dimediasi oleh rapsyn (4,8).

Autoantibodi yang mendasari terjadinya miastenia gravis adalah antibodi terhadap AChR dan MuSK.

Antibodi Anti-Asetilkolin Reseptor (anti-AChR)

Dalam miastenia gravis, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang mengikat reseptor asetilkolin di permukaan otot. Antibodi ini menghentikan asetilkolin untuk terikat dengan reseptor, yang menghentikan transmisi impuls neuromuskular. Karena proses ini, jumlah reseptor yang tersedia berkurang dan sensitivitas otot terhadap asetilkolin berkurang. Ini adalah alasan utama kelemahan otot yang tampak pada miastenia gravis (10).

Antibodi Anti-Muscle-Specific Kinase (anti-MuSK)

Antibodi yang menargetkan Muscle-Specific Kinase (MuSK) ditemukan pada 5–10% pasien miastenia gravis. Antibodi ini menghambat fungsi reseptor MuSK, yang menghambat jalur sinyal yang diperlukan untuk transmisi neuromuskular normal, menyebabkan gejala serupa dengan gejala miastenia gravis yang disebabkan oleh antibodi anti-AchR (14).

Antibodi Lipoprotein-Related Protein 4 (LRP4)

Antibodi terhadap LRP4 ditemukan pada pasien MG seronegatif terhadap antibodi AChR dan MuSK, di mana LRP4 berperan penting terhadap pembentukan NMJ untuk memfasilitasi pengelompokan MuSK dan AChR yang teraktivasi (4).

(3)

Gambar 1. Fisiologi Neuromuscular Junction (NMJ) (9)

Gambar 2. Autoantibodi pada Neuromuscular Junction (NMJ) (4)

Patologi Timus

Pada pasien miastenia gravis, hampir selalu dijumpai abnormalitas pada kelenjar timus. Ditemukan bahwa timoma, yang merupakan tumor pada kelenjar timus ditemukan pada 15% pasien. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan perkembangan miastenia gravis, dikarenakan timus normalnya bertanggung jawab dalam pembentukan dan pematangan sel-sel kekebalan tubuh, termasuk sel T (6,15).

Pada sejumlah kasus miastenia gravis yang terkait dengan timoma, diduga bahwa tumor timus menghasilkan sel-sel T yang merangsang produksi autoantibodi yang menyerang reseptor asetilkolin di NMJ. Sehingga timektomi, yaitu pengangkatan kelenjar timus, merupakan opsi tatalaksana yang dapat membantu mengontrol gejala miastenia gravis pada pasien dengan timoma (5,15).

(4)

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang paling umum pada pasien dengan miastenia gravis adalah adanya beberapa gejala umum, seperti kelemahan otot yang berfluktuasi dan respons yang membaik setelah istirahat. Penjelasan dari gejala-gejala tersebut yaitu sebagai berikut:

Kelemahan otot yang berfluktuasi

Pada miastenia gravis, kelemahan otot sering menjadi lebih buruk saat beraktivitas berulang kali atau setelah berolahraga selama waktu yang lama. Transmisi impuls neuromuskular yang terganggu dapat menyebabkan hal ini terjadi.

Autoantibodi menyerang dan menghambat reseptor asetilkolin di NMJ. Setelah istirahat yang cukup, otot biasanya lebih kuat (13).

Kelemahan tungkai proksimal pada miastenia gravis dimanifestasikan dengan kesulitan untuk mengangkat lengan di atas kepala, atau kesulitan menaiki tangga. Sedangkan kelemahan dari otot fleksor dan ekstensor leher dapat mengakibatkan head drop (10).

Tabel 1. Klasifikasi Miastenia Gravis (17) Kelas Tanda dan Gejala Klinis

I

Adanya kelemahan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

II

Terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot selain otot ocular

II A

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

II B

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot- otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIA

III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

III A

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

III B

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan.

Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot- otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan

IV

Otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot- otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

IV A

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

IV B

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasam atau keduanya secara predominan.

Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi

V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Ptosis dan diplopia

Kelemahan otot levator palpebrae superior, yang mengontrol pergerakan kelopak mata atas, menyebabkan penurunan kelopak mata yang disebut ptosis. Diplopia atau penglihatan ganda juga sering terjadi karena kelemahan otot yang mengontrol gerakan mata, seperti otot ekstraokular4.

Kesulitan bicara dan menelan

Kelemahan otot yang bertanggung jawab atas produksi suara dan fungsi menelan dapat menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan menelan makanan atau cairan, yang mengakibatkan disartria dan disfagia4,16.

Kelemahan otot pernapasan

Pada kasus yang parah, pasien dapat mengalami kelemahan otot pernapasan. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah pernapasan secara keseluruhan, dan dapat hingga menyebabkan pasien membutuhkan intubasi dan bantuan ventilasi mekanis, yang sering disebut dengan myasthenic crisis (13).

KESIMPULAN

Secara keseluruhan, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh kelemahan otot yang fluktuatif.

Produksi autoantibodi yang menyerang reseptor asetilkolin di sambungan neuromuskuler menjadi mekanisme patofisiologi yang mendasari kondisi ini. Hal ini mengganggu transmisi sinyal neuromuskuler, yang mengakibatkan kelemahan otot yang memburuk saat aktivitas dan membaik saat istirahat.

Dalam pengembangan metode diagnosis dan pengelolaan miastenia gravis, dibutuhkan pemahaman mengenai anatomi, fisiologi, patofisiologi, dan manifestasi klinis dari miastenia gravis sehingga penting untuk terus dilakukan penelitian mendatang yang terkait serta kolaborasi antara peneliti, dokter, pasien, dan pihak terkait untuk meningkatkan perawatan dan pengobatan pasien dengan miastenia gravis.

Dengan ditemukannya penemuan lebih lanjut terkait patofisiologi miastenia gravis dan pengembangan terapi yang inovatif, diharapkan dapat memberikan manfaat signifikan bagi pasien dengan penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Vanjari V, Maybauer MO. Anaesthetic management of myasthenia gravis in coronary artery bypass grafting.

Ann Card Anaesth; 2020. 23(2):209–11.

DOI: 10.4103/aca.ACA_176_18

2. Guastafierro E, Tramacere I, Toppo C, Leonardi M, Mantegazza R, Bonanno S, et al. Employment in Myasthenia Gravis: A systematic literature review and meta-analysis. Neuroepidemiology; 2020. 54(4):304–

12. DOI: 10.1159/000506310

3. Garzón-Orjuela N, Van Der Werf L, Prieto-Pinto LC, Lasalvia P, Castañeda-Cardona C, Rosselli D. Quality of life in refractory generalized myasthenia gravis: A rapid review of the literature. Intractable Rare Dis Res;

2019. 8(4):231–8. DOI: 10.5582/irdr.2019.01121 4. Lim L. Merritt’s Neurology, Thirteenth Edition. J

Neuropathol Exp Neurol; 2016. 75(8):812–812.

DOI: 10.1093/jnen/nlw055

(5)

5. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis:

Subgroup classification and therapeutic strategies.

Lancet Neurol; 2015. Oct 1;14(10):1023–36.

DOI: 10.1016/S1474-4422(15)00145-3

6. Melzer N, Ruck T, Fuhr P, Gold R, Hohlfeld R, Marx A, et al. Clinical features, pathogenesis, and treatment of myasthenia gravis: A supplement to the guidelines of the German Neurological Society. J Neurol; 2016.

263(8):1473–94. DOI: 10.1007/s00415-016-8045-z 7. Huda R. New Approaches to Targeting B Cells for

Myasthenia Gravis Therapy. Front Immunol.

2020;11(February). DOI: 10.3389/fimmu.2020.00240 8. Lazaridis K, Tzartos SJ. Autoantibody specificities in

myasthenia gravis; Implications for improved diagnostics and therapeutics. Front Immunol; 2020.

11(February):1–13. DOI: 10.3389/fimmu.2020.00212 9. Omar A, Marwaha K, Bollu PC. Physiology,

neuromuscular junction. StatPearls; 2023. May 1.

Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470413/

10. Gilhus NE, Verschuuren JJ. Myasthenia gravis:

Subgroup classification and therapeutic strategies.

Lancet Neurol; 2015. Oct 1;14(10):1023–36.

DOI: 10.1016/S1474-4422(15)00145-3

11. Gregersen PK, Kosoy R, Lee AT, Lamb J, Sussman J, McKee D, et al. Risk for myasthenia gravis maps to a 151Pro→Ala change in TNIP1 and to human leukocyte antigen-B*08. Ann Neurol; 2014. Dec;72(6):927–35.

DOI: 10.1002/ana.23691

12. Bortone F, Scandiffio L, Cavalcante P, Mantegazza R, Bernasconi P, Bortone F, et al. Epstein-Barr virus in myasthenia gravis: Key contributing factor linking innate immunity with b-cell-mediated autoimmunity;

2020. Dec 9. DOI: 10.5772/intechopen.93777

13. Berrih-Aknin S, Frenkian-Cuvelier M, Eymard B.

Diagnostic and clinical classification of autoimmune myasthenia gravis. J Autoimmun; 2014. 48–49:143–8.

DOI: 10.1016/j.jaut.2014.01.003

14. Huda S, Waters P, Woodhall M, Leite MI, Jacobson L, De Rosa A, et al. IgG-specific cell-based assay detects potentially pathogenic MuSK-Abs in seronegative MG.

Neurol Neuroimmunol NeuroInflammation; 2017. 4(4).

DOI: 10.1212/NXI.0000000000000357

15. Dontukurthy S, Wisler C, Raman V, Tobias J.

Myasthenia gravis and sugammadex: A case report and review of the literature. Saudi J Anaesth; 2020.

14(2):244–8. DOI: 10.4103/sja.SJA_721_19

16. Yang XL, Niu L, Yang CW, Wang L, Liu JX, He GY.

Clinical features of laryngeal myasthenia gravis: A case series. Am J Otolaryngol - Head Neck Med Surg; 2019.

40(2):292–6. DOI: 10.1016/j.amjoto.2018.11.002 17. Kalbus OI, Shastun NP, Makarov SO, Bukreyeva YV,

Somilo OV. The evaluation of approaches to the treatment of myasthenia gravis. Medicni Perspekt (Medical Perspect); 2019. 24(3):80–6.

DOI: 10.26641/2307-0404.2019.3.181886

Referensi

Dokumen terkait

kelemahan yang ada dalam tubuh Koperasi...  Koperasi merupakan organisasi yang dimiliki oleh para anggota, sehingga dapat memanfaatkan kekuatannya yang berkaitan.

Pada halaman ini terdapat petunjuk tentang tombol yang akan digunakan yang dapat dipilih untuk membantu proses belajar mengenal anggota tubuh. Tampilan Menu Anggota

Dengan dasar pengelompokan variabel selanjutnya dilakukan integrasi sehingga didapat proposisi terkait dengan: kompleksitas pembelian, derajat berbagi tanggung jawab antar

dan isokinetik beberapa jenis latihan sesuai kondisi pasien mengalami peningkatan pada Range Of Motion ROM, peningkatan kekuatan otot anggota gerak bawah, penurunan odema pada kedua

3, September 2023 Maskapai Penerbangan di PT.Lion Air” keduanya memliki penelitian yang sama dengan dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT untuk mengetahui kekuatan, kelemahan,

Pasien derajat berat memiliki kadar neutrophil to lymphocyte ratio, C-reactive protein, dan D-Dimer yang lebih tinggi dibandingkan dengan derajat ringan.. Selain itu kadar laktat

Senam hamil birth ball mengatasi gangguan tidur karena faktor fisik dengan memperbaiki postur tubuh dan menjaga otot-otot yang mendukung tulang belakang ibu, mengurangi ketidaknyamanan

Sedangkan berdasarkan tingkat derajat keparahan jerawat mayoritas pada kondisi ringan sebanyak 77,68%, terhadap perubahan harga diri yang terjadi pada kelompok perempuan yang berjerawat